Thursday, March 28, 2019

Penghafal Ilmu dan Pecinta Ilmu                                                                                                                                                                       

Setiap orang terhubung secara khusus dengan alam ini. Tentu tidak terkait dengan seluruh alam, tapi terelasi dengan bagian-bagian tertentu dari realitas alam. Keluasan jiwa seseorang akan menentukan relasi keluasan alam yang dimilikinya.

Kata Wittgenstein, "bahasa yang kita gunakan menunjukkan batasan alam kita". Artinya, kekayaan bahasa yang dimiliki seseorang menunjukkan keluasan alam yang dimilikinya.

Nabi Ya'qub as dengan keluasan jiwa yang dimilikinya, mampu mencium aroma pakaian Yusuf dari jarak yang cukup jauh. Sementara pada saat yang sama, Benyamin yang membawa pakaian Yusuf, tak bisa mencium aroma batin pakaian Yusuf, padahal tak ada jarak yang memisahkan antara dirinya dengan pakaian Yusuf.

Kata Maulana Rumi;

Apa yang disaksikan Ya'qub akan aroma Yusuf,
hanya untuk Ya'qub,
Kapankah saudara-saudara Yusuf seperti ini?

Manusia yang tercemar dengan keburukan tak dapat mencium aroma sorgawi. Demikian halnya, solat tidak akan sah tanpa kesucian.

Maulana Rumi menggambarkan kedalaman batin pengetahuan Ya'qub dengan bahasa "begitu lapar terhadap aroma Yusuf";

Betapa lapar Yaqub terhadap aroma Yusuf,
Dari jarak jauh,
Ya'qub mencium aroma pakaian Yusuf,
Tapi si pembawa pakaian Yusuf,
sedikitpun, tak merasakan aroma itu,

Kemudian bait syair berikutnya, Maulana Rumi menyimpulkan, boleh jadi ada orang alim yang tak mampu mengambil manfaat dari pengetahuannya. Boleh jadi ada orang awam, saat mendengarkan nasehat ulama dengan ketulusan hatinya, mampu mendapatkan inayah dan rezeki makrifat Ilahi. Orang alim itu hanya mampu menghafal ilmu, sedangkan si awam begitu cinta terhadap makrifat.

Orang alim yang hanya mampu menghafal ilmu, sebenarnya, ilmu tersebut tak lebih hanya kehinaan baginya karena apa yang ia ketahui belum bersemayam di dalam jiwanya.

Mereka adalah para pengusaha ilmu dan penjual ilmu, bukan pecinta ilmu. Perumpamaan mereka di dalam kisah Yusuf, seperti penjual budak yang tak memperoleh keuntungan apa pun dari budak itu.

Thursday, March 21, 2019

Politik, Kejujuran, dan Kebahagiaan

                                                                                                                                              
Sudah semestinya dan memang seharusnya politik selalu berjalan beriringan dengan kejujuran. Politik terbaik adalah politik yang dibangun di atas nilai-nilai kejujuran. Tapi memang  faktanya, jauh panggang dari api, apa yang kita saksikan justru malah sebaliknya, seolah menghalalkan segala cara, sebab tujuan utama adalah memenangkan kemenangan bagaimana pun caranya.

Ilmu politik yang diajarkan dibangku kuliah, hampir-hampir tak menemukan wujud aktualnya. Politik yang dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, nampaknya menjadi malapetaka, sebab maksud kata bersama adalah 'kelompok kita sendiri', bukan 'yang lain' yang berbeda dengan kita. Akhirnya 'kelompok kita' harus mendominasi 'kelompok lainnya'. Dan walhasil, politik berubah menjadi 'konspirasi'.

Tapi suka atau tidak, manusia adalah makhluk politik dan madani. Tak mau tahu urusan politik, juga bagian dari politik. Menjauh dari ranah politik adalah sebuah langkah politik. Jadi pertanyaannya, sejauh mana kita harus berpolitik?

Tapi yang pasti, jangan perkecil dan membatasi kehidupan ini, semata-mata sebagai dunia politik. Memaknai hidup dan kehidupan hanya dalam bingkai politik akan membuat kehidupan ini menjadi tak bermakna.

Kehidupan lebih kompleks dari urusan politik. Jika seluruh potensi manusia dikerahkan dalam urusan politik, manusia tak kan bisa memaknai arti sejati dari kebahagiaan. Bahkan jika seseorang begitu bahagia karena mampu meraih kekuasaan sekali pun, cepat atau lambat, kekuasaan tersebut harus dilepaskan.

Itu sebabnya, jika tujuan satu-satunya adalah kekuasaan, dia akan mempertaruhkan apa pun yang ia miliki, bagaimana pun caranya dan dengan cara apa pun. Dusta, fitnah, dan kebohongan akan dia lakukan. Bahkan rela melakukan hal itu semua atas nama agama.

Jadi jangan pernah lupa, jika kita menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dan kemanusiaan, politik hanya salah satu dimensi dari kehidupan kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Namun membangun kehidupan yang lebih baik, baik itu untuk diri sendiri dan orang lain, bukan tugas politik semata, tapi tugas kemanusiaan kita semua.

Jadi, "politik itu untuk kehidupan, bukan kehidupan untuk politik".

Sebaiknya kita merenungi dengan khusyu' pesan Maulana Rumi;

Dia hanya seorang Darwish palsu,
tak layak diberi roti,
jangan buang tulang pada lukisan anjing,

Dia faqir pada makanan,
bukan faqir kepada Tuhan,
Jangan beri makanan pada lukisan mati
dan tak bernyawa.

Para Darwish palsu seperti ikan keramik,
bentuknya seperti ikan namun takut air,

Dia seperti ayam rumahan,
tak seperti Simurgh yang terbang bebas di angkasa,
Ayam rumahan, makan makanan lezat,
tapi luput dari makanan Inayah Ilahi,

Dia mencintai Ilahi disebabkan pemberian,
Tapi jiwanya tak mencintai kebaikan dan keindahan.

