Thursday, December 10, 2015

Jangan "Ke Sana"

Kan sudah kukatakan padamu,
jangan "ke sana"!
karena yang kau kenal, hanya aku.

~ Maulana Rumi

"Disana" mana yang mesti kita hindari dan kita tak semestinya pergi kesana? Rumi menjawabnya dengan bait selanjutnya "karena yang kau kenal hanya aku".

Aku disini memiliki dua makna; diri dan Tuhan. Aku sebagai diri sebab kita mengenal diri kita sendiri meskipun tidak sepenuhnya, dan Aku sebagai Tuhan karena fitrah suci manusia selalu mengingat-Nya dan selalu ingin kembali pada-Nya.

Saat manusia melangkah "ke sana", berarti ia telah melangkah keluar dari rumahnya dan menuju suatu tempat diluar dirinya. "Disana" adalah tempat yang akan menyibukkan dirinya, sibuk dengan permainan-permainan diluar dirinya. Kesibukan tersebut akan membuatnya terasing, sebab ia hanya asyik diluar padahal rumah eksistensinya ada dalam dirinya yang setiap saat menantinya.

Bahkan saking sibuknya sehingga ia lalai dari dirinya dan tentu lalai dari Ilahi sebab Ilahi bersemayam dalam hati manusia. Di dunia ini penuh dengan "Disana" yang menyebabkan kita lalai. Tempat yang mengantarkan kepada kelalaian. "Disana" bahkan bisa bermakna manusia itu sendiri yaitu saat kita duduk bersamanya hanya mengantarkan kita pada kelalaian dan keterasingan akan realitas diri.

Namun Maulana Rumi mengingatkan kita, di dunia ini tak ada yang memiliki kawan sejati. Setiap manusia hanya memiliki satu kawan sejati yaitu Tuhan. Karena setiap manusia memiliki keterbatasannya sendiri, dan kita tak mungkin menuntut sesuatu dari manusia diluar keterbatasan dirinya, sementara makna kawan sejati ialah memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sebab itu kawan sejati manusia hanya ada dua; dirinya dan Tuhannya.

Dalam kesempatan lain Maulana Rumi mengatakan, "aku mencari Tuhan dan yang kutemukan adalah diriku, dan aku mencari diriku dan aku temukan Tuhan". Oleh sebab itu maksud "disana" menurut Rumi adalah tempat yang tak dapat menemukan "diri" dan juga "Tuhan" karena semuanya asing dan terasing.

Pada akhirnya Rumi ingin menyampaikan pesan Tuhan;

"datanglah . . .
hanya padaKu saja,
karena hanya Aku saja kawanmu"

Epistemologi Modern; Analisa terhadap Pengetahuan

Beragam pendekatan dalam menganalisis esensi pengetahuan. Misalnya menganalisa pengetahuan dari sisi fungsinya atau menganalisa pengetahuan dari aspek pengetahuan sebagai prihal yang bersifat partikukar serta menganalisa pengetahuan dari aspek kaitannya dengan persoalan proposisional.

Pembahasan kita terkait dengan pengetahuan dari sisi proposisional bahwa, maksud dari pengetahuan disini adalah terkait dengan relasi dari pengetahuan tersebut yaitu proposisi. Maksudnya seseorang memahami atas suatu proposisi. Oleh karena itu definisi pengetahuan disini adalah analisa atas suatu proposisi.
Misalnya kita mengetahui proposisi, "Jakarta adalah ibukota Indonesia" atau proposisi lainnya "air tersusun dari oksigen dan hidrogen".

Sebelum menjelaskan lebih jauh, sebaiknya kita membedakan antara dua bentuk pengetahuan; "mengetahui bahwa" dan "mengetahui secara deskriptif (pengetahuan deskriptif). Jenis pengetahuan "mengetahui bahwa" adalah suatu bentuk pengetahuan terhadap suatu proposisi melalui perantara "bahwa". Kata "bahwa" (that) menjadi perantara antara kata "tahu" dengan proposisi tertentu, misalnya "prakiraan cuaca tahu bahwa udara saat ini berawan". Adapun pengetahuan deskriptif adalah suatu bentuk pengetahuan yang menganalisa kandungan dari suatu proposisi dengan menganalisa antara kata "tahu" dengan kandungan yang ada pada proposisi tersebut dan juga struktur yang berperan dalam proposisi tersebut, misalnya "saya tahu meja ini berwarna coklat".

Jauh sebelumnya Plato memaparkan persoalan epistemologi dengan menganalisa sebelumnya atas standar pengetahuan. Dan persoalan ini dilanjutkan oleh para peneliti epistemologi modern dengan membatasinya pada persoalan proposisi atau analisa atas unsur-unsur proposisi. Misalnya proposisi, "suatu ini adalah seperti ini atau seperti itu". Berdasarkan hal ini pengetahuan didefinisikan dengan "true justified belief" (benar, justifikasi, dan percaya). Ketiga hal tersebut adalah unsur utama dalam pengetahuan dan sekaligus menjadi syarat utama terbentuknya pengetahuan. Masing-masing dari unsur tersebut mesti dijelaskan batasannya agar kita dapat memahami ketiga unsur tersebut sebagai syarat utama dalam pengetahuan.

a) Percaya

Istilah percaya dalam persoalan ini adalah istilah yang terkait dengan pembahasan epistemologi. Percaya atau mempercayai adalah relasi antara seseorang dengan proposisi X dimana jika tak ada relasi tersebut maka tak ada jalinan kondisi pengetahuan diantara keduanya. Kondisi pengetahuan yang dimaksud disini adalah mental. Sebab itu kondisi-kondisi mental bisa saja beragam dan oleh karenanya hanya sebagian dari jenis kondisi mental kita saja dalam berhadapan dengan suatu proposisi. Dan setiap orang mungkin saja memiliki relasi yang berbeda terhadap suatu proposisi, misalnya proposisi, "hari ini hujan". Setiap orang tidak memiliki relasi yang sama terhadap proposisi tersebut sehingga proposisi tersebut bunyinya seperti, "si fulan meyakini jika hari ini hujan turun", "si fulan sangat berharap hari ini hujan akan turun", "si fulan takut jika hari ini hujan", "si fulan sangat suka jika hari ini hujan turun". Dari seluruh contoh proposisi-proposisi tersebut kita temukan kata "berharap" dan "takut" serta "suka" yang menunjukkan satu bentuk relasi antara "si fulan" dengan  proposisi "hari ini hujan". Namun mesti dipahami bentuk relasi yang terbangun antara si fulan dengan proposisi berbeda dengan persoalan percaya atau mempercayai.

Sebab itu pertanyaan selanjutnya, apakah kita bisa memiliki suatu pengetahuan terhadap proposisi X tanpa adanya kepercayaan terhadap proposisi tersebut?

Sebagian mejawabnya bahwa kita tak mungkin memiliki pengetahuan tanpa adanya kepercayaan atas proposisi tersebut. Maksudnya jika saya mengatakan bahwa saya mengetahui proposisi X maka akan melazimkan adanya suatu bentuk relasi antara seseorang dengan proposisi tersebut. Sebab itu jika diasumsikan bahwa kita mengetahui proposisi X namun pada saat yang sama kita tidak mempercayainya maka sebenarnya tak ada relasi dan tak ada jalinan kondisi mental dengan proposisi tersebut. Kelaziman dari keberadaan relasi dalam mengetahui proposisi tersebut sama dengan meniscayakan kita menerima syarat kepercayaan sebagai suatu syarat dalam membentuk pengetahuan. Karena kita tak bisa mengatakan "si fulan tahu bahwa monas di Jakarta" namun "si fulan tidak percaya bahwa monas di Jakarta". Oleh karena itu, mengetahui proposisi X melazimkan kita percaya terhadap proposisi tersebut.

b) Benar

setelah kita menjelaskan syarat percaya bahwa percaya adalah syarat dalam mengetahui, pertanyaan selanjutnya, apakah "percaya" saja cukup menjadi syarat dalam pengetahuan? sebelumnya kita mengatakan, percaya terhadap proposisi X tanda bahwa kita mengetahui proposisi tersebut. Sekarang, apakah percaya pada proposisi X berarti kita telah mengetahui proposisi tersebut? tentu jawabannya tidak, sebab kita membutuhkan syarat lain dan yang kedua, tidak semua proposisi memiliki kondisi yang sama, sebagian proposisi cukup dengan percaya namun proposisi lainnya tidak cukup dengan syarat percaya.

Sebab itu syarat lainnya adalah benar. Maksudnya proposisi X adalah proposisi benar jika realitasnya menampakkan demikian adanya. Misalnya proposisi "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan" adalah proposisi yang benar jika demikian adanya bahwa "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan". Mengapa syarat "benar" menjadi syarat yang penting ? karena mental  manusia bisa percaya pada proposisi yang benar dan bisa juga percaya pada proposisi yang salah. Bahkan terkadang kita mengatakan kepercayaan yang benar dan kepercayaan yang salah. Dan oleh karena pengetahuan disebut sebagai sebuah pengetahuan jika sesuatu tersebut benar maka syarat benar menjadi syarat yang penting dan lazim.

c) Justifikasi

Sekarang kita akan melanjutkan pertanyaannya. Berdasarkan atas pembahasan sebelumnya maka "jika si fulan mengetahui proposisi X, maka ia mempercayai proposisi X yang benar tersebut". tapi apakah bisa disimpulkan bahwa si fulan telah mengetahui? Dalam kata lain, apakah syarat percaya dan benar sudah mencukupi? jawabannya negatif, maksudnya mereka menambahkan satu syarat lagi dalam persoalan pengetahuan dan syarat tersebut adalah justifikasi.

