Showing posts with label Baduy dalam. Show all posts
Showing posts with label Baduy dalam. Show all posts

Friday, December 28, 2018

Saat Satu-Satunya Kemewahan adalah Kesederhanaan



“Mengapa ada orang yang berjalan tanpa alas kaki, sambil mengitari pinggiran jalan-jalan kota. Kira-kira apa yang sedang ada di benak mereka? Mengapa mereka seolah tak pernah peduli dengan kehidupan kemegahan orang-orang moderen?” pertanyaan ini selalu hadir, setiap kali melihat orang-orang Baduy menelusuri keramaian sudut-sudut kota Jakarta. 

Pertanyaan tentang “apa yang ada di benak mereka” hampir-hampir tak kan pernah terjawab dengan baik, terkecuali ada saat, kita benar-benar mampu hadir di dalam kehidupan mereka.

Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman tak hanya memberikan pengetahuan, tapi yang lebih penting, membuahkan aroma dan cita rasa. Salah satu pesan di dalam filsafat jawa menjelaskan, “roso, boso”, rasa adalah bahasa. Kalau kata orang-orang Sufi, “ilmu adalah kehadiran”. Orang-orang yang tak hadir, hakikatnya tak mengetahui. Karena orang-orang yang tak hadir tak mampu merasakan cita rasanya.

Kegiatan Omah Budaya Wulangreh, “Be Baduy” adalah satu kegiatan yang dirancang untuk mencoba mendekati kehidupan orang-orang Baduy secara dekat dan tanpa ada jarak. Kita dihimbau selama sehari semalam menjadi orang Baduy. Tanpa alas kaki, tanpa listrik dan teknologi, tanpa sabun dan sampo, tanpa kamar mandi sebab ‘kali atau sungai’ satu-satunya pilihan dalam melepaskan hajat-hajat kita.

Meskipun sehari semalam tak kan mewakili kehidupan orang-orang Baduy yang sudah berlangsung lama. Entah sudah berapa lama. Tapi tugas saya hanya mencoba mendekati kehidupan mereka, sedekat hembusan udara sepoi-sepoi yang menembus pori-pori tubuh.

* * * * *

Subuh hari, saat malam berangsur-angsur meninggalkan kegelapannya, saya bersama rombongan berangkat menuju tempat yang paling hening di singgasana orang-orang Baduy. Dan kira-kira sejam mendekati tempat tujuan, mata kita mulai dimanjakan dengan keindahan alam. Gunung, sawah, pepohonan, ciutan burung, dan udara yang masih segar tanpa polusi. Seluruhnya menjadi satu kesatuan yang paling utuh, membentuk nada-nada simfoni keindahan alam.

Kami memutuskan membuka kaca jendela mobil. Mematikan mesin pendingin dan menghidupkan angin sepoi-sepoi yang menembus masuk ke ruangan mobil yang kami tumpangi. Angin sorgawi yang sesekali menebarkan aroma tanah. Dan terkadang mencium wangi asap dedaunan yang sengaja dibakar di rumah-rumah warga.

Jalan yang kami lalui, sesekali melewati pendakian, lalu penurunan. Seperti menelusuri tanah perbukitan. Luas jalan tak begitu luas. lebar jalan selebar dua kendaraan roda empat. Jadi kadang mesti tiba-tiba harus berhenti sejenak, karena lubang-lubang jalanan begitu besar. Terkadang jalan terbaik ialah harus membiarkan kendaraan lain yang sedang berpapasan agar bisa melintas terlebih dahulu.

Satu pertanyaan kembali melintas di benakku. Mengapa disepanjang perjalanan ini, saat mendekati singgasana Baduy, tak ada satu pun orang-orang Baduy yang saya saksikan? Mengapa justru sudah sedekat ini, tapi tak satu pun orang-orang Baduy melintas di jalanan?

Hingga saat kami benar-benar tiba di lokasi Baduy. Tempat pemberentian akhir kendaraan. Tempat terakhir menggunakan alas kaki. Sepatu, sendal, dan kaos kaki mesti dikembalikan ke singgasana ke moderenan sebab di sini hanya memperkenankan alas kaki yang paling purba, telapak kaki kita sendiri. Di tempat inilah saya bisa menyaksikan kehidupan ‘Baduy Luar’.

