Wednesday, November 30, 2016

“Terjebak Macet” dan “Keterbatasan Penafsiran”

Sudah beberapa kali saya mengalami fenomena terjebak macet. Saya yakin hampir semua pernah mengalaminya. Namun terjebak macet di perempatan lampu merah, bagi saya cukup mengerikan. Sebab meskipun tanda lampu lalu lintas: merah, kuning, hijau, berturut-turut dan secara bergantian menyala akan tetapi sudah tak punya arti lagi. Seluruh kendaraan numpuk di tengah dan tak ada ruang celah sedikit pun untuk bergerak.

Saat giliran lampu hijau menyala, seluruh kendaraan berusaha maju ke depan, walau sadar tak ada lagi ruang gerak untuk maju ke depan. Sebagian besar kendaraan memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya dan berulang-ulang sebagai satu-satunya pilihan terbaik. Nah bayangkan jika keempat titik sudut tanda lampu lalu lintas melakukan hal yang sama, dan anehnya lagi sebab semua menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk bergerak.

Mengapa semua kendaraan di perempatan lampu merah itu merasa berhak membunyikan klakson? Sebab seluruh kendaraan mendapat giliran nyala lampu hijau karena seluruh kendaraan hanya bisa diam dan tak bisa bergerak. Maksudnya lampu lalu lintas berjalan secara otomatis, tak peduli apakah mobil sedang bergerak atau tidak. Rambu-rambu lalu lintas tak punya kehendak dalam mengambil inisiatif atau mencari solusi secara sponton. Bahasa rambu lalu lintas adalah bahasa program tanpa memiliki kehendak. Seluruh kendaraan membenarkan penafsirannya atas rambu lalu lintas waktu itu.

Kasihan angkot itu yang terjebak ditengah-tengah jalan perempatan. Angkot itu melangkah persis di ujung lampu hijau berakhir dan malangnya sebab ia terjebak di tengah jalanan, menunggu antrian agar mobil yang di depan bisa bergerak maju. Si sopir angkot hanya bisa pasrah mendengarkan cacian dan cemoohan dari pengendara saat itu. Sebagian pengendara motor yang tak sabar menendang mobil angkot itu. Mungkin karena pada umumnya dibenak kita, sopir angkot selalu berkuasa di jalan, berhenti seenaknya dan bergerak semaunya.

Seluruh kendaraan menegaskan bahwa tafsiranku atas lampu hijau sedang menyala adalah benar dan sudah saatnya saya berhak maju ke depan dan oleh karenanya saya berhak membunyikan klakson kendaraan karena kendaraan di depan tak bergerak. Apakah ada tafsiran yang salah? Tak ada satu pun yang salah sebab seluruh kendaraan sedang terhenti dan tak bisa bergerak sehingga semua merasakan hal yang sama mendapatkan giliran lampu hijau.

Mereka hanya melupakan satu hal tentang ‘terjebak macet’. Disini bukan saatnya lagi membicarakan penafsiran mana yang benar. Saatnya menyadari bahwa penumpukan kendaraan akan menjebak kita dalam kemacetan. Kondisi seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan keterbatasan ruang tafsir. Sebab saat seperti ini yang kita butuhkan adalah kearifan, bukan lagi penafsiran. Kita mesti mengalah agar ada ruang yang terbuka dan kendaraan lain melaju.

Persoalannya siapa yang mesti mengalah dan siapa yang mesti mengambil sikap bijaksana? Bukankah hidup ini penuh dengan resiko yang mesti dihitung dengan kalkulasi matematis? Siapa yang mesti membuang waktunya dengan mengalah? Dan siapa yang mesti mengambil peran bijaksana dengan resiko kehilangan keuntungan ekonomisnya? Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita?

Saya tidak tahu, apakah kondisi bangsa kita sedang mengalami ‘terjebak macet’? jika iya, lalu siapa yang akan mengalah dan siapa yang akan mengambil peran arif dan bijaksana? Tentu yang paling banyak berbicara tentang nilai moral dan yang paling banyak berbicara tentang agama. Kecuali semuanya memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya. Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita? Saya tak tahu, hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nihilisme kemanusiaan kita kata Heidegger. Sebab itu saya berdoa, semoga ada yang berperan mengambil ruang ‘mengalah’ dan ruang ‘bijaksana’.  Amin

Muhammad Nur Jabir


 

Thursday, November 24, 2016

Selamat Hari Guru, Guruku!

