Saturday, March 31, 2018

Film The LunchBox: Merayakan Kesendirian

Kami dari Rumi Institute mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Mas Budhy dan Mas Yudhi yang sudah berkenan berbagi makna-makna baru dalam kehidupan “Dabbawalla”, rantang makan siang. Bahwa dalam menjalani dan menyelami rutinitas seluruh aktifitas kehidupan pasti akan terhubungkan dengan “Dabbawalla”.

Jadi apa simbol rangtang dalam film ini?

Saya selalu bertanya-tanya mengapa Fernandes sangat susah tersenyum dan sangat dingin dalam menyapa orang-orang disekitarnya. Menjawab seadanya dan apa adanya. Hampir tak pernah menyelimuti dirinya dengan kebahagiaan. Tatapan sorot matanya yang tajam selalu membawanya ke dalam samudera keindahan derita kesunyian dan kesendirian.

Ternyata Fernandes telah lama kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terkadang kehilangan bisa menenggelamkan kita dalam derita yang berlarut-larut. Khususnya suatu bentuk kehilangan yang akan menyebabkan kita kehilangan makna hidup.

Namun kesendirian dan kesunyian Fernandes tiba-tiba sirna ketika rantang Illa datang menyapa kesunyiannya. Illa selalu mengisi rantang itu dengan menu khusus untuk makan siang yang sebetulnya diperuntukkan untuk suaminya. Tapi si pembawa rantang tanpa sengaja menukarkan rantang itu ke orang lain, Fernandes.

Kesalahan tanpa sengaja yakni ketertukaran tanpa sengaja di dalam film ini menjadi simbol yang sangat kuat, “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”, pesan ini selalu muncul tiap kali film ini akan mencapai klimaks.

Illa memiliki derita yang sama dengan Fernandes. Illa pun sedang mengalami derita kesunyian, namun bukan karena kehilangan, justru oleh kehadiran. Kehadiran dirinya dalam keluarganya sudah tak ada bedanya dengan ketidakhadirannya. Kata, tutur, tawa, dan senyum untuk keluarganya seperti angin sepoi-sepoi yang selalu menyapa dengan kelembutan namun mendapat tanggapan yang sangat dingin.

Akhirnya Illa membiarkan rantang itu tertukar sebab “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”. Illa pun mendapat kehidupan baru dari rantang tertukar. Illa dan Fernandes akhirnya berkomunikasi melalui tulisan yang dioret-oret di atas sepucuk kertas yang diselipkan ke dalam rantang.

Jadi rantang adalah hati. Hati yang selalu diisi dengan keindahan, akan memberikan warna keindahan dan menyapa setiap orang dengan keindahannya. Mereka berdua dipertemukan dalam kesendirian melalui keindahan hati yang tulus dan polos.

Tapi memang benar, akhir film ini menitipkan sebuah pesan utama bagi ummat manusia yaitu merayakan kesendirian. Dari kesendirian menuju kesendirian yang lain. Proses yang sedang berlangsung diantara keduanya adalah proses memaknai kesendirian diri yang paling sendiri.

Jika kita gagal memaknai kesendirian kita yang paling sunyi berarti kita gagal memaknai kesejatian diri. Tiap-tiap dari kita adalah orang-orang yang sedang berada di atas kereta. Sebelum naik kereta kita sendiri dan saat turun pun, kita tetap sendiri dan menapaki jalan kesendirian diri kita yang paling sendiri. Dan setiap orang seharusnya sudah tahu di stasiun mana dia akan turun.

Kesendirian bukan tragedi, namun kegagalan dalam memaknai kesendirian adalah tragedi besar bagi ummat manusia moderen saat ini.

Kata Maulana Rumi:

Duhai jiwa!
Aku merindukanmu!
Kemanapun daku beranjak!
Seolah aku selalu membawa dirimu!
Walau hanya mengingatmu dan kesendirian.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat teman-teman semua yang sudah menyiapkan waktunya bersedia hadir di Rumi Institute tadi malam.

