Showing posts with label Jalaluddin Rumi. Show all posts
Showing posts with label Jalaluddin Rumi. Show all posts

Friday, March 8, 2019

SAYA LEBIH BAIK DARI ORANG LAIN?

Tapi menurut saya, salah satu kesempurnaan jiwa, saat diri ini tak menganggap lebih baik dari orang lain. Kita  bisa belajar dari Iblis saat mengatakan, 'aku lebih baik darinya'. Ungkapan tersebut adalah ungkapan kejahilan, keangkuhan, dan egoisme.

Tapi mengapa kita tidak boleh merasa lebih baik dari orang lain?

Boleh jadi ada orang merasa lebih baik dari yang lain karena soal genetika atau konstruksi sosial. Padahal seseorang tak punya keterlibatan sama sekali saat kedua keunggulan tersebut diwariskan pada dirinya.

Alasan kedua mengapa kita tak boleh merasa lebih baik dari yang lain, karena kita tak tahu apa yang sedang terbercik di dalam hati seseorang, kita hanya bisa menilai seseorang dari sisi luar saja. Padahal penilaian seperti itu seringkali salah. Banyak orang yang memakai baju kesucian, tapi punya hati busuk. Bisa juga sebaliknya, sepintas terlihat sebagai orang sesat, namun menjunjung tinggi nilai moralitas dan kemanusiaan.

Alasan ketiga, saat kita menilai suatu aib pada orang lain, sebenarnya aib tersebut ada di dalam diri kita dan kita pun mengalaminya.

Kata Maulana Rumi dalam kitab fihi ma fihi:

"Segala sifat buruk seperti hasud, dengki, tamak, zalim, angkuh, dan tanpa belas kasih, tak kau rasakan perih dan sakitnya, sebab sifat-sifat tersebut ada di dalam dirimu, Namun saat kau melihat sifat-sifat itu pada orang lain, barulah kau merasakan perih dan sakitnya".

Alasan keempat, orang yang paling merasa bertaqwa, tak pernah menjamin dan memastikan dirinya, kehidupannya akan berakhir dengan husnul khatimah, sebagaimana tak satu pun dari kita yang bisa memastikan, orang buruk yang kita saksikan hari ini, akhir kehidupannya pasti berakhir dengan keburukan.

Jadi lebih baik kita sibuk mencari aib diri kita sendiri daripada sibuk mencari-cari aib orang lain. Jika kita sibuk mencari aib diri kita sendiri, tak kan ada waktu yang tersisa untuk mencari-cari aib orang lain.

Kata Maulana Rumi,

Memiliki pandangan yang baik,
syarat menjadi manusia,
Aib itu disini dan disana,
Jangan kau cari!

Wednesday, August 12, 2015

Takwil Syair Rumi (8)

Yang kuraih dalam hidupku, tak lebih dari tiga perkataan saja; mentah, matang, dan terbakar.

~ Rumi

Rumi merangkum perjalanan hidupnya dalam tiga hal; mentah, masak, dan terbakar. Ketiga hal itu sebenarnya menjelaskan perjalanan gerak ruhaniyah dirinya sebagaimana sufi lainnya. Tiga hal itu merupakan tangga perjalanan. Namun bagaimana kita memaknai ketiga hal itu?

Sebagian menakwil makna tiga tahapan kehidupan Rumi yaitu mentah, matang, dan terbakar dengan tiga tahapan perjalanan makrifat yaitu ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Ilmu yaqin adalah tahap pengetahuan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan hakikatnya. Misalnya dikejauhan sana saya melihat asap dan melalui asap ini memberikan saya keyakinan bahwa disana ada api. Saya hanya mengetahui asap namun tidak mengetahui secara langsung api tersebut. Tahap ini oleh Rumi disebut dengan pengetahuan yang masih mentah.

Namun seiring dengan perjalanan ruhaniyah, seseorang bisa sampai pada 'ainul yaqin. 'Ainul yaqin dalam contoh sebelumnya adalah mereka yang telah sampai menyaksikan api. Pengetahuannya lebih sempurna dari pengetahuan sebelumnya yang hanya menyaksikan asap. Rumi menyebut dirinya terkait tahapan ini dengan matang karena telah sampai menyaksikan hakikat.

