Thursday, November 17, 2022

Tafsir Sufi: Obat Derita Ada di Dalam Derita


Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan,

sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan.

Q.S Asysyarh (94):5-6

 

Ada ragam tafsir dalam menjelaskan ayat ini. Mungkin juga bisa seperti ini,

suatu kebahagiaan tersembunyi di dalam derita. Suatu penderitaan

tersembunyi di dalam bahagia. Kata Maulana Rumi, Tuhan sengaja

menciptakan derita agar kita bisa mengenal bahagia.

 

Persis seperti sebuah jawaban yang tersembunyi di balik sebuah pertanyaan.

Kedua hal itu berkelindan dan tak pernah terpisah. Setiap kesulitan ada

kemudahan. Sungguh, di setiap kesulitan ada kemudahan.

 

Kita mesti mencari jalan keluar di dalam derita dan kesulitan itu sendiri.

Kita mesti mengeluarkan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan.

 

Tak perlu mencari di tempat lain. Harta karun ada di sana. Kita mesti

bisa mengeluarkannya. Tapi mesti meningkatkan kesadaran agar kita

bisa melewati semuanya dengan baik.

 

Kata Maulana Rumi, obat derita ada di dalam derita.

 

 

Friday, November 11, 2022

Tafsir Sufi; Hati Mendengar


Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui

[Q.S al-Baqarah (2):137]


Ada beberapa bentuk “mendengar” yang dijelaskan dalam Quran. Salah satu

yang kita ketahui adalah mendengar melalui telinga. Umumnya kita hanya

tahu jenis ini, mendengar dengan telinga.


Jenis lainnya adalah mendengar dengan hati. Hati mampu menyerap getaran-

Getaran. Hati mendengar melalui getaran-getaran itu. Namun ketika hati sedang

lalai, hati tak mampu mendengar, meskipun telinganya mendengar. Hati tuli tapi

telinga mendengar.


Satu lagi bentuk mendengar adalah mendengar secara transenden. Pendengaran

transenden tak butuh media. Mendengar tanpa telinga dan hati. Tuhan mendengar

Tanpa butuh telinga dan hati. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.


Seorang pesuluk (pejalan) selalu berusaha menguatkan pendengarannya, tahap

demi tahap hingga bisa mencapai ke singgasana Lathif (Yang Maha Lembut).

ketika sampa disitu, hatinya mulai mendengar.


Tapi sebelum itu, dia mesti mendiamkan pikiran dan imajinasinya. Karena selama

seseorang tak mampu mendengar diam, dia tak kan terhubung dengan suara-suara

malakutī, tak kan tersambung dengan hakikat, dan keimanan tak kan menggelora

di dalam hatinya.


Thursday, November 3, 2022

Tafsir Sufi: Iman dan Akidah


. . . untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).

[Q.S al-Fath (48):4]

 

Iman itu tidak satu, tapi bertingkat-tingkat. Iman memiliki derajat, setiap

orang memiliki derajat keimanannya sendiri-sendiri. Meskipun kita berada

di dalam agama dan atau bahkan aliran yang sama, tetapi derajat keimanan

tetap berbeda.

 

Jadi boleh jadi buku bacaan kita sama, tetapi derajat iman tetap berbeda.

Akidah kita sama tetapi tingkat keberimanan tetap berbeda. Justru di sini

yang menarik, sebab Quran memerintahkan kita untuk beriman, bukan

berakidah. Tak ada satu ayat pun yang menjelaskan “I’taqidu!” Berakidahlah!

Tetapi Quran mengajak kita “Aminu!” Berimanlah!

 

Jita kita hidup berdasarkan akidah dan ideologi, hidup kita akan nampak

keras, dan pada akhirnya akan merasa lelah. Jika kita hidup berdasarkan

keberimanan, hidup kita akan menjadi lembut dan akan selalu tegar.

 

Agama adalah suatu kesadaran yang senantiasa berproses dan hidup.

Agama bukan akidah melainkan keberimanan. Akidah adalah pikiran

sementara iman adalah urusan hati. Karena itu Quran tak pernah bicara

tentang akidah, tetapi berbicara tentang iman. Iman setiap saat bisa

bertambah dan terus bertambah.  Keberimanan adalah sesuatu yang

hidup di dalam diri dan senantiasa berproses.

 

Sungguh benar pesan Rasulullah saw, “Siapa yang tak punya kelembutan

dan tak punya belas kasih, sungguh orang itu dijauhkan dari kebaikan-kebaikan.”