~ Muh. Nur. Jabir ~

Monday, March 18, 2019

TASAWUF IMAM GHAZALI



BATAS-BATAS PENGETAHUAN SUBJEKTIF:
TASAWUF SPEKULATIF dan TASAWUF SYARIAH al-GHAZALI
Oleh Muhammad Nur Jabir (Dir Rumi Institute)


Muqaddimah

            Setiap agama memiliki dua dimensi, lahir dan batin. Para cendikiawan muslim menyebut kedua hal tersebut dengan istilah syariat dan tarekat. Syariat dan tarekat merupakan satu hakikat dalam dua dimensi. Kedua dimensi tersebut tidak bertentangan bahkan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dimensi paling luar disebut dengan syariat dan dimensi batin disebut dengan tarekat. Adapun pencapaian utama dari tarekat adalah hakikat atau makrifat.
            Dalam sejarah pemikiran Islam, syariat dan tarekat tidak selamanya beriringan secara harmoni sebagai suatu bangunan yang utuh. Kedua hal tersebut terkadang dipertentangkan, bahkan seolah terlihat sebagai dua jalan yang berbeda dan berlawanan. Hallaj, Suhrawardi, dan Syekh Siti Jenar diantara beberapa tokoh sufi yang menjadi tumbal sejarah pertentangan syariat dan tarekat.
            Memisahkan syariat dan tarekat serta menafikan kedua dimensi lahir-batin akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan dunia Islam. Imam Ghazali salah satu tokoh sufi yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan ini. Bahkan bisa dikatakan, pergulatan hidup dan perubahan pemikiran Imam Ghazali yang begitu cepat, berakar dari pergulatan dalam menempatkan posisi syariat. Bagi Imam Ghazali, syariat terkait erat dengan segala dimensi pengetahuan Islam, baik itu kalam (teologi), filsafat, dan tasawuf.
            Imam Ghazali salah satu diantara pemikir muslim yang mengambil peran penting agar ummat muslim tidak jatuh ke dua titik ekstrim: syariat tanpa sentuhan batin (tasawuf) atau batin tanpa syariat. Syariat dan tarekat merupakan dua pondasi utama dalam ajaran Islam. Ia memadukan kedua hal tersebut yakni syariat dan tasawwuf dengan jalan kezuhudan dan kehambaan.    
Zuhud dan kezuhudan adalah salah satu bagian dari tradisi klasik tasawuf dan memiliki dasar di dalam doktrin Islam. Abunashr Sarraj, Abulqasim Qusyairi, dan Hajwiri adalah diantara tokoh-tokoh sufi besar yang mendasari ajarannya dengan dasar kezuhudan. Dan Imam Ghazali termasuk salah satu tokohnya.
Keterikatan yang erat antara syariat dan tarekat, salah satunya dapat terlihat dari hubungan antara niat dan amal. Hal yang paling penting dalam ibadah adalah niat yang ada dibalik suatu ibadah. Bagi para sufi, ibadah yang dilakukan dengan keikhlasan yang tinggi, semestinya tidak didasarkan apakah memperoleh pahala atau tidak, namun semata-mata karena cinta pada Ilahi. Jalan untuk meraih cinta Ilahi adalah dengan menjaga syariat semaksimal mungkin namun dengan syarat, syariat mesti dimaknai sebagai jalan untuk meraih hakikat. Dan inilah yang dimaksud sebagai tarekat.
Imam Ghazali meyakini, jalan untuk sampai kepada hakikat adalah melalui jalan syariat. Oleh sebab itu, pusat perhatian utama Imam Ghazali adalah pada ranah fiqih dan syariat, sebab dengan menjaga syariat dengan jalan tarekat, maka akan mengantarkan seseorang kepada tasawuf. Imam Ghazali adalah seorang Sufi Faqih. Kata Imam Ghazali, “manusia sempurna (al-Kāmil) adalah seseorang yang cahaya makrifatnya tak pernah padam. Oleh karena manusia sempurna  dengan kesempurnaan pandangannya, tidak pernah membiarkan dirinya meninggalkan batas-batas syariat[1].
Imam Ghazali menempatkan syariat sebagai jalan untuk sampai ke singgasanaNya karena syariat mengatur seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam kata lain, saat seseorang melangkah setiap saat dalam bingkai syariat, maka seolah orang tersebut senantiasa dalam naungan inayah Ilahi. Bahkan perlahan-lahan orang tersebut akan merasakan setiap keputusan yang diambil berasal dari Ilahi, tidak lagi berasal dari dirinya.
Berkenaan hal tersebut, Imam Ghazali memberikan suatu pengakuan atas apa yang sedang ia rasakan, “saya tak lagi bergerak dengan ikhtiyarku sendiri, DIA lah yang membuat diriku bergerak . . . kebenaran telah nampak sebagaimana kebenaran, Tuhan telah memberikan taufik pada diriku untuk mengikutinya, Tuhan telah menunjukkan padaku kebatilan sebagaimana kebatilan”[2].   
            Menurut para sufi, termasuk Imam Ghazali, meyakini hati sebagai hakikat manusia. Oleh sebab itu, kebahagiaan dan keselamatan manusia sangat bergantung pada keselamatan dan kebahagiaan hati. Jiwa manusia akan meluas pada pemilik hati yang bersih dan suci. Kemeluasan jiwa akan menjadi wadah dalam menerima cahaya pengetahuan Ilahi. Perilaku manusia akan berubah berdasarkan inayah Ilahi yang datang pada hatinya. Namun perlu diketahui, pembersihan jiwa hanya dapat dilakukan dalam bingkai syariat. Artinya Imam Ghazali meyakini, hati dan syariat adalah dua hakikat, seperti dua cermin yang saling berhadapan, saling memantulkan.[3]    
            Tasawuf Imam Ghazali adalah jalan sufi yang sangat menekankan jalan syariat. Hal tersebut terlihat dengan sangat jelas dalam karyanya Ihya Ulumuddin dan Kimiyatussa’adah. Kedua kitab tersebut, memang tidak hanya berisi tentang ajaran tasawuf, persoalan ahklak dan ajaran-ajaran doktrin agama pun terlihat dengan sangat jelas di dalam kedua kitab tersebut.   
            Berkat kecerdasan yang dimilikinya, Imam Ghazali tidak punya pembimbing khusus dalam menapaki jalan spiritual. Jalan sufistik dan suluk yang dijalani, ia temukan sendiri diantara tumpukan kitab-kitab dan petuah-petuah para sufi belumnya. Hal ini yang membedakan Imam Ghazali dari sufi-sufi lainnya yang pada umumnya yang berada dibawah bimbingan seorang Mursyid seperti Maulana Jalaluddin Rumi yang diasuh secara khusus oleh Syams Tabrizi.
Kata Imam Ghazali, “mencari ilmu lebih mudah daripada beramal. Oleh karena itu, langkah pertama yang saya lakukan adalah menimbah pengetahuan sufistik terlebih dahulu. Kitab yang menunjang pengetahuan saya dalam persoalan ini diantaranya adalah kitab Qūt al-Qulūb karya Abu Thalib Makki, kitab-kitab dari Harits Muhasibi, kitab Junaid, Syibli, Bayazid Basthami, beserta petuah-petuah dari guru mereka”[4].
Ada dua jenis sufi dalam tradisi tasawuf, Sufi Abid dan Sufi ‘Asyiq (arif). Seorang Sufi yang senantiasa menjalani dan menjelaskan segala aktivitas sufistiknya dalam bingkai syariat adalah seorang Sufi Abid. Imam Ghazali adalah Sufi Abid. Hampir dalam seluruh karya-karyanya, kehambaan dan kezuhudan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Berbeda dengan Sufi Abid, Sufi ‘Asyiq atau yang bisa disebut dengan arif, gelora yang senantiasa bergejolak di dalam dirinya adalah cinta, wajd, sema, dan jazbah. Maulana Rumi adalah salah satu sufi yang dikenal dengan Sufi ‘Asyiq yang senantiasa berjalan dengan jalan cinta.
Adapun Sufi ‘Asyiq memiliki dua wajah dalam menjelaskan puncak perjalanannya; wahdatussyuhud dan wahdatulwujud. Gagasan wahdatussyuhud meyakini, puncak perjalanan sampai pada suatu maqam dimana tak ada lagi yang disaksikan kecuali Tuhan. Adapun wahdatulwujud adalah suatu maqam dimana seorang sufi meyakini, yang ada hanya Tuhan, selain Tuhan adalah ketiadaan.
Imam Ghazali adalah salah satu sufi yang memadukan antara ajaran sufisme dengan doktrin agama. Ia menghiasi ajaran tasawuf dengan syariat Islam; Quran dan Hadits. Apalagi didukung atas keyakinannya bahwa hati lebih unggul daripada akal adalah salah satu faktor yang menyebabkan diakhir perjalannya, ia meninggalkan kalam (teologi) dan filsafat.
Siapa pun dia, selama orang tersebut memakai baju sufi, cinta menjadi kendaraan terbaik untuk sampai ke Hadirat Ilahi. Imam Ghazali pun demikian halnya, alam semesta dimaknai sebagai cerminan keindahan jiwa. Memandang keindahan jiwa seseorang, tidak termasuk hal yang dilarang, asalkan rasa dalam pandangan tersebut, tak ubahnya memandang keindahan bunga dan taman.[5] Jalan tercepat sampai ke cinta sejati adalah melalui jalan cinta metafor. Dari alam lahir menuju alam batin.
Imam Ghazali meyakini dua relasi cinta atau mahabbah: manusia terhadap Tuhan dan Tuhan terhadap manusia. Bagi sebagian sufi, cinta seorang hamba kepada Ilahi bersifat azali yaitu telah ada dan aktual sejak di alam perjanjian (alastu). Adapun Imam Ghazali meyakini cinta tersebut bersifat qadim. Cinta Ilahi akan hadir dalam diri seorang hamba ketika hati benar-benar bebas dari kelalalian kepada Ilahi. Saat hati bersih dari lalai, keindahan Ilahi akan terpancar di dalam hati dan menjadi seorang pecinta. Berdasarkan hal ini, cinta adalah hasil dari makrifat dan makrifat perkara fitrawi[6].
Imam Ghazali menentang kaum mutakallim (teolog) yang mengingkari cinta seorang hamba kepada Ilahi. Kata para mutakallim, ada perbedaan yang mencolok antara Tuhan dan makhluk, oleh karenanya, cinta seorang hamba kepada Ilahi tidak akan berlaku. Jika ada kata mahabbah di dalam Qur’an, tak ada makna lain kecuali ketaatan. Imam Ghazali berpandangan sebaliknya, cinta menjadi satu-satunya jalan untuk sampai kepada Ilahi, kesempurnaan, dan kebahagiaan.[7]
Hanya Tuhan yang paling layak dicintai dan paling layak sebagai objek cinta. Manusia tak seharusnya cinta pada selain Tuhan kecuali dalam rangkaian cinta pada Ilahi. Cinta adalah harta karun yang tidak semua orang mampu mendapatkannya. Puncak cinta adalah kefanaan. Kecintaan yang begitu mendalam pada Kekasih bahkan mampu membuat lupa pada namanya sendiri. Pada tahapan ini, seorang salik (pecinta) telah sirna atau fana di dalam Kekasih dan lupa atas dirinya sendiri. Menurut Imam Ghazali, fenomena ini adalah jalan pertama tasawuf.[8]