Jika ruhaniyah seseorang memiliki potensi suci yang cukup, ia dapat melanjutkan perjalanan ruhaniyahnya sampai pada tahap bukan hanya menyaksikan api, ia mencelupkan dirinya kedalam api sehingga dirinya terbakar. Jika pada tahap sebelumnya hanya menyaksikan api sehingga mengetahui bahwa api itu panas, namun setelah ia mencelupkan dirinya ke dalam api, bukan hanya tahu bahwa api itu panas, namun juga mengetahui bagaimana api tersebut membakar. Karena itulah Rumi menyebut tahapan ini dengan terbakar dan simbol sebagai puncak pengetahuan yang telah diraih oleh Rumi.

(At-Takāthur):5 - Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yaqin,
(At-Takāthur):6 - niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
(At-Takāthur):7 - dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.

Thursday, August 6, 2015

Takwil Syair Rumi (7)

Sodaraku, engkau adalah pikiranmu,
Selebihnya hanya tulang dan daging.
~ Rumi

Maksud Rumi, kepribadian manusia termanifestasi dalam pemikirannya. Sebab itu kepribadiaan seseorang dapat terlihat pada pemikirannya. Jika seseorang memiliki pemikiran yang tinggi dan agung, tentu ia adalah sosok yang agung serta mulia.

Namun pemikiran yang dimaksud oleh Rumi adalah pemikiran yang telah menjadi malakah bagi dirinya. Dan aspek ke-malakah-an ini diperoleh dengan mengamalkannya. Maksudnya pemikiran yang diamalkan akan menjadi malakah bagi dirinya. Sebab banyak orang yang memiliki ilmu namun tidak diamalkan sehingga tidak termanifestasi dalam dirinya. Sebab itu hakikat manusia diperoleh melalui perkawinan ilmu dan amal. Dan perkawinan ilmu dan amal tersebut yang selanjutnya disebut dengan hikmah dalam tradisi tasawwuf.

Berdasarkan hal ini pula, manusia mesti hati-hati dalam perbuatan, perkataan, pengetahuan, dan imajinasinya agar jangan sampai yang menjadi malakah bagi dirinya adalah hal-hal yang buruk.

Sebab engkau adalah pikiranmu, selebihnya hanya tulang dan daging.

Takwil Syair Rumi (6)

Obat derita,
Ada dalam derita.

~ Rumi

Benar, kita mesti menelusuri apa makna derita dalam tradisi Rumi sebagaimana termaktub dalam sastra sufistiknya. Apakah setiap luka disebut derita ? Yang mana disebut dengan derita ? Apakah kefakiran itu derita ? Dalam tradisi sufistik, kefakiran dan kekayaan tak lagi bermakna esensial, meski sebagian besar sufi lebih memilih hidup dalam kefakiran termasuk Rumi, sebab itu kefakiran tak bisa dimaknai sebagai derita. Lalu apa yang dimaksud dengan derita ?!

Dan derita mana yang dimaksud ? Rumi memberikan cirinya dengan sangat sederhana yaitu yang di dalam derita itulah justru terdapat obatnya. Namun derita manakah itu ? Derita manakah yang di dalam derita itu justru memberikan obat penawarnya. Bukankah saat tangan kita terluka justru kita mencari obatnya di apotik dan menunjukkan bahwa obatnya ada diluar, bukan di dalam ?!

Iya. Tekateki ini justru menarik bagi kita untuk menelisik jauh dalam kehidupan keseharian kita. Saya tak mau membatasi makna derita disini karena setiap manusia memiliki derita. Kunci dari tekateki ini menurut saya yang terpenting yaitu 'dalam derita justru ada penawar'.

Karena itu setiap orang berhak memaknai derita disini. Tapi meski demikian jangan melupakan apa yg disampaikan oleh Rumi bahwa derita yang saya maksud adalah derita yang didalamnya ada penawar.