Justifikasi menjadi syarat yang paling penting dari diantara syarat-syarat tersebut, sebab meskipun seseorang percaya dan benar terhadap suatu proposisi namun jika tidak memiliki justifikasi maka bisa saja pengetahuan tersebut hanya sebagai pengetahuan yang bersifat kebetulan saja. Misalnya si fulan mengatakan tanpa ada dalil dan bukti yang jelas, sebelum permainan mengatakan "hari ini MU  akan menang dalam pertandingan", dan secara kebetulan MU menang hari itu. Jadi si fulan percaya bahwa MU menang dan secara kebetulan benar, nah pertanyaannya apakah si fulan benar-benar tahu?

Dari persoalan tersebut kita memahami bahwa ada sesuatu yang kurang selain dari syarat percaya dan benar yaitu dalam persoalan justifikasi. Namun istilah justifikasi antara para pemikir tidak sama dalam menggunakannya. Sebab itu maksud justifikasi disini adalah justifikasi kaitannya dengan salah satu bagian dari syarat pengetahuan. Maksudnya justifikasi akan belaku jika ia menerima syarat percaya dan memiliki dalil yang baik dalam membenarkan kepercayaannya.

Sebab itu secara umum dapat dikatakan bahwa maksud dari syarat mengetahui adalah jika memiliki ketiga unsur tersebut yaitu truth, belief, dan justified. Maksudnya adalah "si fulan" dianggap mengetahui proposisi X jika;
1. X adalah proposisi yang benar.
2. Si Fulan percaya terhadap proposisi X
3. Si fulan percaya terhadap proposisi X dengan justifikasi yang diberikan padanya.

Monday, December 7, 2015

Kesadaran dan Kejahilan


Di dunia ini hanya ada satu keutamaan, dan itu kesadaran.
Dan hanya ada satu dosa, dan itu kejahilan.

Dan adapun diantara keduanya, keterbukaan dan ketertutupan setiap mata adalah satu-satunya pembeda antara manusia sadar dan manusia jahil.

~ Rumi

Langkah pertama sampai ke tingkat kesadaran adalah memusatkan diri pada tindakan, perkataan, dan pikiran. Saat manusia memahami kondisi-kondisi yang terjadi pada dirinya, baik itu pikiran, imajinasi, dan juga kehidupan dirinya, pertanda bahwa ia telah memiliki satu tahap kesadaran tertentu atas realitas dirinya. Dan pada saat itulah, ia akan menemukan keajaiban akan hakikat dirinya.

Menurut Maulana Rumi, seluruh fenomena kehidupan, segala usaha, dan segala mimpi-mimpi manusia adalah suatu bentuk bahasa sindiran. Sebab manusia tanpa sadar mencari sesuatu yang jauh sebelumnya sesuatu tersebut secara tersembunyi telah ada di dalam dirinya. Namun persoalan ini akan terpahami setelah manusia telah sampai kepada hakikat, bukan sebelumnya.

Hampir dalam seluruh syair Maulana dalam matsnawi menjelaskan mata penglihatan dan hati penyaksian sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Maulana ingin mengatakan, keajaiban senantiasa menyertai kita dan setiap saat terjadi dalam kehidupan kita. Hanya perlu memandangnya saja dan tak perlu menambahkan sesuatu kecuali penglihatan.

Tak perlu kita keluar mencari sesuatu tempat agar kita memahami keajaiban tersebut,  sebab setiap tempat adalah keajaiban saat mata kesadaran kita terbuka. Yang dibutuhkan hanya keterbukaan mata kesadaran. Dan penglihatan kesadaran ini terhubung erat dengan pendengaran. Ajaibnya, seluruh rahasia ibadah terletak pada penyaksian dan pendengaran. Jika kita bisa belajar bagaimana melihat dan mendengar, kita akan meraih rahasia paling dalam perihal ibadah.

Tuesday, December 1, 2015

Aku dan Aku

Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri, maka aku pun terkejut : ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding - Keilahian”.

~ Rumi

Takwil;
"Aku tidak tahu siapa sebenarnya aku". Pertanyaan mengenai diri yaitu aku adalah pertanyaan eksistensial. Suatu pertanyaan eksistensial membutuhkan pendekatan eksistensialis atau pendekatan fenomenologis, sebab fenomenologis bagian dari mode eksistensi.

Aku secara fenomenologis dapat dimaknai sebagai aku yang nampak secara alamiah pada realitas eksternal. Seperti aku yang mendengar, aku yang melihat, aku yang merasa, aku yang berjalan, dan aktifitas-aktifitas lainnya sebagaimana yang nampak diluar.

Namun pertanyaannya, apakah aku adalah pendengaran? apakah aku adalah penglihatan? apakah aku adalah imajinasi? apakah aku adalah pikiran? apakah aku adalah intuisi?

atau apakah aku adalah gabungan dari penglihatan + pendengaran + imajinasi + pikiran = aku? jika demikian, apakah ketika penglihatanku hilang tak bisa lagi disebut aku? apakah ketika pendengaranku hilang tak bisa lagi disebut aku? dan faktanya bahwa kehilangan pendengaran dan penglihatan dan begitu pula kehilangan fakultas jiwa lainnya tak meniscayakan menghilangkan eksistensi aku.

Sebab itu, aku bukan pendengaran, bukan penglihatan, bukan pikiran, namun pada saat yang sama, aku hadir pada pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Lalu aku itu apa?

Maulana Rumi memberikan tanda untuk mengenal esensi aku. Kata Rumi, "tetapi ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri . . .". Manusia mesti berjalan ke dalam dirinya sendiri. Berjalan berarti meninggalkan satu titik agar dapat berangkat menuju titik lainnya. Dalam hal ini, manusia mesti berjalan dari yang nampak menuju yang batin. Sebab itu perjalanan mencari aku, bukan perjalanan keluar, namun perjalanan ke dalam yaitu ke dalam diri kita sendiri. Bukankah setiap hari kita berjalan di luar dan tak pernah menemukan aku?!

Kemudian kata Rumi, dalam perjalanan diri menuju aku yang batin akan mengejutkan kita sebab aku bukan lagi aku yang independen dan berdiri sendiri, namun aku yang bergantung secara totalitas pada Ilahi. Dalam bahasa Rumi, "ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding - Keilahian”.

Eksistensi Suara adalah udara, udara yang mengalir dari perut. Jadi aku adalah suara, maksudnya aku pada hakikatnya tak memiliki eksistensi apapun. Sebab suara tak pernah memiliki eksistensi secara independen dan berdiri sendiri. karena itu aku adalah kebergantungan secara totalitas pada Ilahi. aku tak memiliki eksistensi yang independen dan berdiri sendiri. Aku adalah ruh Ilahi. Sebagaimana Firman Ilahi, "dan Aku tiupkan ruhku padanya".

Muhammad Nur Jabir

Friday, November 27, 2015

AKU EKSISTENSIALIS

Aku lahir di dunia,

Aku telah menjadi,

Aku telah meng-ada,

Aku datang dengan fenomena,

Aku menjadi tumbuh dan besar,

Aku melompat dan sebagian dari badankumelompat,

Aku membuat badanku melompat,

Aku melompat dari satu titik menuju titik 
yang lain,

Aku melompat dari tempatku, 

Aku melompat dari tempatku menuju 
tempat lainnya,

Aku harus melompat, aku mesti dapat 
melompat,

Aku melompati dan melewati lidahku,

Aku memiliki persepsi, 

Aku mulai mendefinisikan diriku,

Aku menjerit dan aku berbicara,

Aku mulai mendengarkan keributan, 

Aku mencoba memilah keributan,

Aku membuat keributan,

Aku mengeluarkan suara keributan,

Aku mengeluarkan melodi,

Aku berhasil membuat melodi dan 
membuat keributan,

Aku berhasil berbicara,

Aku berhasil menjerit, 

Aku berhasil diam.