Kata Guru selalu membawa kita ke masa kanak-kanak. Masa yang paling indah dengan segala bentuk kepolosan dan keluguan. Saat masih kanak-kanak dahulu, kita tak mampu melihat kekanak-kanakan kita. Kita hanya tahu setelah melewati masa kanak-kanak.

Saat dewasa dan mencoba menengok masa kecil kita dahulu, mungkin sebagian dari kita akan tertawa, melihat bagaimana kelakuan kita saat masa kecil dahulu. Bahkan boleh jadi, ada sebagian dari kita yang mengalami trauma dengan masa kecilnya yang hanya akan memberikan kesedihan dan air mata saat kita menengoknya kembali saat ini.

Tapi intinya masa itu adalah masa kepolosan dengan segala bentuk keluguannya. Benak kita belum diisi dengan banyak hal dan kita pun belum bisa belajar banyak hal. Kita baru saja menyelesaikan belajar banyak huruf dan dari situ akhirnya kita bisa merangkai kalimat. Dan dari kalimat itu, kita mulai menyusun beberapa proposisi dalam menyampaikan pesan.

Dan di sanalah kita mulai belajar tentang guru. Sebab dia yang pertama kali mengajarkan kita tentang huruf-huruf dan nama-nama. Oleh karenanya, pada umumnya guru pertama kita adalah orang tua kita sendiri, entah itu ibu atau ayah. Berbahagialah bagi mereka yang memiliki orang tua sekaligus sebagai gurunya. Sebab kriteria guru sejati ada padanya. Mengajar tanpa pamrih, penuh kasih, sepenuh hati, sebab ibu kita hanya menginginkan agar kita mampu sehingga mandiri, bukan yang lain.

Guru selanjutnya adalah yang pertama kali mengajarkan kita tentang makna. Makna dibalik proposisi dan sebuah kalimat. Makna yang ada dibalik relasi subjek dan predikat dalam sebuah kalimat. Saya bersyukur punya guru yang mengajarkan makna-makna di balik simbol. Di sana kita bisa bertanya sepuasnya dan sebebas-bebasnya. Sebab sang guru hanya mengarahkan pertanyaan kita dan akhirnya kita mampu menemukan jawabannya sendiri. Sebab kitalah penentu dalam setiap relasi subjek dan predikat, apakah meng-afirmasi atau negasi.

Guru selanjutnya adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita tentang makna hidup dan kehidupan. Sungguh merugi melalui hidup ini tanpa pemaknaan. Melewati setiap momen tanpa pemaknaan adalah kehidupan yang kering tanpa ada aroma kehidupan di dalamnya.

Guru saya mengajarkan bahwa makna hidup yang paling indah adalah 'memberi'. Memberi apa yang kita mampu beri. Bukan pada jumlahnya namun pada esensi memberi. Sebab pada akhirnya apa pun yang kita miliki di dunia ini tak kan bersama kita menapaki jalan kematian. Jadi mengapa mesti kita menaruh apa yang kita miliki di kedalaman sumur yang gelap gulita?!

Guru yang paling istimewa adalah guru yang mengajarkan makna derita dan penderitaan. Derita adalah sesuatu yang sangat personal. Saat derita datang, tak ada yang mampu memahaminya kecuali kita sendiri. Tak mudah melewati derita kecuali saat kita memahami bahwa setiap derita membawa pesan tertentu. Sebab itu kata Rumi, "dengarkanlah pesan itu". Maulana Rumi memberikan pemaknaan luar biasa kepada saya tentang makna derita dalam melewati setiap penderitaan. Saya tumbuh dengan penderitaan dan akhirnya bisa memaknainya dengan tawa hari ini bersama Maulana Rumi, entah esok hari, tapi minimal hari ini saya mampu melewatinya dengan pemaknaan. Kata Rumi, "bahagialah mereka dimana akhir dari tangisnya adalah tawa".

Muhammad Nur Jabir

Saturday, November 19, 2016

Agama itu Layang-Layang

Selamat Hari Anak Dunia

"Agama itu Layang-layang"

Suatu hari kawan saya bertanya, "agama itu apa?" Ia melanjutkan bahwa pertanyaan ini bukan pertanyaan darinya, namun dari anaknya yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Kawan saya bingung menjawabnya. Dan akhirnya pertanyaan itu pun dilimpahkan pada saya.