    

Tuesday, March 27, 2018

"Pengalaman Spiritual dalam Agama"

Sebenarnya apa esensi agama? Kita tidak akan menemukan jawaban yang sama atas pertanyaan ini, bahkan boleh jadi bagi setiap penganut agama akan memberikan jawaban yang berbeda, semuanya sangat bergantung kepada sejauh mana pengalaman kita terhadap agama.

Namun bagi para pesuluk atau para pejalan spiritual, esensi agama adalah pengalaman dan mengalami tentang aspek ke-Ilahiyah-an (transenden).

Berkenaan dengan pejalan, Ibn Arabi mengatakan, ada dua jenis pejalan, mereka yang diperjalankan oleh Tuhan dan mereka yang berjalan sendiri menuju Tuhan.

Ada pejalan yang sejak awal Tuhan telah menarik tangannya menuju diriNya dan ada pejalan yang bergerak sendiri menuju Tuhan.

Secara umum pengalaman ini terbagi menjadi dua bagian; pengalaman agama dan pengalaman spiritual.

Pengalaman spiritual sudah pasti menjadi bagian dari pengalaman agama, namun pengalaman agama belum tentu menjadi pengalaman spiritual.

Lalu apa yang dimaksud dengan pengalaman Spiritual?

Menurut Rudolf Otto, pengalaman spiritual adalah suatu pengalaman yang di dalam pengalaman itu terdapat aspek penyatuan dengan Tuhan.

Perjalanan spiritual adalah perjalanan di dalam diri. Proses perjalanan ini pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian; Tahzib (proses pengoyakan diri), lalu Isyraq (emanasi), hinga sampai pada Wishal atau penyatuan dengan Tuhan.

lalu bagaimana kita bisa sampai kepada Ilahi melalui diri?

Man Arafa Nafsah, Arafa Rabbah. Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya. Hadits ini senada dengan salah satu ayat Quran;

(وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ . . .
[Surat Al-Hashr 19]

(Al-Ĥashr):19 - Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri . . .

Lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri, bukan lupa diri berarti lupa terhadap Tuhan. Mungkin logika kita selama ini mengatakan bahwa jika lupa terhadap diri berarti lupa terhadap Tuhan, namun logika Al-Quran justru sebaliknya, lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri.

Pengalaman tentang penyatuan bagi para sufi, bukan pengalaman yang bisa dicapai dengan nalar, sebab pengalaman tentang penyatuan adalah suatu pengalaman dimana si penyimak telah sirna di dalam objek yang disimak.

Ada kalimat Ibn Arabi yang sangat menarik, "Tuhan tidak seperti sesuatu, dan sesuatu tidak seperti Tuhan, lalu bagaimana mungkin manusia yang juga bagian dari sesuatu mampu mengetahui Tuhan dimana Tuhan bukan sesuatu dan juga sesuatu bukan Tuhan?"

Kata Ibn Arabi, tak ada jalan lain kecuali meniadakan diri dimana pada saat itu tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai sesuatu sebab telah sirna atau fana di dalam Dzat Ilahi.

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ)
[Surat Fatir 15]

Hai Manusia, kalian semua faqir menuju Allah. Dan Dialah Allah Yang MahaKaya lagi MahaTerpuji.

Dalam hal ini, Quran menegaskan bahwa wujud manusia adalah wujud faqir yaitu suatu keberadaan yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?

Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita 'ada' dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.

Terakhir saya menutup diskusi kita dengan mengutip syair indah dari Maulana Rumi;

"Ada sebentuk kehidupan yang bersemayam dalam dirimu, temukanlah kehidupan itu.
Temukan permata rahasia itu di pegunungan dalam ragamu.
Wahai engkau yang sedang berlalu-lalang, carilah dengan sekuat daya upaya.
Apapun yang sedang engkau cari, carilah di dalam dirimu, bukan di luar".

"Jika ada cahaya di dalam dirimu, kau akan tahu jalan pulang".

Monday, March 26, 2018

"Realpolitik; Serius Gak Serius"

Serius gak serius. Yah santai saja. Sebab kita semua merayakannya. Setiap orang merayakan kepentingannya.