Aku memandang,

Aku melihat lagi pandangan-pandangan itu,

Aku menemukan kesadaran, 

Aku lebih memahami lagi sesuatu yang 
aku lihat sebelumnya,

Aku lebih memahami pandangan-pandangan itu,

Aku mempersepsi,

Aku mempersepsi lagi persepsi-persepsi yang telah dipersepsi,

Aku telah memiliki kesadaran,

Aku lebih memahami lagi sesuatu yang 
telah dipersepsi,

Aku mulai belajar, 

Aku mulai memahami kata-kata,

Aku mulai memahami kata-kata kerja,

Aku mulai memahami kalimat-kalimat telah dan sedang,

Aku mulai memahami nama-nama benda,

Aku mulai memahami tunggal dan jamak, 

Aku mulai memahami kalimat ‘orang 
ketiga’,

Aku bisa memilah disini dan disana,

Aku mulai memahami waktu dengan 
isyarat,

Aku mulai membedakan kata sifat,

Aku mulai memahami perbedaan baik dan buruk,

Aku mulai memahami kepemilikan,

Aku mulai memahami milikku,

Aku mulai membedakan milikmu,

Aku mulai merangkai realitas diriku,

Aku mulai bertanggung jawab atas 
pernyataan-pernyataanku,

Aku telah menjadi relasi-relasi dari pernyataanku,

Aku telah menjadi objek dari 
pernyataanku,

Aku mulai bertanggung jawab atas relasi-relasi tersebut,

Aku telah berubah menjadi terbuka atau 
tertutupnya mulutku,

Aku telah berubah menjadi sebuah rangkaian keangkuhan alfabet,

Aku hidup dalam kurun waktu tertentu,

Aku mulai berpikir tentang awal dan akhir,

Aku mulai berpikir tentang diriku, 

Aku mulai berpikir tentang orang lain,

Aku mulai keluar dari tabiat,

Aku telah menjadi, 

Aku bukan lagi tabiat,

Aku telah memiliki pilihan,

Aku mulai memahami bahwa engkau
bukan diriku,

Aku mulai bisa menjelaskan pilihanku,

Aku mulai bisa mendiamkan pillihanku,

Aku mampu menginginkan sesuatu,

Aku mampu tidak menginginkan sesuatu,

Aku telah menjadi,

Aku mulai bertanggung jawab,

Aku mampu makan dengan tanganku 
sendiri,

Aku mampu tidak lagi mengotori badanku,

Aku telah mampu mendengarkan nasehatorang lain,

Aku telah mampu menghindar dari 
keburukan-keburukan,

Aku telah mampu membedakan antara 
panas dan dingin,

Aku mampu untuk tidak bermain-main lagi,

Aku mampu memilah antara baik dan 
buruk,

Aku berusaha melakukan sesuai dengan 
permainan yang disepakati,

Aku bertanggungjawab agar tidak lari dari kesepakatan,

Aku mampu tidak melakukan sesuatu dari yang tidak disepakati,

Aku mampu menjauh dari apa yang tidak disepakati,

Aku suatu ketika mampu tidak melakukan dosa,

Aku suatu ketika mampu melewati batas-batas yang disepakati,

Aku suatu ketika patuh dalam pekerjaan,

Aku suatu ketika tak patuh dalam 
pekerjaan,

Aku telah menjadi, 

Aku telah bertanggungjawab, 

Aku menjadi penyebab,

Aku terpaksa membayar pilihan-pilihanku,

Aku terpaksa membayar pilihan-pilihan masa laluku,

Aku terpaksa membayar waktuku,

Aku baru saja menginjakkan kakiku 
diwaktu ini,

Keniscayaan ruang dan waktu mana yang aku langgar,

Keniscayaan kaidah logika mana yang aku langgar,

Keniscayaan rahasia mana yang aku 
langgar,

Akal sehat manakah yang aku langgar,

Kaidah-kaidah keabadian eksistensi mana yang 
aku langgar,

Kaidah cinta mana yang pernah aku 
langgar,

Kaidah permainan mana yang pernah aku langgar,

Kaidah keindahan mana yang pernah aku
 langgar,

Kaidah seni mana yang aku langgar,

Kaidah diam dan kebebasan mana yang 
aku langgar,

Apakah kaidah, logika, cinta, rahasia, 
permainan, keindahan, seni, diam, 
kebebasan, ruang dan waktu pernah aku
 langgar?

Aku telah melakukan,

Aku menghindar untuk melakukan,

Aku menunjukkan eksistensiku, 

Aku dengan pikiran menunjukkan 
eksistensiku,

Aku dengan bahasa aku tunjukkan
eksistensiku,

Aku menyatakan wujudku sendiri,

Aku menyatakan wujudku pada yang lain,

Aku menyatakan wujudku kepada ILahi,

Aku pergi,

Aku pergi dengan tujuan,

Aku pergi dengan tujuan walau tak 
mengerti tujuan itu apa,

Aku pergi tanpa tujuan,

Aku pergi dengan arah walau tanpa tujuan,

Aku adalah tujuan,

Aku memikirkan yang orang lain 
membicarakannya,

Aku membicarakan yang orang lain 
memikirkannya,

Aku seharusnya berbicara keras namun 
aku berbisik,

Aku seharusnya berbisik namun aku teriak,

Aku berbicara pada orang dimana 
berbicara padanya adalah keburukan,

Aku mengucapkan salam dimana ucapan salam padanya adalah pengkhianatan.

Karya Muhammad Nur Jabir

*puisi ini dibacakan pada peringatan Hari Filsafat Dunia di kampus Paramadina, 28 Nov 2015

Thursday, November 5, 2015

Bahasa dan Persoalan Kontradiksi

Pembahasan kali ini adalah hasil dari perdebatan sesama penghuni di Grup Telegram "Dialektika Pemikiran". Grup ini akan melaksanakan kajian tiap malam jumat. Malam jumat kemarin 5-11-2015 membahas mengenai bahasa dan persoalan-persoalan ketiadaan seperti kontradiksi.  Berikut ini beberapa hasil diskusi yang sempat kami edit;

1) Persoalan bahasa dalam logika tidak sama dengan pembahasan bahasa dalam filsafat.
namun struktur pembahasan bahasa dalam logika menjadi landasan pembahasan dan mempengaruhi pembahasan bahasa dalam filsafat khususnya dalam filsafat islam.

2) dalam epistemologi islam biasanya dijelaskan tiga relasi segitiga yang saling berkaitan antara objek eksternal, gambaran atau makna, dan bahasa. Relasi antara makna dengan objek eksternal sifatnya niscaya dan hakiki. Sedangkan hubungan antara bahasa dengan objek realitas eksternal beserta makna bersifat iktibari. Maksud dari iktibari disini yaitu dalam pengertian kesepakatan atau kontruksi mental.
Yang berarti tidak ada hubungan logis atau tak ada hubungan niscaya antara bahasa dan objek eksternal.

contohnya air eksternal bisa dibahasakan dalam berbagai bahasa; water, air, je'ne, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan hubungan diantaranya tidak niscaya akan tetapi iktibari. Namun antara air eksternal dgn maknanya adalah hubungan niscaya dan tetap.

Iktibari maksudnya bergantung kepada konstruksi mental kita. Sesuatu itu ada dan tidak adanya bergantung kepada konstruksi mental manusia. Sedangkan hakikat tidak bergantung kepada konstruksi mental kita, sesuatu itu ada dan tak ada, tidak bergantung pada kontruksi mental kita seperti gunung, pohon, lautan, yang ada di alam eksternal.

3) Hubungan antara bahasa dan filsafat sangat erat. Tanpa bahasa filsafat tak akan ada, karena itu bahasa memiliki peran penting dalam menjelaskan filsafat
sekaligus menjelaskan bagaimana hubungan antara bahasa dengan berpikir atau tafakkur hubungannya dengan bahasa.

4) Pembahasan selanjutnya terkait dengan persoalan kontradiksi. Pertanyaannya apa yang menyebabkan kita dapat membuat proposisi yang bersifat kontradiksi, misalnya segitiga bersisi empat, sedangkan di mental kita tidak menemukan contoh tersebut ?
Mental kita memiliki kekuatan yang luar biasa karena mampu mengasumsikan yang tak ada. Tiada diasumsikan keberadaannya sehingga terlihat ada di mental kita. Dalam diri manusia terdapat satu fakultas yang disebut dgn mutakhayyilah (creative imajination) yg mampu menghubungkan antara satu konsep dgn konsep lainnya
dan karena alam imajinasi tak terbatas maka potensi creative imajinasi kita pun senantiasa berkreasi tanpa batas, misalnya menghubungkan sesuatu yg bertentangan.

Namun mesti dipahami kontradiksi tidak ada di mental dan tidak ada di eksternal, tapi hanya ada di mafhum (konsep) saja.
konsep lebih umum dari mental dan eksternal. karena dalam filsafat Sadra, mental masih bagian dari gradasi eksistensi sehingga disebut dengan 'wujud zihni'.

Dalam kata lain, kontradiksi tidak berasal dari eksternal dan juga tidak berasal dari mental. Kontradiksi hanya konsep semata yang tidak memiliki akar realitas sama sekali, baik di mental maupun di eksternal.

Oleh karena itu mesti dipahami bahwa konsep-konsep dibenak kita tidak memiliki derajat yang sama, sebagian memiliki akar di alam eksternal, sebagian di mental, dan sebagiannya hanya kontruksi kita saja tanpa punya pijakan apapun, baik eksternal maupun internal.

5) lalu bagaimana kita bisa memiliki konsep kontradiksi?

konsep kontradiksi atau yang lebih luas lagi konsep-konsep yang terkait dengan ketiadaan berangkat dari sebuah pengasumsian (tsubut) bahwa ketiadaan seperti kontradiksi diasumsikan keberadaannya dan berdasarkan asumsi tersebut dibangunlah hukum-hukum dan kaidah-kaidah yg terkait dengan ketiadaan.

6) Bagaimana pertama kali mental kita menangkap ketiadaan?
Mental kita mengasumsikan keberadaan sesuatu terkadang melalui lawan dari suatu konsep tertentu, misalnya setelah menangkap konsep 'ada', secara otomatis benak kita menangkap lawannya yaitu tiada, kemudian dari konsep tiada tersebut, benak kita mengasumsikan keberadaannya, setelah itu barulah akal menjelaskan kaidah-kaidah yang terkait dengan tiada. Jadi hal-hal yg tiada, imajinasi kita memberikan asumsi keberadaannya.

karena itu dalam epistemologi islam, mental memiliki beragam fungsi; selain menangkap hakikat-hakikat eksternal, kerja lainnya memberikan asumsi keberadaan pada hal-hal yang tiada.

Oleh karena itu, ketiadaan tak ada di realitas eksternal, dan juga tak ada di mental, namun mental kita mampu mengasumsikan keberadaannya sehingga kita bisa mendiskusikannya dan membahasnya. Jadi keberadaannya adalah keberadaan yang diasumsikan saja.

