Thursday, October 23, 2014

TEORI FILSAFAT SUHRAWARDI ‘CAHAYA dan KEGELAPAN’ hubungannya dengan MAAD


Pertanyaan utama dalam gagasan ini ialah apa maksud tentang cahaya dalam pandangan Suhrawardi ? karena sebagaimana kita pahami bersama, pondasi dan fokus utama dalam kajian filsafat iluminasi Suhrawardi ialah mengenai cahaya. Suhrawardi terkadang menyebutnya dengan ‘ilmu al-anwar’ atau ‘fiqh al-anwar’.
Suhrawardi memandang cahaya sebagai perkara yang badihi. Jelas dan tak butuh definisi. Menurut Suhrawardi, jika wujud tak butuh definisi dan penjelasan, dikarenakan wujud adalah sesuatu yang nampak, maka tak ada sesuatu yang lebih nampak dibanding dengan cahaya. Oleh karena itu, dibandingkan dengan wujud, cahaya lebih tidak membutuhkan  definisi dan penjelasan.
Menurut Suhrawardi, cahaya adalah ‘yang nampak’ sehingga filsafat Suhrawardi didasarkan pada apa yang nampak. Ia mendasarkan filsafatnya pada objek yang paling diketahui secara pengalaman, bukan pada konsep-konsep yang paling general dan universal. Kemudian disisi lain sesuatu yang diperhadapkan dengan cahaya adalah kegelapan dimana kegelapan tak lain dan tak bukan kecuali ‘ketiadaan cahaya’ saja. Namun mesti dipahami, ketiadaan disini bukan ketiadaan yang diperhadapkan dengan malakah, namun ketiadaan disini seperti afirmasi yang diperlawankan dengan negasi.
Quthbuddin Syirazi dalam mendefinisikan cahaya menurut Suhrawardi mengatakan, wujud dan ketiadaan analoginya seperti nampak dan tersembunyi atau cahaya dan kegelapan. Jadi keluarnya suatu keberadaan dari ketiadaan menuju keberadaan seperti keluarnya dari ketersembunyian pada penampakan atau dari kegelapan menuju cahaya. Karena itu menurut Suhrawardi, wujud itu seluruhnya adalah cahaya. Meskipun disisi lain terkadang cahaya disamakan dengan niscaya (wujub) sedangkan kegelapan disamakan dengan mumkin. Begitu pula dengan penafsir lainnya seperti Syahrzuri yang meyakini bahwa wujud adalah cahaya.
Mulla Sadra memaknai cahaya sama dengan makna wujud. Maksudnya wujud dan cahaya adalah dua kata yang diabstraksi dari satu hakekat realitas eksternal. Menurutnya, wujud sesuatu adalah penampakannya. Berdasarkan hal ini, wujud materi pun merupakan bagian dari tingkatan cahaya. Dan oleh karena cahaya adalah kesempurnaan wujud sebagaimana wujud maka wujud dan cahaya adalah dua kata yang menjelaskan satu realitas. Quran (24;35) pun menjelaskan, ‘Allah adalah cahaya seluruh langit dan bumi’. Menurut Sadra, predikasi cahaya pada wujud adalah predikasi yang hakiki.   
Meski demikian, pada saat yang sama, kita tidak sepaham dengan mereka yang mengatakan bahwa Suhrawardi hanya mengganti kata wujud menjadi kata cahaya karena pada tempat yang lain Suhrawardi justru menganggap wujud sebagai perkara yang iktibari. Jika demikian, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan cahaya menurut Suhrawardi ?
Cahaya sebagaimana kegelapan adalah sebuah simbol. Namun simbol dari hakekat realitas apakah yang ingin digambarkan dari simbol tersebut dan mengapa Suhrawardi memulai filsafatnya dengan simbol cahaya ? jika kita menelusuri lebih jauh gagasan-gagasan Suhrawardi dalam teks-teks iluminasinya, akan terlihat dengan jelas bahwa cahaya dalam filsafat iluminasi merupakan simbol kesadaran dan pengetahuan dan simbol kesadaran realitas diri.
Suhrawardi dalam Hikmatul Isyraq menjelaskan bahwa cahaya bermakna kesadaran atas realitas diri. Ia juga menjelaskan bahwa karekteristik cahaya murni adalah mempersepsi realitas zat dan bahkan mempersepsi zat hanya disematkan kepada cahaya murni semata. Karena itu ketika membagi cahaya, Suhrawardi membagi cahaya pada cahaya di dalam dirinya dan untuk dirinya atau cahaya murni yang bersandar pada dirinya sendiri dan nampak bagi dirinya sendiri. Maksudnya ia mempersepsi dirinya sendiri dan tak lalai dari dirinya sendiri.    
Berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa Suhrawardi membangun filsafatnya dengan idealisme iluminatif. Maksudnya apapun cahaya bagi dirinya sendiri akan meniscayakan kesadaran diri. Cahaya bagi dirinya sendiri adalah kesadaran atas realitas diri. Filsafat iluminasi dibangun atas sebuah kesadaran. Realitas bagi Suhrawardi adalah kesadaran itu sendiri dan juga sekaligus adalah cahaya. Inti realitas dapat dipersepsi dan diperoleh secara langsung. Dalam kata lain, cahaya adalah penampakan dan penampakan adalah persepsi atas realitas zat. Pengetahuan ini adalah pengetahuan atas sesuatu dengan perspesi secara langsung dan tanpa perantara. Sebuah pengetahuan huduri (kehadiran) bukan husuli (koresponden).
Bagi Suhrawardi, kesadaran atas realitas diri, tidak mungkin diraih melalui sebuah gambaran jiwa di mental. Karena bentuk tersebut, bukan realitas jiwa yang sebenarnya dan juga tak akan memberikan pengetahuan. Kesadaran atas realitas diri dan tanpa melalui perantara dengan sendirinya menjadi sebuah dasar atas kehidupan, persepsi, aktualitas, dan pengetahuan. Sehingga maksud dari cahaya adalah hayyun darrakun fa’al  (yang hidup, yang mempersepsi, dan aktif). Maka kegelapan adalah segala sesuatu yang tak memiliki kehidupan, persepsi, dan penampakan atau aktualitas. Berdasarkan hal ini, perbedaan antara materi dan immateri pada hidup dan persepsi. Segala yang hidup pada zat dirinya sendiri adalah cahaya immateri dan segala cahaya immateri adalah hidup berdasarkan atas zat dirinya sendiri. Maka segala yang memiliki kesadaran, pasti cahaya immateri.