Idul Fitri Menurut Jalaluddin Rumi

Maulana Rumi senantiasa menanti menyambut bulan ramadhan, duduk bersimpuh penuh kerinduan dan sebagaimana sufi lainnya, di bulan ramadhanlah mereka "berpesta" mencicipi hidangan ruhaniah.

Demikian halnya mereka pun berpesta dengan hari raya, hari raya idul fitri. Namun "pesta" tersebut bukan karena puasa telah berakhir, akan tetapi dikarenakan telah dimulainya kehidupan yang baru, dalam alam yang baru, dan dengan jiwa yang baru.

Menurut Maulana Rumi, dalam sepanjang bulan ramadhan, 'aku' yang palsu berada dibawah naungan dominasi kesejatian 'aku' manusia. Puasa kembali melahirkan dirinya dari aku yang palsu menuju aku yang sejati.

Melalui Idul Fitri, pertanda bahwa aku yang sejati telah menyembelih aku yang palsu. Aku yang palsu yaitu aku yang telah terkontaminasi dengan kemashuran, kekuasaan, keangkuhan, harta, dan syahwat.

Menurut Maulana Rumi, Idul Fitri adalah hari raya para pecinta dimana simbol keismailan pasrah disembelih oleh simbol keibrahimian sehingga memperoleh kemenangan fitrah dan kebahagiaan yang agung.

Idul Fitri adalah hari kesempurnaan dan pertemuan. Hari penyaksian dan hari ijabah, serta hari terbukanya rahmat seluas-luasnya kepada para pejalan menuju kefakiran eksistensinya.

Dalam Ghazal Maulana Rumi, bulan ramadhan disimbolkan dengan 'Maryam' dan idul fitri dengan 'Isa';

'Wahai jiwa, tak perlu berputus asa sebab harapan telah datang'

'Harapan bagi seluruh jiwa, telah sampai dari kegaiban'

'Tak perlu bersedih, meskipun dirimu telah kehilangan Maryam'

'Sebab cahaya Isa telah datang mengitari'

'Wahai jiwa, tak perlu bersedih dalam kegelapan penjara ini'

'Sebab Raja telah mengeluarkan Yusuf dari penjara'

'Sebagaimana Ya'qub telah keluar dari hijab ketersembunyiannya'

'Dan juga Zukaikha telah merobek tirai Yusuf'

'Duhai yang puasamu dari singgasana yang tinggi'

'Berbahagialah, berbahagialah, sebab Eid telah datang'

Takwil Syair Rumi (5)


از احمد تا احد يك ميم فرق است

دو عالم در همين يك ميم غرق است

Dari Ahmad hingga Ahad, ada 'mim' (م) yang membedakan,

Dalam 'mim' itulah dua alam tenggelam.

~ Rumi

Kelihaian sufi terlihat dari proses penakwilan. Sebuah proses pemilihan bahasa dari alam hakikat menuju alam bahasa. Bahasa dalam tradisi sufi adalah sebuah proses penakwilan. Terdapat keidentikan antara bahasa dan realitas. Bahasa dan realitas dalam tradisi sufi tak terpisahkan. Saya tak tahu, tapi Heidegger juga mengatakan demikian bahwa bahasa adalah realitas. Bahasa mesti dijelaskan dalam alam eksistensi.

Surah al-baqarah pada ayat pertama juga menjelaskan hakikat 'mim'; alif (ا) lam (ل) mim (م).  Sufi meyakini Alif simbol dari Allah swt, Lam simbol dari Jibrail as, dan mim adalah simbol dari Muhammad saw. Simbol mim senantiasa disematkan pada wujud Rasulullah saw, termasuk pada syair Rumi diatas. Apalagi didekatkan dengan kata Ahad, keindahan penakwilannya semakin mempesona.

Lalu apa hubungan 'mim' diantara dua kata Ahmad dan Ahad ? Mengapa dua alam tenggelam pada 'mim' ? Apakah hubungan ini hanya permainan kata semata atau suatu cerminan dari hakikat ?

Sebagaimana dijelaskan, salah satu kekuatan Sufi termasuk Rumi terdapat pada proses penakwilannya. Bahwa bahasa adalah sebuah proses transformasi dari hakikat yang jauh menuju alam bahasa.