Dasar-Dasar Pengetahuan Sufistik
            Sebelum menjelaskan pandangan Imam Ghazali, terkait dengan beberapa pengetahuan sufistik dalam persoalan tasawuf, penting kiranya untuk melihat bagaimana Imam Ghazali menempatkan posisi akal.
            Menurut Imam Ghazali dalam kitab al-Munqidz, esensi wujud manusia adalah hati. Kondisi fitrah manusia pada awalnya seperti lembaran putih yang kosong dari segala bentuk pengetahuan, termasuk pengetahuan Ilahi. Tahapan selanjutnya Tuhan menciptakan inderawi pada manusia. Tahapan inderawi adalah tahapan yang sama antara manusia dan hewan. Kira-kira setelah tujuh tahun kemudian, manusia diberikan aspek ‘pembeda’, anak-anak mulai memahami kaidah-kaidah keniscayaan. Setelah tahapan ini adalah tahapan akal dan tahapan paling puncak adalah manusia akan diberikan ‘penglihatan kenabian’ pada orang-orang tertentu[9].
            Nampak dari pembahasan sebelumnya, tahapan-tahapan yang manusia lewati hingga sampai kepada akal bahwa, setiap tahapan menunjukkan suatu proses dari perubahan manusia. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menjelaskan hal yang sama terkait dengan persoalan akal. Menurut Imam Ghazali, tingkatan pertama akal adalah potensi dalam memahami sesuatu yang dengan potensi tersebut memisahkan dirinya dari hewan. Tingkatan kedua akal adalah pengetahuan yang lebih banyak terlihat pada usia anak-anak, khususnya dalam membedakan sesuatu, seperti saat seorang anak memahami bilangan angka dua lebih besar dari satu atau contoh lainnya, tidak mungkin melihat orang itu pada dua tempat dan waktu yang berbeda pada saat bersamaan. Tahapan ketiga akal adalah pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman atau dari beragam kondisi atau keadaan. Adapun tingkatan keempat akal adalah kekuatan dalam memahami akhir atau akibat dari setiap perbuatan dan berkat akal tersebut mampu menundukkan syahwat serta kecendrungan kepada kenikmatan dunia.[10]
            Tingkatan pertama akal dan kedua adalah pemberian Ilahi namun pada tingkatan ketiga dan keempat, selain pemberian Ilahi namun mesti disertai dengan usaha manusia dalam meraihnya. Khususnya yang terkait dengan akal dalam tingkatan akhir, hati menjadi wadah dalam menerima akal tersebut. Oleh sebab itu, terdapat tingkatan akal yang hanya dikhususkan kepada para Nabi dan Wali. Dan dari sini dapat dipahami juga bahwa, persoalan ‘penyingkapan batin’ tidak hanya dikhusus untuk para Nabi. Meski demikian, para Nabi diberikan pengetahuan khusus dari Tuhan dan pengetahuan tersebut melampaui keempat tingkatan akal yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengetahuan yang dikhususkan buat para Nabi disebut dengan wahyu.
            Empat tingkatan akal menurut Imam Ghazali sangat dekat pemaknaannya dengan empat tingkatan akal menurut Ibn Sina; akal potesi, akal bilmalakah, akal aktual, dan akal qudsi. Penjelasan yang diuraikan oleh Imam Ghazali pun sangat dekat dengan penjelasan Ibn Sina. Kedekatan ini menunjukkan bahwa Ibn Sina punya pengaruh yang cukup dalam terhadap pemikiran Imam Ghazali.