Maad dalam Filsafat Iluminasi
Maad dalam pemikiran Suhrawardi ialah meninggalkan alam kegelapan-kegelapan menuju iluminasi cahaya-cahaya. Suhrawardi menjelaskan persoalan maad pun berdasarkan pondasi pemikirannya; cahaya dan kegelapan. Dalam pandangan Suhrawardi, tak lagi bisa digambarkan ketiadaan bagi cahaya mujarrad (jiwa) setelah terpisah dari badan. Karena cahaya mujarrad tak meniscayakan ketiadaan dirinya karena jika dimungkinkan, sejak awal dirinya tak mungkin ada. Dan begitu pula, tak mungkin tiada jika dilihat dari sebabnya dan sumber keberadaannya karena sebabnya adalah abadi dan tak pernah berubah.
Ketikan cahaya mujarrad terpisah dari kegelapan-kegelapan, dirinya akan kekal mengikuti sebabnya yaitu Nur Qāhirah. Jiwa-jiwa yang suci dan mengikuti proses tazkiyah, setelah terpisah dari badannya, akan terkoneksi dengan alam cahaya. Jiwa yang bentuknya seperti ini, tidak mengalami perpindahan (reinkarnasi) atau mengalami proses pensucian kembali karena jiwanya telah suci. Namun jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam pengetahuan, kesucian, dan tazkiyah, tidak akan tersambung dengan alam qudsi. Setelah meninggal dan jiwanya terpisah dari badan, jiwanya akan terkoneksi dengan alam suwar mu’allaqah atau mitsal mu’allaqah dengan badan barzakhi yang disesuaikan dengan amal-amal, akhlak-akhlak, dan kecendrungan-kecendrugan dirinya.
Berdasarkan hal tersebut, Suhrawardi menerima konsep reinkarnasi (tanasukh) yang disebut dengan perpindahan bagi jiwa-jiwa yang tidak sempurna dalam proses tersebut. Suhrawardi sebagai pengikut aliran Platonis meyakini konsep reinkarnasi namun berbeda dalam menjelaskan ‘perpindahan’ yang dimaksud. Suhrawardi meyakini bahwa jiwa yang tidak sempurna akan berpindah dari badan yang satu kepada badan yang lain yang bukan badannya yang pertama. Maksud dari perpindahan tersebut adalah pada badan mitsali, bukan pada badan materi.

Derajat Jiwa setelah Kematian
Suhrawardi membagi tingkatan jiwa manusia setelah kematian berdasarkan pada derajat kesucian dan pengetahuan yang manusia raih semasa hidup di alam dunia ini. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan derajat pengetahuan bagi jiwa manusia dapat dibagi menjadi tiga bagian; 1) su’ada; yaitu mereka yang ketika hidup di dunia ini telah sampai pada kesucian pada tingkatan tertentu. 2) Asyqiya; yaitu jiwa-jiwa yang gelap dikarenakan keburukan dan kejahilannya ketika di dunia. 3) mereka yang telah sampai pada maqam wilayah dan iluminasi. Mereka adalah ahli hikmah (filsuf yang muta’allihin).
Jiwa-jiwa pada tingkatan pertama, setelah kematian akan terkoneksi dengan mutsul mu’allaqah. Disana mereka akan merasakan kenikmatan-kenikmatan seperti suara-suara yang merdu, bau aroma sedap, dan beragam rasa yang nikmat. Kenikmatan yang ada di alam ini adalah bayangan dari kenikmatan yang ada di alam sana. Jiwa-jiwa pada tingkatan kedua akan terkoneksi dengan alam suwar mu’allaq dan akan merasakan derita alam imajinasi dimana alam kegelapan adalah kekuatan-kekuatan iblis dan para jin. Sedangkan jiwa-jiwa pada tingkatan ketiga adalah jiwa-jiwa urafa dan auliya. Setelah terpisah dari badannya, mereka akan naik bahkan melewati alam para malaikat. Disanalah mereka akan memperoleh kebahagiaan dikarenakan kedekatan mereka kepada nur al-anwar. Jiwa-jiwa mereka adalah jiwa-jiwa yang suci sehingga mampu naik ke alam cahaya dan terkoneksi dengan alam cahaya qudsi.
Syahrzuri dalam mengomentari gagasan Suhrawardi tentang tingkatan jiwa, menambahkan satu tingkatan sehingga menjadi empat tingkatan jiwa. 1) mereka yang sempurna dalam dua aspek; ilmu dan amal. 2) mereka yang tak sempurna dalam keduanya, baik ilmu dan amal tidak sempurna. 3) mereka yang sempurna hanya pada ilmu saja, tak sempurna dalam amal. 4) mereka yang sempurna dalam amal saja, tak sempurna dalam ilmu. Golongan pertama adalah orang-orang muqarrabin yang telah sampai menyaksikan nur al-anwar sehingga mereka sampai pada puncak kebahagiaan. Golongan kedua adalah mereka kekal di neraka yaitu orang-orang yang sempurna dalam penderitaannya. Golongan ketiga adalah orang-orang menengah dalam kebahagiaan. Maksud dari golongan su’ada menurut Suhrawardi adalah golongan ketiga ini. Setelah manusia terpisah dari badannya, selanjutnya akan terkoneksi dengan alam mutsul mu’allaqah nuraniyah yang merupakan manifestasi dari sebagian ajram falakiyah  dan alam barzakh.
Menurut Mulla Hadi Zabzawari, jiwa yang sempurna pada dua aspek, setelah terpisah dari badannya, secara langsung akan terkoneksi dengan alam akal tanpa mesti singgah di alam mitsal. Namun mereka yang dalam posisi pertengahan yang hanya sempurna dalam ilmu saja, namun kurang dalam amal, setelah berhenti di alam mitsal, akan melanjutkan perjalannya ke alam akal. Menurut Zabzawari, sempurna dalam ilmu berhak untuk memiliki maad ruhani. Alasannya karena ketika di dunia mereka telah memiliki pengetahuan dan makrifat sehingga ketika meninggal kelak mereka akan menyaksikan pengetahuannya di alam akal.
Namun mesti dipahami, baik Suhrawardi maupun Syahrzuri sama-sama menegaskan bahwa alam imajinasi sebagai wadah bagi su’ada yang akan memperoleh kenikmatan dan wadah bagi asyqiya yang akan memperoleh azab, berbeda dengan alam ide platonis karena alam ide platonis adalah alam akal. Sedangkan alam imajinasi adalah mutsul mu’allaqah yang terbagi menjadi dua bagian; nurani (cahaya) sebagai wadah bagi su’ada dan ruhani kegelapan sebagai wadah bagi asyqiya.

