Showing posts with label Terorisme Siber. Show all posts
Showing posts with label Terorisme Siber. Show all posts

Sunday, March 11, 2018

"Post Truth; Melampaui Kebenaran"


Terima kasih buat CafeBook Baraya, Bogor. Semalam diberi kesempatan berbicara tentang 'terorisme siber'. Sindikat yang berjejaring guna menebar hoax melalui media sosial. Saya lebih suka menggunakan istilah 'terorisme siber' karena tak mungkin seorang muslim menjadi agen penyebar fitnah. Bukankah fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!

Saat pertama kali tiba, terkesan Cafe ini didesain dengan apik agar pengunjung memiliki kedekatan khusus dengan buku. Hampir setiap dinding berisi quote tentang buku. Kami disambut dengan senyum ramah pelayan CafeBook Baraya. Semakin penasaran ingin segera mencicipi kopi.

Tak lama kemudian, pelayan datang mengantarkan kopi ke meja kami. Sambil menunggu peserta datang, kami menunaikan solat maghrib di Mushalla CafeBook Baraya. Dan acara pun dimulai.

                                                ***

Para ilmuan mengeluarkan satu peristilahan yang disebut dengan 'Post-Truth' bertepatan dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden di tahun 2016. Relasi antara Post-Truth dengan Trump karena  pilihan-pilihan sebagian besar warga Amerika pada saat itu berdasarkan jejaring di sosial media.

Narasi yang sengaja dikonstruksi oleh tim pemenangan, lalu diposting ke media online kemudian dishare oleh para buzer agar sampai ke tangan para pembaca untuk mempengaruhi pilihan-pilihan mereka.

Kekuatan Post-Truth adalah dalam mengemas kebenaran atau kesalahan. Fakta sebagian kebenaran oleh pembaca akan terlihat sebagai kebenaran yang utuh. Dan fakta sebagian kesalahan akan terlihat sebagai kesalahan yang utuh. Atau kebenaran yang sengaja disisipkan kesalahan di dalamnya agar pembaca menjadi ragu dan sulit menentukan benar atau salah, salah atau benar.

Bagaimana membangun narasi? Membaca 'Big Data' akan sangat membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam pikiran setiap orang. "What's on your mind", pertanyaan yang kerap kali kita jumpai setiap membuka facebook. Pertanyaan yang akan membantu membaca pikiran dan keresahan kita.

Memang benar, ruang psikis kita seperti bahagia dan derita dan termasuk ruang keyakinan dipengaruhi dari sosial media. Apalagi media besar atau kecil,  media mainstream atau bukan, hampir tidak ada lagi bedanya saat ini.

                                           ***

Istilah Post-Truth tahun 2016 mengingatkan kita awal munculnya era posmodernisme. Saat itu Nietzsche mengumumkan tentang kematian tuhan, yakni matinya hakikat atau kebenaran. Kebenaran bukan lagi pada fakta, tapi apa yang tergambarkan di dalam sosial media. Menikmati pemandangan yang indah, sudah bukan menjadi tujuan utama dalam mengunjungi destinasi yang indah, sebab tujuan utama adalah mengambil gambar agar bisa diunggah di media sosial.

Era Post-Truth menunjukkan kalau kita terbiasa melihat sebagian dari kebenaran dan tidak melihat secara utuh. Kita membesarkan faktanya dan menyatakan sebagai keseluruhan hakikat. Sebagaimana Trump yang hanya menempatkan orang-orang kulit putih sebagai penduduk Amerika.

Daniel Kahneman dalam bukunya Thingking, fast and slow, menjelaskan bahwa orang-orang saat ini dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan analisa apalagi penelitian, namun berdasarkan apa yang mereka rasakan, keputusan-keputusan yang mereka ambil hanya bersandarkan pada perasaan-perasaan, kondisi kejiwaan, dan keyakinan-keyakinan.

Soal 'tabayun' hanya diperuntukkan kepada golongan di luar kita dan tidak berlaku kepada golongan kita. Sebab apa pun yang terlontar dari golongan kita pasti benar. Dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang durjana penyebar fitnah.

Benar apa yang dikatakan oleh Wittgenstein;

"Semakin banyak kau tahu, semakin memudahkanmu untuk berbohong".

Karena fitnah tidak diproduksi oleh orang-orang awam, namun diproduksi oleh orang-orang berpendidikan.

Saya menutup diskusi semalam dengan mengutip puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi;

Dunia ada seperti yang engkau perlihatkan,
Bukan seperti apa yang engkau lihat,
melainkan bagaimana engkau lihat itu.
Bukan seperti apa yang engkau dengar,
melainkan bagaimana engkau mendengar itu.
Bukan seperti apa yang engkau rasakan,
melainkan bagaimana engkau merasakannya.
Dengarkanlah dengan pendengaran toleransi.
Melihatlah melalui mata yang mengasihi.
Berbicaralah dengan bahasa cinta.

~ Muhammad Nur Jabir ~