Realpolitik tidak ditemukan di buku-buku politik, di bangku-bangku kuliah, apalagi di perpustakaan. Realpolitik adalah politik yang sebenar-benarnya politik. Saking benarnya sehingga tak pernah menguap di permukaan kecuali di sudut-sudut warung kopi.

Jadi mengapa kita mesti begitu serius dengan perubahan-perubahan politik yang terjadi!? Toh 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat' tak pernah terjadi, sebab di warung kopi maknanya berubah menjadi 'dari rakyat oleh rakyat untuk juragan'. Kita kan memaklumi jika setiap kelompok memperjuangkan kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok akan berjuang dan membela juragannya.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Realpolitik sekarang ini tidak butuh orang yang pintar-pintar amat untuk meraih kursi politik. Dalam kata lain, setiap orang berpotensi meraih kursi politik, siapa pun dia. Sudah tidak ada bedanya antara orang pintar dan orang yang tidak berpengetahuan dalam meraih kursi politik. Dan itu semua dilakukan atas nama demokrasi. Kita tak perlu sibuk dengan hasilnya yang penting prosesnya berjalan. 'Yo wes sakkarepmu', 'ero'-ero'nu, mau-maunu, terserah, bodoh amat.

Jadi tak perlu terlalu serius sebab semua orang sedang mengurus kepentingannya sendiri. Negara sibuk dengan sistemnya sendiri, petani sibuk dengan problemnya sendiri, dan orang-orang di warung kopi juga sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Dan inilah salah satu bagian dari realpolitik yakni bertemu secara langsung dalam mengatasi masalah, bukan perwakilan. Orang-orang berdiskusi menyelesaikan masalahnya sendiri di warung kopi, petani bertemu sesama petani, dan negara bertemu dengan jajaran para aparatur negara dalam menyelesaikan persoalannya.

Ketidakseriusan menjadi satu-satunya hal yang paling serius. Dan keseriusan  menjadi hal yang tidak serius. Sebab perubahan ke depan sudah tidak dapat diprediksi seperti apa bentuknya.

Realpolitik adalah petanda bahwa politik sudah mati sebab politik sudah berubah menjadi konspirasi.  Dan konspirasi adalah cara memainkan apa saja dalam meraih kemenangan. Dalam politik masih ada peluang berbicara tentang etika politik namun dalam konspirasi hanya berbicara tentang kemenangan sebab etika politik menjadi penghalang utama dalam melakukan konspirasi.

Tulisan ini terinspirasi dari juragan saya Mas Daniel dan Mas Anom sewaktu berdiskusi di CafeBook Baraya. Bogor.

Tuesday, March 20, 2018

Manakah yang Lebih Menakutkan antara Ke-sia-sia-an dan Kejahilan?


Emang apa untungnya berpikir dan menenggelamkan diri di dalam tafakkur selain ke-sia-sia-an? Tentu tafakkur tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar. Tafakkur hanya menyisakan derita. Meski demikian, ada hal yang perlu dipertimbangkan dalam esensi tafakkur atau berpikir sebab dalam tafakkur akan menyingkarkan kebodohan. Manusia yang memahami esensi tafakkur tidak akan terjebak dalam kejahilan.

Di sisi lain ada benarnya jika ada yang menganggap tafakkur adalah pekerjaan sia-sia, sebab tafakkur bukan pekerjaan. Tafakkur adalah keberanian untuk bertanya dan menggali pertanyaan, bukan keberanian dalam menyebarkan apa yang orang lain yakini dan pahami. Tafakkur memberikan kemerdekaan dalam memilih, sebab memilih tanpa bertanya dan tafakkur atasnya adalah kejahilan.

Ke-sia-sia-an bagi sebagian orang seperti memancing ikan atau melakukan hal yang tak berguna. Tapi kita tak pernah menganggap ke-sia-sia-an sebagai kejahilan. Jika ke-sia-sia-an adalah kejahilan berarti saat menggaruk wajah kita tanpa sengaja adalah bentuk kejahilan. Dan juga saat kita memandang lautan tanpa pemaknaan adalah kejahilan. Jika seperti ini pemaknaan kita atas kejahilan berarti kita benar-benar tak pernah tafakkur.

