Showing posts with label Walaya menurut Toshihiko Izutsu. Show all posts
Showing posts with label Walaya menurut Toshihiko Izutsu. Show all posts

Sunday, March 3, 2013

Walaya according Toshihiko Izutsu


Introduction
Pembahasan walaya merupakan pembahasan penting dalam pandangan dunia mistis. Bisa dikatakan hampis semua sufi membahas mengenai persoalan walaya. Salah satunya adalah Ibn Arabi, pembahasan walaya dieksplorasi lebih jauh dalam berbagai karya Ibn Arabi khususnya dalam karya emasnya Fushusul Hikam.
Hampir seluruh komentator terhadap Fushusul Hikam mengakui kerumitan yang ada dalam pembahasan Fushus. Oleh karena itu dibutuhkan kunci tertentu untuk memahami teks yang ada di Fushusul Hikam. Kunci tersebut bisa ditemukan pada murid–murid Ibn Arabi yang bersentuhan langsung dengannya. Salah satu murid yang sangat berjasa menjelaskan teks–teks Ibn Arabi adalah Shadaruddin Qunawi dan murid–murid Qunawi seperti Jandi. Dalam makalah ini kami ingin menjelaskan mengenai walaya dalam perstektif Toshihiko Izutsu dalam bukunya  ‘Sufism and Taoism’
Walaya dalam persektif Izutsu
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa gagasan Izutsu tentang walaya akan kami bahas dalam bukunya Sufism and Taoism khususnya pada pasal 16. Pada pasal ini Izutsu membahas konsep walaya dan dikaitkan dengan pembahasan kerasulan dan kenabian.
Makna Walaya secara Umum
Menurut Izutsu konsep walaya merupakan konsep yang paling luas diantara konsep yang ada karena meliputi konsep ‘nubuwwah’ dan ‘risalah’. Izutsu dengan mengutip pandangan Qasyani meyakini bahwa setiap Rasul adalah Nabi dan setiap Nabi adalah Wali akan tetapi tidak sebaliknya. Menurut Izutsu hubungan diantara ketiganya agak kompleks dan rumit dalam gagasan Ibn Arabi.
Menurut Izutsu, Wali adalah salah satu nama dari nama-nama Tuhan. Berbeda dengan Rasul dan Nabi yang merupakan karekteristik dari nama–nama manusia dan bukan dari nama–nama Tuhan. Dari sini bisa terlihat jelas perbedaan diantaranya dimana Wali adalah nama dari Al-Haqq itu sendiri tapi tidak bisa dinisbahkan kepada-NYA nama Rasul dan Nabi.
Dalam hal ini Izutsu ingin menjelaskan bahwa tidak semua nama bisa dinisbahkan kepada Tuhan walaupun nama tersebut memiliki nilai sakralitas yang tinggi seperti nama Nabi dan Rasul, dimana Nabi dan Rasul tidak termasuk dari nama–nama Tuhan. Disini juga letak kunci mengapa Izutsu menyebut konsep Walaya lebih luas dibandingkan Rasul dan Nabi karena walaya adalah derajat tertinggi yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu Wali adalah sebuah nama yang bisa dinisbahkan kepada Al-Haqq dan juga kepada manusia. Nama tersebut dimiliki secara bersama– sama, baik oleh Al-Haqq dan juga manusia. Namun untuk mencapai maqam tersebut manusia harus mencapai puncak pengetahuan yang tertinggi terhadap Al-Haqq dan pada saat itulah dia berhak untuk menyandang predikat Wali.     
Dalam pandangan Izutsu Wali adalah yang mereka yang telah mampu melampaui batas – batas ubudiyah sehingga dia bisa sampai pada derajat rububiyah. Izutsu menambahkan bahwa kemampuan seorang Arif menembus batas – batas ubudiyah sehingga naik ke atas dikarenakan dirinya telah tenggelam dalam Al-Haqq.
Lanjut, Izutsu kemudian menjelaskan mengapa dialam ini tidak pernah kosong dari walaya. menurutnya hal tersebut dikarenakan Wali adalah salah satu nama diantara nama–nama Tuhan, maka sebagaimana Tuhan senantiasa abadi, tentunya nama–namaNYA pun akan tetap abadi. Oleh karena itu selama masih ada manusia yang sampai pada maqam walaya maka alam ini akan senantiasa ada dan kokoh.
Namun berbeda dengan risalah dan nubuwwah yang telah berakhir pada Rasullullah saw sebagai ‘khatamannabiyyin’. Setelah Rasulullah saw, tidak ada lagi Nabi Tasyri’ (pembawa hukum– hukum syariat yang dia dapatkan langsung dari Tuhan) tapi yang ada adalah nubuwwah ‘aam’ yaitu nubuwwah tanpa tasyri’ atau walaya itu sendiri. Menurut Izutsu risalah dan nubuwwah tersebut sangat bergantung kepada syarat–syarat kondisi yang ada, karena itu hal tersebut bisa saja hadir dan juga menghilang.  
