Friday, December 30, 2016

"Analisa Fenomenologi Jean Baudrillard atas Media"


Kita bisa menyebut abad 21 sebagai abad revolusi informasi digital. Di abad ini manusia tak lagi bersandar kepada fakta-fakta di sekitarnya namun mencukupkan dirinya pada fakta imajinatif bahkan percaya pada fakta yang telah diselewengkan.

Benar apa kata Jean Baudrillard bahwa media berperan besar dalam mengkerdilkan fakta. Baudrillard melanjutkan penjelasannya tentang tahapan-tahapan yang mungkin dilakukan oleh media dalam merubah fakta. Tahap pertama menggambarkan fakta sebagai cermin fakta. Lalu tahap kedua berubah menjadi topeng fakta. Pada tahap ketiga media berusaha menjelaskan fenomena sebagai ketidakhadiran fakta. Dan tahap terakhir memutuskan relasi dengan fakta. Bagi Baudrillard, tahap akhir adalah tahap para-faktual atau fakta-akut.

Sebagian ahli menambahkan tahap selanjutnya sebagai tahap  tanda imajinasi-manipulatif. Pada tahap ini kita diperhadapkan dengan gambar-gambar palsu yang tak lagi menggambarkan fakta konkrit realitas eksternal. Bahkan kita diperhadapkan dengan sebuah gambar dimana gambar tersebut berasal dari gambar lainnya. Tahap ini adalah rangkaian matarantai gambar dimana gambar pertama adalah kurban pertama dari fakta realitas.

Pada tahapan ini setiap gambar hanya menunjukkan atau hanya penanda atas gambar lainnya. Manusia berada diantara tumpukan-tumpukan gambar dan tanda-tanda yang akan membuat kehilangan dirinya dan bahkan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Bisa dikatakan periode ini adalah periode matinya fakta atau matinya realitas. Gambar-gambar dan tanda-tanda hanya cermin atas gambar-gambar lainnya. Realitas eksternal sudah tidak memiliki lagi pijakan yang nyata.

Jean Baudrillard menampilkan dunia digital sebagai pencapaian puncak keterasingan manusia atas dirinya. Sebab meskipun manusia dalam keramaian tapi seolah-olah sedang berada di dalam kamarnya menikmati segala bentuk serangan informasi dari berbagai arah. Media dan informasi berhasil mengikat tangan dan kakinya sehingga menerima begitu saja dan tanpa tanya atas para-faktual media dan informasi. Para-faktual berhasil nampak lebih nyata dari fakta itu sendiri. Ditambah lagi para konsumen media tidak memiliki kemampuan dalam menganalisa data dan informasi.

"Periode kini adalah periode memenjarakan tafakkur dan pikiran dan membebaskan segala bentuk kepalsuan".

MNJ

Wednesday, December 21, 2016

"Fenomenologi 'Om Telolet Om' dan Kegamangan Akidah"

Austin atau John Langshaw Austin salah satu filsuf yang banyak menganalisa penggunaan bahasa. Austin dikenal sebagai filsuf bahasa keseharian. Teori 'speech acts' salah satu teori yang populer dari Austin. Makna 'speech acts' bahwa bertutur adalah tindakan, bukan sekedar bahasa semata.

Austin berkeyakinan, banyak hal yang dapat dipelajari dari bahasa biasa sehari-hari atau bahasa keseharian. Apalagi mengingat banyaknya distingsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.

Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah disebut dengan linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.

Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik haruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Keseharian merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).

Saya tidak sedang ingin menjelaskan filsafat bahasa keseharian. Saya ingin mengatakan bahwa betapa mudah kita sebagai ummat muslim mengatakan "om telolet om" sebagai konspirasi akidah, bahkan menganggap sebagai pendangkalan akidah. Justru saya balik bertanya, "siapakah sebenarnya yang akidahnya dangkal dalam konteks ini? dan siapakah yang sedang mempertontonkan kedangkalan akidahnya?"

"Om telolet om" hanya berawal dari kesenangan seorang anak kecil. Awal mula fenomena ini berawal dari aksi bocah-bocah tanggung di daerah Jawa Timur dalam memburu bunyi klakson bus yang terdengar 'telolet' dan merekamnya dengan telepon seluler.

Kegiatan anak-anak tersebut murni hobi untuk mencari kepuasan bathin. Apalagi mendapat suara telolet yang unik dan sudah dimodifikasi.

Dalam memburu telolet, mereka bergerombol dan rela menunggu lama. Ketika bus tiba, bocah-bocah tersebut akan mengacungkan jempol sambil berteriak ‘Pak Telolet Pak’ ada juga yang teriak ‘Om telolet Om’. Sebagian mereka juga ada yang sengaja menulis tulisan besar ‘Om Telolet’ agar dibaca oleh supir bus.

Setelah mendapat suara telolet, mereka lalu memamerkan hasil buruan mereka dengan mengunggah rekamannya ke media sosial, mulai dari Facebook, YouTube dan lainnya. (Lihat: http://www.bintang.com/lifestyle/read/2684502/asal-usul-fenomena-om-telolet-om)

"Om telolet Om" menjadi tranding topik di twitter setelah para Dj-Dj dunia mulai ikut meramaikan sebagai ekspresi kebahagiaan, lucu-lucuan, dan juga kelugu-luguan.

Namun kita dengan mudah mencerabut akar kejadian "Om telolet Om". Kita dengan enaknya melepaskan situasi konkretnya dan kapan serta dimana kejadian itu awal mula terjadi. Dan yang paling amat tragis dan keji, setelah mencerabut akar fenomenologinya, seolah-olah "om telolet om" adalah milik kita, dan pada saat itulah kita memberikan pemaknaan baru terhadapnya yaitu "Om" simbol kesucian orang Hindu dan "Telolet" bermakna terompet sebagai alat khas ibadah orang Yahudi. Setelah pemaknaan baru ini kita berikan pada fenomena "om telolet om", barulah kita mengatakan sebagai konspirasi dan pendangkalan akidah. Jadi siapakah sebenarnya yang akidahnya sangat dangkal?

Begitu mudahkah kita ummat muslim memperkosa makna dan bahasa? Seolah-olah semua makna dan bahasa adalah milik kita sehingga begitu mudah kita mengarahkan setiap fenomena sebagai konpirasi atas agama suci kita. Namun berpikirlah sejenak dengan nurani, bukankah kita sebagai ummat muslim yang berperan sebagai tukang fitnah dalam kejadian ini? Bukankah kita telah menista agama Hindu dalam fenomena "Om telolet Om"? Beruntung kita sedang berada dalam posisi mayoritas dan sangat beruntung pula penganut agama Hindu di Indonesia memiliki kesadaran tinggi dan mengamalkan ajaran mereka dengan baik.

Namun sekali lagi, apakah ini hanya persoalan mayoritas dan minoritas? Saat kita mayoritas kita berhak memfitnah dan melakukan apa saja sekehendak kita? Pernahkah anda pikir bagaimana rasanya saudara-saudara kita ummat muslim yang kebetulan sedang berada dalam minoritas? Apakah anda setuju mereka diperlakukan tak adil dan juga dinista dan difitnah?

Saya malu pada ummat Hindu dan saya mesti memohon maaf atas nama ummat muslim kepada mereka para pemeluk agama Hindu. Tapi saya yakin, ummat Hindu juga paham bahwa orang-orang yang menista agama mereka bukanlah representasi ummat muslim pada umumnya. Hanya sebagian ummat muslim saja yang sedang menegaskan kedangkalan akidah dan kegamangan akidah mereka.

Muhammad Nur Jabir