Saya juga kebingungan menjawabnya sebab anak--anak belum waktunya berpikir dengan nalar argumentasi. Anak-anak hidup di alam imajinasi. Sebuah alam yang penuh dengan keragaman bentuk bentuk imajinasi. Pernahkah kita bertanya mengapa anak-anak senang dengan film kartun? Kerena seperti itulah kebanyakan anak-anak menggunakan alam pikirannya. Film kartun mencoba memahamkan sesuatu kepada kita melalui gambar dan imajinasi, bukan dengan kekuatan dialog argumentatif. Jadi amat disayangkan jika sejak bangku SD kita telah menjejalinya dengan pengetahuan yang belum sesuai dengan pola pikirnya.

Menyadari pola pikir anak-anak seperti itu yang lebih banyak menggunakan imajinasi, akhirnya saya memberikan jawaban dengan mengilustrasikan agama seperti layang-layang. Bahwa agama ibarat layang-layang. Setiap saat kita mesti memegang talinya agar tetap di atas. Kita mesti menjaganya setiap saat agar ia tetap tegar di atas. Jika kita lengah sedikit saja akan membuat layang-layang tersebut jatuh. Layang-layang adalah nilai yang mesti kita junjung tinggi.

Layang-layang sebagai sebuah nilai sangat dekat dengan keseharian kita. Ada saat dimana kita mesti menurunkannya yaitu saat badai besar datang. Sebab jika kita memaksa tetap menerbangkannya, tetap saja tak kan memberikan makna. Justru kita menghancurkannya dengan tangan kita sendiri. Tapi badai itu apa? Badai itu adalah politik dan keangkuhan kita.

Jadi pesan saya untuk anakku, jangan bawa politik dan hawa nafsumu ke dalam agama. Sebab bukan saja akan menghancurkan agama tapi juga menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita. Pahamilah agama seperti layangan. Kau harus menjaganya sendiri agar layanganmu tetap diatas karena hanya dirimu yang mampu menjaga dirimu. Sebab orang lain tak kan mampu menjaga dirimu.

Thursday, November 17, 2016

Korupsi itu Baik

Nihilisme itu apa?
Bahwa nilai yang kita anggap paling mulia, tak lagi memiliki nilai. Tak lagi memiliki tujuan.
Mengapa? Sebab tak lagi menemukan jawaban.

#Nietzsche

Mana yang anda pilih? Tak ada korupsi namun pembangunan tidak berjalan atau ada korupsi dan pembangunan bisa berjalan?

Bagi Fadli Zon, lebih baik ada korupsi asal pembangunan bisa berjalan.

Kira-kira apa ada yang salah dengan pernyataan anggota perwakilan rakyat kita yang terhormat Fadli Zon? Korupsi bisa ditolerir selama bisa menjadi oli pembangunan. Saya tak pernah mengerti mengapa orang seperti ini bisa duduk sebagai anggota dewan yang mulia dan terhormat.

Ungkapan Fadli Zon adalah satu bentuk ungkapan frustasi dalam melihat fenomena korupsi. Bukannya mengambil peran dalam memberantas korupsi, justru mendukung praktek korupsi yang mampu menjadi oli pembangunan.

Kita selalu bicara penistaan agama dan penistaan Qur'an, namun kita tak pernah bicara penistaan atas makna Quran. Quran dengan tegas melarang praktek korupsi, namun kita seenaknya membenarkannya, bukankah ini salah satu penistaan atas makna Quran. Bukankah Fadli Zon sebelumnya berada di front depan menyuarakan penistaan Quran? Apakah Quran hanya bentuk dan tak memiliki makna?

Tapi kita hanya terpesona pada bentuk, dan telah melupakan makna, sementara pada maknalah inti Quran. Kita hanya bisa teriak saat bentuk Quran dilecehkan, namun selalu diam saat makna Quran dilecehkan. Kita adalah orang-orang yang terperangkap pada bentuk, tak lagi tertarik pada makna. Mungkin karena kita sendiri tak lagi bermakna.

Hanya bisa bersedih saat orang-orang berbicara seenaknya, hanya karena mereka sedang berada dalam kekuasaan. Moral manakah yang kita junjung saat ini? Tapi benar, kita tak lagi punya moral sebagai nilai yang kita junjung bersama. Satu-satunya moral yang kita miliki adalah moral kepentingan, tak peduli apakah baik atau buruk, apakah korupsi itu baik atau buruk? Kita hanya membutuhkan oli pembangunan dan itulah nilai sejati yang sesungguhnya.

