Thursday, February 27, 2014

Filsafat Sejarah

[Dimensi Universal ajaran para Nabi dalam Quran]
Sebagaimana dipahami bersama, jika kita memandang dari sisi ruang dan waktu maka para Nabi terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Para Nabi Secara periodik, ada yang lebih dahulu dan ada yang lebih terakhir.  Maksudnya bahwa keterpisahan jarak beserta ruang dan waktu disebabkan oleh keniscayaan materi. Namun meskipun demikian, hal yang mesti dipahami bahwa para Nabi secara substansi adalah hakekat yang tak terpisahkan dan suatu realitas yang tersambung dari awal hingga akhir.
Rahasia mengapa para Nabi merupakan hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir, dikarenakan para Nabi merupakan manifestasi agung Ilahi. Oleh karenanya, sebagaimana Allah swt memanifestasikan dirinya dalam nama-namaNya dan nama-namaNya pun kemudian memanifestasikan dirinya dalam beragam bentuk, namun pada saat yang sama nama-nama tersebut merupakan satu hakekat yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir. Mengikuti hal tersebut, maka para Nabi pun merupakan satu hakekat yang tersambung dari awal hingga akhir sebagai manifestasi nama agung Ilahi. Hal ini menyadarkan kita bahwa hakekat kebenaran juga merupakan suatu realitas yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir, mengikuti para Nabi sebagai manifestasi dari hakekat kebenaran dari para Nabi yang juga merupakan manifestasi dari Ilahi.
Dari sini pun dapat dipahami bahwa kebatilan sebagai lawan dari hakekat kebenaran  adalah suatu hal yang terpisah-pisah serta terceraiberai dan karena itu pula kebatilan tak memiliki realitas yang tunggal. Jika hakekat kebenaran itu eksistensinya tetap maka kebatilan adalah kesirnaan dan tak memiliki pondasi.
Ajaran para Nabi, melalui hakekatnya yang tersambung dari awal hingga akhir, maka para Nabi pada hakekatnya penyambung masyarakat manusia dari dahulu hingga akan datang. Jika kita mengikuti realitas ini, maka filsafat sejarah dapat dibingkai berdasarkan filosofi hakekat kenabian bahwa para Nabi merupakan pondasi dalam seluruh masyarakat manusia sebab itu tak heran jika jumlah para Nabi bukan hanya 25 saja bahkan lebih. Hal ini juga menegaskan bahwa realitas eksistensi dibangun berdasarkan hakekat kebenaran. Jika kebatilan muncul dipermukaan, kebatilan ini tak kan abadi dan segera akan kembali pada hakekatnya yaitu kesirnaan. Oleh karena itu, Allah swt menciptakan alam ini dan kemudian meletakkan para Nabi dan Rasul di dalamnya sebagai hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir. Dalam surah taubah : 33 Allah swt berfirman, ‘Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai’. Ayat ini menjelaskan bahwa akhir dari ciptaan realitas alam ini tak mungkin dengan kezaliman namun dengan keadilan. 
Allah swt berkata kepada Rasulullah saw dalam surah annahl : 123 ‘ikutilah agama Ibrahim’. Selanjutnya kepada kita juga mengatakan dalam surah hajj : 78 ‘(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu’. Allah swt menyuruh kita dari dahulu untuk mengikuti tradisi para Nabi. Tradisi ini senantiasa dijaga oleh Allah swt karena di dalamnya terdapat pemikiran Ilahiyah dan pemikiran Ilahiyah yakni tauhid inilah yang kemudian tersebar dalam seluruh generasi manusia dan kemanusiaan. Namun berbeda dengan tradisi orang-orang zalim, misalnya berkenaan dengan Namrud dan Fir’aun Allah swt berfirman dalam surah al-an’am : 45, ‘maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya’. Begitu juga dalam surah al-a’raf : 72 ‘kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami’. Sebagaimana juga dalam surah al-anfal : 8 ‘agar Allah menetapkan yang hak dan membatalkan yang batil’.