Kenikmatan dan Persepsi
Dalam filsafat iluminasi, ada kaitan yang sangat erat antara cahaya dan persepsi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dalam memaparkan hakekat cahaya. Disini juga terlihat keterikatan yang sangat erat antara realitas dengan epistemologi. Karena itu persoalan kenikmatan tak terpisahkan dari persoalan makrifat.
Suhrawardi dalam mendefinisikan nikmat dan derita mengatakan, nikmat adalah sampainya kepada kesempurnaan dan kebaikan dimana tak ada yang menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya. Dan derita adalah sampainya kepada keburukan dan kerugian dimana tak ada yang menghalangi dalam meraihnya dan mempersepsinya.          

 Kenikmatan dan penderitaan jiwa sangat bergantung kepada makrifat dan persepsi. Kemudian disisi lain, terdapat relasi antara cahaya dan cinta serta nikmat. Cinta adalah buah dari makrifat dan disisi lain, mempersepsi cinta dan meraihnya akan menghasilkan kenikmatan. Hubungan ini dijelaskan dengan mengeksplorasi realitas cahaya, bahwa cahaya adalah pengetahuan dan maksud dari cinta adalah kecendrungan dan tawajjuh. Maksudnya jiwa seseorang yang telah disifatkan dengan sifat-sifat yang baik dan selama hidupnya telah mampu mempersepsi hakekat-hakekat sesuatu, maka kecendrungannya kepada alam cahaya akan semakin besar karena cinta adalah buah dari pengetahuan. Semakin besar cintanya maka kebutuhannya kepada alam barzakh semakin sedikit namun ingin lebih dekat kepada nur al-anwar, sehingga kenikmatan dan ketersampaian bergantung pada besarnya cinta.

