Sunday, June 19, 2016

Perempuan dalam Tasawwuf

Sufi Perempuan dan Perempuan dalam Tradisi Sufi
Muhammad Nur Jabir

Banyak pertanyaan yang menggelitik mengenai sufi perempuan misalnya mengapa hanya beberapa deratan nama saja yang kita kenal sebagai sufi perempuan seperti Rabiah Adawiyah. Kira-kira apa yang menyebabkan sehingga tak banyak tokoh sufi yang kita kenal dari kalangan perempuan? Apakah hal ini menunjukkan bahwa hanya kalangan pria saja yang memiliki potensi besar untuk menjadi sufi? Apakah kurangnya tokoh sufi dari kalangan perempuan karena kondisi sosiologis pada waktu itu atau dalam kata lain kurang dikenal oleh masyarakat karena sufi perempuan lebih banyak diam di dalam rumah?

Namun suatu hal yang mesti dipahami, tokoh perempuan yang sempat terekam namanya dalam sejarah disebabkan hasil interaksi mereka dengan tokoh sufi pria. Dan tokoh pria tersebutlah yang menjelaskan mengenai maqam yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Oleh karena itu kurangnya jumlah sufi dari kalangan perempuan, bukan karena potensi yang dimiliki perempuan dalam meraih maqam sufistik terlihat lemah.
Dalam empat perjalanan sufistik tak ada penekanan atas laki-laki dan perempuan sebab keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih maqam ruhaniah. Namun meskipun perjalanan keempat adalah perjalanan yang hanya diperuntukkan kepada kaum pria saja, namun hal tersebut dikarenakan perjalanan keempat adalah perjalanan tabligh dimana persoalan tabligh lebih sesuai diemban oleh kaum pria. Tapi yang perlu diketahui, ukuran kesempurnaan ada pada maqam wilayah dan maqam wilayah berada perjalanan ketiga dari empat perjalan manusia. Dan pada perjalanan ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal ini dalam persoalan sufistik tidak ada aspek pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun terkait dengan posisi perempuan dalam tasawwuf, Ibn Arabi meyakini sebagaimana yang tertera dalam  kitab Taurat bahwa perempuan yakni Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebab itu Hawa bagaian dari Adam dan berasal dari tulang rusuk Adam. Berdasarkan hal ini maka laki-laki berposisi sebagai 'subjek mempengaruhi' dan perempuan sebagai 'objek dipengaruhi'. Tentu 'subjek mempengaruhi' lebih dominan daripada 'objek dipengaruhi'. Namun hal tersebut hanya terkait dari aspek penciptaan bukan dalam kesempurnaan sebab dalam hal kesempurnaan keduanya memiliki keunggulan yang sama.

Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Dia (Rasulullah saw) yang seluruh ummat takluk pada perkataannya
Ketika sampai pada istrinya, ia berkata, "bicaralah padaku" (Bait 2428, Buku 1)
Meskipun dirimu secara lahiriyah mendominasi wanita,
Namun secara batin wanita mendominasimu. (Bait 2431, Buku 1)

Maulana Rumi ingin menjelaskan bahwa dominasi laki-laki atas perempuan hanya aspek luarnya saja namun secara esensial wanita mendominasi laki-laki. Alasannya karena aspek rasa yang ada pada perempuan mampu mendominasi akal yang ada pada laki-laki. Namun laki-laki jahil dan pemarah lebih kuat atas dominasi perempuan.

Maulana Rumi dalam kesempatan lain menyimbolkan laki-laki dengan air, kemudian menyimbolkan perempuan dengan api. Berdasarkan atas penyimbolan ini, air mampu memadamkan api namun jika ada perantara antara api dan air maka api akan membuat air mendidih dan mengubah air menjadi uap. Sebab itu pada hakikatnya perempuan lebih mampu mendominasi laki-laki sebab perempuan menguasai jiwa dan hati laki-laki.
Menurut Ibn Arabi menyaksikan Tuhan dalam perempuan dianggap sebagai bentuk penyaksian yang paling sempurna karena laki-laki menyaksikan dua bentuk dalam diri perempuan yaitu bentuk mempengaruhi dan bentuk dipengaruhi. Perempuan menerima nuthfah dari laki-laki sebagai bentuk dipengaruhi dan membesarkan nuthfah di dalam dirinya sebagai bentuk mempengaruhi yang ada dalam diri perempuan. Sebab itu bagi Ibn Arabi, Hawa yakni perempuan adalah gabungan antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan inilah maksud dari Hadits Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan solat".

Sebab itu baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi menempatkan perempuan lebih mulia dari laki-laki bahkan menarik ke atas hingga menjadi bentuk dari keindahan Ilahi. Kedua arif tersebut memandang cinta sebagai pancaran emanasi dari Ilahi. Manusia tak mungkin menyaksikan hakekat absolut eksistensi Ilahi. Dia hanya bisa disaksikan dalam manifestasi-manifestasi-Nya dan perempuan salah satu dari manifestasi-manifestasi keindahan dan kelembutan Ilahi. Sebab itu cinta pada perempuan adalah cinta kepada Ilahi. karena hanya perempuan yang mampu menunjukkan dua bentuk tersebut.

Selanjutnya Ibn Arabi meyakini meskipun derajat perempuan berada di bawah dari laki-laki dalam aspek penciptaan namun derajat ini tidak mempengaruhi kesempurnaan yang ada di dalam diri perempuan. Oleh karena relasi Hawa atas Adam dalam persoalan penciptaan seperti relasi Adam atas tanah dimana aspek tanah pada Adam tidak akan menghalangi kesempurnaan Adam.
Dalam membuktikan persoalan ini Ibn Arabi mengangkat kisah Hajar ibu Nabi Ismail as. Setelah Allah swt menyaksikan perbuatan Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.        
                                               
Kemudian kata perempuan dalam irfan terkadang tidak bermakna perempuan sebagaimana perempuan akan tetapi bermakna simbolik, sesuai dengan makna yang diinginkan oleh sang sufi dalam menjelaskan hakikat Ilahi. Perempuan dalam ranah sufistik sering digunakan dalam menggambarkan kesempurnaan dan sifat-sifat Ilahi, termasuk simbol-simbol yang melekat pada perempuan seperti rambut, tai lalat, mulut, dst. Misalnya dalam sastra sufi ketika ingin menggambarkan aspek jamaliyah dan jalaliyah Ilahi biasanya menggunakan simbol rambut hitam yang terurai panjang. Saat perempuan mengurai rambutnya yang panjang dan menutupi seluruh wajahnya disebut sebagai simbol jalaliyah Ilahi dan saat mengangkat rambut yang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tersingkap disebut dengan simbol jamaliyah Ilahi.