Berkenaan dengan hal ini, ada perumpaan yang menarik yang disampaikan oleh Allah swt dalam surah arra’ad : 17 ‘Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya. Maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan’. Dalam ayat ini pertama-tama Allah swt menjelaskan bahwa anugerah Ilahi ini turun bagai air hujan, manusia menampung anugerah tersebut bergantung pada kadar ukurannya masing. Semakin luas wadahnya maka semakin luas pula dalam menampung anugerah Ilahi. Selain itu pula, perumpamaan dalam ayat ini menjelaskan bahwa jika memang hal tersebut adalah sebuah kebenaran maka tentu akan memberikan faedah dalam masyarakat dan jika memberikan faedah dalam masyarakat maka kebenaran tersebut akan kekal dan tetap di bumi. Namun berbeda dengan kebatilan, karena kebatilan tak memberikan faedah dalam masyarakat maka kebatilan cepat berlalu dan sirna.
Allah swt dalam surah qashas : 51 berfirman, ‘Dan sesungguhnya telah Kami turunkan ayat-ayat (Al-Qur’an) ini kepada mereka secara berturut-turut agar mereka ingat’. Ayat ini menjelaskan posisi Nabi sebagai perantara yang menyambungkan perkataan Ilahi agar sampai kepada masyarakat. Kemudian pada ayat lain Allah swt berfirman dalam surah mukminun : 44 ‘Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut’. Ayat ini menegaskan ketersambungan antara satu Rasul dengan Rasul lainnya dan ayat ini menyebutnya dengan ketersambungan yang mutawatir atau berturut-turut. Berbeda dengan orang-orang zalim dan inkar, Allah swt berfirman dalam surah saba : 19 ‘Dan Kami jadikan mereka kisah (sebagai pelajaran bagi orang lain) dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya’. Oleh karenanya, para Nabi adalah hakekat yang tunggal, yang senantiasa hadir dalam masyarakat, dan kemudian memberikan efek. Dari sini kita dapat mengerti pentingnya memahami tradisi dan sirah para Nabi bahwa ketika realitas manusia tersambungkan dengan hakekat kebenaran maka dirinya pun akan menjadi sebuah realitas yang tetap.
Dalam surah taubah : 32 Allah swt berfirman, ‘Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya’ dan juga dalam surah shaf : 8 ‘tapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci’. Cahaya Ilahi tidak mungkin dimatikan, meskipun ada yang ingin mencoba mematikannya namun mereka tak kan mungkin mematikannya, karena cahaya Ilahi ini sampai kepada masyarakat melalui wahyunya. Cahaya Ilahi yang berupa wahyu ini senantiasa bersinar dan bahkan Allah swt sendiri yang menjaganya sehingga pancaran sinarnya sampai kepada seluruh manusia. Berdasarkan hal ini, jika ada yang menganggap bahwa di alam ini terkadang cahaya Ilahi yang bersinar dan terkadang api kezaliman yang menerangi manusia, tentu anggapan ini adalah anggapan yang tidak tepat karena cahaya Ilahi tak kan pernah padam.
Kemudian dalam beberapa ayat selanjutnya, seperti dalam surah maryam : 41 ‘Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 51 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 16 ‘Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur’an’. Surah maryam : 56 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris di dalam Al-Qur’an’. Surah shad : 41 ‘Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub’.
Ayat-ayat sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa tradisi mereka yaitu tradisi para Nabi sebelumnya senantiasa hidup hingga saat ini sehingga Allah swt memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menceritakan Nabi-Nabi sebelumnya. Dan juga dalam surah al-an’am : 90 allah swt berfirman, ‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah petunjuk mereka’. Yang Allah swt perintahkan kepada kita adalah mengikuti petunjuknya karena petunjuk ini adalah hidayah Ilahi dan hidayah Ilahi ini senantiasa berlangsung terus menerus. Karenanya terkadang hidayah ini dalam bentuk sirah Nabi Ibrahim, terkadang dengan sirah Nabi Musa, terkadang dengan sirah Nabi Isa, dan juga terkadang dengan sirah Nabi-Nabi lainnya. Dan saat ini kita berada dalam sirah Rasulullah saw.