Wednesday, October 22, 2014

ANALISA PENAFIAN SIFAT-SIFAT TUHAN


Pendahuluan
Persoalan Tuhan tak pernah surut untuk dikaji. Bagi mereka yang tak meyakini Tuhan berusaha membuktikan penafian keberadaan Tuhan sebagaimana yang kita saksikan dalam argumentasi-argumentasi mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini Tuhan senantiasa memperbaharui argumentasi-argumentasi tentang Tuhan, baik itu berkenaan dengan keberadaan-Nya maupun berkenaan dengan sifat-sifat-Nya. Namun usaha kaum ateis selalu saja gagal dalam membunuh Tuhan, mereka lupa bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak nafas manusia. Jalan terbaik menuju Tuhan adalah jalan fitrah karena tak lagi butuh pembuktian dan tak butuh argumentasi karena dapat dirasakan secara langsung. Fitrah manusia berpotensi merasakan langsung kehadiran Tuhan, khususnya fitrah yang belum terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif.
Selain pembahasan pembuktian keberadaan Tuhan, persoalan mengenai sifat-sifat Tuhan termasuk persoalan yang menarik dan penting untuk disuguhkan kembali. Akhir-akhir ini masyarakat kembali menyorot pernyataan yang ‘menghebohkan’ yaitu ‘tuhan membusuk’ yang diangkat oleh salah satu kampus negeri islam dalam acara ospek mahasiswa. Kami tidak akan membahas persoalan ini. Kami hanya ingin mengingatkan, meskipun persoalan Tuhan dapat dipahami secara fitrah yang  tak begitu membutuhkan argumentasi dan pembuktian, namun perlu memahamkan dengan baik konsep-konsep tentang Tuhan sehingga tidak terjebak dalam persoalan seperti itu. Pemahaman ini tentu membutuhkan sebuah pendekatan dan pendekatan yang terbaik adalah melalui pendekatan filosofi karena hanya dengan pendekatan filosofi mampu menjawab beragam keeambiguan mengenai persoalan konsep Tuhan.
Perkataan Imam Ridha Tentang Sifat Tuhan
Sebagaimana dipahami bahwa Tuhan adalah hakekat yang tak terbatas, tak terhingga, tanpa akhir, tak ada bagi-Nya ruang dan waktu, tak disifatkan pada-Nya ‘mana’ dan ‘kapan’, bahkan pertanyaan mengenai ‘kebagaimanaan’ tak lagi bermakna bagi-Nya. Tak ada pertanyaan tentang ‘awal’ dan ‘akhir’. Dia adalah wujud yang tak terbatas dan meliputi segala realitas serta hadir dalam segala ruang dan waktu.  
Salah satu hadits yang menarik dari Imam Ridha as berkenaan dengan penafian sifat-sifat pada Tuhan. Dalam kitab Tauhid Syekh Shoduq Imam Ridha as menjelaskan,’sistem tauhid Allah adalah dengan menafikan sifat-sifat atas-Nya[1]. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai pernyataan Imam berkenaan dengan penafian sifat-sifat Tuhan. Bukankah Tuhan disifatkan dengan sifat-sifat MahaPencipta, MahaPemberi rezeki, MahaPengampun, dan sifat-sifat lainnya ?
Dalam Nahjul Balaghah Imam Ali as juga menjelaskan hal yang sama berkenaan dengan penafian sifat Tuhan. Dalam khotbah pertama Imam Ali as menjelaskan, ‘. . . dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya . . .[2] .
Baik Imam Ali as maupun Imam Ridha as menjelaskan tentang penafian sifat-sifat Tuhan. Dalam menjelaskan persoalan ini, sebelumnya perlu dipahami bahwa hakekat Tuhan itu tak terbatas. Ketidakterbatasan Tuhan tersebut sekaligus menjelaskan kepada kita bahwa terdapat satu maqam dimana hakekat-Nya tak mungkin digapai. Dalam Nahjul Balaghah khotbah pertama juga dijelaskan, ‘. . . orang yang tinggi kemampuan akalnya tak dapat menilai, dan penyelaman pengertian tak dapat mencapai-Nya . . .[3] . Hakekat yang tak mungkin diraih ini oleh para teolog, filsuf, dan arif menyebutnya dengan maqam zat. Imam Ridha as menjelaskan, ‘adapun pelarangan sifat-sifat tersebut ialah pada zat-Nya[4]   
Penafian Sifat-Sifat Tuhan pada Maqam Zat
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penafian sifat Tuhan ini tidak bersifat mutlak. Maksudnya penafian sifat Tuhan tersebut tidak berlaku pada seluruh maqam Tuhan. Hanya pada maqam zat saja penafian sifat-sifat kepada Tuhan tersebut dibenarkan. Oleh karenanya seluruh sifat-sifat yang disifatkan kepada Tuhan adalah setelah maqam zat, bukan pada maqam zat. Dalam kata lain, Tuhan pada maqam zat hanya bisa dipahami dalam bentuk negasi (salbī). Berdasarkan hal ini, gagasan teologi negasi (ilahiyah salbīyah) dapat dibenarkan jika persoalannya dibatasi pada maqam zat. Karena maqam setelah zat dapat dipahami sifat-sifat-Nya sebagaimana Quran sendiri memperkenalkan sifat-sifat Tuhan kepada kita dan tak mungkin Quran memperkenalkan kepada manusia jika manusia tak mampu memahaminya.
Terdapat beberapa dalil dalam membuktikan bahwa zat Tuhan bukan lokus penyifatan berbagai sifat:
  1. Dalam kitab Ushūl Kāfī Imam Ridha as memaparkan alasan mengapa tidak diperkenankan menyifatkan sifat-sifat kepada zat Tuhan. Kesimpulannya bahwa jika kita menyifatkan satu sifat tertentu kepada zat Tuhan maka akan meniscayakan pembatasan terhadap zat Tuhan yang tak terbatas.[5] Qadhi Sa’id Qummi dalam mengomentari pernyataan Imam Ridha as menjelaskan, ‘sifat-sifat tersebut tidak bisa dipredikatkan kepada zat Tuhan karena jika sifat-sifat dilekatkan kepada-Nya, Dia yang tak terbatas menjadi terbatas disebabkan mempersepsi sifat-sifat-Nya. karena  ‘zat sebagaimana zat’ lebih dahulu dari sifat, baik itu sifat dalam pengertian zat itu sendiri, maupun sifat dalam pengertian diluar dari zat. Dan juga  akan melazimkan bahwa meskipun sifat berada setelah maqam zat namun terbatas, tentu hal ini bertentangan ketidakterbatasan-Nya dan ketakterhinggaan-Nya[6].  
  2. Argumentasi selanjutnya dari Imam Ridha as, ‘oleh karena penyaksian akal bahwa segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk[7]. Segala sifat dan yang disifatkan adalah makhluk dan makhluk ini mumkin wujud. Jika Tuhan adalah wajibul wujud maka tak mungkin ‘mumkin wujud’ disematkan kepada diri-Nya. Oleh karena itu sifat yang dimaksud disini adalah sifat yang tidak sepadan disematkan kepada subjek yang disifatkan. Maksudnya sifat-sifat makhluk tidak mungkin disematkan kepada Tuhan. Imam Ali as dalam lanjutan khotbahnya mengatakan, ‘. . . dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa sifat itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang kepadanya sesuatu disifatkan berbeda dengan sifat itu . . .’.
Dari dua argumentasi diatas dapat dipahami bahwa pada maqam zat Tuhan, bagaimana pun bentuk sifat tersebut, baik itu sifat adalah zat itu sendiri maupun sifat diluar zat Tuhan, tak mungkin disematkan kepada zat Tuhan dengan alasan-alasan tersebut. Apalagi menyifatkan sifat-sifat makhluk kepada Tuhan, sebab jika demikian, maka subjek yang menjadi wadah penyifatan bukan Tuhan akan tetapi makhluk.   
Mulla Sadra yang terilhami dari perkataan maksumin mengatakan, ‘sesungguhnya tak ada konsep apapun yang menyertai wajibul wujud[8]. Mulla Sadra meyakini jika zat Tuhan dipahami sebagai wujud murni yang tak bercampur dengan apapun, maka tak bisa kita menarik satu konsep tertentu darinya. Karena jika kita bisa menarik satu sifat tertentu, konsekwensinya sifat-sifat tersebut sudah terpisah satu sama lain sehingga terjadi pembedaan, dan pembedaan ini tentunya akan meniscayakan bilangan dan huduts (kebaruan).
Oleh karenya Mulla Sadra meyakini bahwa zat Tuhan itu basith (sederhana). Maksudnya bahwa zat Tuhan tidak memiliki rangkapan sama sekali. Jadi semua sifat Tuhan satu sama lain tidak berbeda pada zat Tuhan karena peleburan sifat-sifat tersebut pada maqam zat. Oleh karenanya pada zat Tuhan dapat kita katakan ilmu-Nya adalah qudrah-Nya dan qudrah-Nya adalah ilmu-Nya, dan begitu juga dengan sifat-sifat zat lainnya.
Kesimpulan
Penafian sifat-sifat kepada Tuhan tidak berlaku pada seluruh tingkatan. Penafian sifat ini hanya berlaku pada zat Tuhan. Oleh karenanya, penyifatan sifat-sifat kepada Tuhan pada maqam setelah zat, bukan pada maqam zat.
Penafian sifat-sifat pada zat Tuhan, bukan dalam pengertian bahwa zat Tuhan tidak memiliki sifat sama sekali. Namun seluruh sifat-sifat tersebut tenggelam dalam zat Tuhan sehingga antara satu sifat dan sifat yang lainnya identik satu sama lain. Semunya eksis dengan satu wujud Tuhan. Inilah yang dimaksudkan Sadra dengan kebashitan wujud Tuhan.     



[1] Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 34.
[2] Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, alih bahasa indonesia: Muhammad Hasyim Assagaf, (Jakarta: Lentera, 1999), Cetakan ke dua,  hal 3.
[3] Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, hal 3.
[4] Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 290.
[5] Kulaini, Ushūl Kāfī, Jil 1, hal 187.
[6] Qadhi Sa’id Qummi, Syarh Tauhid al-Shadūq, Jil 1, hal 258.
[7] Syekh Shoduq, al-Tauhid, hal 35.
[8] Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, Jil 6, hal 107.

