Showing posts with label tafakkur. Show all posts
Showing posts with label tafakkur. Show all posts

Saturday, January 12, 2019

Antara Filsafat dan Tafakkur

Meskipun kita senang pembahasan filsafat, akan tetapi, tentu tak semua aliran filsafat, kita turut senang membacanya. Aliran filsafat yang menurut hemat kita, lebih mampu  menjawab persoalan kekinian, pasti kita akan membacanya lebih banyak. Begitu pun sebaliknya, dalam aliran filsafat lainnya, kita hanya membaca sedikit. Tak menyelaminya lebih dalam.

Adalah hal yang sangat wajar, jika dalam aliran filsafat tersebut, kita menerima gagasannya dengan baik, namun pada aliran lain kita menolaknya. Hal itu tak perlu kita pertengkarkan sebab kita berhak memilih dan memilah diantara suguhan gagasan filsafat yang ada. Artinya, menolak suatu aliran filsafat masih dalam koridor filsafat.

Namun melarang seseorang membaca pemikiran tertentu adalah hal yang tak wajar dalam filsafat. Meskipun kita tak senang terhadap aliran materialisme dan positivisme, bukan berarti kita pun ikut melarang membacanya. Sebab melarang membaca aliran tertentu, berarti sejak awal kita tak siap menelusuri ragam perspektif dalam belantara pemikiran filsafat. Apalagi sudah semestinya kita harus cermat dan mencermati perkembangan filsafat yang sedang berkembang saat ini dan jalan satu-satunya hanya dengan membaca.

Tapi benar, sebagian Filsuf Yunani melarang belajar filsafat, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, Plato salah satu filsuf yang melarang. Tapi mereka tak pernah melarang membaca buku filsafat dan tak pernah melarang berguru pada filsuf tertentu yang berseberangan dengan gagasan filsafatnya.

Namun boleh jadi, karena selama ini kita hanya fokus pada kaidah-kaidah filsafat, bukan filsafat sebagai sebuah renungan filosofis, sehingga pelarangan itu juga terjadi di dalam para penggiat filsafat.

Disisi lain, Sokrates dan Suhrawardi adalah contoh terbaik bahwa tidak semua orang senang terhadap diskursus filsafat. Mereka berdua adalah tumbal sejarah kemajuan berfilsafat. Kita tak mungkin mengingkari sebagian orang yang tidak senang dengan filsafat, khususnya filsafat yang bebas dari doktrin ideologi. Sebab filsafat sejatinya seperti itu, ia hadir bukan sebagai pelayan dari ideologi manapun. Filsafat hadir hanya mengajarkan agar orang-orang mencintai hikmah; philo-sophia.

Hal yang sering kita lupakan, bahwa perkembangan suatu pemikiran sangat identik dengan konteks budaya. Jika suatu masyarakat pada umumnya tidak mendukung perkembangan pemikiran aliran filsafat tertentu, sebesar apapun usaha yang kita lakukan, tidak akan memberikan hasil maksimal sebagaimana yang kita harapkan. Sejarah perkembangan pemikiran adalah bukti terbaik atas persoalan ini. Ini bukan bahasa apatis, akan tapi suatu refleksi yang jujur atas realitas yang ada, tapi bukankah saat ini filsafat hanya hadir di kampus-kampus dan gaib di tengah-tengah masyarakat?

Tapi ada satu hal yang tak mungkin dihindari oleh siapa pun dan dalam masyarakat mana pun yaitu tentang tafakkur. Tafakkur adalah tanda atas kehidupan seseorang. Jika tafakkur tak lagi melekat pada diri seseorang, berarti tanda bahwa orang tersebut sedang mengalami kematiannya secara perlahan-lahan. Sebab tak ada lagi proses berpikir dalam menghadapi suatu fenomena.

Jadi sebaiknya kita cukup mendorong agar masyarakat senantiasa melakukan proses tafakkur. Sebab siapa saja berhak menolak filsafat dan seluruh aliran filsafat, namun tak ada yang mungkin menolak tafakkur.

Tuesday, October 9, 2018

Politik dan Tafakkur

Dunia yang kita huni saat ini, bisa dibilang, hampir segala peristiwa yang terjadi di dunia ini telah menjadi peristiwa politik. Politik telah mengisi seluruh aktifitas keseharian kita. Sebab itu kita mesti berpikir lebih serius lagi mengenai politik dan juga tentang prinsip-prinsip politik yang sedang berjalan. Di adab 19 Ludwig Feuerbach pernah mengatakan, politik telah merenggut posisi agama. Bahkan politik telah merenggut segala hal. Jadi tak heran jika masyarakat berharap berbagai persoalannya terselesaikan dengan politik dan oleh para politisi. Namun apa benar politik telah menjadi poros segala hal?

Politik yang terpisah dari prinsip tafakkur akan berpotensi menjadi suatu hal yang menakutkan. Gagasan politik Plato, Aristoteles, dan umumnya filsuf klasik lainnya merupakan produk dari gagasan filsafat mereka. Filsafat menjadi pondasi dalam gagasan politik mereka. Sayangnya politik saat ini telah terpisah dari akar gagasan filosofinya. Saat berbicara politik, kita sudah tak mengerti seperti apa bangunan filosofinya.

Bukan suatu kebetulan jika ada yang mengatakan tentang “akhir ideologi” sebab ideologi dibangun atas dasar gagasan-gagasan filsafat sedangkan politik saat ini tak lagi bersandar kepada gagasan filsafat. Misalnya pondasi politik komunisme dibangun atas filsafat materialisme sejarah. Demikian halnya dengan isme-isme lainnya punya landasan filsafat dan kita mudah menemukan landasan filsafatnya. Akhir ideologi adalah akhir dari politik tanpa bangunan filsafat.

Namun kerumitan persoalan ini justru dalam menemukan relasi antara politik dan filsafat atau hubungan antara filsafat dan tafakkur.

Umumnya para ahli politik dan ekonomi berusaha menciptakan suatu gagasan ideologi sebagai paradigma alternatif dari gagasan sebelumnya. Juga terkadang seorang pemikir ingin membuktikan gagasan teoritisnya dalam wilayah praktis. Sebab itu bisa kita temukan dalam sejarah pemikiran seorang filsuf terjun langsung dalam menaikkan atau menurunkan rezim pemerintahan. Meski demikian tetap saja tak mudah menemukan relasi yang jelas antara politik dan filsafat.

Berbeda dengan Karl Popper, ia tak percaya terhadap gagasan filsafat klasik. Popper bahkan mengatakan Plato dan Hegel sebagai pendusta dan tak punya niat yang baik. Tapi apa bisa kita mengatakan pemikiran politik Plato yang hidup di abad ke 5 sebelum masehi menyebabkan Hitler berkuasa di abad 20 dan sekaligus menganggap konsep politik al-Farabi yang terpengaruh oleh Plato menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia arab dan timur tengah? Tuduhan Popper atas mereka terlihat berlebihan.

Saat ini kita hanya bisa mengatakan bahwa ideologi seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, nazisme, dan ideologi lainnya berakar dari filsafat moderen. Meskipun kita tak tahu seperti apa kaitan antara filsafat dan politik namun hal yang tak dapat dipungkiri bahwa keduanya saling terkait. Sebab itu jika kita kembali ke makna politik yang sebenarnya kita akan mengatakan bahwa politik adalah tafakkur sebagaimana makna kata asalnya. Maksudnya tak selamanya politik memiliki landasan filsafat. Namun filsafat pasti terkait dengan tafakkur sebagaimana politik yang sedang berjalan di barat saat ini berakar dari filsafat moderen.