Namun yang manakah yang lebih menakutkan antara ke-sia-sia-an dan kejahilan?  Orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan penipuan sebab melakukan penipuan membutuhkan pengetahuan, demikian pula, orang-orang jahil tak pernah bermaksud melakukan perbuatan yang salah. Namun saat mereka tidak senang kepada sesuatu, solusi yang ada di kepala mereka hanya menghancurkan orang-orang yang mereka anggap salah. Kekerasan dan kejahilan adalah dua hal yang tak terpisahkan.

Orang-orang jahil tak peduli benar dan salah atau maslahat dan tidak maslahat. Orang-orang jahil yang dimaksud disini tidak selamanya bermakna bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang lemah dalam memahami kemaslahatan, kebenaran, dan hakikat, bahkan terkadang mereka adalah orang-orang tidak meletakkan posisinya dengan benar.

Bahkan boleh jadi orang-orang itu -di dalam dunia politik- mendapatkan tempat dan pengaruh yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, terutama dalam situasi demokrasi dimana uang menjadi segala-galanya dalam meraih kursi kemenangan. Dan kematangan berpikir seseorang tidak menjadi parameter utama. Tak heran jika ada tokoh intelektual yang menjual nilai intelektualitasnya demi kursi politik atau demi kekuasaan.

Jadi kita tidak sedang membicarakan orang-orang jahil yang lugu dengan seluruh kepolosannya, seperti tokoh Dostoyevsky. Dostoyevsky selalu menunjukkan kebodohannya namun kebodohan yang menyenangkan. Kejahilan yang menunjukkan kejujuran apa adanya, berani, bebas, dan merdeka. Bukan kejahilan seperti ini yang sedang kita bicarakan.
Di dunia ini memang sudah seperti itu adanya, ada yang jahil dan ada yang memiliki kesadaran. Zaman yang menyenangkan adalah zaman ketika orang-orang jahil sedikit dan orang-orang yang sadar mendominasi orang-orang jahil. Sedangkan zaman kejumudan adalah zaman ketika orang-orang jahil lebih banyak dan mampu mendominasi orang-orang yang memiliki kesadaran.

Akhir-akhir ini sudah teramat sering kita menyaksikan orang-orang yang sebelumnya kita sangka memiliki kesadaran, namun setelah beriringnya waktu dan kesempatan yang diraihnya, akhirnya menunjukkan bahwa orang itu benar-benar jahil. Bukan karena mereka tidak berpengetahuan atau tidak mengenyam pendidikan, akan tetapi mereka tidak memiliki kesadaran. Begitu mudah mereka mengingkari fakta atau begitu cepat mereka menilai tanpa meneliti terlebih dahulu.

Orang-orang jahil masa kini adalah jutsru didominasi oleh orang-orang yang berpengetahuan namun sudah tak memahami mana yang maslahat dan mana yang tidak maslahat, mana ruang nyata dan mana ruang virtual dan digital, mana ruang kebenaran dan mana ruang keselamatan, mana ruang kebenaran penafsiran dan ruang kebenaran absolut, mana ruang ‘ada’ dan ruang ‘diadakan’. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada ke-sia-sia-an?!

Mungkin karena tafakkur tidak memberikan keuntungan sehingga dianggap sebagai ke-sia-sia-an. Umur pergi dan berlalu begitu saja tanpa menghasilkan apa-apa sebab kita sedang asyik bertafakkur. Walaupun satu sisi kita sangat memahami bahwa suatu peradaban tidak akan pernah maju jika tafakkur masih terpasung oleh egoisme kepentingan dan ideologi. Bukankah kejahilan lebih menakutkan daripada ke-sia-sia-an?!

 

      

Saturday, March 17, 2018

"Film Silence; Relasi Iman dan Derita"



Terima kasih buat CafeBook Baraya, Bogor, atas undangannya membedah film yang sangat indah memaparkan tentang konteks iman dan keberimanan.

Film "Silence" menawarkan tentang kebisuan lidah agar mampu mendengarkan keheningan batin atau mendengarkan jeritan hati yang paling dalam. Suatu pengalaman keheningan tanpa rekayasa yang hadir begitu saja bersamaan dengan siksaan yang datang bertubi-tubi dan tanpa henti di alam kehidupan eksternal.