Awalnya kikuk, tak tahu mesti bagaimana melangkah tanpa alas kaki di atas tanah liat yang bebatuan. Tapi saat berpapasan dengan orang Baduy, saya mulai belajar bagaimana cara mereka melangkah dan menginjakkan kaki. Karena kontur tanah yang berbukit, sesekali mesti berpegangan pada ranting atau batu agar tidak kepeleset, apalagi sampai jatuh.

Dan kami terus berjalan, tanpa alas kaki, menelusuri jalan-jalan yang hanya bisa dijalani oleh para pejalan menuju Baduy dalam yang paling terdalam dengan kedalamannya. Sejenak benakku seketika hening, terkesima oleh keindahan kupu-kupu dan capung-capung yang menari-nari bagai peri, seolah ingin menyertai setiap langkah keheningan. Seolah mereka sedang bercerita tentang kejernihan air dan keaslian ekosistem yang belum terjamah sama sekali oleh keserakahan manusia.    

Setelah berjalan kurang lebih satu jam, kami tiba di jembatan bambu. Jembatan inilah sebagai pemisah antara Baduy dalam dan Baduy luar. Di Jembatan inilah pemisah antara tradisi dan modernitas, antara keramaian dan keheningan, antara kemegahan dan kesederhaan.

Rasa haru dan hening saat pertama kali kaki-kaki menyentuh jembatan bambu ini. Seolah baru kali ini benar-benar memiliki kesadaran menyatu dengan alam. Keheningan diri dan keramaian simfoni alam melalui suara gemercik air yang tak pernah berhenti. Arus air sungai yang tak begitu deras, saat menerpa bebatuan, dedaunan dan ranting-ranting pohon di pingggiran sungai, mampu menghasilkan suara keindahan keheningan.

* * * * *

Akhirnya kami tiba di lokasi yang dimaksud. Di rumah salah satu warga Baduy dalam. Kami langsung bergegas ke sungai. Mencuci telapak kaki yang telah dipenuhi dengan lumpur.

Saat pertama kali mencelupkan kaki di pinggir sungai, rasa lelah dan capek seketika sirna, terbayar dengan kejernihan air sungai dan dinginnya air memberikan relaksasi ke seluruh tubuh. Sambil membersihkan kaki, sesekali memandangi dasar sungai yang nampak terlihat dengan mata telanjang.
Usai membersihkan kaki. Saya kembali ke rumah Aki (tempat kami menginap). Dan sebelum masuk rumah, kaki mesti dibersihkan lagi dengan air yang telah disediakan di halaman rumah. Saat berada di dalam rumah, pilihan terbaik adalah  merebahkan diri sejenak, sambil mengamati rumah yang didesain dari bambu. Rumah panggung bambu yang tanpa paku.

Hal yang ditunggu-tungu akhirnya datang juga. Makan siang sudah siap. Nasi, sayuran, lalapan, sambel dan ikan kering. Menu mereka setiap hari memang seperti ini. Entah mengapa, makan siang waktu itu masih terasa hingga kini. Makan siang yang sesederhana mungkin namun nikmatnya tak terkira. Boleh jadi karena pengaruh lelah ditambah dengan lapar yang membuat segalanya terasa nikmat.

Kata Maulana Rumi:

Sungguh, lapar adalah Sultan dari segala obat.
Semayamkan lapar dalam jiwa,
Jangan anggap ia sebagai kehinaan.

Lapar menjadikan segala yang tak menyenangkan,
Jadi menyenangkan.
Tanpanya, segala yang menyenangkan tertolak.

Tuhan menganugerahkan lapar kepada orang-orang pilihanNya,
Sehingga mereka menjadi singa-singa perkasa.

Lapar memberikan kenikmatan,
Bukan makanan manis yang segar,
Lapar menjadikan roti Barley lebih manis dari gula.