Dengan demikian, berkat mental, kita bisa berdiskusi tentang sesuatu yang tidak memiliki misdak di alam eksternal.

Mengasumsikan disini dalam pengertian memberikan tsubut (atau membuat relasi subjek predikat, misalnya tiada adalah ada, maksudnya mental kita mengasumsikan keberadaannya
dalam konsep hingga diturunkan dalam bentuk proposisi).

Maksud dari asumsi disini adalah penetapan (tsubut), maksudnya mental kita mengasumsikan keberadaannya, sebab tiada adalah tiada, tak punya pijakan realitas, baik eksternal maupun internal. karena itu mental kita mengasumsikan keberadaan tiada atau memberikan penetapan padanya (tsubut). Jadi di mental, tiada menjadi ada dan berkat mental kita yang memberikan (tsubut) penetapan.

Dalam kata lain, kekuatan mental kita mampu memberikan tsubut dan mengasumsikan tiada adalah ada. sehingga memiliki subjek dan predikat.

Hormat Kami
Moderator Grup Telegram Dialektika Pemikiran

Muhammad Nur Jabir

Wednesday, September 23, 2015

Setiap Eid adalah Eid Qurban

Setiap Eid adalah Eid Qurban

Jalaluddin Rumi menakwil 'eid' atau Hari Raya sebagai jalan membuka gembok penjara sehingga orang-orang yang terpenjara mendapatkan kebebasan. Bukan hanya orang-orang yang terpenjara oleh materi, namun juga mereka yang terpenjara oleh kekuasaan, terpenjara oleh ketamakan, terpenjara oleh dengki dan hasud, dan lain-lainnya.

Karekteristik 'Eid' ialah memecahkan gembok penjara dan memecahkan cengkraman lingkaran kesesatan yakni dari penjara kezaliman, penjara keterikatan, penjara kejumudan, penjara keterasingan atas diri sendiri, penjara kesepian, serta penjara keterpisahan.

Kata Rumi;

Aku datang lagi bagai Eid agar kubuka gembok-gembok penjara,
dari cengkraman dan taring kanibal.

Orang-orang yang terpenjara di tanah akan merobek bumi. Benih-benih yang sebelumnya terjebak ditanah secara perlahan mulai menampakkan dirinya dan menjadi hijau. Dan yang lebih penting dari segalanya bahwa badan dalam pandangan sufistik adalah penjara dan 'Eid' ruh yang merobek penjara badan. Maksudnya ruh berhasil mendominasi badan dan keluar dari cengkraman badan.

Kata Rumi;

alam ini adalah penjara dan kita adalah orang-orang yang terpenjara,
runtuhkanlah penjara dan jadikan dirimu orang-orang yang bebas.

Sebab itu mati adalah Eid sehingga kematian menemukan maknanya yang baru. Sebab berada pada singgasana mendominasi bukan didominasi. Namun kematian ini bukan kematian sebagai akhir dari kehidupan akan tetapi kematian iradah dimana kematian iradah adalah Qurban itu sendiri. Berdasarkan pemaknaan ini setiap Eid adalah Eid Qurban. Mengorbankan kegelapan di singgasana istana cahaya, mengorbankan kejumudan di kaki puncak pengetahuan dan nalar.

Takdir terbaik bayangan dan kegelapan adalah menjadi quban cahaya. Sebab itu Rumi mengatakan;

musuh adalah kita sendiri dan biarkan kekasih membunuh kita,
kita tenggelam dalam lautan dan kita akan terbunuh oleh ombak.

Pengorbanan adalah karekteristik Eid. Sebab itu setiap Eid meniscayakan qurban. Kegelapan adalah qurbah cahaya, kekerdilan adalah qurban keagungan, dan kekerasan adalah qurban kasih sayang dan kelembutan.

Sebagian orang menyangka Eid adalah fenomena eksternal dan kejadian yang baru yang realitasnya berada diluar eksistensi manusia. Namun hakikatnya, Eid yang meniscayakan kebaruan, tidak terjadi diluar eksistensi manusia. Selama batin manusia tidak memberikan kebaruan, alam realitas eksternalnya pun tak akan memberikan kebaruan. Kebaruan batin adalah hasil dari proses panjang yang dibarengi dengan derita dan penderitaan.

Manusia yang tak mengalami derita dan mencicipi pahit serta tak merasakan penantian, dirinya tak akan merasakan manisnya batin kebahagiaan. Baginya, kenikmatan alam selalu saja berlalu dan tak memberikan warna baru bagi dirinya. Padahal nikmat setiap saat selalu saja baru dan baru.

Akhirnya kami segenap pengurus beserta admin Rumi Institute mengucapkan selamat Hari Raya Qurban.

Mohon maaf lahir dan batin.

Direktur Eksekutif Rumi Institute
Muhammad Nur Jabir

Thursday, September 10, 2015

Pandangan Dunia Jalaluddin Rumi

Tiga unsur utama yang membentuk pandangan dunia Rumi; realitas, makrifat, dan subjek yang mempersepsi. Semua orang meyakini termasuk Rumi bahwa tak ada yang meragukan keberadaan realitas eksternal, suatu keberadaan diluar hakikat diri kita atau diluar benak kita. Dalam sejarah pemikiran, hanya kaum shopis saja yang mengingkari keberadaan realitas eksternal secara mutlak. Namun terlihat dalam keseharian mereka tidak mengamalkan apa yang mereka yakini sendiri karena mereka masih beraktifitas dengan entitas-entitas realitas eksternal.
Sebenarnya realitas itu apa ? Para pemikir telah menguraikan beberapa definisi terkait dengan makna realitas. Namun realitas secara sederhana dapat dimaknai dengan keberadaan yang tidak bergantung kepada pemahaman kita. Maksudnya keberadaan realitas tersebut tidak bergantung pada persepsi kita. Ada dan tidaknya tidak bergantung kepada benak kita. 
Maulana Rumi juga memahami realitas sebagai keberadaan yang keberadaannya tidak bergantung pada persepsi kita. Tapi Rumi tidak berhenti disini, Rumi membuka ruang baru atas pemaknaan realitas. Menurutnya, terjalin relasi yang begitu erat antara realitas dengan potensi yang dimiliki manusia sebagai subjek yang mempersepsi. Jika manusia menguatkan faktor-faktor pendukung dalam mempersepsi sesuatu maka ia akan menemukan realitas-realitas yang baru. Misalnya jika manusia mempertajam persepsi intuisinya seperti potensi dalam menangkap keindahan, maka ia akan mampu memaknai keindahan-keindahan yang ada di realitas eksternal yang selama ini mungkin saja ia yakini sebagai sesuatu yang tidak indah.
Pemaknaan baru atas realitas dalam pandangan Rumi sama sekali bukan dalam pemaknaan bahwa kitalah yang menciptakan realitas. Sebab maksud Rumi dalam persoalan ini yaitu jika potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia terbuka dan teraktual, maka manusia akan memiliki relasi-relasi yang lebih luas. Sama sekali bukan dalam pemaknaan bahwa kitalah yang menciptakan realitas. Sebagaimana dalam syair Rumi berikut ini;
تا رهد زین عقل پرحرص وطلب       صد هزاران عقل بیند بوالعجب  
Jika akal yang penuh dengan rakus dan tamak ini bebas
Wahai bul ‘Ajab! Ratusan akal akan terlihat
M.M, Bag 4, 3649) 

Persoalan pandangan dunia bagi Rumi sangat terkait dengan keterbukaan aspek pencarian tujuan dan pemaknaan dalam diri manusia. Jika manusia hanya disibukkan dan tenggelam dalam fenomena-fenomena keseharian dan terperangkap dalam keinginan-keinginan hawa nafsu, aspek pencarian pemaknaan dan tujuan dalam dirinya akan redup, bahkan dia tak kan lagi mampu bergerak lebih jauh dalam mengaktualkan dirinya. Hati, intuisi, dan memaknai cita rasa kehidupan menjadi faktor penggerak dalam menemukan realitas-realitas yang baru.
Contoh sederhana, bayangkan jika kita mengumpulkan seluruh kitab-kitab penting dunia seperti buku-buku filsafat, irfan, tasawwuf, kemudian kita menghilangkan bagian yang terkait dengan intuisi, hati, dan makna hidup, apakah buku-buku tersebut masih mendapatkan tempat dan layak dibaca?
Hal yang paling utama dalam diri manusia adalah karena manusia mempertemukan dua realitas utama; materi dan immateri. Manusia seperti kanal penghubung antara dua lautan; lautan materi dan lautan immateri. Sebab itu Rumi dalam hal ini sangat meyakini bahwa manusia tidak menciptakan realitas tersebut namun menemukannya. Dan intinya terletak pada fakultas persepsi manusia yang mesti diaktualkan sehingga mampu membuka realitas-realitas baru.
Pandangan dunia Rumi adalah sebuah pandangan dunia yang berusaha mengoptimalkan segala potensi yang ada di dalam diri manusia. Beragam potensi berupa fakultas dapat ditemukan dalam diri manusia dan potensi tersebut dapat meluas jika menemukan keterbukaannya. Berdasarkan pandangan ini, pandangan dunia Rumi juga tentunya dapat dipahami sebagai pandangan dunia yang terbuka mengikuti fakultas manusia yang senantiasa berpotensi menemukan keterbukaan dan keterluasan. 
Dari sini kita akan terlihat relasi antara pandangan dunia dengan dasar pemikirannya. Maksudnya sistem pemikiran Rumi sebagai sistem terbuka akan terlihat dengan jelas dalam aktualitas pemikirannya berikut ini;