Saya mencoba mendekati dan mendedah film "Silence" melalui teori keberimanan Kierkegaard, pendiri filsafat eksistensialisme dan kebetulan beliau juga berposisi sebagai seorang Pendeta. Ada kedekatan yang cukup dalam antara suguhan film dengan penjelasan karekteristik keberimanan menurut Kierkegaard.

Menurut Kierkegaard, seseorang akan dianggap memiliki keberimanan jika memiliki karekteristik berikut ini;

1. "Iman yakni membiarkan diri anda dalam bahaya". Adegan demi adegan dalam film ini seolah ingin mengharmonikan antara iman dan siksa penderitaan. Mulai detik pertama hingga detik film ini berakhir nampak terlihat dengan jelas, iman dan siksa penderitaan menjadi dua hal yang begitu harmoni.

2. "Iman yakni keteguhan dan janji". Maksudnya, sebesar apa pun badai datang menghadang, keberimanan tetap tegar mengahadapinya, dan tak kan pernah goyah oleh apapun.

3. "Iman yakni level kehendak yang kuat atau iradah, bukan pengetahuan". Disini letak perbedaan sebelum seseorang memutuskan beriman pada sesuatu dan setelah beriman. Sebelum beriman adalah level pengetahuan dan setelah beriman atau setelah memutuskan beriman pada sesuatu, berarti ia telah terikat pada sesuatu tersebut.

Intinya, iman adalah pengalaman, bukan konsep-konsep atau gagasan-gagasan, dan bukan pula narasi-narasi. Iman dan keberimanan adalah sesuatu yang kita raih dari pengalaman. Justru pada saat menghadapi suatu fenomena, disitulah keberimanan akan diuji, apakah seseorang benar-benar memiliki keberimanan atau tidak. Dan jika ada, sejauh mana tingkat keberimanannya.

Pendeta Garupe mulai menyadari bahwa keberimanan itu bukan perkara sederhana dan bukan pula level pengetahuan, saat mulai dihadapkan pada bentuk-bentuk siksaan. Dan tepat pada saat itu, terjadi dialog 'keheningan' dengan dirinya sendiri. Dialog paling jujur yang terkadang hadir di dalam diri kita sendiri saat keheningan memaksa dirinya untuk hadir di dalam batin kita yang paling dalam dan tersembunyi.

Dan berikut ini saya kutip dialog keheningan Pendeta Garupe saat mulai merasakan kesendirian dan keheningan di dalam dirinya;

"Saya tergoda . . .
Saya tergoda untuk putus asa,
Menunggu keheninganMu itu menyakitkan,
Saya berdoa tapi saya tersesat,
Apakah aku hanya berdoa kepada yang tidak ada?"

Dan pada akhirnya Pendeta Garupe menjalani keberimanan "Kicijiro", ingkar di lidah namun hati tetap ikrar secara penuh kepada Ilahi.

Ia lebih memilih inkar di lisan demi menyelamatkan tawanan, agar siksaan demi siksaan yang diderita oleh ummatnya bisa berhenti sejenak, agar orang-orang yang dipenjara karena keberimanan bisa lepas.

Pendeta Garupe tidak memilih iman yang egois. Ia lebih memilih memperluas imannya dengan memperluas kasih sayang Tuhan dengan cara pengingkaran atas iman secara lisan.

Banyak hal yang kami diskusikan tadi malam, mohon maaf karena tak sempat merangkum semuanya.

Saya menutup pemaparan saya dengan mengutip puisi Jalaluddin Rumi:

Ada suatu tempat yang lahir dari kesunyian,
Suatu tempat di mana bisikan-bisikan hati membumbung tinggi,
Ada suatu tempat di mana suara-suara menyanyikan keindahanMu,
Suatu tempat di mana setiap nafas mengukir bayangMu,
Di dalam jiwaku.

