Showing posts with label Tafsir Sufi Surah al-Baqarah; Ayat 1-3. Show all posts
Showing posts with label Tafsir Sufi Surah al-Baqarah; Ayat 1-3. Show all posts

Monday, September 1, 2014

Tafsir Sufi Surah al-Baqarah; Ayat 1-3

[Tafsir Sufi Surah al-baqarah];

'Alif lam mim; kitab Qur'an ini tdk ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa'.

Alif lam mim, sebagian mufassir menyatakan bahwa huruf muqatthaah ini hanya dipahami oleh Rasulullah saw karena huruf tersebut adalah simbol dan rahasia antara Allah swt dengan Rasulullah saw. Sebagian mufassir lainnya menafsirkan alif dengan Allah swt, lam dengan ila (kepada) Jibrail as, mim dengan Muhammad saw. Artinya menjelaskan proses wahyu dari Allah swt kepada Rasulullah saw melalui Jibrail as.

Zalikalkitab la rayba fihi. Zalik (itu) isyarah dalam menunjuk sesuatu. Jadi Kitab itu (zalik) meliputi semua tingkatan kitab, mulai dari kitab 'ummul kitab' atau 'kitabin mubin' sampai pada kitab Qur'anan Arabiyan (Qur'an yang ada ditangan kita saat ini yang berbahasa arab). Dalam semua tingkatan kitab tersebut tidak terdapat keraguan sama sekali. Keraguan itu muncul jika berasal dari sesuatu yang diragukan atau bersumber dari realitas yang didalamnya bercampur antara kebenaran dan kebatilan. Karena Qur'an berasal dari hakekat mutlak, hakekat kebenaran, dan hakekat kesempurnaan maka Qur'an juga mutlak benar. Apalagi Rasulullah saw dan Jibrail as keduanya adalah maksum maka Qur'an sampai ke tangan kita juga maksum, dan dikarenakan maksum maka tidak ada lagi keraguan didalamnya.

Hudan lilmuttaqin; petunjuk (yakni Qur'an sbg petunjuk) bagi orang2 yg bertaqwa; Pada pembahasan surah alfatihah sedikit banyaknya telah kami singgung tentang persoalan hidayah. Dalam pembahasan hidayah disini, dijelaskan bahwa Qur'an adalah pentunjuk bagi orang-orang yg bertaqwa. Ada pertanyaan berkenaan dengan hal ini bahwa jika Qur'an adalah hidayah bagi orang yang bertaqwa, kemudian disisi lain Qur'an menyuruh manusia agar bertaqwa, bukankah ini yang disebut dengan 'daur' ? Maksudnya Qur'an menyuruh manusia untuk bertaqwa namun disisi lain yang bisa menerima Qur'an adalah orang bertaqwa ? Dalam menjawab pertanyaan ini, pada tafsir surah al-fatihah telah kami jelaskan bahwa hidayah ada dua yaitu hidayah internal (dalam diri manusia yaitu perkara fitrawi; akal dan qalbu) dan hidayah eksternal (diluar diri manusia yaitu Qur'an dan maksumin). Karena itu, yang dimaksud Qur'an dengan hudan lilmuttaqin (petunjuk bagi orang yg bertaqwa) yaitu menjelaskan syarat bahwa untuk mendapatkan cahaya Qur'an disyaratkan adanya kesiapan dalam diri manusia, dan kesiapan itu adalah hidupnya fitrah dalam diri manusia. Maksudnya taqwa didasari pada hidupnya fitrah dalam diri manusia. Jika fitrah ini terjaga, maka dirinya mampu menerima cahaya Qur'an, tentu pada batas keluasan fitrahnya (dalam hal ini qalbu dan akal). Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa Qur'an merupakan hidayah bagi semua manusia (hudan linnas). Disini seolah ada pertentangan antara hudan linnas dengan hudan lilmuttaqin. Namun tidak demikian, akan tetapi maksudnya yaitu meskipun Qur'an hidayah bagi semua manusia tanpa terkecuali, namun yang mendapatkan banyak manfaat adalah yang memiliki ketaqwaan, dan ketaqwaan yang dimaksud disini paling minimal masih adanya nilai-nilai fitrawi di dalam dirinya. Contohnya, jika ada seorang yg sakit hingga mengakibatkan matanya buta, maka pada saat matanya buta tentu tidak lagi bisa menikmati cahaya matahari. Meskipun cahaya matahari mendatanginya namun ia tak lagi dapat memanfaatkan cahaya tersebut. Begitu juga jika fitrah seseorang telah buta, tentu ia tak lagi bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk dari luar dirinya. Meskipun setiap saat petunjuk tersebut datang menghampirinya.