1. Metode dalam Cerita dan Kisah
Kejeniusan Rumi dapat terlihat bagaimana ia menggunakan suatu kisah dan cerita dalam menjelaskan makna yang ingin disampaikan.  Rumi sama sekali tak peduli apakah kisah dan cerita tersebut benar adanya atau salah. Apa yang penting baginya adalah menyampaikan pesan dengan memanfaatkan suatu kisah atau cerita. Dalam Matsnawi ia mengakui hal tersebut;  
هم مثال ناقصی دست آورم        تا ز حیرانی خرد را واخرم 
Terkadang analogi (kisah) yang tak sempurna aku sampaikan
Hingga ku katakan, ku bawa akal pada keterpesonaan 
M.M, Bag 4, 424)
    
Kritik terhadap kisah dan cerita yang disampaikan Rumi dalam syair-syairnya menurut pandangan ini tidak tepat sebab Rumi sama sekali tidak peduli apakah kisah itu benar atau salah dan apakah kisah tersebut sempurna atau tidak semppurna. Tugas Rumi adalah menyampaikan prinsip-prinsip filosofis, pondasi pandangan dunia, manusia dan kemanusiaan, serta persoalan-persoalan Ilahiyyat melalui kisah, cerita, dan analogi sehingga kaum awam dapat memahaminya.

2. Paradigma Pandangan Dunia
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sepintas mengenai pandangan dunia dalam pemikiran Rumi. Selanjutnya akan kami paparkan paradigma yang membentuk pandangan dunia Rumi;
a) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Rumi tidak meragukan alam eksistensi sebagai suatu realitas yang nyata. Fenomena-fenomena seperti gerak, perubahan, paradoksikalitas alam semesta, serta proses gerak menyempurna dari materi menuju tingkatan eksistensi yang lebih sempurna, seluruhnya adalah bukti nyata keberadaan alam eksistensi. Namun penekanan Rumi yaitu membuktikan keberadaan suatu realitas melalui keterbukaan dan mengaktualkan dimensi-dimensi serta fakultas-fakultas manusia. Terminologi yang digunakan Rumi dalam menjelaskan potensi dan dimensi adalah dengan terminologi mata hati, akal, dan yang dipersepsi. 
خاصه چشم دل که آن هفتاد توست      پیش چشم حس که خوشه چین اوست 
Khususnya mata hati yang memiliki 70 batin
Sedangkan mata lahir ini himpunan pemungutannya.
M.M, Bag 4, 338)

غیراز این معقول ها. معقول ها       یابی اندر عشق پُرفرّوبها
selain dari konsep-konsep ini, ada konsep-konsep lain
Akan kau temukan dalam keagungan dan kemuliaan cinta
(M.M, Bag 5, 3233)

Sayangnya banyak yang salah memahami dari syair-syair Rumi sehingga menganggap Rumi penganut aliran idealisme. Mungkin karena Rumi lebih banyak menaruh perhatian kepada aspek internal manusia. Asumsi tersebut terjadi karena mereka tidak memahami maksud dari syair-syair tersebut. Apalagi jika meyakini bahwa pandangan dunia Rumi adalah pandangan dunia yang terbuka, maka Rumi tidak akan dibatasi dalam satu isme tertentu.
b) Maulana Rumi dalam berbagai karyanya tidak membuktikan secara langsung mengenai keterbatasan alam ini. Meski demikian Rumi meyakini apapun yang ada di alam ini, eksistensi mereka tak lagi memiliki realitas dihadapan keagungan dan kebesaran Tuhan. 
Eksistensi alam ini bagi Rumi tidak abadi dan tidak pula kekal. Bahkan jika pun toh  alam ini diasumsikan seolah tak ditemukan batasan akhirnya, namun mesti tetap diasumsikan keterbatasannya. Sebab biar bagaimanapun kita telah menjangkau alam ini melalui eksistensi dan persepsi kita sendiri. Sebab jika persepsi kita mampu menjangkaunya hal ini menunjukkan bahwa realitas tersebut terbatas. Dalam Matsnawi Rumi menjelaskan;
  حق آن كه دايگى كردى نخست            تا نهال ما ز آب و خاك رست
Demi Tuhan, dengan pemeliharaannya hingga ranting kami mengalir air
Tanah tumbuh dan berkembang
          حق آن شه كه ترا صاف آفريد            كرد چندان مشعله در تو پديد
Demi Tuhan yang telah menciptakanmu dengan kelembutannya
Dan obor bintang yang menyala-nyala menyinari dadamu 
         آن چنان معمور و باقى داشتت            تا كه دهرى از ازل پنداشتت‏
Begitu kokoh dan kekal menciptakanmu
Sehingga materialisme mengira dirimu azali 
         شكر دانستيم آغاز ترا            انبيا گفتند آن راز ترا
Kami bersyukur pada Ilahi, karena kami tahu dirimu berawal
Para Nabi telah menjelaskan rahasia dirimu 
         آدمى داند كه خانه حادث است            عنكبوتى نه كه در وى عابث است   
Manusia tahu, rumah itu berawal dan baru
Namun laba-laba yang bernaung dirumahnya tak kan tahu
(M.M, Bag 2, 2316-2320) 
     
Hukum yang berlaku di alam eksistensi ini menurut Maulana Rumi bahwa alam eksistensi dalam keberlangsungannya terus menerus dijaga oleh Tuhan. Keterjagaan alam ini setiap saat dan terus menerus oleh Tuhan adalah bukti keterbatasan alam karena segala entitas di alam ini senantiasa membutuhkan pancaran emanasi Ilahi. Pada saaat yang sama bersamaan dengan pancaran emanasi Ilahi, kehendak Ilahi pun akan selalu menyertai dalam setiap pancarannya.
   قرنها بگذشت و اين قرن نوى است            ماه آن ماه است آب آن آب نيست‏
Abad-abad telah berlalu, dan ini abad baru,
Bulannya, bulan-bulan itu juga, namun airnya, bukan air itu lagi.
         عدل آن عدل است و فضل آن فضل هم            ليك مستبدل شد آن قرن و امم‏
Keadilan adalah keadilan itu juga, pengetahuan pun pengatahuan itu juga,
Namun abad-abadnya dan kaum-kaumnya telah berganti.
         قرنها بر قرنها رفت اى همام            وين معانى برقرار و بر دوام‏
Wahai manusia besar! Abad-abad pergi silih berganti,
Namun pemaknaan ini kekal dan abadi.
         آب مبدل شد در اين جو چند بار            عكس ماه و عكس اختر برقرار
Air di aliran ini telah berganti beberapa kali,
Namun gambar bulan dan bintang tetap
         پس بنايش نيست بر آب روان            بلكه بر اقطار عرض آسمان
Sebab itu paradigmanya bukan pada air mengalir,
Namun pada hamparan singgasana langit.  

Wednesday, August 19, 2015

Naive Wahdatul Wujud

Wujud dalam pandangan Ibn Arabi;

1. Wujud tak dapat didefiniskan.

2. Wujud adalah hakikat tunggal. Sebab itu tidak terkait dengan univokal (musytarak maknawi) dan equivokal (muyatarak lafzi) karena hanya ada satu wujud.

3. Seluruh kesempurnaan-kesempurnaan akan kembali kepada hakikat wujud.

4. Wujud tidak bergradasi. Namun gradasi terjadi pada manifestasi (tajalli), bukan pada wujud.

5. Wujud identik dengan cahaya.

6. Wujud identik dengan ketunggalan.

7. Wujud identik dengan keniscayaan.

Menurut urafa, wujud tidak terbagi pada wujud wajib dan wujud mumkin. Bahkan wujud identik keniscayaan dan keniscayaan akan kembali kepada hakikat wujud, bukan kepada partikular-partikular wujud. Paradigma wujud seperti ini disebut dengan wahdatul wujud.

Mehdi Hairi Yazdi menyebut pandangan wujud Ibn Arabi dengan sebutan 'naive wahdatul wujud' yaitu suatu paradigma wujud yang sama sekali tak bisa dianalisa dengan bahasa dan pemahaman serta tak bisa dianalisa secara filosofis. Sebab 'naive wahdatul wujud' tak memiliki satu jenis keragaman apapun sehingga tak bisa dijelaskan dalam kerangka dan kaidah-kaidah filsafat.

Berbeda dengan naive wahdatul wujud dalam tradisi tasawwuf, wahdatul wujud dalam kerangka filsafat masih menerima perbedaan dalam dirinya yang disebut dengan gradasi wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra. Adanya perbedaan ini menyebabkan wujud masih bisa dianalisa melalui bahasa dan pemahaman dengan kaidah-kaidah filsafat. Mehdi Hairi Yazdi menyebut paradigma wahdatul wujud filsafat dengan 'critical wahdatul wujud'.

Monday, August 17, 2015

Apakah Heidegger seorang mistis (sufi)?

Menjawab pertanyaan tersebut sejak awal perlu ditekankan antara sufi dalam pemaknaan sesuatu yang diperoleh dari ‘pengalaman sufistik’ dengan sufi dalam pemaknaan ‘bahasa sufistik’. Heidegger tentu bukan seorang pelaku mistis atau dalam kata lain, filsafat Heidegger sedang tidak menjaskan filsafatnya sebagai hasil dari pengalaman mistik. Sebab tak ada satu pun karya Heidegger yang menjelaskan tentang ‘pengalaman mistik’. Sebab itu jika kita berbicara Heidegger sebagai seorang mistis sebenarnya maksud kita adalah bahasa mistik. Sebab itu pertanyaannya adalah mengapa bahasa Heidegger dipahami sebagai bahasa mistis?

