Showing posts with label Fenomenologi. Show all posts
Showing posts with label Fenomenologi. Show all posts

Thursday, August 13, 2015

Fenomenologi Instagram

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat 'klise foto' yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti 'dicuci' terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.

Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.

Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan medsos; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia instagram mengapa begitu diminati?

1. Foto selfie; individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, "aku". Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, "diri" adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto 'selfie' membawa 'diri' atau 'aku' pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu 'relasi', relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.

Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya di akun instagram akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.

2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan instagram salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinanya termasuk lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di medsos. Sebagian dari kenikmatan dunia maya sebab memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia medsos.

3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran, keterbatasan dalam memahami akan lebih terasa. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, dalam instagram tak memiliki ruang. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.

Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti samadengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang ada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.

Sunday, August 9, 2015

Fenomenologi dan Problemnya

Hirarki atau gradasi salah satu karekteristik hakikat eksistensi. Lokus gradasi hanya pada eksistensi dan tak kan mewujud pada yang realitas yang lain.

Ketika dikatakan bahwa ketunggalan merupakan esensi yang fundamental bagi wujud. Tak semestinya kita berpandangan bahwa ketunggalan hanya aksiden bagi wujud sehingga dikatakan kita mensifatkan ketunggalan pada wujud. Karena mesti dipahami bahwa tak ada sesuatu diluar eksistensi yang dapat mengaksiden pada wujud. Maksudnya, wujud adalah ketunggalan itu sendiri dan ketunggalan adalah wujud itu sendiri. Kedua konsep tersebut, yaitu konsep wujud dan konsep ketunggalan diabstraksi dari satu hakikat.

Oleh karena itu ketunggalan sejati adalah wujud dan wujud sejati juga adalah ketunggalan itu sendiri.

Wujud mutlak yang merupakan wujud murni hanya akan menjelma pada menifastasi-manifestasi. Sebab itu dapat dikatakan, mutlak tak kan nampak kecuali pada determinasi (batasan), sebagaimana kemurnian tak kan nampak kecuali pada yang tidak murni.

Mereka yang pernah membaca filsafat fenomenologi akan memahami bahwa ada ragam pandangan terkait dengan fenomenologi. Namun ada satu kaidah yang diyakini oleh seluruh aliran fenomenologi, "kita senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena".

Kaidah ini mudah dipahami dan diterima karena berakar dari pondasi realitas eksternal. Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa, sebagaimana manusia sebagai entitas yang terdeterminasi senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena, karena manusia bukan entitas yang mutlak yang kosong dari segala bentuk batasan-batasan dan determinasi-determinasi. Sebab mutlak sebagaimana mutlak tak kan berhadapan dengan sesuatu apapun.

Berdasarkan hal ini pula dapat dikatakan, dalam kemutlakan dualitas tak lagi bermakna sebab kemutlakan senantiasa Dipahami sebagai dasar dan sumber. Tentu sesuatu yang dipahami sebagai 'sumber', bagaimana mungkin berhadapan dengan sesuatu dimana sesuatu tersebut muncul dari sumber itu sendiri?

Tak diragukan bahwa fenomena berasal dan diabstraksi dari sumber. Meskipun boleh jadi sumber dari fenomena-fenomena tersebut tak diketahui dan tanpa determinasi. Namun tak diketahui dan tanpa determinasi sama sekali tidak bermakna 'tidak ada'.

Mereka yang menganggap dirinya sebagai seorang fenomenolog, tentu akan menganggap dirinya selalu berhadapan dengan fenomena-fenomena. Selanjutnya asumsi 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena' akan membentuk dan mempengaruhi model kehidupannya.

Karena itu pertanyaan yang mesti dijawab terkait dengan hal ini, "jika kehidupan manusia idealnya dengan 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena', lalu bagaimana kita memaknai kehidupan ini?"

Dalam kata lain, jika kita meyakini manusia hidup dialam ini dan menetap di dalamnya, namun apakah ada orang di alam ini yang dapat menyaksikan seluruh alam dan memposisikan keseluruhan tsb sebagai suatu fenomena?

Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena manusia adalah bagian dari alam ini sehingga tak dapat berhadapan dengan keseluruhan alam ini sebagai suatu fenomena.

Jika kita dapat mempersepsi di alam ini, lalu bagaimanakah kita dapat mempersepsi keseluruhan alam ini sebagai sebuah fenomena?maksudnya apakah mungkin keseluruhan alam ini sebagai objek fenomenologi?