Pernyataan Fadli Zon menegaskan saya akan akhir dari priode kita. Kita berada di akhir periode nihilisme. Sebab dalam nihilisme, tak ada lagi nilai, karena satu nilai dihancurkan oleh nilai lainnya, dan nilai tersebut juga dihancurkan oleh nilai lainnya. Sebab itu mari kita berpesta pora atas akhir dari nurani fitrah kemanusiaan kita.

http://m.detik.com/news/berita/d-2929613/fadli-zon-korupsi-justru-jadi-oli-pembangunan?utm_source=News&utm_medium=Desktop&utm_campaign=ShareFacebook

Sunday, November 13, 2016

Keyakinan Lebih Menakutkan

Demi sebuah hakikat,
Keyakinan lebih menakutkan
daripada kebohongan.

#Nietzsche

Tak mudah memahami perkataan Nietzsche. Nalar kita sudah terbiasa dengan kaidah-kaidah yang terbangun dan tersusun dengan sangat rapi dalam benak kita. Sedangkan perkataan Nietzsche pada umumnya tidak sejalan dengan pondasi struktur logika berpikir kita. Tapi cobalah sejenak tengok fenomena sekitar kita. Sangat mudah menemukan kepongahan dan keangkuhan. Kepongahan dan keangkuhan tak  butuh pada perangkat nalar yang sistematis, sebab yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menghancurkan siapa saja.

Fenomena bom kembali terulang dan kita tak pernah tahu kapan akan berakhir. Bom beserta pelakunya selalu saja menyisakan tanda tanya. Menyisakan arah panah akan diarahkan kemanakah selanjutnya. Sebab tugas utama pelaku bom bukan pada ledakannya, tapi pesan yang disampaikan adalah setelahnya. Sebab itu pelakunya tak pernah peduli pada mangsanya, meskipun pada akhirnya korban ledakannya adalah orang tua dan anak-anak. Meskipun taruhannya adalah mematikan nurani dan kemanusiaan, mereka tak kan pernah peduli.

Tapi fenomena ini memudahkan kita memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Nietzsche, betapa perjuangan atas sebuah 'hakikat' dengan landasan keyakinan tertentu lebih menakutkan daripada kebohongan. Berbohong adalah kejujuran atas suatu kesalahan dalam memanipulasi kebenaran. Tapi pelaku bom tidak sedang berbohong. Ia sadar telah melakukan suatu tindakan teror. Bukankah ini lebih menakutkan karena akan menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita?!

Mungkin kita sudah terbiasa menertawai keadilan. Kita lebih memilih diam dan bahkan membiarkan hanya karena pelakunya dari orang-orang yang seagama dengan kita dan korbannya adalah orang-orang yang berbeda akidah dengan kita. Meskipun kita sadar, pelakunya telah melakukan tindakan salah dan tidak sejalan dengan agama dan nurani fitrah kemanusiaan kita. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Jadi bukan agama yang sedang diuji, tapi pemaknaan kita atas agama sedang diuji. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan dan kepongahan, bukan saja agama yang terancam, tapi konsep kebertuhanan kita pun terancam. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan atas nama agama, berarti sama saja kita membenarkan Tuhan berlaku tidak adil. Maksudnya, Tuhan yang kita pahami adalah Tuhan yang hanya bisa berlaku adil kepada kelompok kita saja dan tak mampu berlaku berlaku adil pada yang lain. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Dengarkanlah bagaimana Rumi berdialog dengan ayahnya:

"Suatu hari seorang anak bertanya pada ayahnya,
Agama manakah yang terbaik, wahai Ayah?
Kata Ayahnya, aku tak ada urusan dengan agama.
di sisiku, agama tak lagi memiliki nilai,
sebab setiap ada agama baru,
perbedaan pun akan semakin nampak,
hasud dan fitnah pun akan semakin bermunculan,
peperangan antar aliran kembali terulang,
Darah manusia berceceran di atas bumi,
berulang dan terus berulang lagi atas nama agama,
Agama adalah yang mampu hidup bersama yang lain,
Apa guna agama yang mengatakan;
Tumpahkan darah orang-orang kafir.
Sebab itu lah aku tak lagi punya agama,
agar tak ada lagi darah yang tumpah,
Wahai Anakku, jika kau cari agama,
Carilah agama yang mengasihi
Seluruh ummat manusia".

MNJ

Saturday, November 5, 2016

Kebencian adalah Hakikat

Kebencian adalah bagian dari hakikat,
Keindahan hanya imajinasi semata.

Henry Charles Bukowsky

Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumnya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan atau perkataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan.

Kita akan mudah memahaminya jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu idealnya, seharusnya, dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, cinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya.

Tapi bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Saya ingin mengajak dan melihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu saja berpikir telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.

Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.

Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin  menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.

Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.   

Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.

Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”