Heidegger menggunakan istilah wujud, hakikat, manusia namun memberikan pemaknaan lain yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Penekanan Heidegger pada istilah tersebut bertujuan untuk menemukan jalan keluar dari problem ‘cogito Descartes’ sehingga tak ada dualitas antara ‘aku’ dan ‘tubuh’ serta ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Pandangan ‘cogito Descartes’ sebagaimana dipahami menjadi pondasi modernitas. Meski demikian, hampir semua gagasan filsafat setelah Descartes berusaha keluar dari keterjabakan dualitas Descartes. Kant, Hegel, dan juga Nietzsche berusaha mencari jalan melampaui gagasan dualitas.

Heidegger termasuk salah satu filsuf yang berusaha keluar dari problem dualitas ‘cogito’. Heidegger meyakini, metafisika telah terjebak dalam nihilisme karena telah melupakan eksistensi. Mereka mencari wujud (existence) namun yang mereka jelaskan adalah maujud (existent). Plato yang pertamakali terjebak dalam nihilisme karena menjelaskan wujud melalui maujud. 

Bahasa mistis Heidegger justru dimulai disini yaitu menafikan dualitas antara ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Metafisika akan menjebak kita melupakan eksistensi sebab yang meraka cari adalah wujud namun mereka menjelaskannya dengan maujud. Sebab itu dualitas mesti dihilangkan sehingga aku dan eksistensi menyatu. Penyatuan dengan hakikat eksistensi sangat akrab dalam bahasa sufistik. Apalagi usaha dan cita-cita kaum sufi berusaha menyatu dengan hakikat eksistensi melalui ‘fana’. Namun kita mesti tetap membedakan antara mistik kaum sufi yang berasal dari pengalaman mistik dengan Heidegger yang hanya bermain dalam ranah bahasa mistik, bukan pengalaman mistik.

Sunday, August 16, 2015

Heidegger dan Kematian

Saat Heidegger berpikir tentang kematian, ada satu pertanyaan menarik tentang kematian yang diajukan oleh Heidegger; bagaimanakah kematian dapat menolong manusia? Menurutnya, menaruh perhatian kepada kematian dapat memberikan pandangan jernih kepada manusia. Heidegger dari satu sisi memberikan penekanan yang berbeda mengenai eksistensi bahwa ‘dasein’ (eksistensi manusia) memiliki dua tingkatan;

1. keterasingan atas eksistensi.
2.  kesadaran atas eksistensi.

Pada tingkatan pertama, manusia hidup dalam dunia entitas-entitas keseharian dan asyik dalam kehidupan keseharian bahkan tenggelam di dalamnya. Ketenggelaman tersebut menghasilkan percakapan-percakapan yang tak bernilai. Pada tingkatan ini, ketertarikan manusia hanya pada bentuk-bentuk eksistensi.

Namun pada tingkatan selanjutnya yaitu pada tingkatan kesadaran atas eksistensi, manusia tidak akan tenggelam dalam entitas-entitas lainnya, namun mampu melampauinya. Keberadaan-keberadaan entitas lainnya akan menakjubkan dirinya dan oleh karenanya, kehidupan dalam tingakatan ini adalah kesadaran terus menerus terhadap eksistensi. Heidegger menyebut tingkatan ini dengan ‘ontological mode’. 

Tingkatan pertama adalah tingkatan kehidupan keseharian dan keterasingan dari eksistensi. Heidegger menganggap tingkatan ini tidak esensi dan tidak memberikan kesejatian manusia. Pada tingkatan ini manusia tidak merasakan tanggungjawab terhadap yang lainnya dan manusia tak dapat membangun dirinya dan dunianya.

Namun ketika manusia sampai pada tingkatan kedua, segala perhatian dan pikirannya tertuju pada eksistensi. Manusia akan menemukan kehidupannya yang sejati. Pada tingkatan ini, manusia memiliki kesadaran sepenuhnya terhadap dirinya; sadar atas potensi-potensi dan juga keterbatasan-keterbatasan dirinya. Fungsi kematian pada tingkatan ini akan semakin jelas. Seseorang dengan pemikiran yang sederhana, dari tingkatan keterasingan atas eksistensi tak kan sampai pada tingkatan kesadaran atas eksistensi. Manusia mesti mengalami beberapa pengalaman tertentu sehingga mampu membangkitkan kesadaran internalnya. Setiap manusia dalam kehidupan kesehariannya pasti berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tak mungkin dihindari dan sekaligus menggugah dirinya. Fenomena tersebutlah yang mengantarkan manusia berpikir mengenai eksistensi. Kematian dan berpikir pada kematian memiliki peran khusus sebab mampu mempersiapkan kepada manusia, kemungkinan memiliki kehidupan yang sejati dan bermakna.     

Friday, August 14, 2015

Apakah Hakikat itu ada?

Jika hakikat itu ada apakah pengetahuan dapat menjangkaunya? Tak ada jalan lain kecuali memulainya dengan ilmu huduri (kehadiran). Setiap persepsi dan 'subjek yang mempersepsi', dilihat dari sisi bahwa ia mempersepsi dirinya sendiri, maka sebenarnya ia memperoleh suatu hakikat yaitu hakikat dirinya sebab persepsi adalah hakikat dan wujud itu sendiri. Pengetahuan dan 'objek yang diketahui' dalam hal ini adalah satu dimana wujud dan 'persepsi ilmu huduri' tak terpisah, tak berbeda, dan tak berbilang sehingga tak bisa dikatakan diantara keduanya ada yang lebih dahulu dari yang lain sebagaimana yang terlihat dalam gagasan Descartes, 'aku berpikir maka aku ada' dimana berpikir atau persepsi mendahului eksistensinya.

Perbedaan antara pikiran dan eksistensi adalah pada konsep dimana konsep terkait dengan pengetahuan husuli (korespondensi). Oleh karena itu, sebagian dari pengetahuan dan realitas atau hakikat wujud tak mungkin diragukan. Berdasarkan hal ini pula, jika kita bisa menemukan hakikat eksistensi (meskipun sebagian dari eksistensi dan bahkan hanya diri kita saja) maka kita mampu keluar dari problem skeptisisme absolut. Pondasi argumentasi gagasan ini begitu kokoh sehingga tak mungkin ada yang meragukannya.

Disinilah rahasianya mengapa pembahasan filsafat selalu diawali dengan 'wujud'. Hal lain yang perlu dipahami bahwa apa yang ditemukan melalui ilmu huduri adalah wujud atau hakikat eksistensi dimana wujud lebih dahulu dari segala bentuk persepsi. Namun 'persepsi konsep wujud' tentu tahapannya lebih terakhir.

Thursday, August 13, 2015

Fenomenologi Instagram

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat 'klise foto' yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti 'dicuci' terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.

Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.

Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan medsos; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia instagram mengapa begitu diminati?

1. Foto selfie; individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, "aku". Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, "diri" adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto 'selfie' membawa 'diri' atau 'aku' pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu 'relasi', relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.

Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya di akun instagram akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.

2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan instagram salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinanya termasuk lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di medsos. Sebagian dari kenikmatan dunia maya sebab memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia medsos.

3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran, keterbatasan dalam memahami akan lebih terasa. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, dalam instagram tak memiliki ruang. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.

Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti samadengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang ada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.

Wednesday, August 12, 2015

Takwil Syair Rumi (8)

Yang kuraih dalam hidupku, tak lebih dari tiga perkataan saja; mentah, matang, dan terbakar.

~ Rumi

Rumi merangkum perjalanan hidupnya dalam tiga hal; mentah, masak, dan terbakar. Ketiga hal itu sebenarnya menjelaskan perjalanan gerak ruhaniyah dirinya sebagaimana sufi lainnya. Tiga hal itu merupakan tangga perjalanan. Namun bagaimana kita memaknai ketiga hal itu?

Sebagian menakwil makna tiga tahapan kehidupan Rumi yaitu mentah, matang, dan terbakar dengan tiga tahapan perjalanan makrifat yaitu ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Ilmu yaqin adalah tahap pengetahuan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan hakikatnya. Misalnya dikejauhan sana saya melihat asap dan melalui asap ini memberikan saya keyakinan bahwa disana ada api. Saya hanya mengetahui asap namun tidak mengetahui secara langsung api tersebut. Tahap ini oleh Rumi disebut dengan pengetahuan yang masih mentah.

Namun seiring dengan perjalanan ruhaniyah, seseorang bisa sampai pada 'ainul yaqin. 'Ainul yaqin dalam contoh sebelumnya adalah mereka yang telah sampai menyaksikan api. Pengetahuannya lebih sempurna dari pengetahuan sebelumnya yang hanya menyaksikan asap. Rumi menyebut dirinya terkait tahapan ini dengan matang karena telah sampai menyaksikan hakikat.

Jika ruhaniyah seseorang memiliki potensi suci yang cukup, ia dapat melanjutkan perjalanan ruhaniyahnya sampai pada tahap bukan hanya menyaksikan api, ia mencelupkan dirinya kedalam api sehingga dirinya terbakar. Jika pada tahap sebelumnya hanya menyaksikan api sehingga mengetahui bahwa api itu panas, namun setelah ia mencelupkan dirinya ke dalam api, bukan hanya tahu bahwa api itu panas, namun juga mengetahui bagaimana api tersebut membakar. Karena itulah Rumi menyebut tahapan ini dengan terbakar dan simbol sebagai puncak pengetahuan yang telah diraih oleh Rumi.