Wednesday, October 15, 2014

Pendahuluan; Gerak Substansi dan Gerak Cinta

Persoalan gerak termasuk salah satu tema filsafat yang terbilang kuno karena telah dibahas sejak masa yunani kuno. Perdebatan mengenai gerak telah dimulai oleh Heraclitus yang meyakini akan keberadaan gerak, juga Parmenidus bersama muridnya Zeno yang mengingkari akan keberadaan gerak. Heraclitus meyakini segala sesuatu sedang bergerak dan pertentangan diantara entitas-entitas yang ada merupakan sumber gerak. Berbeda dengan Heraclitus, Parmenidus dan Zeno mengingkari keberadaan gerak. Bagi Parmenidus salah satu dari karekteristik keberadaan adalah diam.
Persoalan mengenai perubahan dan tetap, sejak dahulu menjadi sebuah persoalan yang ambigu bagi kalangan filsuf. Meskipun perubahan senantiasa kita saksikan pada realitas alam ini dan bahkan juga di dalam diri kita sendiri, namun tidak mudah menjelaskan hakekat dari gerak. Karena itu ada filsuf yang mengingkari gerak seperti Parmenidus dan Zeno dan ada juga yang meyakini bahwa segala entitas di alam ini senantiasa berubah seperti Heraclitus. Aristoteles meyakini realitas keduanya yaitu meyakini pada tetap dan berubah.
Aristoteles meyakini bahwa perubahan meniscayakan pada tetap dan berubah. Maksudnya jika dikatakan bahwa A berubah menjadi B tentunya akan melazimkan perbedaan diantara keduanya, dikarenakan A telah berubah menjadi B dan selain itu pula, mesti ada yang tetap yang menunjukkan keidentikan dan aspek yang sama diantara keduanya sehingga dapat dikatakan bahwa A berubah menjadi B. Jika tak ada lagi yang tetap diantara keduanya atau dalam kata lain berubah secara totalitas maka tak dapat lagi dikatakan bahwa A berubah menjadi B.[1]   
Perubahan dalam filsafat merupakan kelaziman dari keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual, baik perubahan ini dalam zat (substansi) atau pun juga perubahan ini berasal dari sifat-sifat zatnya (aksiden).[2] Perubahan dalam zat adalah perubahan yang terjadi pada substansinya seperti perubahan dari tanah kepada tumbuhan, sedangkan perubahan sifat-sifat zatnya adalah perubahan aksiden seperti perubahan pada warna buah apel dari hijau menuju warna merah.
Perubahan yang terjadi pada sesuatu, dihasilkan dari dua bentuk jenis perubahan yaitu perubahan secara spontanitas (daf’iī) atau perubahan secara gradual (tadrījī). Perubahan secara gradual disebut dengan gerak sedangkan perubahan secara spontanitas disebut dengan ‘penciptaan dan peniadaan’ (kaun wa fasād).[3] Hal ini terlihat bahwa tidak semua perubahan tersebut didefinisikan sebagai gerak. Hanya perubahan secara gradual yang disebut dengan gerak.
Filsafat Paripatetik sejak Aristoteles hingga Ibn Sina membahas dan meletakkan persoalan gerak dalam ranah aksidental. Maksudnya gerak hanya terjadi pada empat kategori aksidental yaitu kuantitas, kualitas, posisi, dan ruang.[4] Filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina meletakkan persoalan gerak sebagai karekteristik dari tabiat materi dan oleh karenanya membahas persoalan tersebut dalam bab physics (al-thabi’iyyāt).[5]
Suhrawardi dalam kitabnya Muthārahāt menjelaskan bahwa meskipun gerak bukan bagian dari kategori substansi namun gerak tidak sebagaimana yang dijelaskan oleh filsuf paripatetik yang meyakini bahwa gerak terjadi pada empat kategori aksiden, bahkan lebih dari itu Suhrawardi memasukkan gerak sebagai bagian dari aksiden itu sendiri. Menurut Suhrawardi gerak sejatinya adalah aksiden. Gerak merupakan suatu kondisi yang senantiasa terjadi pada materi. Maksudnya terkadang suatu benda itu diam lalu kemudian bergerak. Artinya kondisi sebelumnya diam lalu kemudian kondisi selanjutnya bergerak yang menunjukkan bahwa ada kondisi yang mengaksiden padanya. Oleh karenanya disifatkan pada benda tersebut suatu sifat aksiden yang disebut dengan gerak. Dengan demikian gerak mesti dimasukkan sebagai salah satu kategori dari aksiden.[6]
Sebagaimana yang terlihat, dalam filsafat Paripatetik dan bahkan Suhrawardi menjelaskan fenomena gerak sebagai fenomena materi. Fenomena perubahan dalam pengertian gerak sangat mudah disaksikan di sekitar kita. Karena itu fenomena gerak adalah merupakan sebuah fenomena yang badihi. Paling tidak, perpindahan dari satu tempat pada tempat yang lain sebagai sebuah fenomena gerak adalah suatu hal yang badihi. Karena itu pula tak heran jika persoalan gerak dibahas dalam filsafat dan juga dibahas dalam fisika sebagaimana filsafat paripatetik memasukkannya ke dalam ranah physics.
Gerak yang dibahas dalam ranah sains dan dalam filsafat tentu berbeda. Saintis membahas gerak dalam pengertian sebuah fenomena tertentu bagi sebuah benda tertentu. Misalnya apakah benda X tersebut bergerak dan bagaimanakah bentuk geraknya. Namun selain wilayah ini, sains tidak lagi mampu untuk menelusuri lebih jauh dan tak lagi menjadi objek pembahasannya.[7]
Filsafat membahas gerak sebagai sebuah pembahasan yang bersifat universal. Dalam kata lain persoalan gerak yang paling penting adalah apakah gerak ada pada realitas eksternal atau tidak.  Filsafat tidak membahas satu spesifik dari benda tertentu. Karena itu bagi filsuf, gerak dibahas dalam ranah ontologi. Maksudnya pembahasannya adalah wujud gerak dan hal ini diluar dari wilayah Sains. Menurut Jawadi Amuli, hal ini yang membedakan antara Mulla Sadra dan filsafat Paripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina dimana filsafat Paripatetik membahas gerak sebagai fenomena-fenomena tabiat materi, sedangkan Mulla Sadra membahasnya dalam filsafat Ilahiyah dikarenakan membahas gerak dalam ranah ontologi.[8]   
Perbedaan wilayah pembahasan gerak dalam filsafat dan dalam sains, sebenarnya kembali kepada penekanan metodologi yang digunakan dalam masing-masing bidang studi tersebut. Sains menekankan pendekatan indrawi dan eksperimentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode akal dan argumentasi.[9] 
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Filsafat membahas tabiat materi dari sisi perubahan-perubahan dan transformasi-transformasi dimana meletakkan tabiat materi sebagai laboratorium potensi dan aktual. Nanti akan kita saksikan, meskipun ‘potensi’ dan ‘aktual’ adalah konsep yang benar dan nyata, namun tak satu pun dari konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ termasuk dari konsep indrawi.[10] 
Mulla Sadra memberikan pehaman yang baru mengenai gerak. Sebelum kehadiran Mulla Sadra, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, gerak hanya berkaitan dengan empat kategori pada aksidental dan bahkan Suhrawardi menggolongkan gerak sebagai bagian dari kategori aksiden.
Mulla Sadra selain meyakini bahwa gerak terjadi pada aksidental, juga meyakini bahwa terjadi pada substansi. Bahkan salah satu bagian penting dari filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah membuktikan keberadaan gerak substansi.[11] Dalam filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina, sulit menerima bahwa gerak juga terjadi pada substansi. Dalil utama yang diutarakan oleh Ibn Sina, gerak melazimkan adanya objek yang bergerak, mesti ada sesuatu yang bergerak sehingga dapat dikatakan bahwa objek A bergerak menuju B. Namun jika substansi dari sesuatu itu sendiri disaat bergerak juga mengalami perubahan maka pada saat itu tak ada lagi objek bagi gerak. Padahal dalam gerak meniscayakan keberadaan objek yang bergerak.[12]   
Beragam argumentasi dalam membuktikan gerak substansi yang dipaparkan oleh Mulla Sadra ingin membuktikan bahwa eksistensi materi senantiasa bergerak. Eksistensi materi adalah eksistensi gradual yang setiap saat senantiasa baru.[13] Oleh karena itu dalam pandangan Sadra, seluruh alam materi senantiasa bergerak, baik itu dalam bentuk aksiden maupun dalam bentuk substansi.
Menurut Abdullah Jawadi Amuli, pengingkaran Zeno terhadap gerak dikarenakan formula argumentasi yang diberikan oleh Aristoteles mengenai gerak. Kritik Zeno sebenarnya berkaitan dengan eksistensi gerak sedangkan argumentasi gerak oleh Aristoteles berkenaan dengan fenomena gerak. Oleh karena itu kehadiran Mulla Sadra menyingkap tabir tersebut dengan membuktikan bahwa pada substansinya pun terjadi gerak.  Oleh karena itu menurut Abdullah Jawadi Amuli keunggulan argumentasi gerak bukan dari warisan filsuf besar seperti Aristoteles dan filsuf-filsuf lainnya yang sepemikiran dengan Aristoteles. Namun keunggulan argumentasi gerak ini adalah hasil dari usaha keras dan penyucian diri Mulla Sadra dan para penerusnya dan bahkan menjadi bagian dari karekteristik filsafat Islam.[14]
