Showing posts with label Gerak Substansi dan Gerak Cinta. Show all posts
Showing posts with label Gerak Substansi dan Gerak Cinta. Show all posts

Wednesday, October 15, 2014

Pendahuluan; Gerak Substansi dan Gerak Cinta

Persoalan gerak termasuk salah satu tema filsafat yang terbilang kuno karena telah dibahas sejak masa yunani kuno. Perdebatan mengenai gerak telah dimulai oleh Heraclitus yang meyakini akan keberadaan gerak, juga Parmenidus bersama muridnya Zeno yang mengingkari akan keberadaan gerak. Heraclitus meyakini segala sesuatu sedang bergerak dan pertentangan diantara entitas-entitas yang ada merupakan sumber gerak. Berbeda dengan Heraclitus, Parmenidus dan Zeno mengingkari keberadaan gerak. Bagi Parmenidus salah satu dari karekteristik keberadaan adalah diam.
Persoalan mengenai perubahan dan tetap, sejak dahulu menjadi sebuah persoalan yang ambigu bagi kalangan filsuf. Meskipun perubahan senantiasa kita saksikan pada realitas alam ini dan bahkan juga di dalam diri kita sendiri, namun tidak mudah menjelaskan hakekat dari gerak. Karena itu ada filsuf yang mengingkari gerak seperti Parmenidus dan Zeno dan ada juga yang meyakini bahwa segala entitas di alam ini senantiasa berubah seperti Heraclitus. Aristoteles meyakini realitas keduanya yaitu meyakini pada tetap dan berubah.
Aristoteles meyakini bahwa perubahan meniscayakan pada tetap dan berubah. Maksudnya jika dikatakan bahwa A berubah menjadi B tentunya akan melazimkan perbedaan diantara keduanya, dikarenakan A telah berubah menjadi B dan selain itu pula, mesti ada yang tetap yang menunjukkan keidentikan dan aspek yang sama diantara keduanya sehingga dapat dikatakan bahwa A berubah menjadi B. Jika tak ada lagi yang tetap diantara keduanya atau dalam kata lain berubah secara totalitas maka tak dapat lagi dikatakan bahwa A berubah menjadi B.[1]   
Perubahan dalam filsafat merupakan kelaziman dari keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual, baik perubahan ini dalam zat (substansi) atau pun juga perubahan ini berasal dari sifat-sifat zatnya (aksiden).[2] Perubahan dalam zat adalah perubahan yang terjadi pada substansinya seperti perubahan dari tanah kepada tumbuhan, sedangkan perubahan sifat-sifat zatnya adalah perubahan aksiden seperti perubahan pada warna buah apel dari hijau menuju warna merah.
Perubahan yang terjadi pada sesuatu, dihasilkan dari dua bentuk jenis perubahan yaitu perubahan secara spontanitas (daf’iī) atau perubahan secara gradual (tadrījī). Perubahan secara gradual disebut dengan gerak sedangkan perubahan secara spontanitas disebut dengan ‘penciptaan dan peniadaan’ (kaun wa fasād).[3] Hal ini terlihat bahwa tidak semua perubahan tersebut didefinisikan sebagai gerak. Hanya perubahan secara gradual yang disebut dengan gerak.
Filsafat Paripatetik sejak Aristoteles hingga Ibn Sina membahas dan meletakkan persoalan gerak dalam ranah aksidental. Maksudnya gerak hanya terjadi pada empat kategori aksidental yaitu kuantitas, kualitas, posisi, dan ruang.[4] Filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina meletakkan persoalan gerak sebagai karekteristik dari tabiat materi dan oleh karenanya membahas persoalan tersebut dalam bab physics (al-thabi’iyyāt).[5]
Suhrawardi dalam kitabnya Muthārahāt menjelaskan bahwa meskipun gerak bukan bagian dari kategori substansi namun gerak tidak sebagaimana yang dijelaskan oleh filsuf paripatetik yang meyakini bahwa gerak terjadi pada empat kategori aksiden, bahkan lebih dari itu Suhrawardi memasukkan gerak sebagai bagian dari aksiden itu sendiri. Menurut Suhrawardi gerak sejatinya adalah aksiden. Gerak merupakan suatu kondisi yang senantiasa terjadi pada materi. Maksudnya terkadang suatu benda itu diam lalu kemudian bergerak. Artinya kondisi sebelumnya diam lalu kemudian kondisi selanjutnya bergerak yang menunjukkan bahwa ada kondisi yang mengaksiden padanya. Oleh karenanya disifatkan pada benda tersebut suatu sifat aksiden yang disebut dengan gerak. Dengan demikian gerak mesti dimasukkan sebagai salah satu kategori dari aksiden.[6]
Sebagaimana yang terlihat, dalam filsafat Paripatetik dan bahkan Suhrawardi menjelaskan fenomena gerak sebagai fenomena materi. Fenomena perubahan dalam pengertian gerak sangat mudah disaksikan di sekitar kita. Karena itu fenomena gerak adalah merupakan sebuah fenomena yang badihi. Paling tidak, perpindahan dari satu tempat pada tempat yang lain sebagai sebuah fenomena gerak adalah suatu hal yang badihi. Karena itu pula tak heran jika persoalan gerak dibahas dalam filsafat dan juga dibahas dalam fisika sebagaimana filsafat paripatetik memasukkannya ke dalam ranah physics.