1.      Mukasyafah
Istilah mukasyafah adalah salah satu istilah kunci dalam pemikiran Imam Ghazali. Hal tersebut dijelaskan dalam muqaddimah Ihya Ulumuddin bahwa tujuan dari penulisan kitab tersebut untuk menghidupkan ilmu akhirat. Bagi Imam Ghazali ilmu akherat terbagi menjadi dua bagian; al-Mu’amilah (taklif; keyakinan, perbuatan, dan meninggalkan perbuatan) dan mukasyafah[11].
Prinsip-prinsip llmu mu’amilah diperoleh dari Quran dan hadits. Adapun Quran dan hadits merupakan hasil dari derajat makrifat kenabian Rasulullah saw atau derajat mukasyafah Rasulullah saw. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ilmu mu’amilah adalah jalan untuk sampai kepada ilmu mukasyafah. Persoalan ini sekaligus menegaskan bahwa mukasyafah atau penyaksian batin tidak mungkin diraih tanpa melalui jalan syariat, sehingga persoalan ini menjadi bagian yang sangat penting karena terkait dengan proses penyempurnaan jiwa. Seorang sufi bisa sampai mukasyafah karena mensucikan jiwanya melalui proses tazkiyatunnafs dan tazkiyatunnafs dilakukan melalui bimbingan syariat.
 Tujuan inti mukasyafah untuk meraih pengetahuan Ilahi di dunia ini dan juga makrifat dan kebahagiaan di dunia lain. Kebahagiaan di dunia lain sangat bergantung kepada makrifat pada Ilahi di dunia ini. Namun mesti dipahami, maksud Imam Ghazali tentang makrifat Ilahi adalah bukan pengetahuan yang diraih dengan jalan taklid sebagaimana orang-orang awam atau melalui jadal seperti para mutakallim. Namun makrifat Ilahi merupakan hasil dari cahaya yang Tuhan berikan kepada seseorang di dalam hatinya berkat usaha yang begitu kuat dalam mensucikan batinnya dari keburukan-keburukan[12].
Selain makna tersebut, Imam Ghazali juga memaknai mukasyafah sebagai ‘tirai yang telah tersibak’. Mukasyafah bermakna menyaksikan sesuatu dibalik tirai sehingga keragu-raguan sirna di dalam diri. Adapun ilmu mu’amilah adalah pengetahuan untuk mempersiapkan cermin hati dalam menyingkap hakikat-hakikat dan terutama pengetahuan tentang Tuhan.
Terlihat dengan sangat jelas, istilah mukasyafah yang digunakan oleh Imam Ghazali berakar dari ajaran tasawuf. Imam Ghazali dalam kitab al-Munqidz menjelaskan persoalan sufi dengan menggunakan istilah tasawuf. Menurut Imam Ghazali, Sufi adalah seseorang yang menganggap dirinya sebagai ahli mukasyafah. Mukasyafah dan musyahadah adalah titik awal perjalanan seorang sufi[13].  
Sebelum sampai pada masa Imam Ghazali, penggunaan istilah mukasyafah sudah terlihat dengan sangat jelas dari sufi-sufi sebelumnya. Sufi sebelumnya umumnya memaknai mukasyafah sebagai salah satu derajat khusus dari derajat yakin. Namun penyajian dalam menjelaskan istilah mukasyafah tidak sama diantara para sufi. Sufi sebelumnya mengaitkan istilah mukasyafah dengan tajalli; tajalli sifat atau dzat.