Berkenaan dengan definisi gerak. Plato dan Aristoteles tidak sama dalam mendefinisikan gerak. Menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari kesamaan dan keseragaman.[15] Maksudnya terkadang pada suatu objek memiliki dua kondisi yang berbeda yaitu antara kondisi sebelumnya dan kondisi setelahnya. Karena itu menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari satu kondisi yang sama menuju suatu kondisi yang berbeda atau dalam kata lain dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Namun definisi Plato mengenai gerak tersebut meliputi kedua bentuk perubahan, baik perubahan dalam makna perubahan secara spontan (kaun wa fasād) maupun perubahan dalam makna perubahan secara gradual atau gerak.[16]
Definisi gerak menurut Aristoteles adalah kesempurnaan pertama bagi suatu potensial dari sisi sebagaimana sesuatu tersebut adalah potensial.[17] Hal yang penting dalam definisi Aristoteles berkenaan dengan dua hal yaitu kesempurnaan pertama dan aspek potensi sebagaimana potensi. Maksud dari kesempurnaan pertama disini adalah bentuk spesis (shūrah nau’iyah) bagi suatu benda materi dan kesempurnaan yang akan diraih selanjutnya pada batasan yang dimungkinkan disebut dengan kesempurnaan kedua. Kemudian dalam meraih kesempurnaan kedua bagi benda tersebut tentu dari aspek potensi sebagaimana potensi yang dimilikinya. Karena itu gerak termasuk kesempurnaan bagi objek yang bergerak karena dengan gerak inilah akan mengantarkannya kepada kesempurnaan yang kedua.[18]
Dalam pandangan Mulla Sadra gerak didefinisikan dengan hudūts al-tadrījī atau keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual secara gradual atau perlahan-lahan.[19] Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa gerak adalah meninggalkan secara perlahan-lahan sesuatu dari potensi dan sampainya kepada aktualitas dan kesempurnaan eksistensi.
Dalam definisi yang diutarakan oleh Mulla Sadra, Jawadi Amuli mengatakan ada beberapa hal yang mesti dipahami untuk memahami dengan baik mengenai konsep gerak. Salah satunya adalah memahami makna gradual yaitu melewati atau mengarungi jarak eksistensi antara potensi dan aktual dalam satuan waktu. Oleh karena jika aktualitas terjadi secara spontanitas dari sesuatu yang potensialitas maka perubahan ini tak disebut dengan gerak. Karena makna gerak dapat diaplikasikan pada sesuatu yang dapat dibagi secara imajinasi (waħmī) dan pembagian mental (ziħnī), juga bagian-bagian yang diasumsikan satu sama lain tak berkumpul, bahkan masing-masing setelah melewati menyusul yang lainnya dan sebelum menemukan eksistensi setelahnya.[20]
Jawadi Amuli melanjutkan bahwa jika gerak dapat dibagi secara imajinasi atau mental maka gerak secara esensi memiliki ketunggalan yang tersambung dan kontinuitas. Oleh karena bagian-bagian yang diasumsikan tersebut tak dapat berkumpul menunjukkan bahwa hal tersebut senantiasa dalam kondisi mengalir (sayyāl) dan senantiasa proses melewati. Apalagi jika dapat diterapkan pada satuan waktu maka hal tersebut tentu bersifat gradual karena hanya waktu saja yang dapat menjadi tolak ukur atas sesuatu yang bersifat gradual, bukan sesuatu yang diam. Kemudian Jawadi Amuli menyimpulkan bahwa tanpa waktu dan gradual, pemahaman gerak tak dapat ditafsirkan dengan benar. Meskipun konsep waktu berbeda dengan konsep gerak namun hakekat kedua hal tersebut pada realitas eksternal adalah satu.[21]
Dalam sistem pemikiran tasawwuf, gerak senantiasa dimaknai dengan gerak cinta. Gerak cinta ini berasal dari salah satu hadits Qudsi Rasulullah saw, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta makhluk agar Aku dikenal.[22] Ibn Arabi menjelaskan bahwa apapun jenis gerak yang terjadi di alam ini berdasarkan pada gerak cinta. Segala perubahan dan segala kemenjadian senantiasa dalam lingkaran gerak cinta, baik itu perubahan dalam busar turun, maupun perubahan dalam busar naik.[23]   
Sebagaimana dipahami, dalam pandangan dunia irfan, realitas alam dijelaskan dengan dua busar, busar naik dan busar turun. Hakekat realitas dimulai dari maqam ghaibul ghuyub atau maqam zat dimana pada maqam ini tak ada determinasi dalam bentuk apapun.[24] Setelah maqam ghaibul ghuyub adalah maqam ahadiyah atau ta’ayyun awwal dimana maqam ini adalah maqam yang sangat dekat dengan maqam zat.[25]  Pada ta’ayyun awwal terkandung segala hakekat yang ada pada level setelahnya secara peleburan (indimājī) dan oleh karenanya ta’ayyun awwal juga disebut dengan haqīqah al-haqāiq.[26]
Cinta pada maqam ta’ayyun awwal merupakan hakekat dari zat dan bahkan cinta pada maqam tersebut adalah zat itu sendiri.[27] Keidentikan realitas cinta pada maqam ta’ayyun awwal menjadi sumber dan asal muasal akan keberadaan prinsip gerak cinta karena pada maqam ta’ayyun awwal terkandung secara peleburan segala hakekat yang ada tingkatan setelahnya atau pada manifestasi-manifestasi selanjutnya.
Ibn Arabi meyakini bahwa gerak alam dari ketiadaan dimana sebelumnya diam dalam ketiadaan tersebut lalu kemudian keluar pada alam eksistensi. Karena itu menurut Ibn Arabi perkara tersebut bahwa gerak dari diam.[28] Disini Ibn Arabi memperlawankan gerak dengan diam. Namun mesti dipahami bahwa diam dalam terminologi Ibn Arabi memiliki konteks penetapan (tsubūt) yaitu disebut dengan wujud ilmiyah karena hal tersebut berada dalam zat Ilahiyah. Dalam hal ini wujud ilmiyah diperhadapkan wujud eksternal (wujud khārijī).[29]
Penafsir Ibn Arabi, Yazdān Panāh memahami bahwa gerak akan terlihat dengan jelas pada ta’ayyun tsānī atau wahidiyah. Pada ta’ayyun awwal belum ada keragaman. Keragaman terpahami pertama kali pada ta’ayyun tsāni karena ta’ayyun tsānī merupakan perantara antara ta’ayyun awwal dengan alam realitas eksternal. Melalui ta’ayyun tsānī inilah muncul nama-nama Ilahi (asma Ilahi). Karena itu persoalan gerak bisa dijelaskan pada ta’ayyun tsānī yaitu pada empat hakekat asma yang disebut dengan aimmah al-asma yaitu hayāt, qudrah, iradah, dan ‘ilmu. Keempat asma tersebut berakar pada ta’ayyun awwal. Yazdān Panāh melanjutkan penjelasannya bahwa para ahli makrifat meyakini kesempurnaan zat itu sendiri adalah batin dari hayāt dan kesadaran (syu’ur) dari kesempurnaan tersebut adalah batin dari ‘ilmu dan gerak cinta merupakan batin dari iradah dan pada akhirnya tawajjuh jaballī merupakan batin dari qudrah.[30]
Gerak dalam ranah filsafat berbeda dengan gerak dalam ranah tasawwuf sebagaimana terlihat pada pembahasan sebelumnya. Letak perbedaan ini berada dalam bangunan ontologi diantara keduanya yaitu penafsiran terhadap hakekat realitas eksternal. Irfan bersandar pada gagasan wahdatul wujud dan filsafat bersandar pada keragaman wujud. Dalam memahami realitas, irfan menggunakan qalbunya dalam menyingkap realitas dan dalam filsafat menggunakan argumentasi akal dalam menyingkap realitas.[31]
Penelitian desertasi ini mencoba untuk menganalisa dan membandingkan gerak dalam ranah filsafat dan gerak dalam ranah irfan. Khususnya perbandingan gerak dalam pengertian gerak substansi dalam filsafat Sadra dengan gerak dalam pengertian gerak cinta dalam pandangan irfan. Penelitian ini penting guna melihat ruang lingkup masing-masing dari gerak yang dimaksud.
Hal penting lainnya dalam penelitian ini yaitu mencoba untuk menganalisa mengenai perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Keyakinan terhadap gerak substansi meniscayakan segala sesuatunya bergerak di dalam dirinya, sebab bukan hanya aksidennya saja yang bergerak, bahkan substansinya pun bergerak.
Urafa juga meyakini adanya perubahan secara terus menerus. Salah satu kaidah dalam urafa yaitu ‘entitas-entitas tak pernah tetap dalam dua masa’.[32] Bagi urafa segala entitas-entitas mumkin senantiasa mengalami perubahan dan senantiasa baru dan baru. Apa yang ada pada saat sebelumnya, sirna secara keseluruhan dan pada saat setelahnya mendapatkan kehidupan yang baru. Proses seperti ini bagi urafa disebut dengan tajaddud amtsal.[33]