Gerak yang dibahas dalam ranah sains dan dalam filsafat tentu berbeda. Saintis membahas gerak dalam pengertian sebuah fenomena tertentu bagi sebuah benda tertentu. Misalnya apakah benda X tersebut bergerak dan bagaimanakah bentuk geraknya. Namun selain wilayah ini, sains tidak lagi mampu untuk menelusuri lebih jauh dan tak lagi menjadi objek pembahasannya.[7]
Filsafat membahas gerak sebagai sebuah pembahasan yang bersifat universal. Dalam kata lain persoalan gerak yang paling penting adalah apakah gerak ada pada realitas eksternal atau tidak.  Filsafat tidak membahas satu spesifik dari benda tertentu. Karena itu bagi filsuf, gerak dibahas dalam ranah ontologi. Maksudnya pembahasannya adalah wujud gerak dan hal ini diluar dari wilayah Sains. Menurut Jawadi Amuli, hal ini yang membedakan antara Mulla Sadra dan filsafat Paripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina dimana filsafat Paripatetik membahas gerak sebagai fenomena-fenomena tabiat materi, sedangkan Mulla Sadra membahasnya dalam filsafat Ilahiyah dikarenakan membahas gerak dalam ranah ontologi.[8]   
Perbedaan wilayah pembahasan gerak dalam filsafat dan dalam sains, sebenarnya kembali kepada penekanan metodologi yang digunakan dalam masing-masing bidang studi tersebut. Sains menekankan pendekatan indrawi dan eksperimentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode akal dan argumentasi.[9] 
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Filsafat membahas tabiat materi dari sisi perubahan-perubahan dan transformasi-transformasi dimana meletakkan tabiat materi sebagai laboratorium potensi dan aktual. Nanti akan kita saksikan, meskipun ‘potensi’ dan ‘aktual’ adalah konsep yang benar dan nyata, namun tak satu pun dari konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ termasuk dari konsep indrawi.[10] 
Mulla Sadra memberikan pehaman yang baru mengenai gerak. Sebelum kehadiran Mulla Sadra, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, gerak hanya berkaitan dengan empat kategori pada aksidental dan bahkan Suhrawardi menggolongkan gerak sebagai bagian dari kategori aksiden.
Mulla Sadra selain meyakini bahwa gerak terjadi pada aksidental, juga meyakini bahwa terjadi pada substansi. Bahkan salah satu bagian penting dari filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah membuktikan keberadaan gerak substansi.[11] Dalam filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina, sulit menerima bahwa gerak juga terjadi pada substansi. Dalil utama yang diutarakan oleh Ibn Sina, gerak melazimkan adanya objek yang bergerak, mesti ada sesuatu yang bergerak sehingga dapat dikatakan bahwa objek A bergerak menuju B. Namun jika substansi dari sesuatu itu sendiri disaat bergerak juga mengalami perubahan maka pada saat itu tak ada lagi objek bagi gerak. Padahal dalam gerak meniscayakan keberadaan objek yang bergerak.[12]   
Beragam argumentasi dalam membuktikan gerak substansi yang dipaparkan oleh Mulla Sadra ingin membuktikan bahwa eksistensi materi senantiasa bergerak. Eksistensi materi adalah eksistensi gradual yang setiap saat senantiasa baru.[13] Oleh karena itu dalam pandangan Sadra, seluruh alam materi senantiasa bergerak, baik itu dalam bentuk aksiden maupun dalam bentuk substansi.