2.      Dzauq
            Imam Ghazali dalam penggunaan istilah dzauq, tidak hanya dijelaskan dalam ranah sufistik, istilah tersebut digunakan juga dalam ranah filsafat seperti dalam karyanya ‘Tahāfut al-Falāsifah’, khususnya dalam menjelaskan soal filosofi kebahagiaan. Dzauq adalah suatu bentuk pengalaman batin di dalam diri. Dan oleh karena kebahagiaan adalah suatu perkara kenikmatan akal, dan kenikmatan adalah bagian dari pengalaman, maka filosofi kebahagiaan dikaitkan dengan dzauq sebab dzauq adalah perkara yang dialami di dalam diri manusia.
            Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan bahwa dzauq adalah pengetahuan internal dan personal. Pengetahuan tersebut menyatu di dalam diri dan juga tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Suatu kondisi atau keadaan (hāl). Bisa juga dikatakan sebagai pengetahuan kehadiran (al-‘Ilm al-Hudhurī) dan tak butuh argumentasi. Pengetahuan seseorang biasanya diawali dengan mengetahui secara umum, lalu setelah mencicipinya, pengetahuan seseorang atas objek tersebut akan semakin mendalam. Oleh sebab itu, kedua pengetahuan tersebut berbeda. Pengetahuan pertama (pengetahuan general) seperti kulit sedangkan yang kedua adalah inti. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan lahir sedangkan yang kedua adalah batin. Pengetahuan batin tidak bertentangan dengan pengetahuan lahir, tapi batin dimaknai sebagai penyempurna dari lahir. Demikian halnya dengan lmu, iman, dan tashdiq. Misalnya manusia telah tahu sebelumnya tentang cinta, sakit, dan kematian, namun ketika ketiga fenomena tersebut terjadi di dalam diri, pengetahuan kita atas ketiga fenomena tersebut semakin sempurna.[14]     
            Pengetahuan dzauq adalah pengetahuan yang hanya bisa diraih dengan pengalaman. Oleh sebab itu, dzauq dari aspek pengalaman tak mungkin ditransfer pada orang lain sebab analoginya seperti seseorang yang berusaha keras menjelaskan rasa sakit tertentu pada orang lain yang tak pernah mengalami rasa sakit tersebut. Sebesar apa pun usaha seseorang dalam menjelaskannya, tetap saja orang lain tidak akan mengerti karena orang tersebut tak pernah mengalaminya.
            Imam Ghazali dalam kitab Misykāt al-Anwār, menjelaskan relasi iman, ilmu, dan dzauq berdasarkan surah 58 (al-Mujadila);11 “. . . niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat . . .”. Menurutnya, ilmu lebih tinggi dari iman, dan dzauq lebih tinggi dari ilmu. Dzauq adalah ranah intuisi, ilmu ranah argumentasi, dan iman adalah taqlid kepada seseorang yang memiliki ilmu dzauq.[15]
            Dzauq dalam pemikiran Imam Ghazali memiliki derajat yang tinggi terkait dengan pengetahuan manusia. Kemudian pada tahapan selanjutnya, dzauq dihubungkan dengan pengetahuan kenabian. Dzauq dipahami sebagai salah satu tahapan pengetahuan dari kenabian dan selain Nabi tidak mungkin sampai kepada dzauq kenabian tersebut. Namun di sisi lain, jalan terbaik untuk mencicipi makrifat kenabiaan adalah melalui jalan dzauq. Seharusnya keyakinan seseorang atas kenabiaan tidak mencukupkan dirinya kepada apa yang didengarkan, tetapi mampu juga merasakan dibalik sesuatu didengarkan.

3.      Musyahadah
            Imam Ghazali di kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan ada tiga derajat keimanan. Derajat pertama adalah iman orang awam yaitu keimanan yang diraih dengan jalan taklid. Derajat iman yang kedua adalah iman kaum mutakallimin (kaum teolog) yaitu bentuk keimanan yang disertai dengan argumentasi, keimanan derajat kedua ini dekat dengan derajat keimanan orang awam. Adapun derajat iman yang paling puncak adalah derajat iman kaum arifin.[16]
Imam Ghazali mengaitkan persoalan musyahadah dengan tingkatan iman yang paling tinggi yaitu iman orang-orang arif. Keimanan puncak ini disaksikan (musyahadah) dengan cahaya keyakinan. Makrifat yang dihasilkan dari keimanan melalui musyahadah adalah hakiki sekaligus yaqini. Perbedaan keimanan anatara keimanan kedua dan ketiga adalah keimanan argumentatif dan keimanan musyahadah.
Keimanan argumentatif adalah bentuk keimanan yang mencoba memahami keberadaan Tuhan melalui perantara lain dan perantara tersebut adalah argumentasi. Adapun keimanan musyahadah yang diyakini oleh orang-orang arif adalah keimanan yang mengetahui segala sesuatu melalui Tuhan melalui cahaya mukasyafah yang dimilikinya, bahkan mengetahui Tuhan melalui Tuhan. Imam Ghazali menyebut keimanan argumentatif dengan sebutan “al-Ulama al-Rāsikhun” yaitu ulama yang mendalam ilmunya melalui dalil argumentasi. Adapun keimanan musyahadah disebut dengan “al-Shādiqūn” yaitu keimanan yang menyaksikan segala sesuatu dengan cahaya batinnya. Imam Ghazali mengaitkan “al-Shādiqūn” dengan ayat 41:53 “Tidak cukupkah bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”. Demikian halnya dengan “al-Ulama al-Rāsikhun” masih tetap dengan ayat yang sama dengan penggalan ”kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri”.[17]