 Usai makan siang, masing-masing dari kami mencari tempat rebahan yang paling nyaman. Saya memilih di sudut teras agar mampu memandangi pohon-pohon yang tinggi. Menyaksikan bulir-bulir air hujan yang mengalir dari atas atap hingga jatuh ke tanah. Atap rumah yang terbuat dari daun-daun dan ranting pohon sagu.

Seketika suasana menjadi hening. Tawa dan bicara sesekali terhenti sejenak. Seolah semua menikmati keheningan yang paling hening. Menyadari betapa keindahan, kemurnian, kesejukan, kesederhanaan, kepolosan, dan kejernihan bisa bersatu padu merangkai makna-makna menembus ruang dan waktu. Dan hanya menyisakan satu pertanyaan, “selama ini kita dimana?”

* * * * *

Menjelang maghrib. Di sini, gradasi kegelapan begitu nyata. Kita benar-benar bisa menyaksikan bagaimana cahaya sirna dan kegelapan datang secara perlahan-lahan. Tak ada penerang listrik yang menerangi kehidupan orang-orang sini. Karena orang-orang Baduy dalam sendiri yang tak menginginkan keberadaan listrik. Seolah mereka menyadari, seketika listrik masuk, berarti sama saja menyerah kepada kehidupan modernitas.

Maghrib usai. Malam sudah mulai menampakkan dirinya dalam kegelapan. Makan malam bersama ditemani dengan satu penerangan cahaya dari sumbu api dengan bahan bakar minyak goreng yang sudah tidak digunakan lagi. Seperti biasa, usai menyantap makan malam, masing-masing kembali mencari sandaran. Menghayati kegelapan sebagai satu-satunya cahaya.

Malam itu kami berdiskusi tentang orang-orang Baduy, tentang keheningan diri hingga pengenalan diri, sambil menyaksikan kunang-kunang mengitari pepohonan dan dedaunan. Kami melewati malam dalam kebersamaan dengan keheningan. Menyelusuri makna-makna jiwa yang terjerat dalam kepalsuan kebisingan kota.

Malam yang semakin malam. Dingin mulai menyelimuti keheningan jiwa. Sebagian dari kami mencoba menembus dinginnya malam dengan menelusuri anak sungai. Meniru orang-orang Baduy yang mencari ikan di malam hari dengan sebilah golok. Memang agak sulit memahami, bagaimana ikan yang hanya sebesar ibu jari, justru ditangkap dengan sebilah golok. Dan itu pun dilakukan di kegelapan malam hari.   

Bagi kita orang kota yang terbiasa terang dengan pencahayaan lampu, saat lampu padam, mungkin sebagian dari kita akan merasa sesak nafas. Segera mencari lilin agar bisa melihat sesuatu dalam kegelapan. Sebab kita tak kan pernah bisa memahami bagaimana melihat sesuatu di dalam kegelapan malam. Saat satu-satunya cahaya adalah kegelapan. Kata Suhrawardi, “gelap adalah cahaya dengan intensitas cahaya yang sangat rendah”.

* * * * *

Waktu pun berganti. Malam mulai meninggalkan kemegahannya dalam gelap. Cahaya matahari mulai menampakkan dirinya menyinari keindahan tanah Baduy. Tak terlihat lagi kedap-kedip cahaya kunang-kunang.

Di pagi hari. Orang-orang Baduy sudah nampak sibuk. Ada yang mengambil air di sungai. Ada yang langsung ke ladang. Saya turut menyertai mereka mengambil air di sungai. Bambu manjadi alat yang cukup praktis untuk mengambil air dari sungai. Saat bambu ditenggelamkan ke sungai, air akan masuk ke ujung bambu yang sengaja dilubangi.

Saat pagi hari, khususnya di pedesaan, umumnya kita akan melihat anak-anak berseragam putih-merah berjalan berbaris di pinggiran jalan menuju sekolah. Tapi di Baduy dalam, pemandangan seperti itu tak kan pernah ditemukan. Anak-anak di sini tak bersekolah. Tak ada proses pembelajaran secara formal. Anak-anak tak diajarkan bagaimana cara membaca dan menulis.

Sekolah mereka adalah alam semesta. Guru mereka kedua orang tua mereka sendiri. Sejak kecil, mereka sudah menemani Ayah ke ladang atau menemani Ibu ke sungai. Atau menemani kedua orang tua mereka ke hutan mencari sayuran dan tanam-tanaman.