Dalam syair diatas, Rumi ingin menjelaskan bahwa Ahmad adalah manifestasi teragung dari Ahad. Kemudian, dari Ahmad-lah segala hakikat setelahnya diciptakan. Sebab itu dalam salah satu hadits juga dijelaskan, 'yang pertama kali Allah ciptakan adalah cahayaku'. Kemudian segala sesuatu diciptakan dari cahaya Rasulullah saw. Hal ini senada dengan Quran dalam surah (Al-'Aĥzāb):56 - "Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya". Solawat adalah proses emanasi turunnya rahmat Ilahi dari Allah swt kepada hambanya melalui wujud suci Rasulullah saw.

Inilah maksud dari dua alam, yaitu alam materi maupun alam ruhani tenggelam dalam hakikat 'mim' atau wujud Rasulullah saw. Sebab kata Allah swt, 'jika bukan engkau wahai Muhammad, tidak Aku ciptakan langit dan bumi'. Artinya wujud Rasulullah saw adalah ruh dari alam semesta. Maksudnya alam semesta yang terdiri dari alam jismani dan alam ruhani tak ubahnya seperti badan Rasulullah saw dan diri Rasulullah saw sebagai ruhnya. Perumpamaannya seperti badan kita, selama ruh masih bersama dengan badan kita maka badan kita pun hidup. Namun saat ruh meninggalkan badan maka badan pun menemukan kematiannya.

Karena itu maksud dari dua alam tenggelam dalam hakikat 'mim' bahwa ada kebergantungan kehidupan alam jismani dan alam ruhani pada diri Rasulullah saw yang suci.

Takwil Syair Rumi (4)

Sakitnya pecinta, beda dengan sakit-sakit lainnya,
Cinta adalah timbangan yang dengannya dapat menjadi ukuran rahasia-rahasia Ilahi.
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertama Rumi mengatakan, sakitnya pecinta berbeda dengan sakit-sakit lainnya. Seolah Rumi ingin menkategorikan cinta termasuk kategori jenis penyakit, namun sakitnya bukan sakit jismani namun sakit psikis atau sakit ruhani sebagaimana yang diyakini oleh Aristoteles dan juga Ibn Sina, termasuk ikhwanusshafa mengatakan, 'cinta itu suatu jenis penyakit jiwa'.

Namun Maulana Rumi ingin mengatakan lain. Rumi ingin mengkategorikan cinta tidak seperti pandangan sebelumnya yang memahami cinta sebagai satu jenis penyakit. Tapi justru cinta ini adalah sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Tapi cinta yang mana ? Menurut Rumi hanya 'cinta irfani' yang bisa menjadi sarana untuk menyerap rahasia-rahasia Ilahi. Alasannya karena Irfan mampu membuat ruh sedemikian lathif (lembut) dan sangat perasa. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa puncak dari cinta adalah makrifat dan cinta hanya sarana tuk meraih rahasia-rahasia Ilahi. 

Takwil Syair Rumi (3)

Rahasiaku tak terpisah dari jeritan deritaku,
Namun mata dan telinga tak mampu meraihnya.
~ Rumi