~ Muhammad Nur Jabir ~

Wednesday, March 14, 2018

Secangkir Teh dan Sepotong Keputat

"Dari Perjalanan Mengetahui Menuju Perjalanan Menemukan"

Terima kasih buat Bunda Rani memberikan kesempatan kepada saya mendengarkan perjalanan ruhaniah Mas Muhammad Zaim. Salah satu rezeki luar biasa yang Tuhan berikan kepada seseorang adalah rezeki dalam mengarungi perjalanan batin di dalam diri kita sendiri.

Suatu perjalanan yang biasanya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah kita ketahui. Sebab ada banyak hal yang kita tahu namun belum merasakannya apalagi menemukannya. Dan ternyata pengetahuan-pengetahuan itu belum mampu menyadarkan kita sebab belum menemukannya.

Pertanyaan tentang Tuhan yang MahaRahman dan MahaRahim atau Rahmat bagi seluruh alam semesta. Pertanyaan tentang kegelisahan yang tak pernah usai karena pengetahuan tentang Islam dan Keberislaman masih memberikan kegelisahan.

Memang tak semua orang merasa beruntung karena memiliki pertanyaan. Terkadang kita lari dari pertanyaan sebab pertanyaan boleh jadi akan menyita waktu kita berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk menemukan jawabannya.

Perjalanan Mas Muhammad Zaim adalah perjalanan yang mengharuskannya meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana hidup selayaknya orang-orang hidup. Memiliki keluarga, punya pekerjaan dan rumah, punya penghasilan yang memadai, dan apa saja yang mengenakkan agar orang-orang menyebut kita memiliki kehidupan yang layak.

Tentu tak mengherankan jika ada yang menyebut perjalanan seperti ini sebagai perjalanan kegilaan sebab kita tidak sedang menjalani hidup sebagaimana kehidupan kebanyakan orang.

Apalagi perjalanan Mas Zaim bukan perjalanan biasa sebab mesti melampaui sekat-sekat agama dan kepercayaan. Mesti melampaui makna-makna yang diketahui demi mendapatkan proses menemukan.

Kata Maulana Rumi:

"Umumnya kekasih itu dicari lalu ditemukan,
Namun Kekasih ini, ditemukan dulu lalu dicari".

Maksudnya kita sudah tahu bahwa Tuhan ada di dalam diri kita, namun apakah kita sudah menemukanNya?

Menemukan pengalaman tentang keheningan yang benar-benar hening. Pengalaman tentang diri yang tak sejati dan kesejatian diri. Pengalaman tentang kepasrahan. Pengalaman tentang ketakjuban bertemu dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah dijumpai namun sangat terkait dengan 'proses menemukan'. Menemukan pengalaman tentang penyatuan dengan semesta. Dan pengalaman tentang rahasia diri dan jiwa.

Dan sebagian besar pengalaman-penglaman itu direkam dengan sangat apik oleh Mas Muhammad Zaim dalam karyanya "Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat".

Saya larut dalam pemaparan Mas Zaim tadi sore, seolah saya turut serta dalam perjalanan itu. Saking larutnya sehingga membawa jiwaku teringat salah satu petikan syair dari Maulana Rumi;

Larilah dari hal-hal yang membuatmu nyaman.
Lupakan hal-hal yang membuatmu aman,
Hiduplah saat kamu takut untuk hidup.
Rusaklah reputasimu.
Jadilah terkenal karena keburukanmu.
Aku sudah lama mencoba bersikap bijaksana.
Mulai saat ini aku akan gila.

~ Muhammad Nur Jabir ~

Sunday, March 11, 2018

"Post Truth; Melampaui Kebenaran"


Terima kasih buat CafeBook Baraya, Bogor. Semalam diberi kesempatan berbicara tentang 'terorisme siber'. Sindikat yang berjejaring guna menebar hoax melalui media sosial. Saya lebih suka menggunakan istilah 'terorisme siber' karena tak mungkin seorang muslim menjadi agen penyebar fitnah. Bukankah fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!

Saat pertama kali tiba, terkesan Cafe ini didesain dengan apik agar pengunjung memiliki kedekatan khusus dengan buku. Hampir setiap dinding berisi quote tentang buku. Kami disambut dengan senyum ramah pelayan CafeBook Baraya. Semakin penasaran ingin segera mencicipi kopi.