(At-Takāthur):5 - Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yaqin,
(At-Takāthur):6 - niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
(At-Takāthur):7 - dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.

Tuesday, August 11, 2015

Melampaui Kematian

Mulla Abdurrazzaq Lahiji menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma'ad (hari akhir) adalah kembalinya manusia kepada kehidupan setelah menjalani kematian. Sebab itu ma'ad adalah suatu keniscayaan.

Pembahasan ma'ad salah satu persoalan yang penting, bukan hanya bagi kaum teolog namun juga bagi para ilmuan dan pemikir. Seluruh mazhab dalam Islam meyakini ma'ad sebagai bagian dari ushuluddin (prinsip agama). Sebab itu tak perlu ragu mengenai posisi penting ma'ad. Kata ma'ad berasal dari 'aud, artinya kembali. Mengapa hari akhir disebut ma'ad? Karena pada hari itu adalah hari kembalinya manusia kepada kehidupan. Hakikat kehidupan ada pada alam akhirat. Sebab itu disini, di alam dunia bukan kehidupan yang nyata. Alam materi adalah alam ruang dan waktu yang senantiasa mengalami perubahan dan dalam perubahan materi meniscayakan gerak, dan dalam gerak meniscayakan meniada dan meng-ada. Sebab itu pula alam dunia adalah alam simbolik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah persoalan ma'ad adalah persoalan teologi atau termasuk persoalan akal?

Sebagian menjawabnya, oleh karena manusia tak punya jalan menuju hakikat ma'ad dan sangat sulit memahaminya maka persoalan ma'ad adalah persoalan teologi. Maksudnya kita meyakini ma'ad melalui sabda Rasulullah saw. Jika Rasulullah saw tidak menjelaskannya, kita pun tak kan meyakininya.

Sebagian juga meyakini bahwa persoalan ma'ad adalah persoalan  akal. Mereka bersandar pada persoalan baik dan buruk perbuatan manusia karena baik dan buruk perbuatan manusia sifatnya esensi dan fundamental. Sebab hari akhir adalah hari perhitungan. Segala perbuatan baik dan buruk manusia akan dipertanggung jawabkan.

Persoalan ini akan semakin penting dan dibutuhkan disaat seluruh manusia mulai berpikir mengenai kematian dirinya saat mereka hidup. Tak ada manusia yang tak berpikir mengenai kematian dirinya. Sebagian berpikir keras mengenai kematian. Sebagian pula setiap saat berpikir tentang kematian, bahkan sebagian filsuf mendefinisikan manusia sebagai 'eksistensi yang berpikir kematian'. Maksudnya hanya manusia saja yang berpikir tentang kematian dirinya.

Prof Dinani menambahkan, manusia bukan hanya eksistensi yang berpikir tentang kematian dirinya, namun manusia adalah eksistensi yang melampaui kematian dirinya. Maksudnya setelah kita mati, apa yang akan terjadi? Ini yang dimaksud dengan 'melampaui kematian'. Sekarang, keabadian anda setelah mati sangat bergantung pada apa yang telah anda raih di alam ini.

Tuhannya Filsuf dan Tuhannya Nabi

Perbedaan Tuhan para filsuf dan Tuhan para Nabi, Tuhan para Nabi dapat diseru dengan do'a, namun Tuhan para filsuf mesti didialektikakan dan diargumentasikan. Para filsuf seperti ahli matematika sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Namun para Nabi seperti para pecinta yang senantiasa asyik dengan dekat kekasihnya. Lantunan doa dan pujian yang bergumam di bibirnya begitu lembut dalam mengurai keindahan Ilahi dan keagungan Ilahi. Tak heran jika para Nabi pun mengajak kaumnya menuju jalan Ilahi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan amarah. Sebab bahasa hati hanya akan berbekas di hati. Hallaj pernah berkata, "segala lantunan ini untuk kekasih, bukan menjelaskan rahasia Ilahi".

Tuhan bukan hakikat rahasia yang hanya bisa dipahami dengan akal karena bagi yang punya hati dapat memahamiNya dengan cinta. Inilah rahasianya mengapa para Nabi lebih mudah diterima daripada para filsuf. Sebab para Nabi mampu menarik hati yang sedang dahaga mencari Ilahi.

Meskipun doa dan munajat simbol atas ungkapan rintihan kehidupan, namun jauh sebelum itu adalah simbol kehambaan. Sebelum memohon hajat untuk raga, terlebih dahulu memohon menunaikan hajat-hajat hati dan kebutuhan esensi jiwa.

Doa bukan hanya ritual menyeru Ilahi namun juga wahana untuk mengetahuiNya. Bukan monolog, namun juga dialog. Bercakap-cakap berarti dua arah. Dalam berdialog dengan Ilahi, selain menghasilkan kedekatan, juga memberikan pengetahuan. Juga membebaskan ruh, menguatkan iman, dan meluaskan hati serta pemikiran. Manusia akan hadir dengan seluruh eksistensinya dihadapan kehadiran Ilahi.

Kekasih akan merenggut segala eksistensi pecinta, baik itu hati, jiwa, dan pemikiran. Bukan itu saja, bahkan memurnikannya. Dalam doa, selain melantunkan kebutuhan kekasih, juga kebutuhan pecinta. Juga kedekatan, takut, cinta, makrifat, tobat, inabah, kemuliaan, dan ijabah. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan kehidupan dan duniawi, juga keinginan-keinginan ideal dan transenden. Apakah ada selain doa yang mampu menurunkan kemuliaan dan kebaikan ?!

Sunday, August 9, 2015

Sadra dan Filsafat

Keberhasilan Sadra dikarenakan kemampuan dia menggunakan karya ribuan tahun pemikiran sebelumnya. Maksudnya Sadra telah mampu merubah suatu pemikiran dari teori menjadi sebuah wacana.

Kata Sadra, maksud dari teks filsafat itu bukan berarti bahwa kita cukup memahami teori sebelumnya, kemudian mengajarkan kembali teks tersebut kepada orang lain.

Maksud dari teks filsafat itu bahwa dari teori-teori filsafat sebelumnya mesti diawali dengan suatu wacana yang baru. Teori-teori filsafat sebelumnya mesti direnungi dengan pemikiran yang baru.

Jika filsafat hanya dibaca dan dilalui dengan sederhana, sebenarnya kita hanya menghafal saja. Namun kita tak pernah memaparkan suatu pertanyaan yang baru dan bermutu, kecuali kita memang benar-benar tak memiliki pertanyaan.

Namun seorang filsuf yang tak memiliki pertanyaan, apakah bisa disebut sebagai seorang filsuf ?! Filsuf yang tak memiliki pertanyaan, konsep-konsep tersebut hanya dibaca saja dan dipelajari, tak lebih dari hal itu.

Siapa saja yang mengaku berfilsafat tanpa ada pertanyaan fundamental dari dalam dirinya, mungkin dia sedang bergurau atau tak sadar diri. Dan pertanyaan yang saya maksud disini bukan pertanyaan sederhana, namun pertanyaan yang fundamental.

Fenomenologi dan Problemnya

Hirarki atau gradasi salah satu karekteristik hakikat eksistensi. Lokus gradasi hanya pada eksistensi dan tak kan mewujud pada yang realitas yang lain.

Ketika dikatakan bahwa ketunggalan merupakan esensi yang fundamental bagi wujud. Tak semestinya kita berpandangan bahwa ketunggalan hanya aksiden bagi wujud sehingga dikatakan kita mensifatkan ketunggalan pada wujud. Karena mesti dipahami bahwa tak ada sesuatu diluar eksistensi yang dapat mengaksiden pada wujud. Maksudnya, wujud adalah ketunggalan itu sendiri dan ketunggalan adalah wujud itu sendiri. Kedua konsep tersebut, yaitu konsep wujud dan konsep ketunggalan diabstraksi dari satu hakikat.

Oleh karena itu ketunggalan sejati adalah wujud dan wujud sejati juga adalah ketunggalan itu sendiri.

Wujud mutlak yang merupakan wujud murni hanya akan menjelma pada menifastasi-manifestasi. Sebab itu dapat dikatakan, mutlak tak kan nampak kecuali pada determinasi (batasan), sebagaimana kemurnian tak kan nampak kecuali pada yang tidak murni.

Mereka yang pernah membaca filsafat fenomenologi akan memahami bahwa ada ragam pandangan terkait dengan fenomenologi. Namun ada satu kaidah yang diyakini oleh seluruh aliran fenomenologi, "kita senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena".

Kaidah ini mudah dipahami dan diterima karena berakar dari pondasi realitas eksternal. Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa, sebagaimana manusia sebagai entitas yang terdeterminasi senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena, karena manusia bukan entitas yang mutlak yang kosong dari segala bentuk batasan-batasan dan determinasi-determinasi. Sebab mutlak sebagaimana mutlak tak kan berhadapan dengan sesuatu apapun.

Berdasarkan hal ini pula dapat dikatakan, dalam kemutlakan dualitas tak lagi bermakna sebab kemutlakan senantiasa Dipahami sebagai dasar dan sumber. Tentu sesuatu yang dipahami sebagai 'sumber', bagaimana mungkin berhadapan dengan sesuatu dimana sesuatu tersebut muncul dari sumber itu sendiri?