Takwil;
Syair ini masih bagian dari syair nei atau seruling, 'dengarkanlah jeritan derita seruling bambu yang mengisahkan keterpisahan dari rumpun bambunya'. Pada syair ini, Rumi memposisikan dirinya sebagai nei yang dalam takwilnya nei adalah simbol dari insan kamil.
Sebagai insan kamil yang telah menjalani perjalanan spiritual, tentu menyimpan banyak rahasia-rahasia hakikat manusia dan alam semesta, termasuk Tuhan. Dan rahasia ini diperoleh dari pengalaman spiritual, bukan dari bangku sekolah. Sebab itu hampir dikata, pengalaman ini sangat sulit menjelaskannya pada yang lain padahal di dalamnya dipenuhi dengan rahasia-rahasia Ilahi. Sebab itu kata Rumi, saya ini seperti nei yang mencoba menjelaskan rahasia-rahasia dibalik suara seruling.
Jika kita bertanya pada Rumi, lalu bagaimana kami bisa memahami rahasiamu ? Rumi menjawab, 'rahasiaku tak jauh dari jeritan deritaku'. Seolah Rumi ingin mengatakan, seperti nei, rahasianya tak jauh dari keindahan suara jeritan deritanya. Maksudnya, Rumi ingin mengatakan, jika kalian ingin memahami rahasiaku, pahamilah dibalik syair-syairku. Syair-syairku menyimpan rahasia Ilahiyah, manusia, dan alam semesta.
Namun kata Rumi, bukan mata dan telinga lahiriyah yang dapat memahaminya. Jika kita hanya melihat sepintas syair-syair Rumi dan tak berusaha menakwil maknanya, maka kita akan melihat syair Rumi tak ubahnya dengan syair-syair lainnya. Padahal sejak awal bait syairnya Rumi mengatakan, 'dengarkanlah jeritan derita nei'. Tapi benar, tak semua manusia bisa memahami jeritan derita nei, karena sekali lagi kata Rumi, bukan telinga dan mata itu yang dapat merengkuhnya.

Wednesday, August 5, 2015

Takwil Syair Rumi (2)


Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
Tak diketahui kebaruan itu dalam keabadian
Umur bagai arus, baru dan baru
Senantiasa berlangsung dalam jasad
~ Rumi


Maulana Rumi ingin memberikan suatu penafsiran baru atas realitas keberadaan jiwa dan alam. Suatu penafsiran bahwa jiwa dan dunia senantiasa baru. Meskipun Anehnya kita tak pernah menyaksikan kebaruan itu. Yang kita saksikan hanya perubahan, seperti perubahan pergantian waktu dari sebuah proses gerak.
Lalu kebaruan mana yang dimaksud ! Kita akan memaknai baru jika ada suatu hal baru yang melekat pada diri kita, seperti saat kita memakai baju baru. Bagaimana jika hal ini disematkan pada jiwa bahwa ada hal yang senantiasa baru pada jiwa ? Apa yang baru pada jiwa dan yang senantiasa baru ?
Tak mudah menjawabnya. Namun ada yang menarik yang dikatakan Sadra bahwa wujud mumkin yang dalam terminologi Sadra disebut dengan wujud faqir adalah wujud yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, menurut Sadra, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?
Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita ada dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.
Jika demikian, lalu apa konsekwensinya ? Apa konsekwensinya jika wujud kita adalah wujud faqir bahwa bahkan dalam eksistensipun kita faqir ? Konsekwensinya adalah kita senantiasa meminta wujud pada penyebab segala wujud yang dalam bahasa teologi disebut dengan Tuhan. Bukan hanya kita, bahkan segala entitas-entitas mumkin termasuk alam semesta senantiasa meminta pada Ilahi.
Lalu apa konsekwensi jika kita senantiasa meminta wujud pada Ilahi ? Konsekwensinya adalah wujud kita senantiasa baru dan baru. Kita dan alam senantiasa baru karena setiap saat kita meminta eksistensi pada Ilahi. Betul, kita senantiasa dalam penciptaan yang baru karena wujud kita senantiasa baru.
Anehnya kata Rumi, kita tak sadar kebaruan itu dalam keabadian. Artinya meski senantiasa eksistensi kita baru, namun tak meniscayakan identitas yang disebut 'aku' ikut berubah. Disini 'aku' yang senantiasa dan setiap saat meminta eksistensi. Jika ditanya apakah 'aku' ini ada ? Tidak. 'aku' disini tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tidak ada, karena 'aku' senantiasa memperoleh wujud yang baru dan karena senantiasa dan setiap saat meminta wujud. sehingga tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tiada. Ada dan tiada senantiasa beringan dalam hakikat kita dan alam semesta.
Sebagaimana firman Tuhan, (Ar-Raĥmān):29 - Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (atau setiap waktu Dia mencipta).
Setiap waktu Dia mencipta adalah jawaban atas sebuah permintaan eksistensi yaitu semua yang ada di langit dan dibumi senantiasa meminta eksistensi kepadaNya.