Tak lama kemudian, pelayan datang mengantarkan kopi ke meja kami. Sambil menunggu peserta datang, kami menunaikan solat maghrib di Mushalla CafeBook Baraya. Dan acara pun dimulai.

                                                ***

Para ilmuan mengeluarkan satu peristilahan yang disebut dengan 'Post-Truth' bertepatan dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden di tahun 2016. Relasi antara Post-Truth dengan Trump karena  pilihan-pilihan sebagian besar warga Amerika pada saat itu berdasarkan jejaring di sosial media.

Narasi yang sengaja dikonstruksi oleh tim pemenangan, lalu diposting ke media online kemudian dishare oleh para buzer agar sampai ke tangan para pembaca untuk mempengaruhi pilihan-pilihan mereka.

Kekuatan Post-Truth adalah dalam mengemas kebenaran atau kesalahan. Fakta sebagian kebenaran oleh pembaca akan terlihat sebagai kebenaran yang utuh. Dan fakta sebagian kesalahan akan terlihat sebagai kesalahan yang utuh. Atau kebenaran yang sengaja disisipkan kesalahan di dalamnya agar pembaca menjadi ragu dan sulit menentukan benar atau salah, salah atau benar.

Bagaimana membangun narasi? Membaca 'Big Data' akan sangat membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam pikiran setiap orang. "What's on your mind", pertanyaan yang kerap kali kita jumpai setiap membuka facebook. Pertanyaan yang akan membantu membaca pikiran dan keresahan kita.

Memang benar, ruang psikis kita seperti bahagia dan derita dan termasuk ruang keyakinan dipengaruhi dari sosial media. Apalagi media besar atau kecil,  media mainstream atau bukan, hampir tidak ada lagi bedanya saat ini.

                                           ***

Istilah Post-Truth tahun 2016 mengingatkan kita awal munculnya era posmodernisme. Saat itu Nietzsche mengumumkan tentang kematian tuhan, yakni matinya hakikat atau kebenaran. Kebenaran bukan lagi pada fakta, tapi apa yang tergambarkan di dalam sosial media. Menikmati pemandangan yang indah, sudah bukan menjadi tujuan utama dalam mengunjungi destinasi yang indah, sebab tujuan utama adalah mengambil gambar agar bisa diunggah di media sosial.

Era Post-Truth menunjukkan kalau kita terbiasa melihat sebagian dari kebenaran dan tidak melihat secara utuh. Kita membesarkan faktanya dan menyatakan sebagai keseluruhan hakikat. Sebagaimana Trump yang hanya menempatkan orang-orang kulit putih sebagai penduduk Amerika.

Daniel Kahneman dalam bukunya Thingking, fast and slow, menjelaskan bahwa orang-orang saat ini dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan analisa apalagi penelitian, namun berdasarkan apa yang mereka rasakan, keputusan-keputusan yang mereka ambil hanya bersandarkan pada perasaan-perasaan, kondisi kejiwaan, dan keyakinan-keyakinan.

Soal 'tabayun' hanya diperuntukkan kepada golongan di luar kita dan tidak berlaku kepada golongan kita. Sebab apa pun yang terlontar dari golongan kita pasti benar. Dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang durjana penyebar fitnah.

Benar apa yang dikatakan oleh Wittgenstein;

"Semakin banyak kau tahu, semakin memudahkanmu untuk berbohong".

Karena fitnah tidak diproduksi oleh orang-orang awam, namun diproduksi oleh orang-orang berpendidikan.

Saya menutup diskusi semalam dengan mengutip puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi;

Dunia ada seperti yang engkau perlihatkan,
Bukan seperti apa yang engkau lihat,
melainkan bagaimana engkau lihat itu.
Bukan seperti apa yang engkau dengar,
melainkan bagaimana engkau mendengar itu.
Bukan seperti apa yang engkau rasakan,
melainkan bagaimana engkau merasakannya.
Dengarkanlah dengan pendengaran toleransi.
Melihatlah melalui mata yang mengasihi.
Berbicaralah dengan bahasa cinta.

~ Muhammad Nur Jabir ~