Showing posts with label Nietzsche. Show all posts
Showing posts with label Nietzsche. Show all posts

Tuesday, October 30, 2018

Cinta ala Nietzche atau Rumi, Pilih Mana?


Bagi mereka yang akrab dengan tulisan-tulisan Nietzche dalam berbagai karyanya, biasanya akan menyimpulkan, Nietzche sangat tidak suka dengan cinta. Ia menentangnya dan boleh jadi ada yang menyimpulkan kalau Nietzsche sangat benci dengan cinta.
Namun ada hal yang perlu kita pertanyakan, cinta yang mana yang tidak disukai oleh Nietzsche dan cinta seperti apakah itu?

Kalau kita bertanya lebih dalam, kita akan tahu sebenarnya Nietzsche tidak menentang segala bentuk cinta. Ia menentang jenis cinta ‘keawaman’ dan tentu cinta yang bersifat politik. Tapi memang benar, segala bentuk cinta dalam pandangan Nietzsche adalah kegelapan. Karena menurutnya, cinta tak kan pernah paham tentang kasih sayang kecuali kebergantungan dan kemelekatan. Suatu gelora yang mengisi dan selanjutnya merenggut eksistensi manusia. 

Cinta yang hanya mampu merenggut manusia hanya akan membuat sang pecinta tak kan mampu melihat yang lain kecuali cinta itu sendiri. Bagi Nietzsche, cinta seperti ini adalah kebodohan karena seseorang tak mampu lagi melihat kekasihnya. Jadi apa guna cinta jika kekasih tak terlihat dan tak bisa disaksikan?

Cinta dalam politik pun demikian halnya, bahwa cinta adalah penyatuan dengan orang-orang faqir, orang-orang yang lemah, dan pinggiran. Sebuah masyarakat yang mencoba menyebarkan cinta agar seluruh lapisan masyarakat menjadi satu warna, bagi Nietzsche adalah satu bentuk kezaliman. Karena orang-orang akan menerima segala bentuk penderitaan atas dasar cinta.

Kata Nietzsche, “siapa saja yang membuatmu ketakutan, lenyapkanlah cintamu padanya”. Artinya memiliki cinta, sama saja meninggalkan nalar dan membuat seseorang tergila-gila dan menjadi gila. Oleh sebab itu cinta adalah sumber kegilaan agar sampai kepada kewarasan. Cinta adalah kewarasan yang berangkat dari kegilaan.
Namun bagi Nietzsche, cinta lebih agung dari kebergantungan dan kemelekatan. Cinta berakar dari syahwat dan gelora. Begitulah seharusnya hubungan yang sejati dan terjadi secara alamiah dengan alam. Cinta seperti ini akan menghasilkan berbagai ragam warna. Sudah seharusnya kita memaknai hakikat sebagai sesuatu yang kita rasakan dan kita saksikan. Dan syahwat merupakan dasar utama dalam menjalin hubungan dengan tabiat (nature).

Adapun aspek lain dan merupakan hal yang paling penting dalam persoalan cinta, Bagi Nietzsche, adalah keinginan untuk berkuasa. ‘Will to power’ pada hakikatnya bukan untuk kekuasaan itu sendiri namun agar bisa menyempurna sebagai binatang yang memiliki nalar. Kemudian dari sana akan melahirkan manusia baru yakni manusia yang lebih kuat karena mendasarkan cintanya pada tabiat dan syahwat.

Cinta dalam pandangan Nietzsche adalah cinta yang didasari atas syahwat. Orang-orang yang mengejar cinta karena cinta itu sendiri dapat dikatakan sebagai pelarian diri, bukan jalan menuju diri sendiri. Oleh sebab itu, cinta mesti didasari dengan syahwat.

Apakah cinta yang dimaksud sebagai gelora yang hadir saat seseorang sedang mengalami jatuh cinta, tak lebih dari urusan syahwat dan tabiat semata? Pengalaman seseorang dalam menjalani cinta lebih layak menjawab pertanyaan tersebut. Misalnya pengalaman Rumi tentang cinta jutsru menjauh dari soal syahwat. Cinta sejati justru tidak mungkin diraih dengan syahwat, kata Rumi.

Cinta Rumi bukan cinta biasa, bahkan bukan perkara yang mudah dilukiskan. Cinta yang begitu transenden. Unsur cinta yang paling utama justru terletak pada kegergantungan dan kemelekatan. Sebab itu cinta seperti ini tak kan terwakilkan oleh kata-kata.

Kata Rumi:
Apa pun yang aku tafsirkan tentang cinta,
Aku malu dengan tafsiranku,
saat sampai di singgasana cinta,
Meskipun bahasa sebagai penjelas,
Namun cinta tanpa bahasa akan lebih jelas,
Langkah pena begitu laju dalam melukiskan sesuatu,
Namun saat sampai pada kata cinta,
Pena pun patah dan terhenti.

Maulana Rumi menempatkan cinta sebagai karekteristik dari sifat Ilahiyah. Tak satu pun manusia yang mampu memahami hakikatnya. Hanya dengan jatuh cinta, manusia mampu memahami rasanya. Namun tetap saja tak mungkin diekspresikan. Meski demikian, cinta mampu dikenali melalui karekteristik-karekteristiknya.

Hakikat cinta bukan insaniyah tapi Ilahiyah, bahkan penciptaan alam semesta didasarkan pada cinta. Jika tak ada cinta maka alam semesta pun tak kan mungkin ada. Cinta mengalir di seluruh alam semesta. Bahkan menurut Rumi, nilai seseorang bisa diukur pada apa yang dicintainya.

Berbeda dengan Nietzsche, Rumi justru menempatkan cinta pada kebergantungan dan kemelekatan. Kata Rumi:

Cinta adalah lidah api,
Akan membakar segalanya kecuali Kekasih.

Cinta adalah api di mana api tersebut justru berasal dari Kekasih. Berkat Kekasih sehingga pecinta memiliki api di dalam dirinya yang terus bergelora setiap saat dan memurnikan serta mensucikan cinta yang hadir di dalam dirinya. Jika cinta seperti ini yang hadir di dalam diri seseorang maka seluruh pandangannya telah menjadi milik Kekasih sehingga tak mampu lagi melihat yang lain kecuali sang Kekasih.

Kata Rumi, ketenggelaman seseorang di dalam cinta Kekasih akan membantu dirinya bebas dari ke-aku-an sebab ke-aku-an dirinya menemukan kehidupan baru yakni kehidupan yang semakin transenden. Suatu bentuk kehidupan yang sudah tidak ditemukan lagi tanda-tanda keangkuhan, egoisme, peperangan, dan kebencian.

Tapi Rumi juga mengingatkan pada kita, bahwa cinta seperti ini hanya bisa terjadi jika objek cinta kita adalah Ilahi, bukan pada makhluk yang memiliki keterbatasan seperti manusia. Jika cinta adalah Ilahi sekaligus Kekasih maka tak ada jalan lain selain jalan kefanaan untuk menemukan cinta seperti ini. Oleh sebab itu, Rumi mengingatkan kita melalui salah satu syairnya yang indah:

Mengapa sejak awal cinta itu luka?
Agar memutuskan segala yang ada di luar.

Sebab satu-satunya yang diinginkan cinta hanya Kekasih, bukan yang lain yang ada di luar sana.