Allazina yu'ninuna bilghayb; (yaitu mereka yang beriman thdp yg gaib); Salah satu makna iman yaitu diikrarkan dengan lisan, ditashdiq dengan qalbu, dan mengamalkannya. Maka iman meliputi ketiga unsur tersebut. Mereka yg mengikrarkan iman dengan lisannya tanpa adanya keyakinan pada qalbunya disebut dengan munafiq. Jika qalbunya meyakini namun tidak mau mengikrarkan dengan lisan maka dia menyangsikan (inkar), dan jika mengamalkan sesuatu yg tdk sejalan dengan keyakinan (keimanan) disebut dengan fasiq. Dalam surah al-hujurat ayat 14 menunjukkan bahwa qalbu adalah wadahnya iman. Maksudnya tempatnya iman itu pada qalbu. Pada ayat ini Rasulullah saw menegur sekelompok orang arab yang mengatakan bahwa diri mereka telah beriman, karena itu Rasulullah saw mengatakan kepada mereka bahwa cukup anda katakan 'kami berislam' karena iman belum masuk ke dalam qalbumu. Dalam surah mujadalah;22 Allah swt berfirman; kamu tidak akan mendapati suatu kaum yg beriman kepada Allah swt dan hari akhirat, mencintai orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang itu adalah ayah, anak, saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka . . . Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa 'pada saat orang mencuri tak ada keimanan didalamnya'. Dalam hadits ini dapat dipahami bahwa ruh iman dan hakekat iman tidak bisa bercampur dengan kemaksiatan karena kemaksiatan adalah menentang Allah swt (tdk mematuhi perintahnya), dan menentang Allah swt tentu bermakna tidak beriman kepadanya. Oleh karenanya disaat seseorang berbuat maksiat maka pada saat itu tak ada keimanan didalamnya. Lalu siapa saja mereka yang dapat memiliki ruh iman dan hakekat iman ? Mereka yang telah memiliki akal teoritis dan akal praktis adalah mereka yang dapat meraih ruh iman dan hakekat iman. Karena melalui akal teoritis, mareka mencari kebenaran-kebenaran dan kemudian menimbang keyakinan tersebut dengan akalnya. Mereka tidak taklid buta (tanpa pertimbangan akal) dan fanatis terhadap keyakinan orang tua dan nenek moyang mereka. Sehingga dengan akal teoritisnya mereka sampai pada ilmu yakin. Setelah itu mereka masuk pada akal praktis yaitu mulai mengamalkannya. Tugas pertama yang ia lakukan yaitu mujahadah dengan hawa nafsunya atau menundukkan hawa nafsunya sehingga amal yang ia lakukan senantiasa berdasarkan dengan syariat Ilahi sehingga akhlaqnya adalah akhlaq Ilahi. Ulama kita mengatakan bahwa kesempurnaan manusia, kesempurnaan iman, dan hakekat taqwa diperoleh dengan terjalinnya hubungan dengan alam rububiyah dan tidak cinta pada makhluk, qalbunya senantiasa tertuju pada Tuhan dan hakekat kebenaran sehingga qalbunya tidak disibukkan dengan perkara-perkara selain Tuhan. Dalam memperoleh segala hal tersebut, 1) jalannya dengan mengaktualkan potensi pikir (quwwah aqilah) melalui tadabbur, kontemplasi, dan senantiasa berpikir tentang ayat-ayat Ilahi (Qur'an dan segala realitas yang ada) sehingga imannya bertambah melalui akalnya dan pengetahuannya sehingga ia tidak taklid buta. Semakin dalam manusia tafakkur pada ayat-ayat Ilahi maka rahasia2 akan dibukakan pada dirinya. Maka dirinya akan senantiasa tertarik pada perkara-perkara Ilahi. 