Wajah Sufi Imam Ghazali di Misykāt al-Anwār
            Kitab Misykāt al-Anwār adalah karya terakhir Imam Ghazali. Kitab tersebut ditulis saat dia telah berada dalam puncak kematangan jiwa. Perubahan jiwa revolusioner Imam Ghazali dapat ditemukan dalam kitab ini. Untuk pertamakalinya dalam dunia Islam persoalan metafisika cahaya menjadi karya terpisah dalam bentuk sebuah buku.
            Kitab tersebut menjelaskan tentang esensi cahaya kaitannya dengan hakikat Ilahi sebagaimana dalam surah annur 24:35 “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. Makna cahaya dalam kitab tersebut dijelaskan dengan pendekatan sufistik. Ia menegaskan pendekatan sufistiknya dalam menjelaskan ayat tersebut melalui salah satu hadits dari Rasulullah saw, “sesungguhnya bagi Allah ada tujuh puluh hijab; hijab cahaya dan hijab kegelapan”.[18]   
            Imam Ghazali sebagaimana sufi lainnya meyakini Tuhan sebagai haqīqatul haqāiq (hakikat dari segala hakikat). Tuhan adalah hakikat cahaya, bahkan cahaya itu sendiri. Hakikat cahaya, selain menyinari dirinya, juga memberikan cahaya pada yang lain. Oleh sebab itu, jika di dalam diri sesuatu atau di dalam zat dirinya tidak ada cahaya, hakikatnya sesuatu tersebut tidak bisa di sebut dengan cahaya. Jika disematkan panggilan cahaya pada sesuatu tersebut, penyematan tersebut sekedar metafor semata (bil majāz).
            Hal yang menarik yang dilakukan oleh Imam Ghazali adalah saat menyamakan cahaya dengan wujud dalam kitab tersebut. Ia meyakini bahwa hakikat cahaya sama dengan hakikat wujud. Sifat cahaya sama dengan sifat wujud, menerangi dirinya dan yang lain. Cahaya dan wujud hanya bisa disematkan kepada Ilahi sebab Dialah pemilik cahaya dan wujud. Oleh karena itu, jika kita menyematkan wujud pada wujud lain selain Tuhan, maka penyematan tersebut juga bersifat metafor semata. Setelah menjelaskan persoalan tersebut lebih jauh, Imam Ghazali sampai kepada kesimpulan bahwa, “tak wujud kecuali Allah dan segalanya sirna kecuali wajahNya”.[19]  
            Pernyataan “tak ada wujud selain Allah” adalah doktrin utama dalam ajaran sufi, khususnya dalam gagasan Ibn Arabi. Dalam pemikiran Ibn Arabi keyakinan tersebut dikenal dengan sebutan wahdatul wujud. Wahdatul wujud adalah suatu doktrin yang meyakini bahwa wujud hanya disematkan kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah ketiadaan. Doktrin wahdatul wujud sekaligus menjadi pembeda dari pandangan lainnya; filsafat atau kalam.
            Hal menarik lainnya yang menjadi perhatian Imam Ghazali dalam kitab Misykat adalah hadits yang menyatakan bahwa “Adam diciptakan berdasarkan atas bentuknya”. Hadits tersebut menjadi salah satu ruang perdebatan antara mutakallim dengan sufi. Inti perdebatannya pada kata ‘bentuknya’ bahwa dhamir pada kata tersebut akan dikembalikan kemana? Apakah kembali ke Adam atau kembali ke Tuhan? Imam Ghazali mengikuti jalan urafa dengan mengembalikan dhamir tersebut kepada namaNya al-Rahman.[20]
            Hadits tersebut adalah salah satu hadits yang sangat populer di kalangan sufi, khususnya dalam menjelaskan hakikat insan kamil atau manusia sempurna sebagai manifestasi yang paling sempurna dari asma Ilahi. Pembahasan insan kamil adalah bagian yang paling penting di dalam ajaran tasawuf dan menjadi pembahasan pembeda dengan pembahasan lainnya seperti dalam pembahasan filsafat atau kalam. Seluruh isi kitab Fushus al-Hikam Ibn Arabi menjelaskan tentang hakikat insan kamil dari beragam perspektif melalui hakikat kenabian.
            Meskipun kitab Misykāt al-Anwār tidak begitu mendapatkan sambutan hangat sebagaimana kitab Ihya Ulumuddin, namun para sufi memberikan perhatian khusus terhadap kitab Misykāt karena kedalaman dan kematangan pengetahuan sufistik Imam Ghazali terlihat dengan sangat jelas dalam kitab tersebut.

Relasi Syariat dan Tasawuf
            Jika kita menelusuri kitab-kitab klasik sufistik, sangat mudah memahami betapa sufi-sufi sebelumnya menaruh perhatian penuh terhadap syariat. Bahkan memperhatikan secara detail batas-batas syariat seperti persoalan mustahab dan makruh. Imam Ghazali dalam kitab al-Munqidz juga menjelaskan demikian, jika seluruh pemikir dan filosof serta ulama saling membantu untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dari akhlak sufistik, yakin saja bahwa mereka tak mungkin bisa melakukan hal tersebut karena di dalam akhlak sufistik, seluruh gerak dan diam, baik itu dari sisi lahir dan batin berasal dari cahaya kenabiaan. Tak ada lagi yang mampu memberikan cahaya di alam ini terkecuali dari Misykat cahaya kenabiaan.[21]   
            Imam Ghazali, Ibn Arabi, Maulana Rumi dan sufi-sufi lainnya sebagaimana terlihat dari ucapan-ucapan mereka senantiasa mendudukkan penyaksian (mukasyafah dan musyahadah) mereka dengan syariat. Bahkan mereka menjadikan syariat sebagai salah satu timbangan dalam menilai apakah penyaksian mereka adalah penyaksian yang benar atau dusta.
            Seorang sufi pasti menyadari, pengalaman mukasyafah tidak hanya terbatas pada penyaksian Ilahiyah tapi bisa saja terjadi pada diri seseorang mengalami penyaksian syaithaniyah. Ibn Arabi dalam kitab Futuhāt al-Makiyah membuka satu bab khusus dengan judul “fi makrifah al-khawātir al-syaithāniyah”.[22] Oleh karena itu, para sufi menyadari betapa penting peranan  syariat dalam memberikan arah setiap pengalaman-pengalaman batin mereka.
            Bagaimana pun bentuk penyaksian batin, yang pasti, pengalaman tersebut pasti terjadi di dalam batin seseorang. Pengalaman sufistik sangat subjektif dan juga personal. Jadi pertanyaan utama yang semestinya menjadi perhatian utama dalam pengalaman batin tersebut adalah apakah ada timbangan untuk menilai suatu pengalaman? Bagaimana kita bisa memahami bahwa pengalaman tersebut adalah pengalaman benar atau salah, khususnya dalam membedakan mukasyafah Ilahiyah dan mukasyafah syaithaniyah? 
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, para sufi memposisikan syariat sebagai salah satu timbangan dalam menilai suatu pengalaman batin. Bahkan mereka berusaha semaksimal mungkin agar tidak terjadi pertentangan antara syariat dengan penyaksian-penyaksian yang terjadi di dalam batin.
Bagi para sufi, termasuk Imam Ghazali, sebagaimana terlihat dalam pembahasan sebelumnya, peran syariat tidak hanya dalam memberikan timbangan benar dan salah, namun juga menjadi dasar dalam perjalanan suluk. Syariat adalah kendaraan untuk sampai kepada hakikat atau makrifat. Para sufi menyandarkan persoalan ini berdasarkan ayat 15: 99 “dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu yaqin”. Bagi para sufi, maksud dari yaqin disini adalah maqam yaqin yakni seseorang telah sampai kepada keyaqinan tertentu. Suatu bentuk keyakinan yang di dalamnya tidak ada lagi ruang keragu-raguan.[23]  