Di pagi yang indah itu, kami diberi kesempatan berjalan-jalan menelusuri anak-anak sungai dan sesekali melewati pepohonan yang lebat dan tinggi, tanaman yang menjalar, dan batu-batuan yang besar seperti memasuki area hutan. Meskipun menurut mereka, jalur yang kami lalui bagi mereka belum termasuk bagian dari hutan.

Di sepanjang jalan, si Aki menjelaskan tanaman dan pepohonan yang kami jumpai.  Menjelaskan satu persatu khasiat dan kegunaannya. Bukan Cuma itu, bahkan mengajarkan bagaimana cara memakannya. Satu hal yang tak pernah saya lupakan, menjumpai satu tanaman, dan cara memakannya pun cukup unik. Mulut kita mesti langsung mengunyah tanaman tersebut tanpa memetiknya terlebih dahulu. Mulut kita yang langsung memetik dan sekaligus mengunyahnya.

Akhirnya saya mengerti, hal yang paling penting bagi anak-anak mereka adalah menerima pengetahuan secara langsung dan turun temurun dari nenek moyang mereka. Mereka tak pernah menuliskan pengetahuan mereka. Satu-satunya jalan menjaga tradisi Baduy adalah dengan  mewariskan secara langsung apa yang mereka tahu ke anak cucu mereka.   

* * * * *

Perjalanan ini menyisakan satu pertanyaan penting dalam diri saya, manakah kehidupan yang sebenarnya? Apakah kehidupan Baduy atau kehidupan moderen? Apakah hidup dalam tradisi purba lebih memberikan arti kemanusiaan kita atau hidup di jantung modernitas lebih memberi arti dan makna kehidupan?

Menurut saya, intinya adalah bagaimana kita mampu menemukan kesejatian diri kita sendiri. Kita mesti memahami hidup dalam kepalsuan dan hidup dalam kesejatian. Menemukan kepalsuan diri akan membantu kita memahami hidup dalam kesejatian diri. Oleh karena itu, hidup dalam kebaduyian atau kemoderenan, keduanya tak kan memberikan jaminan terhadap diri kita dalam menemukan kesejatian dan kepalsuan. Tanpa ada penyelaman dan penggalian terhadap diri kita sendiri, pada akhirnya semuanya akan sama saja.

 Tapi hidup di jantung arus modernitas bukan hal yang mudah. Persaingan dan percepatan dalam segala aspek kehidupan adalah problem utama manusia moderen. Kedua hal tersebut tak kita temukan dalam kehidupan Baduy. Sebab mereka lebih mengagungkan kepolosan, ketulusan, kesederhanaan, dan yang paling utama kehidupan yang menyatu dengan alam semesta. Namun sebaliknya dalam kehidupan moderen, persaingan dan percepatan justru pemicu menjebak manusia dalam kepalsuan, memaksa manusia hidup dalam keserakahan, paradoks, ambigu, dan berujung dengan keterasingan.

Sebab itu, kita mesti bersyukur sesyukur-syukurnya. Tuhan masih menyisakan kepada kita hingga saat ini, kehidupan orang-orang Baduy. Sebab kita bisa bercermin kepada orang-orang Baduy atas nilai-nilai kemanusiaan yang kita junjung selama ini. Apakah benar nilai-nilai itu masih melekat kepada kita atau sudah terasing digilas oleh arus modernitas yang meniscayakan persaingan dan percepatan.

Saya masih ingat pesan indah orang-orang Baduy kepada kaum mereka sendiri. Kata salah satu dari mereka, “saya tidak takut anda berjalan-jalan melihat dunia luar, namun yang aku takutkan kalau anda sudah tidak memahami, siapakah jatidiri kalian sebenarnya? Karena pada saat itu, anda tidak akan tahu lagi kemana jalan pulang”.

Orang-orang Baduy tetap memilih kemurnian dan kesederhaan. Bahkan satu-satunya kemegahan yang mereka miliki adalah kesederhaan itu sendiri.


Terima Kasih
Muhammad Nur Jabir