Menurut Abdullah Jawadi Amuli, pengingkaran Zeno terhadap gerak dikarenakan formula argumentasi yang diberikan oleh Aristoteles mengenai gerak. Kritik Zeno sebenarnya berkaitan dengan eksistensi gerak sedangkan argumentasi gerak oleh Aristoteles berkenaan dengan fenomena gerak. Oleh karena itu kehadiran Mulla Sadra menyingkap tabir tersebut dengan membuktikan bahwa pada substansinya pun terjadi gerak.  Oleh karena itu menurut Abdullah Jawadi Amuli keunggulan argumentasi gerak bukan dari warisan filsuf besar seperti Aristoteles dan filsuf-filsuf lainnya yang sepemikiran dengan Aristoteles. Namun keunggulan argumentasi gerak ini adalah hasil dari usaha keras dan penyucian diri Mulla Sadra dan para penerusnya dan bahkan menjadi bagian dari karekteristik filsafat Islam.[14]
Berkenaan dengan definisi gerak. Plato dan Aristoteles tidak sama dalam mendefinisikan gerak. Menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari kesamaan dan keseragaman.[15] Maksudnya terkadang pada suatu objek memiliki dua kondisi yang berbeda yaitu antara kondisi sebelumnya dan kondisi setelahnya. Karena itu menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari satu kondisi yang sama menuju suatu kondisi yang berbeda atau dalam kata lain dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Namun definisi Plato mengenai gerak tersebut meliputi kedua bentuk perubahan, baik perubahan dalam makna perubahan secara spontan (kaun wa fasād) maupun perubahan dalam makna perubahan secara gradual atau gerak.[16]
Definisi gerak menurut Aristoteles adalah kesempurnaan pertama bagi suatu potensial dari sisi sebagaimana sesuatu tersebut adalah potensial.[17] Hal yang penting dalam definisi Aristoteles berkenaan dengan dua hal yaitu kesempurnaan pertama dan aspek potensi sebagaimana potensi. Maksud dari kesempurnaan pertama disini adalah bentuk spesis (shūrah nau’iyah) bagi suatu benda materi dan kesempurnaan yang akan diraih selanjutnya pada batasan yang dimungkinkan disebut dengan kesempurnaan kedua. Kemudian dalam meraih kesempurnaan kedua bagi benda tersebut tentu dari aspek potensi sebagaimana potensi yang dimilikinya. Karena itu gerak termasuk kesempurnaan bagi objek yang bergerak karena dengan gerak inilah akan mengantarkannya kepada kesempurnaan yang kedua.[18]
Dalam pandangan Mulla Sadra gerak didefinisikan dengan hudūts al-tadrījī atau keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual secara gradual atau perlahan-lahan.[19] Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa gerak adalah meninggalkan secara perlahan-lahan sesuatu dari potensi dan sampainya kepada aktualitas dan kesempurnaan eksistensi.
Dalam definisi yang diutarakan oleh Mulla Sadra, Jawadi Amuli mengatakan ada beberapa hal yang mesti dipahami untuk memahami dengan baik mengenai konsep gerak. Salah satunya adalah memahami makna gradual yaitu melewati atau mengarungi jarak eksistensi antara potensi dan aktual dalam satuan waktu. Oleh karena jika aktualitas terjadi secara spontanitas dari sesuatu yang potensialitas maka perubahan ini tak disebut dengan gerak. Karena makna gerak dapat diaplikasikan pada sesuatu yang dapat dibagi secara imajinasi (waħmī) dan pembagian mental (ziħnī), juga bagian-bagian yang diasumsikan satu sama lain tak berkumpul, bahkan masing-masing setelah melewati menyusul yang lainnya dan sebelum menemukan eksistensi setelahnya.[20]
Jawadi Amuli melanjutkan bahwa jika gerak dapat dibagi secara imajinasi atau mental maka gerak secara esensi memiliki ketunggalan yang tersambung dan kontinuitas. Oleh karena bagian-bagian yang diasumsikan tersebut tak dapat berkumpul menunjukkan bahwa hal tersebut senantiasa dalam kondisi mengalir (sayyāl) dan senantiasa proses melewati. Apalagi jika dapat diterapkan pada satuan waktu maka hal tersebut tentu bersifat gradual karena hanya waktu saja yang dapat menjadi tolak ukur atas sesuatu yang bersifat gradual, bukan sesuatu yang diam. Kemudian Jawadi Amuli menyimpulkan bahwa tanpa waktu dan gradual, pemahaman gerak tak dapat ditafsirkan dengan benar. Meskipun konsep waktu berbeda dengan konsep gerak namun hakekat kedua hal tersebut pada realitas eksternal adalah satu.[21]