Tasawuf Spekulatif (Irfan Teori)
Sebelum menjelaskan lebih jauh, ada baiknya melihat terlebih dahulu persamaan dan perbedaan antara istilah irfan dan tasawuf. Mungkin ada yang membedakan kedua istilah tersebut berdasarkan mazhab dan mungkin juga ada yang membagi dalam terma lain, irfan dibangun berdasarkan terma-terma filosofis sedangkan tasawuf non filosofis.
Meskipun kita menemukan beragam teori pemilahan irfan dan tasawuf, tapi sebenarnya tidak ada perbedaan spesifik antara irfan dan tasawuf. Irfan adalah tasawuf dan tasawuf adalah irfan itu sendiri. Perbedaan ini muncul, jika kita mencoba melihat sudut pandang yang berbeda di dalam diri seorang sufi. Maksudnya jika yang kita saksikan pada seorang sufi adalah sistem alam pemikirannya maka pada hakekatnya kita sedang menyaksikan aspek irfani dari sufi tersebut, namun jika yang kita saksikan pada seorang sufi aspek sosialnya, seperti bagaimana perilaku kesehariannya, cara berpakaian, dan tingkah laku, maka yang sedang kita saksikan pada sufi tersebut adalah aspek tasawufnya.
Jadi pada diri seorang sufi terdapat dua aspek sekaligus, pertama adalah sisi irfannya dan yang kedua adalah sisi tasawufnya. Sisi irfan menjelaskan aspek pandangan dunia seorang sufi, menjelaskan tentang bagaimana pemikiran dia tentang wahdatul wujud, konsep tajalli dan tentang manusia yaitu insan kamil. Sisi tasawuf menjelaskan aspek sair suluknya yang terbingkai dalam prilaku kesehariannya. Pembahasan kita kali ini menjelaskan tentang irfan teori yaitu menjelaskan aspek pemikiran dari seorang sufi. Oleh karena itu kata yang tepat yang kita gunakan saat ini adalah irfan.
Dari hal diatas kita bisa melihat pembagian besar dalam irfan, yaitu irfan teori dan irfan amali (tasawuf). Irfan teori adalah sebuah penafsiran akan eksistensi, dalam hal ini wahdatul wujud beserta konsekwensinya yang diperoleh melalui syuhud dan mukasyafah. Sedangkan irfan amali (tasawuf) menjelaskan proses yang harus dijalani manusia sehingga sampai pada puncak tauhid (wahdatul wujud). Dalam irfan amali seorang sufi senantiasa berusaha menjalani ‘takhallaqu bi akhlaqillah’ [berakhlak dengan akhlak-akhlak Ilahiyah]. Segala perbuatannya dijalani dalam ruang lingkup syariah dan melalui syariah (lahir) tersebut masuk kedalam inti hakikat (batin).
Tapi disini harus dipahami, terminologi akhlak yang dipahami oleh seorang sufi tidak sama dengan makna akhlak yang dipahami pada umumnya. Akhlak yang biasanya dipahami oleh awam bermakna memperindah diri dengan sifat-sifat hasanah, seperti bagaimana seseorang memperindah diri dengan sifat malu, sifat dermawan, rendah diri, dan sifat-sifat positif lainnya. Sedangkan akhlak dalam terminologi irfan tidak bermakna memperindah diri, akan tetapi bermakna perjalanan ruhaniah dari satu titik terendah menuju titik yang paling puncak yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan adalah gerak dari satu stasiun menuju stasiun lainnya, dari gerak kesadaran, menuju taubat hingga sampai pada puncak tauhid yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan selainnya bersifat statis.
Secara garis besar pembahasan irfan membahas dua tema penting dan sekaligus menjadi poros seluruh pembahasan irfan. Kedua persoalan tersebut adalah tauhid dan muwahhid. Yang dimaksud dengan tauhid oleh kaum sufi adalah wahdatul wujud. Para Sufi meyakini bahwa wujud hanya layak disematkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq hanyalah nama-nama-Nya dan manifestasi-Nya saja yang secara esensi nama-nama tersebut tidak memiliki wujud yang independen. Konsekwensi dari prinsip wahdatul wujud ini meniscayakan penafian wujud selain Al-Haqq.
Relasi antara Al-Haqq dan selain Al-Haqq dalam irfan diselesaikan dengan prinsip tajalli. Tajalli hanyalah bayangan diri-Nya dalam berbagai ragam bentuk. Keanekaragaman ini bergantung pada bentuk-bentuk cermin yang ada. Cermin menampakkan wajah-Nya tapi bergantung pada potensi dan bentuk yang ada pada cermin. Yang menarik dalam terminologi tersebut karena kita bisa menemukan banyak teks dalam Quran dan hadits yang menggunakan terminologi bayangan, misalnya dengan istilah tanda. Bahkan penamaan di dalam surah pun dijelaskan dengan istilah ayat (tanda). Oleh karena itu dalam pandangan dunia irfan, segala sesuatu selain Al-Haqq adalah tanda-tanda tentang diri-Nya (kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. 2;115).
Pembahasan kedua dalam irfan menjelaskan tentang konsep insan kamil (muwahhid adalah seseorang yang mampu menampung ke dalam dirinya hakekat wahdatul wujud). Insan kamil dalam irfan merupakan penampakan Al-Haqq yang paling sempurna. Cermin yang paling sempurna diantara cermin yang ada adalah insan kamil. Konsep ini sejalan dengan hadits ‘khalaqa adam ‘ala shuratih’ Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk-Nya, atau dalam hadits lain dijelaskan ‘laulak lama khalaqtul aflak’ (jika bukan engkau wahai Muhammad, tidak Aku ciptakan langit dan bumi). Berdasarkan hal ini insan kamil merupakan batin atau ruh alam semesta, sedangkan alam semesta adalah badan atau tubuh insan kamil.

Hirarki Ontologi dalam Irfan
Di dalam filsafat dijelaskan bahwa alam ini adalah akibat dari Tuhan dan Tuhan adalah sebab sedangkan alam ini sebagai akibatnya. Filsafat dalam menjelaskan hirarki alam eksistensi dengan menggunakan prinsip kausalitas dan dalam prinsip kausalitas akan meniscayakan adanya pluralitas wujud, paling minimal ada dua wujud. Wujud sebab yakni Tuhan dan wujud akibat yaitu selain Tuhan.
Tapi dalam Irfan, hirarki ontologi dijelaskan dengan pendekatan asmaulhusna bahwa, selain Tuhan hanyalah penampakan dari nama-namaNya. Oleh karena itu, dalam pembahasan Irfan, wujud tidak bergradasi namun yang bergradasi adalah nama-nama Tuhan. Dalam irfan segala persoalan diselesaikan dengan pendekatan asmaulhusna.
Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa hirarki ontologi dalam irfan memiliki ciri khas tersendiri. Berikut ini adalah hirarki ontologi dalam irfan;