[1] Abdurrasul ‘Ubudiyyat, al-Nizām al-Falsafī  liMadrasah al-Hikmah al-Muta’aliyah, (Beirut: Samt va Muassas-e Āmuzesy-e va Pezuhesy-e Imam Khomeini. 2010), P. 16.
[2] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), P. 120.
[3] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), Hal. 120. 
[4] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[5] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 81. Pernyataan Ibn Sina sebagai berikut, لقد ختمنا الكلام فى المبادئ العامة للأمور الطبيعية. فحرى بنا أن ننتقل إلى الكلام فى العوارض العامة لها، و لا أعم لها من الحركة و السكون. و السكون كما سنبين من حاله عدم الحركة، فحرى بنا أن نقدم الكلام فى  الحركة
[6] Suhrawardi, Majmū’ah Mushannifāt Syekh Isyrāq, (Tehran: Muassas-eyye Muthāle’āt-e va Tahqīqāt-e Farhanggī. 1375 HS), Jil. 1, Hal. 278.
[7] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 563.
[8] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, Jil. 3, Hal. 563. 
[9] ‘Alī Rabbānī Golpāygānī, Aydhāh al-Hikmah, (Qom: Intesyārāt-e Isyrāq. 1374 HS), Jil. 2, Hal. 219.
[10] Murtadha Muthahhari, Majmmueh Ātsār, (Qom: ), Jil. 6. Hal. 726.
[11] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[12] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 124.
[13] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 7, Hal. 290