Tak diragukan bahwa fenomena berasal dan diabstraksi dari sumber. Meskipun boleh jadi sumber dari fenomena-fenomena tersebut tak diketahui dan tanpa determinasi. Namun tak diketahui dan tanpa determinasi sama sekali tidak bermakna 'tidak ada'.

Mereka yang menganggap dirinya sebagai seorang fenomenolog, tentu akan menganggap dirinya selalu berhadapan dengan fenomena-fenomena. Selanjutnya asumsi 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena' akan membentuk dan mempengaruhi model kehidupannya.

Karena itu pertanyaan yang mesti dijawab terkait dengan hal ini, "jika kehidupan manusia idealnya dengan 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena', lalu bagaimana kita memaknai kehidupan ini?"

Dalam kata lain, jika kita meyakini manusia hidup dialam ini dan menetap di dalamnya, namun apakah ada orang di alam ini yang dapat menyaksikan seluruh alam dan memposisikan keseluruhan tsb sebagai suatu fenomena?

Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena manusia adalah bagian dari alam ini sehingga tak dapat berhadapan dengan keseluruhan alam ini sebagai suatu fenomena.

Jika kita dapat mempersepsi di alam ini, lalu bagaimanakah kita dapat mempersepsi keseluruhan alam ini sebagai sebuah fenomena?maksudnya apakah mungkin keseluruhan alam ini sebagai objek fenomenologi?

Terminologi Ufuk dan Ideologi

Kata ufuk dalam Quran adalah kata yang sangat penting. Dalam Quran;

{سَنُرِیهِمْ آیَاتِنَا فِی الْآفَاقِ وَفِی أَنفُسِهِمْ حَتَّى یَتَبَیَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ}

(Fuşşilat):53 - Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi (Afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfus)آ, hingga jelas bagi mereka bahwa Dia adalah Al-Haqq (The Truth).

Kata tersebut termasuk salah satu kata yang menunjukkan mukjizat Quran. Ayat ini menjelaskan, kami tunjukkan tanda-tanda kami pada Ufuk-ufuk dan pada jiwa-jiwa (anfus) kalian.

Artinya, 'anfus' itu sendiri juga 'ufuk' yang lain. Maksudnya kita memiliki 'ufuk' eksternal dan juga 'ufuk' internal. Keduanya adalah ufuk. Berdasarkan pada ayat tersebut, seseorang yang bisa menyaksikan tanda-tanda Tuhan adalah mereka yang memiliki ufuk. Manusia tanpa ufuk tak kan memahami sesuatu. Afaq adalah kata jamak dari ufuk.

Jika kita ingin memaknai ufuk secara sederhana, misalnya saat kita duduk pada tempat tertentu dan menyaksikan hamparan alam eksternal (ufuk). Dimana pun engkau saksikan, baik ke barat maupun ke timur, pandanganmu adalah ufuk dan ada batasannya. Apapun yang anda saksikan, itulah ufuk anda. Misalnya saat anda menyaksikan matahari sedang terbit atau terbenam, kemudian anda berpikir jarak antara matahari dengan tempat anda sekitar ratusan kilometer. Namun seberapa jauh anda melangkah itulah ufuk anda dan ufuk tersebut tak ada akhirnya. Maksudnya jika anda terus melangkah ke depan ke arah matahari, apakah anda akan sampai pada ufuk tersebut?

Seberapa jauh pun anda melangkah, ufuk terhampar dihadapan anda. Ufuk tetap ada namun semakin anda melangkah ke depan akan semakin luas. Inilah makna ufuk. Ufuk adalah suatu tempat dimana kita tak kan sampai pada akhirnya. Quran mengatakan anda menyaksikan tanda-tanda Tuhan di ufuk. Jelas, ufuk tersebut bukan dalam pemaknaan fisik.

Ufuk tersebut adalah ufuk pemikiran. Jika anda memiliki pemikiran, pemikiran anda akan memiliki perluasan. Namun setiap anda menerawangnya, anda tak kan sampai pada akhirnya. Ufuk pemikiran anda tak ada akhirnya. Segalanya terhampar luas dihadapan anda. Setiap anda melangkah menuju ufuk, ufuk tersebut semakin terbuka dan terbuka lagi. Pemikiran anda pun demikian halnya, anda berpikir dan pemikiran anda semakin luas. Setiap anda bergerak menuju pemikiran anda, tak kan ada akhirnya. Bahkan ufuk pemikiran akan semakin luas dan tak terhingga. Inilah maksud dari kata Afaq yang merupakan salah satu mukjizat Quran.

Manusia yang tertutup, tak memiliki ufuk dan tak kan memahami sesuatu. Namun seseorang yang memiliki ufuk akan senantiasa terbuka dan ufuknya tak berakhir. Ufuk yang tak berakhir tersebut akan memberikan keluasan hingga tak ada akhirnya. Berdasarkan hal ini, orang-orang yang memiliki ufuk memiliki keluasan dan keterbukaan.

Filsafat tak kan pernah mengajak manusia pada kejumudan dan eksklusifitas. Filsafat yang mengajak pada eksklusifitas, bukan filsafat. Mungkin saja ada yang mengatakan sebagian ajaran ideologi tak memiliki aspek keterbukaan dan cendrung eksklusif. Bahkan sebagian meyakini ideologi suatu keyakinan dusta yaitu hakikat yang dusta. Mereka mengatakan ideologi tak mungkin memiliki aspek terbuka. Sebab itu agama tidak kita anggap sebagai ideologi. Berdasarkan hal itu pula, agama adalah agama yang memiliki aspek batin. Agama pasti memiliki aspek batin yang menunjukkan ketidakterbatasan maknanya.

Jika ada ideologi yang mengajak pada ketebukaan, tentu bukan ideologi namun filsafat. Bahwa ada ideologi yang mengajak pada keterbukaan adalah suatu hal yang baru, karena keterbukaan bermakna menunjukkan sesuatu yang tak memiliki batasan tertentu.

Perlu dipahami bahwa ideologi yang kita kenal saat ini adalah suatu pemikiran yang memiliki batasan dan bingkai tertentu. Namun jika ada yang mengatakan bahwa filsafat islam dan tasawwuf adalah sebuah ideologi pemikiran islam, anggapan ini tidak berdasar dan tak beralasan. Karena tokoh seperti Mulla Sadra tak dapat dianggap sebagai seorang ideolog. Ideologi adalah suatu pemahaman yang berasal dari barat yang tak ditemukan sebelumnya dalam tradisi filsafat islam dan tasawwuf. Akan tetapi mungkin saja ada orang yang menganggap filsafat islam dan tasawwuf sebagai ideologi namun yang pasti orang tersebut hidup di era dan priode kini.

Ideologi adalah pemikiran yang memiliki bingkai dan batasan yang tak mungkin keluar dari batasan tersebut. Ideologi memiliki batasan tertentu dan sang ideolog tak mungkin keluar dari batasan yang telah di tetapkan. Ideologi tak memberikan ruang pemikiran yang lebih luas kepada manusia. Dalam Marxisme anda tak lagi berpikir dan kekuatan berpikir telah dinafikan dari anda sebab anda tak bisa lagi keluar dari batasan pemikiran Marxisme. Artinya selama anda tak mampu mengeritiknya berarti anda mesti terus berada dalam bingkai pemikirannya. Inilah alasannya mengapa Marx sendiri mengatakan, "Aku adalah Marx, namun bukan Marxisme". Marx berkata demikian sebab Marx adalah seorang filsuf. Meskipun Marxisme berasal dari Marx namun Marx tak ingin menjadi seorang ideolog. Berbeda dengan Stalin dan Lenin, keduanya adalah Marxisme. Seorang filsuf tak kan pernah rela menjadi seorang ideolog.

Disini ada pertanyaan, apakah prinsip agama tak bisa disebut sebagai ideologi? Dalam menjawab pertanyaan ini, perhatikan contoh berikut ini; tauhid salah satu prinsip utama dalam agama. Lalu apa makna tauhid? Jika anda mengatakan maknanya Tuhan itu satu, namun 'satu' manakah yang dimaksud apakah satu yang berbilang atau satu yang sejati yang tak mungkin meniscayakan dua? Jika agama sebuah ideologi dan mengatakan pada anda bahwa satu yang dimaksud adalah satu yang berbilang, tentu anda tak lagi bisa mengatakan akidahnya salah. Ideologi terkait dengan perkara yang bersifat profan. Hal yang bersifat profanlah yang bisa dianggap sebagai ideologi.

Hal yang bersifat sacred, sumbernya bukan dari profan. Ideologi meniscayakan ketidakluasan namun agama Ilahi dari sisi kedalaman tak berakhir. Berbeda dengan ideologi yang telah memiliki bingkai tertentu yang tak mungkin lagi di konsepsi tanpa bingkai tersebut.

Jalan agar manusia memiliki aspek keterbukaan adalah melalui tafakkur dan berpikir dengan baik. Seberapa banyak manusia berpikir, sebesar itulah keterbukaan yang dimilikinya. Hakikat dirinya akan terbuka dan semakin meluas sehingga hakikat wujudnya pun semakin meluas. Berdasarkan hal tersebut, semakin sempit pemikiran seseorang, semakin sempit pula eksistensi wujudnya. Kata Sokrates, ketika angin pemikiran menghempas seseorang, biasanya orang tersebut lari bersembunyi di sudut tertentu dan mencari perlindungan. Namun aku (Sokrates) akan mengusung dadaku melawan angin pemikiran tersebut.