Dalam sistem pemikiran tasawwuf, gerak senantiasa dimaknai dengan gerak cinta. Gerak cinta ini berasal dari salah satu hadits Qudsi Rasulullah saw, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta makhluk agar Aku dikenal.[22] Ibn Arabi menjelaskan bahwa apapun jenis gerak yang terjadi di alam ini berdasarkan pada gerak cinta. Segala perubahan dan segala kemenjadian senantiasa dalam lingkaran gerak cinta, baik itu perubahan dalam busar turun, maupun perubahan dalam busar naik.[23]   
Sebagaimana dipahami, dalam pandangan dunia irfan, realitas alam dijelaskan dengan dua busar, busar naik dan busar turun. Hakekat realitas dimulai dari maqam ghaibul ghuyub atau maqam zat dimana pada maqam ini tak ada determinasi dalam bentuk apapun.[24] Setelah maqam ghaibul ghuyub adalah maqam ahadiyah atau ta’ayyun awwal dimana maqam ini adalah maqam yang sangat dekat dengan maqam zat.[25]  Pada ta’ayyun awwal terkandung segala hakekat yang ada pada level setelahnya secara peleburan (indimājī) dan oleh karenanya ta’ayyun awwal juga disebut dengan haqīqah al-haqāiq.[26]
Cinta pada maqam ta’ayyun awwal merupakan hakekat dari zat dan bahkan cinta pada maqam tersebut adalah zat itu sendiri.[27] Keidentikan realitas cinta pada maqam ta’ayyun awwal menjadi sumber dan asal muasal akan keberadaan prinsip gerak cinta karena pada maqam ta’ayyun awwal terkandung secara peleburan segala hakekat yang ada tingkatan setelahnya atau pada manifestasi-manifestasi selanjutnya.
Ibn Arabi meyakini bahwa gerak alam dari ketiadaan dimana sebelumnya diam dalam ketiadaan tersebut lalu kemudian keluar pada alam eksistensi. Karena itu menurut Ibn Arabi perkara tersebut bahwa gerak dari diam.[28] Disini Ibn Arabi memperlawankan gerak dengan diam. Namun mesti dipahami bahwa diam dalam terminologi Ibn Arabi memiliki konteks penetapan (tsubūt) yaitu disebut dengan wujud ilmiyah karena hal tersebut berada dalam zat Ilahiyah. Dalam hal ini wujud ilmiyah diperhadapkan wujud eksternal (wujud khārijī).[29]
Penafsir Ibn Arabi, Yazdān Panāh memahami bahwa gerak akan terlihat dengan jelas pada ta’ayyun tsānī atau wahidiyah. Pada ta’ayyun awwal belum ada keragaman. Keragaman terpahami pertama kali pada ta’ayyun tsāni karena ta’ayyun tsānī merupakan perantara antara ta’ayyun awwal dengan alam realitas eksternal. Melalui ta’ayyun tsānī inilah muncul nama-nama Ilahi (asma Ilahi). Karena itu persoalan gerak bisa dijelaskan pada ta’ayyun tsānī yaitu pada empat hakekat asma yang disebut dengan aimmah al-asma yaitu hayāt, qudrah, iradah, dan ‘ilmu. Keempat asma tersebut berakar pada ta’ayyun awwal. Yazdān Panāh melanjutkan penjelasannya bahwa para ahli makrifat meyakini kesempurnaan zat itu sendiri adalah batin dari hayāt dan kesadaran (syu’ur) dari kesempurnaan tersebut adalah batin dari ‘ilmu dan gerak cinta merupakan batin dari iradah dan pada akhirnya tawajjuh jaballī merupakan batin dari qudrah.[30]
Gerak dalam ranah filsafat berbeda dengan gerak dalam ranah tasawwuf sebagaimana terlihat pada pembahasan sebelumnya. Letak perbedaan ini berada dalam bangunan ontologi diantara keduanya yaitu penafsiran terhadap hakekat realitas eksternal. Irfan bersandar pada gagasan wahdatul wujud dan filsafat bersandar pada keragaman wujud. Dalam memahami realitas, irfan menggunakan qalbunya dalam menyingkap realitas dan dalam filsafat menggunakan argumentasi akal dalam menyingkap realitas.[31]
Penelitian desertasi ini mencoba untuk menganalisa dan membandingkan gerak dalam ranah filsafat dan gerak dalam ranah irfan. Khususnya perbandingan gerak dalam pengertian gerak substansi dalam filsafat Sadra dengan gerak dalam pengertian gerak cinta dalam pandangan irfan. Penelitian ini penting guna melihat ruang lingkup masing-masing dari gerak yang dimaksud.