Zat Al-Haqq (Maqam Ghaib al-Ghuyub)
Ibn Arabi meyakini bahwa zat Al-Haqq adalah maqam yang tak tersentuh. Tidak satu pun yang bisa sampai kepada maqam zat. Hal ini ditegaskan dalam do’a Rasulullah saw ; “ma ‘araftuka haqqa ma’rifatik wa ma’abadtuka haqqa ‘ibadatik” (aku tidak mengetahui diri-Mu sebagaimana hakekat diri-Mu dan aku tidak mungkin menyembah-Mu sebagaimana hakekat penyembahan). Artinya baik akal maupun hati tidak  mungkin sampai dalam menyaksikan diri-Nya. Oleh karena itu maqam  zat adalah maqam penafian atas segala identias diri-Nya. Dia adalah tanpa nama, tanpa definisi, dan tanpa ikatan. Oleh karena itu dalam irfan maqam  zat bukan objek pembahasan.
Hakekat Al-Haqq yang tersembunyi tidak akan diketahui tanpa dijelaskan oleh diri-Nya sendiri. Kuntu kanzan makhfiya fa ahbabtu anu’raf, fakhalaqtul khalq likai u’raf ; Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta agar aku dikenal. Menurut Ibn Arabi, maksud Cinta di hadits tersebut adalah maqam zat Al-Haqq. Ketika zat ingin menyaksikan kesempurnaannya sendiri dalam maqam  zatnya, maka untuk menyaksikan kesempurnaan tersebut bisa melalui dua cara. Cara pertama adalah tanpa perantara apapun dan yang kedua adalah melalui perantara sesuatu dan sebaik-baiknya perantara adalah cermin karena cerminlah yang mampu menunjukkan segala hakekat yang ada sebagaimana adanya.
Menyaksikan keindahan diri melalui cermin jauh lebih indah dari pada menyaksikan diri tanpa cermin, dan karena indah dan keindahan adalah merupakan hakekat diri-Nya maka terciptalah cermin tersebut. Cermin dalam istilah irfan adalah tajalli. Oleh karena itu tajalli pertama disebut dengan maqam Ahadiyah yang sangat identik dengan Al-Haqq. Para Sufi menyebut Ahadiyah ini dengan Hakekah Muhammadiyah.

Ahadiyah (Ta’ayyun Awwal)
Ahadiyah adalah tajalli pertama Al-Haqq. Dalam Ahadiyah, dikarenakan keidentikannya dengan Al-Haqq maka segala nama-nama (asmaulhusna) belum terpisah antara satu nama dengan nama lainnya, baik secara konsep maupun secara hakekat. Selanjutnya berdasarkan Faidh Aqdas (curahan tersuci) Ilahi maka Ahadiyah bertajalli yang disebut dengan Wahidiyah (ta’ayyun tsani).

Wahidiyah (Ta’ayyun Tsani)
Dalam ta’ayyun tsani walaupun nama-nama Al-Haqq satu sama lain belum terpilah-pilah secara hakiki, akan tetapi secara konsep nama-nama tersebut sudah bisa terpilah-pilah. Kemudian berdasarkan Faidh Muqaddas (curahan suci) maka masing-masing dari nama tersebut meminta dirinya untuk memiliki ‘wujud ilmi’ berdasarkan kapasitas dari masing-masing nama tersebut. Kemudian seluruh nama-nama tersebut terinci secara detail dalam a’yanusstabitah (identitas-identitas permanen).
Dalam pandangan Irfan, segala yang ada di alam ini telah terinci sebelumnya di a’yanusstabitah. Mulai dari alam akal, alam imajinasi, dan alam materi segalanya telah terinci sebelumnya di a’yanusstabitah. Namun mesti dipahami dengan baik sebelumya bahwa Ahadiyah dan Wahidiyah masih dalam wilayah Uluhiyyah atau wilayah ilmu Al-Haqq. Namun setelahnya yaitu alam akal, alam imajinasi dan alam materi, sudah disebut dengan alam konkrit atau nyata.

Insan Kamil
Satu pembahasan yang tak kalah penting dalam pembahasan irfan selain pembahasan wahdatul wujud adalah pembahasan insan kamil. Insan kamil dalam terminologi syariat disebut dengan Khalifatullah. Insan kamil merupakan hakekat yang berada dalam seluruh hirarki tajalli. Mulai dari alam materi hingga sampai menembus maqam Ahadiyah. Tapi disini harus dipahami bahwa insan kamil memiliki maqam yang berbeda-beda walaupun mereka berasal dari cahaya yang satu. Insan kamil atau khalifatullah adalah seseorang yang memiliki keidentikan dengan diriNya. Di dalam dirinya telah mengaktual nama-nama Ilahi.       
   
     


             
           
           



 
  
   


[1] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 283, Darul Kitab, Beirut.
[2] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 561, Darul Kitab, Beirut.
[3] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol II, Hal 305, Darul Kitab, Beirut.
[4] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 552, Darul Kitab, Beirut
[5] Ghazali, Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 987, Payam-e Edalat, cetakan I, Tehran, 1387 
[6] Ghazali, Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 47-48.
[7] Ghazali, Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 983.
[8] Ghazali, Abu Hamid, Kimiya-e Sa’adat. Hal 250.
[9] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 556-557, Darul Kitab, Beirut
[10] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 101-102, Darul Kitab, Beirut.
[11] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 25.
[12] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 34, Darul Kitab, Beirut.
[13] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 540, Darul Kitab, Beirut
[14] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 177, Darul Kitab, Beirut.
[15] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol I, Hal 286.
[16] Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Vol VIII, Hal 26-27, Darul Kitab, Beirut.
[17] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 279, Darul Kitab, Beirut.
[18] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 269.
[19] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 276.
[20] Ghazali, Abu Hamid, Misykāt al-Anwār (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 282-283..
[21] Ghazali, Abu Hamid, al-Munqidz min al-Dhalal (Majmuah Rasāil al-Imam al-Ghazali), hal 554-555, Darul Kitab, Beirut
[22] Ibn Arabi, Muhyiddin, al-Futūhāt al-Makiyah (arba’ mujalladāt), Vol 1, Hal 281, Dar al-Shadir, Beirut.
[23] Ibn Arabi, Muhyiddin, al-Futūhāt al-Makiyah (arba’ mujalladāt), Vol 2, Hal 205, Dar al-Shadir, Beirut.