2) jalan selanjutnya dengan mengaktualkan potensi amaliyahnya (quwwah 'aamilah) yaitu manusia senantiasa memperhatikan tujuan akhirnya yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt karena pada akhirnya manusia akan kembali ke singgasana Ilahi. Karena itu ia lebih mendahulukan Qur'an dan syariat dalam menjalani kehidupan kesehariannya sehingga ia senantiasa berada dalam koridor shirathal mustaqim. Kesimpulannya, dalam meraih kesempurnaan Ilahi, manusia mesti mengosongkan dirinya dari sifat hewaniyah kemudian mengisi jiwanya dengan akhlak Ilahi sehingga qalbunya menjadi singgasana Ilahi sebagaimana Sabda Rasulullah saw bahwa qalbu mu'min arasy Rahman (arasy Ilahi). Juga dalam hadits Qudsi dijelaskan 'bumi dan langit tidak dapat menampung diri-Ku kecuali qalbu hambaku yang mu'min'. Mungkin ini yang dimaksud dengan istilah hikmah dalam Qur'an (surah albaqarah;269) bahwa hikmah adalah kebaikan yang melimpah ruah (khairan katsiran) yaitu mereka yang telah mengaktualkan potensi pikir dan potensi amal (quwwah aqilah dan amilah), karena qalbunya telah menjadi singgasana Ilahi. (Beriman pada yg gaib); pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa iman dan hakekat iman (bukan taklid buta) berkenaan dengan aktualisasi fakultas pikir dan amal. Aktualisasi fakultas tersebut tentu sebatas kemampuan dirinya. Maksudnya semakin dalam ia berpikir dan semakin kuat ia mengamalkannya maka imannya pun akan semakin dalam. Maka dari aktualisasi fakultas tersebut akan terlihat derajat iman atau tingkatan iman yang berbeda-beda. Ada yang sampai ilmu yaqin yaitu keyakinan dengan argumentasi, ada yg sampai pada 'ainul yaqin yaitu dengan musyahadah atau penyaksian, bahkan ada yang sampai pada haqqul yaqin yaitu sebuah bentuk penyaksian yang lebih tinggi dari 'ainul yaqin. Berdasarkan hal ini, maka yg dimaksud dengan iman terhadap gaib yaitu iman terhadap Allah swt (karena Dia absolut dan tak terbatas), dan munculnya Imam Mahdi as serta hari kiamat (karena tak ada manusia yg mengetahuinya), surga, neraka, dst. karena gaib adalah sesuatu yg tidak nampak melalui indra kita. Bahkan untuk manusia yg hidup pada saat ini, iman terhadap Rasulullah saw termasuk iman kepada yang gaib karena kita tidak menyaksikan wujud Rasulullah saw termasuk para maksumin lainnya. Karena itu iman diakhir zaman ini membutuhkan tingkat keimanan yang lebih dibandingkan dengan mereka yg bisa secara langsung menyaksikan wujud para maksumin. Iman terhadap yang gaib melazimkan amal-amal qalbu. Amal-amal qalbu yang dimaksud adalah tazkiyah (pensucian), dan tazkiyah adalah mensucikan qalbu dari dorongan-dorongan atas kebahagiaan badaniyah karena jika kebajagiaan badaniyah ini dituruti akan mencegah dalam meraih kenikmatan dan kebahagiaan lainnya. Karena kebahagiaan itu ada 3, ada kebahagiaan qalbu, kebahagiaan badan, dan kebahagiaan seputar badan. Kebahagiaan qalbu diantaranya pengetahuan-pengetahuan, aturan-aturan syariat, kesempurnaan ilmu dan amal. Kebahagiaan badaniyah diantaranya kesehatan, kekuatan, kelezatan jismani, dan syahwat. Kebahagiaan seputar badan adalah harta dan fasilitas-fasilitas. Imam Ali mengatakan 'ketahuilah, sesungguhnya sebagian dari nikmat itu adalah keluasan harta, dan keluasan harta yang paling baik adalah sehat jismani dan ketaqwaan pada qalbu'. Berdasarkan hal ini, manusia mesti menkualifikasikan yang pertama untuk meraih yg terakhir dengan zuhud dan ibadah.