Dari pembahasan diatas Izutsu menyimpulkan pandangan yang disampaikan oleh Ibn Arabi dengan membagi nubuwwah kedalam dua bagian : pertama nubuwwah tasyri’ dan yang kedua adalah nubuwwah tanpa tasyri’ namun syariatnya mengikuti Nabi sebelumnya yang membawa syari’at.  Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kenabian dan kerasulan didapatkan dari derajat kewalayahannya pada setiap diri manusia sempurna. Dia tidak mungkin akan menjadi seorang Nabi dan Rasul kecuali sebelumnya dia telah menjadi seorang Wali. Dalam kata lain derajat risalah dan nubuwwah didapatkan dari derajat walayah. Menurut Izutsu Nabi adalah seorang wali yang ditambahkan pada walayahnya sebuah tanda khusus yaitu sebuah ilmu tertentu terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui. Rasul adalah seorang wali yang ditambahkan pada walayah, dan nubuwwahnya merupakan sebuah ilmu taklif untuk menyampaikan pesan–pesan Ilahi terhadap para pengikutnya. Dari sini bisa dipahami bahwa wali merupakan ciri khusus seluruh insan kamil.
Definisi walaya
Izutsu menjelaskan definisi walaya sebagai pengetahuan sempurna terhadap hakekat puncak Al-Haqq, alam, serta hubungan diantara keduanya. Manusia yang sampai pada maqam walaya, dirinya akan sadar bahwa dirinya merupakan jelmaan dari Al-Haqq. Oleh karena itu dalam esensinya dia akan menyatu dengan nama Tuhan. Penyatuan inilah yang disimpulkan oleh Izutsu sebagai ‘wahdatul wujud’.
Dalam pandangan Izutsu konsep ‘wahdatul wujud’ ini hanya bisa didapatkan melalui fana dari dirinya dan secara sempurna sampai kepada derajat baqa bersama Al-Haqq. Jika seseorang fana maka akan memindahkan dirinya kepada bathin Al-Haqq dan jika demikian maka segala hakekat sesuatu akan dia saksikan secara langsung. Oleh karena itu fana memiliki peranan yang besar dalam menjelaskan konsep walaya. Bahkan menjadi ciri yang pertama diantara ciri–ciri esensi seorang wali.
Dari pembahasan diatas Izutsu mencoba  menjelaskan 3 kategori tahapan fana yang dia kutip dari gagasan Ibn Arabi, diantara ketiga tahapan fana tersebut sebagai berikut :
  1. Takhalluq : takhalluq adalah tahapan pertama dari fana dan maksud dari takhalluq ini adalah ketika seluruh sifat–sifat insaniyah seorang Arif fana dalam sifat–sifat Ilahiyah. Dalam kata lain sifat–sifat seorang Arif tenggelam dalam sifat–sifat Ilahiyah.
  2. Tahaqquq : tahapan kedua dari fana ini menjelaskan bahwa zat seorang Arif tenggelam dalam zat Al-Haqq.
  3. Ta’alluq : tahapan ketiga ini menjelaskan derajat seorang Arif telah sampai pada baqa setelah fana. Kata ta’alluq sendiri secara etimologi bermakna kebergantungan secara total. Kebergantungan secara total ini menjelaskan ciri esesnsi dari walaya. Dalam fana seorang Arif masih menemukan dirinya, namun dalam baqa dia hanya menemukan dirinya tenggelam dalam zat Al-Haqq. Dirinya telah baqa dalam zat Al-Haqq, oleh karena itu dirinya telah menyadari akan ketiadaan dirinya dan yang ada hanya Al-Haqq. Apapun yang dia lakukan bukanlah dirinya akan tetapi Al-Haqq itu sendiri.
Dari pembagian ketiga tahapan fana ini Izutsu menyimpulkan bahwa walaya hanya bisa diraih melalui pengalaman fana. Fana itu sendiri pada hakekatnya menjelaskan keluasan ilmu seorang wali, dikarenakan dirinya telah mampu menyaksikan segala sesuatu akibat ketersambungan dirinya kepada lautan yang tak terbatas akan singgasana Ilahiyah. Pada saat yang bersamaan seorang Arif juga sadar bahwa segala hal tersebut terjadi didalam dirinya. Bahkan pada puncaknya ilmu wali akan menyatu dengan ilmu Ilahi sebelum bentuk entitas–entitas yang tak terbatas tersebut terpisah satu sama lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuwwah dan risalah sangat berhubungan dengan dunia ini. Perkara mereka sangat berhubungan kehidupan alam ini karena untuk mengantarkan manusia kepada kebahagiaan abadi yaitu akhirat. Berbeda dengan walaya yang tidak memiliki hubungan substansi dengan alam ini. Dari hal ini Izutsu beranggapan bahwa  nubuwwah dan risalah bisa dinafikan pada pemiliknya namun walaya tidak mungkin dinafikan dalam dirinya. Oleh karena itu diantara ketiganya yang memiliki posisi puncak adalah walaya sedangkan nubuwwah dan risalah adalah sebuah fadhilah yang ditambahkan pada walaya. Akan tetapi Izutsu menambahkan bahwa jika ketiganya (risalah, nubuwwah dan walaya) tidak berkumpul pada seseorang akan tetapi pada tiga individu yang berbeda maka dalam hal ini seorang Wali harus mengikuti Nabi dan Rasul. Alasannya dikarenakan seorang Rasul memiliki ilmu terhadap hukum tertentu (ilmu zahir). Seorang Rasul dengan ilmunya tersebut akan dibangkitkan kepada ummatnya sedangkan seorang wali tidak memiliki ilmu demikian. Oleh karena itu berkenaan dengan tasyri’ seorang Wali harus mengikuti seorang Rasul pada zamannya.
