Showing posts with label Film The LunchBox. Show all posts
Showing posts with label Film The LunchBox. Show all posts

Saturday, March 31, 2018

Film The LunchBox: Merayakan Kesendirian

Kami dari Rumi Institute mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Mas Budhy dan Mas Yudhi yang sudah berkenan berbagi makna-makna baru dalam kehidupan “Dabbawalla”, rantang makan siang. Bahwa dalam menjalani dan menyelami rutinitas seluruh aktifitas kehidupan pasti akan terhubungkan dengan “Dabbawalla”.

Jadi apa simbol rangtang dalam film ini?

Saya selalu bertanya-tanya mengapa Fernandes sangat susah tersenyum dan sangat dingin dalam menyapa orang-orang disekitarnya. Menjawab seadanya dan apa adanya. Hampir tak pernah menyelimuti dirinya dengan kebahagiaan. Tatapan sorot matanya yang tajam selalu membawanya ke dalam samudera keindahan derita kesunyian dan kesendirian.

Ternyata Fernandes telah lama kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terkadang kehilangan bisa menenggelamkan kita dalam derita yang berlarut-larut. Khususnya suatu bentuk kehilangan yang akan menyebabkan kita kehilangan makna hidup.

Namun kesendirian dan kesunyian Fernandes tiba-tiba sirna ketika rantang Illa datang menyapa kesunyiannya. Illa selalu mengisi rantang itu dengan menu khusus untuk makan siang yang sebetulnya diperuntukkan untuk suaminya. Tapi si pembawa rantang tanpa sengaja menukarkan rantang itu ke orang lain, Fernandes.

Kesalahan tanpa sengaja yakni ketertukaran tanpa sengaja di dalam film ini menjadi simbol yang sangat kuat, “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”, pesan ini selalu muncul tiap kali film ini akan mencapai klimaks.

Illa memiliki derita yang sama dengan Fernandes. Illa pun sedang mengalami derita kesunyian, namun bukan karena kehilangan, justru oleh kehadiran. Kehadiran dirinya dalam keluarganya sudah tak ada bedanya dengan ketidakhadirannya. Kata, tutur, tawa, dan senyum untuk keluarganya seperti angin sepoi-sepoi yang selalu menyapa dengan kelembutan namun mendapat tanggapan yang sangat dingin.

Akhirnya Illa membiarkan rantang itu tertukar sebab “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”. Illa pun mendapat kehidupan baru dari rantang tertukar. Illa dan Fernandes akhirnya berkomunikasi melalui tulisan yang dioret-oret di atas sepucuk kertas yang diselipkan ke dalam rantang.

Jadi rantang adalah hati. Hati yang selalu diisi dengan keindahan, akan memberikan warna keindahan dan menyapa setiap orang dengan keindahannya. Mereka berdua dipertemukan dalam kesendirian melalui keindahan hati yang tulus dan polos.

Tapi memang benar, akhir film ini menitipkan sebuah pesan utama bagi ummat manusia yaitu merayakan kesendirian. Dari kesendirian menuju kesendirian yang lain. Proses yang sedang berlangsung diantara keduanya adalah proses memaknai kesendirian diri yang paling sendiri.

Jika kita gagal memaknai kesendirian kita yang paling sunyi berarti kita gagal memaknai kesejatian diri. Tiap-tiap dari kita adalah orang-orang yang sedang berada di atas kereta. Sebelum naik kereta kita sendiri dan saat turun pun, kita tetap sendiri dan menapaki jalan kesendirian diri kita yang paling sendiri. Dan setiap orang seharusnya sudah tahu di stasiun mana dia akan turun.

Kesendirian bukan tragedi, namun kegagalan dalam memaknai kesendirian adalah tragedi besar bagi ummat manusia moderen saat ini.

Kata Maulana Rumi:

Duhai jiwa!
Aku merindukanmu!
Kemanapun daku beranjak!
Seolah aku selalu membawa dirimu!
Walau hanya mengingatmu dan kesendirian.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat teman-teman semua yang sudah menyiapkan waktunya bersedia hadir di Rumi Institute tadi malam.