Hal penting lainnya dalam penelitian ini yaitu mencoba untuk menganalisa mengenai perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Keyakinan terhadap gerak substansi meniscayakan segala sesuatunya bergerak di dalam dirinya, sebab bukan hanya aksidennya saja yang bergerak, bahkan substansinya pun bergerak.
Urafa juga meyakini adanya perubahan secara terus menerus. Salah satu kaidah dalam urafa yaitu ‘entitas-entitas tak pernah tetap dalam dua masa’.[32] Bagi urafa segala entitas-entitas mumkin senantiasa mengalami perubahan dan senantiasa baru dan baru. Apa yang ada pada saat sebelumnya, sirna secara keseluruhan dan pada saat setelahnya mendapatkan kehidupan yang baru. Proses seperti ini bagi urafa disebut dengan tajaddud amtsal.[33]





[1] Abdurrasul ‘Ubudiyyat, al-Nizām al-Falsafī  liMadrasah al-Hikmah al-Muta’aliyah, (Beirut: Samt va Muassas-e Āmuzesy-e va Pezuhesy-e Imam Khomeini. 2010), P. 16.
[2] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), P. 120.
[3] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), Hal. 120. 
[4] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[5] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 81. Pernyataan Ibn Sina sebagai berikut, لقد ختمنا الكلام فى المبادئ العامة للأمور الطبيعية. فحرى بنا أن ننتقل إلى الكلام فى العوارض العامة لها، و لا أعم لها من الحركة و السكون. و السكون كما سنبين من حاله عدم الحركة، فحرى بنا أن نقدم الكلام فى  الحركة
[6] Suhrawardi, Majmū’ah Mushannifāt Syekh Isyrāq, (Tehran: Muassas-eyye Muthāle’āt-e va Tahqīqāt-e Farhanggī. 1375 HS), Jil. 1, Hal. 278.
[7] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 563.
[8] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, Jil. 3, Hal. 563. 
[9] ‘Alī Rabbānī Golpāygānī, Aydhāh al-Hikmah, (Qom: Intesyārāt-e Isyrāq. 1374 HS), Jil. 2, Hal. 219.
[10] Murtadha Muthahhari, Majmmueh Ātsār, (Qom: ), Jil. 6. Hal. 726.
[11] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[12] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 124.
[13] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 7, Hal. 290

[14] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 558.
[15] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 3, Hal. 24.
[16] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[17] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 24.
[18] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 312-313.
[19] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 22.
[20] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 561.  
[21] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh,  Jil. 3, Hal. 561.  
[22] Ghulam Husain Ridhā Nizhād, Syarh-e Kabīr bar Fushūs al-Hikam Ibn Arabi, (Tehran: al-Zahra. 1380 HS), Jil. 2, Hal. 1133.
[23] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[24] Shadruddin Qūnawī, Risālah al-Nushūs, Hal. 6
[25] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 158.
[26] Muhammad Husain Fādhil Tūni, Majmu’ah Rasāil-e  ‘Irfānī wa Falsafī, (Qom: Mathbū’āt-e Dīnī. 1382 HS), Hal. 118.
[27] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 356.
[28] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[29] Hasan Hasanzadeh Āmulī, Mumiddul Ħimam dar Syarh-e Fushūs al-Hikam, (Tehran: Sāzmān-e Cāp va Intisyārāt-e Vezārat-e Farhang va Irsyād-e Islamī. 1378 HS), Hal. 555.
[30] Yadullah Yazdān Panāh, Mabānī  wa Ushūl ‘Irfan Nazarī, (Qom: Muassas-e Āmūzesy-e  wa  Pezuhesy-e Imam Khomeini. 1389), Hal. 423.
[31] Murtadha Muthahhari, Majmu’eh Ātsār, (Qom: Shadra. 1358 HS), Jil. 23, Hal. 29.
[32] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 6.
[33] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 5.