Showing posts with label Epistokrasi. Show all posts
Showing posts with label Epistokrasi. Show all posts

Sunday, October 21, 2018

Akankah kondisi negara menjadi lebih baik jika diserahkan pada orang-orang ahli?

Saat pemilu tiba dan tiba waktunya memberikan suara kepada kandidat, harus disadari bahwa dalam demokrasi, tak ada perbedaan antara suara seorang ilmuan dan orang awam. Memang terlihat paradoks, tapi bukan suatu kesalahan. Meskipun seorang ilmuan, lebih paham tentang kondisi negara daripada orang awam.

Kalau disadari, demokrasi sudah bukan lagi esensi kita saat ini. Demokrasi adalah produk masa lalu tapi seolah kita sudah tak punya kuasa mengubahnya. Demokrasi yang ada saat ini tak lebih hanya sebuah sistem kekuasaan dimana semua orang dilibatkan secara massif untuk mendapatkannya.

Akhir-akhir ini, sudah banyak ilmuan yang meragukan esensi demokrasi. Arah demokrasi hampir tak mungkin diprediksi. Bahkan hasil dari demokrasi bagi sebagian orang, amat menakutkan. Terpilihnya Trump dan melonjaknya fenomena populisme dianggap sebagai puncak dari kegagalan demokrasi.

Salah satu teori yang ditawarkan untuk mengganti sistem demokrasi adalah epistokrasi. Sistem politik ala epistokrasi adalah suatu sistem kekuasaan yang bersandar kepada para ilmuan dan pemikir. Arah epistokrasi amat jauh berbeda dengan arah demokrasi.

Epistokrasi berlandaskan kepada pengetahuan. Mereka mengatakan, dalam menggunakan hak suara dalam kontes pemilihan untuk menentukan arah kebijakan politik, sangat bergantung kepada, sejauh mana anda mengetahui apa yang sedang anda lakukan. Apakah anda benar-benar memahami dengan baik, pilihan yang anda pilih?

Sementara dalam demokrasi, pengetahuan itu tidak begitu penting. Itu sebabnya, satu-satunya kriteria keikutsertaan dalam pemilu ala demokrasi adalah usia. Jenjang pendidikan bukan kriteria utama dalam memberikan hak suara.

Plato adalah tokoh yang pertama kali memberikan kritik atas gagasan demokrasi. Bagi Plato, demokrasi bermakna pelimpahan kekuasaan kepada orang-orang awam.

Namun hal tersebut tidak berarti bahwa pada saat yang sama, para pendukung demokrasi merelakan dirinya dikontrol oleh orang-orang awam. Tak seorang pun yang rela yang secara sadar meyakini bahwa keawaman dan kebodohan adalah suatu bentuk keagungan.

Di sisi lain, harus diakui bahwa dalam demokrasi, tidak dibedakan antara ilmuan dan orang awam. Kecerdasan dan kekuatan dalam menganalisa persoalan yang pelik, dalam sistem demokrasi, tidak menjadi hal yang sangat penting dan utama.

Sebab itu, patut untuk kita renungkan, beberapa pertanyaan penting yang diajukan oleh epistokrasi atas gagasan demokrasi, Mengapa hak perlakuan istimewa tidak bersandar pada pengetahuan? Apa yang menjadi kriteria utama dalam memberikan hak suara kepada semua orang? Bukankah akan lebih baik jika semua orang bersandar kepada pengetahuan daripada mengulang-ulang terus kesalahan? Jika kita mampu memprediksi kegagalan-kegagalan demokrasi, mengapa kita tidak menghindarinya sejak awal? Apalagi para pengusung demokrasi sendiri tak mampu menjawab, siapa yang akan bertanggungjawab dari kegagalan berdemokrasi?