Akan tetapi perlu diketahui dari satu sisi Wali lebih diatas dari seorang Rasul. Izutsu menjelaskan hal tersebut dengan dalih bahwa seorang Wali bukan hanya memilliki ilmu terhadap Al-Haq dan hakekat sesuatu bahkan dirinya pun sadar bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut. Berbeda dengan Nabi dan Rasul yang tidak memiliki kesadaran akan ilmu tersebut. 

Makna Khalifah
Izutsu menjelaskan bahwa konsep “ Insan Kamil “ jika dikaitkan dengan konsep individualitas akan menjelma pada Wali, Nabi dan Rasul dimana ketiga hal tersebut merupakan Khalifah Tuhan, dikarenakan mereka adalah tempat tajalli yang paling sempurna dan paling lengkap dibumi ini. Mereka adalah manifestasi objektif dari “ hakekat muhammadiyah “.
Makna Khatm
Kata khatm bisa dibagi menjadi dua bagian : 1) khatmul anbiya atau khatmul rasul. 2) khatmul auliya. Yang pertama yaitu khatmul anbiya yang pada umumnya digunakan dalam Islam dan dinisbahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. Kemudian yang kedua yaitu khatmul auliya atau wali terakhir. Disini Ibn Arabi menisbahkan dirinya sendiri sebagai khatmul auliya, setidaknya selama alam ini masih tetap eksis. Menurut Izutsu, penisbahan dirinya sebagai khatmul auliya tidak ditegaskan dalam Fushusul Hikam, namun dalam Futuhat Ibn Arabi secara tegas mengatakan ‘tanpa ragu sayalah khatmul auliya, pewaris Muhammad saw dan Isa as’.
Diakhir pembahasan ini Izutsu menjelaskan pandangan Ibn Arabi mengenai hubungan antara khatmul auliya dan khatmul rasul. Ibn Arabi mencoba mengaitkan antara hadis Rasulullah saw dengan mukasyafahnya sendiri (Ibn Arabi). Dalam hadits tersebut Rasulullah saw  menyimbolkan dirinya sebagai batu terkahir yang dengan batu tersebut sebuah tembok bangunan akan menjadi sempurna. Disisi lain Ibn Arabi menyaksikan (mukasyafah) Baitullah dimana Baitullah dibangun dari emas dan perak (dimana perak simbol dari Nabi dan emas simbol dari wali). Dalam mukasyafah tersebut Ibn Arabi melihat dua batu yang masih tersisa, yang satu dari emas dan satunya lagi dari perak. Dalam mimpi tersebut terasa sangat jelas kedua tangannya tertarik untuk mengisi dinding Baitullah yang masih kosong tersebut dengan dua batu yang masih tersisa tadi.
Menurut Izutsu ada pembahasan menarik yang dikemukakan oleh Qashani dalam mengomentari mukasyafah Ibn Arabi. Jika kita cermati secara sepintas antara hadits Rasulullah saw dengan mukasyafah Ibn Arabi akan terlihat dengan jelas bahwa khatmul auliya memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan Rasulullah saw, dikarenakan posisi Rasulullah saw hanya melengkapi satu batu namun khatmul auliya melengkapi dua batu. Namun pada saat yang sama Ibn Arabi sendiri mengaitkan dirinya batu perak sebagai simbolisasi dari kepatuhan dia secara lahiriyah kepada Rasulullah saw dan batu emas simbolisasi dari hakekat dirinya. Dalam menjelaskan hal diatas Qashani mengingatkan kepada kita bahwa walaupun Rasulullah saw hanya mengisi satu kekosongan saja namun beliau tetap saja sebagai khatmul auliya. Dalam kata lain ketika beliau mengisi kekosongan tersebut, beliau mengisinya pada maqom nubuwwah dan risalah, bukan pada maqom wali. Dalam kata lain, Rasulullah saw tidak menampakkan dirinya dalam maqam walaya.