[14] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 558.
[15] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 3, Hal. 24.
[16] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[17] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 24.
[18] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 312-313.
[19] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 22.
[20] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 561.  
[21] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh,  Jil. 3, Hal. 561.  
[22] Ghulam Husain Ridhā Nizhād, Syarh-e Kabīr bar Fushūs al-Hikam Ibn Arabi, (Tehran: al-Zahra. 1380 HS), Jil. 2, Hal. 1133.
[23] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[24] Shadruddin Qūnawī, Risālah al-Nushūs, Hal. 6
[25] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 158.
[26] Muhammad Husain Fādhil Tūni, Majmu’ah Rasāil-e  ‘Irfānī wa Falsafī, (Qom: Mathbū’āt-e Dīnī. 1382 HS), Hal. 118.
[27] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 356.
[28] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[29] Hasan Hasanzadeh Āmulī, Mumiddul Ħimam dar Syarh-e Fushūs al-Hikam, (Tehran: Sāzmān-e Cāp va Intisyārāt-e Vezārat-e Farhang va Irsyād-e Islamī. 1378 HS), Hal. 555.
[30] Yadullah Yazdān Panāh, Mabānī  wa Ushūl ‘Irfan Nazarī, (Qom: Muassas-e Āmūzesy-e  wa  Pezuhesy-e Imam Khomeini. 1389), Hal. 423.
[31] Murtadha Muthahhari, Majmu’eh Ātsār, (Qom: Shadra. 1358 HS), Jil. 23, Hal. 29.
[32] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 6.
[33] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 5.

Sekilas Mengenai Perempuan dalam Quran


Dalam Quran, hakikat manusia terletak pada ruh, bukan pada badan. Persoalan gender adalah perkara yang berkaitan dengan badan. Ruh dan hakikat manusia tak memiliki identitas gender. Karena itu Quran adalah guru bagi ruh-ruh manusia. Quran tak pernah membeda-bedakan realitas manusia antara satu dengan lainnya pada aspek ruh. Ruh adalah hakikat immateri yang tak lagi terkait dengan persoalan gender.
Tak heran ketika Quran berbicara mengenai persoalan tazkiyah, tazkiyah yang dimaksud adalah tazkiyah ruh. Quran justru diturunkan untuk mengajarkan pengetahuan dan juga tazkiyah. Berdasarkan hal ini, Islam sejak semula tidak membagi manusia pada laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan pandangan Islam, dalam pandangan barat, manusia sejak semula telah terbedakan dari laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, barat sangat berusaha keras untuk menyamakan keduanya. Pembagian tersebut dikarenakan hakikat manusia hanya dilihat dari aspek badannya saja. Selanjutnya mereka menganggap bahwa badan laki-laki dan perempuan sangat mirip, sehingga mereka memberlakukan hukum yang sama pada keduanya. Namun dalam Islam, seluruh hakikat manusia pada ruh, dan badan adalah alat semata dalam menggapai tujuannya.
Meskipun badan dipahami hanya sebagai aksidental semata, namun badan tetap memiliki peran dan hukum yang terkait dengannya. Namun berkaitan dengan nilai, keunggulan, dan kemuliaan tidak disematkan pada badan, namun disematkan pada ruh.
Tak Ada Gender dalam Keunggulan dan Kemuliaan
Kemuliaan atau bahkan kenistaan tidak disematkan pada gender. Karena tidak disematkan kemuliaan dan kenistaan pada badan. Maksudnya, predikat-predikat seperti muslim, kafir, alim, jahil, taqwa, fasiq, benar, salah, mulia, hina adalah tidak disematkan pada badan.
Pengetahuan dan pemikiran disematkan pada akal teori. Penyaksian (mukasyafah) dan syuhud disematkan kepada hati. Takwa dan fasiq disematkan pada jiwa. Jadi tak satupun dari predikat-predikat sebelumnya yang disematkan kepada badan. Begitu pula dengan sifat-sifat lainnya seperti iradah, ikhlas, iman, sabar, tawakkal terkait dengan fakultas akal praktis. Jika sabar tidak terkait dengan persoalan gender, maka penyabar (orang yang sabar) tidak terkait dengan persoalan gender.
Perempuan dan Maqam Khalifatullah
Maqam tertinggi pada diri manusia adalah maqam khalifatullah. Jika demikian, apakah maqam khalifatullah ini hanya diperuntukkan pada laki-laki ? atau khalifatullah ini tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki saja, namun juga untuk perempuan, akan tetapi yang mampu meraih maqam tersebut adalah hanya laki-laki saja! Atau sebenarnya khalifatullah tidak terkait dengan gender ?
Quran (2;30) mengatakan, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Maqam khalifatullah adalah maqam insaniyah, bukan maqam laki-laki. Pusat atau lokus pembelajaran dan pengajaran pada ruh manusia, bukan pada badan. Yang akan menjadi seseorang itu alim adalah ruh manusia, bukan badan, bukan laki-laki dan perempuan. Yang mengetahui asma-asma Ilahi adalah ruh manusia, bukan badan.
Maqam Mulia Seorang Ibu dalam Quran
Perintah-perintah yang ada dalam Quran, terkadang perintah tersebut ditujukan pada laki-laki dan perempuan sebagai perintah yang berlaku kepada keduanya, dan terkadang ada perintah yang dikhususkan kepada laki-laki atau dikhususkan kepada perempuan. Misalnya dalam Quran  (31;14) Allah swt berfirman, ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu’.
Setelah Quran memuliakan kedua orang tua, lalu Quran berbicara secara terpisah mengenai jerih payah yang ditanggung oleh seorang ibu, bukan seorang ayah. Allah swt berfirman dalam Quran (46;15), ‘Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’.
Quran berbicara tentang jerih payah yang ditanggung seorang ibu selama 30 bulan. Mulai dari masa mengandung, melahirkan, hingga menyusui adalah masa yang sulit bagi seorang ibu. Quran memaparkan hal tersebut untuk menggambarkan bagaimana bentuk pengkhidmatan seorang ibu. Pengkhidmatan ini tidak setara dengan pengkhidmatan seorang ayah.
Perempuan dalam Irfan

Sebagaimana dipahami bersama, tak ada perempuan yang membawa syariat tertentu karena syariat merupakan aspek pelaksanaan atau implementasi. Namun mesti dipahami bahwa setelah kenabian tasyri’i dan berakhirnya risalah tasyri’i, pintu telah tertutup untuk semuanya, baik laki-laki atau perempuan. Karena itu setelah Rasulullah saw, bertahun-tahun lamanya tak ada lagi risalah baru yang muncul. Oleh karena itu, menjauhkan perempuan dari politik, sosial, budaya, dan ekonomi dengan alasan bahwa perempuan tidak membawa syariat adalah alasan yang tidak benar. Karena jika alasan ini dibenarkan, maka setelah berakhirnya risalah tasyri’i maka semestinya alasan ini pun berlaku terhadap laki-laki. Disisi lain, jika dipahami bahwa inti dari nubuwwah adalah wilayah, maka perempuan sama sekali tidak terhalangi dalam meraih hakekat wilayah.