Maka 'mendirikan sholat' (wa yuqimunasshalah) yaitu dengan sholat bermakna meninggalkan kesenangan badan dan menyibukkan fakultas-fakultas badan. Karena itu sholat merupakan ibu dari ibadah-ibadah karena dengan solat merupakan awal tonggak terhadap yang lainnya, sebagaimana firman Allah swt 'sesungguhnya solat itu mencegah dari perbuatan2 keji dan munkar' (al-ankabut;45). Karena solat itu dipikul oleh badan dan nafs (jiwa), dan tentu membuat keduanya tidak senang dan menderita. Karena itu selanjutnya diikuti dengan 'wa mimma razaqnahum yunfiqun' (dan menafkahkan sebagian rezeki yang telah Kami anugerahkan kpd mereka). Maksudnya, menafkahkan harta berarti manusia tdk memberikan kecintaannya pada material dimana material ini sesuatu diluar dirinya dan sesuatu yang tidak memberikan kesempurnaan ruhaniyah diakhirat kelak kecuali dinafkahkan di jalan Allah swt, karena itu, menafkahkan harta mengajarkan manusia agar manusia hidup zuhud. Zuhud itu bukan meninggalkan dunia, namun tidak cinta pada dunia. Ayat 4-5; 'dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat'. 'Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka. Dan merekalah orang-orang yang beruntung'. Maksudnya dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa hakekat iman meliputi atas 3 bagian tersebut. Kemudian hal ini melazimkan amal-amal qalbu yaitu tahliyah (mensucikan batin) sehingga qalbunya terhiasi dengan syariat-syariat dan pengetahuan-pengetahuan yg diturunkan pada kitab-kitab Ilahiyah, termasuk pengetahuan-pengetahuan yang berkenaan dengan ma'ad dan seputar ma'ad, berkenaan dengan akhirat, dan hakekat-hakekat ilmu Qudsi, karena itu pada ayat tsb dijelaskan mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat (yuqinun). Iman ini yaitu beriman kepada kitab-kitab Ilahi juga berlaku pada mereka ahli akhirat. Ahli akhirat adalah mereka yang belum melampaui batas tazkiyah (masih dalam proses tazkiyah) dan belum sampai pada tahliyah dimana tahliyah merupakan warisannya sebagaimana Maksumin mengatakan; 'barang siapa yg mengamalkan atas yang dia ketahui, niscaya Allah swt akan mewariskannya pengetahuan yg tdk ia ketahui'. Namun orang-orang muqinun (contohnya pada Nabi Ibrahim as, lihat surah al-an'am;75) adlah mereka yg telah dianugerahi hidayah dari Ilahi (hudan minrabbihim), baik thdp dirinya sendiri atau pada amalnya, karena itu merekalah orang-orang muflihun (orang2 yg beruntung). [Albaqarah;6-7]; mereka adalah orang-orang yang terpisah dari jalan sebelumnya (orang-orang beriman) yakni mereka adalah orang-orang kafir, orang-orang kafir adalah orang-orang yang tak lagi berfungsi baginya sebuah peringatan. Diberikan peringatan atau pun tidak baginya sama saja. Puncaknya adalah sampai pada pintu-pintu pengetahuan Ilahi baginya telah tertutup. Sehingga karena mereka tidak menginginkan Ilahi sehingga Allah swt menutupnya. Pintu pertama yang tertutup adalah pintu batin yaitu qalbu karena qalbu merupakan singgasana Ilahi dan juga berfungsi sebagai tempat datangnya ilham. Pintu kedua yg tertutup adalah pintu zahir yaitu pendengaran dan penglihatan karena keduanya adalah pintu pehamaman dan peng-iktibaran (abstraksi atau peristilahan-peristilahan) sehingga jalan keduanya utk sampai pada qalbu juga tertutup. Dan karena semua pintu tertutup, maka yang ia dapatkan adalah azab yg besar.