Friday, December 30, 2016

"Analisa Fenomenologi Jean Baudrillard atas Media"


Kita bisa menyebut abad 21 sebagai abad revolusi informasi digital. Di abad ini manusia tak lagi bersandar kepada fakta-fakta di sekitarnya namun mencukupkan dirinya pada fakta imajinatif bahkan percaya pada fakta yang telah diselewengkan.

Benar apa kata Jean Baudrillard bahwa media berperan besar dalam mengkerdilkan fakta. Baudrillard melanjutkan penjelasannya tentang tahapan-tahapan yang mungkin dilakukan oleh media dalam merubah fakta. Tahap pertama menggambarkan fakta sebagai cermin fakta. Lalu tahap kedua berubah menjadi topeng fakta. Pada tahap ketiga media berusaha menjelaskan fenomena sebagai ketidakhadiran fakta. Dan tahap terakhir memutuskan relasi dengan fakta. Bagi Baudrillard, tahap akhir adalah tahap para-faktual atau fakta-akut.

Sebagian ahli menambahkan tahap selanjutnya sebagai tahap  tanda imajinasi-manipulatif. Pada tahap ini kita diperhadapkan dengan gambar-gambar palsu yang tak lagi menggambarkan fakta konkrit realitas eksternal. Bahkan kita diperhadapkan dengan sebuah gambar dimana gambar tersebut berasal dari gambar lainnya. Tahap ini adalah rangkaian matarantai gambar dimana gambar pertama adalah kurban pertama dari fakta realitas.

Pada tahapan ini setiap gambar hanya menunjukkan atau hanya penanda atas gambar lainnya. Manusia berada diantara tumpukan-tumpukan gambar dan tanda-tanda yang akan membuat kehilangan dirinya dan bahkan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Bisa dikatakan periode ini adalah periode matinya fakta atau matinya realitas. Gambar-gambar dan tanda-tanda hanya cermin atas gambar-gambar lainnya. Realitas eksternal sudah tidak memiliki lagi pijakan yang nyata.

Jean Baudrillard menampilkan dunia digital sebagai pencapaian puncak keterasingan manusia atas dirinya. Sebab meskipun manusia dalam keramaian tapi seolah-olah sedang berada di dalam kamarnya menikmati segala bentuk serangan informasi dari berbagai arah. Media dan informasi berhasil mengikat tangan dan kakinya sehingga menerima begitu saja dan tanpa tanya atas para-faktual media dan informasi. Para-faktual berhasil nampak lebih nyata dari fakta itu sendiri. Ditambah lagi para konsumen media tidak memiliki kemampuan dalam menganalisa data dan informasi.

"Periode kini adalah periode memenjarakan tafakkur dan pikiran dan membebaskan segala bentuk kepalsuan".

MNJ

Wednesday, December 21, 2016

"Fenomenologi 'Om Telolet Om' dan Kegamangan Akidah"

Austin atau John Langshaw Austin salah satu filsuf yang banyak menganalisa penggunaan bahasa. Austin dikenal sebagai filsuf bahasa keseharian. Teori 'speech acts' salah satu teori yang populer dari Austin. Makna 'speech acts' bahwa bertutur adalah tindakan, bukan sekedar bahasa semata.

Austin berkeyakinan, banyak hal yang dapat dipelajari dari bahasa biasa sehari-hari atau bahasa keseharian. Apalagi mengingat banyaknya distingsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.

Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah disebut dengan linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.

Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik haruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Keseharian merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).

Saya tidak sedang ingin menjelaskan filsafat bahasa keseharian. Saya ingin mengatakan bahwa betapa mudah kita sebagai ummat muslim mengatakan "om telolet om" sebagai konspirasi akidah, bahkan menganggap sebagai pendangkalan akidah. Justru saya balik bertanya, "siapakah sebenarnya yang akidahnya dangkal dalam konteks ini? dan siapakah yang sedang mempertontonkan kedangkalan akidahnya?"

"Om telolet om" hanya berawal dari kesenangan seorang anak kecil. Awal mula fenomena ini berawal dari aksi bocah-bocah tanggung di daerah Jawa Timur dalam memburu bunyi klakson bus yang terdengar 'telolet' dan merekamnya dengan telepon seluler.

Kegiatan anak-anak tersebut murni hobi untuk mencari kepuasan bathin. Apalagi mendapat suara telolet yang unik dan sudah dimodifikasi.

Dalam memburu telolet, mereka bergerombol dan rela menunggu lama. Ketika bus tiba, bocah-bocah tersebut akan mengacungkan jempol sambil berteriak ‘Pak Telolet Pak’ ada juga yang teriak ‘Om telolet Om’. Sebagian mereka juga ada yang sengaja menulis tulisan besar ‘Om Telolet’ agar dibaca oleh supir bus.

Setelah mendapat suara telolet, mereka lalu memamerkan hasil buruan mereka dengan mengunggah rekamannya ke media sosial, mulai dari Facebook, YouTube dan lainnya. (Lihat: http://www.bintang.com/lifestyle/read/2684502/asal-usul-fenomena-om-telolet-om)

"Om telolet Om" menjadi tranding topik di twitter setelah para Dj-Dj dunia mulai ikut meramaikan sebagai ekspresi kebahagiaan, lucu-lucuan, dan juga kelugu-luguan.

Namun kita dengan mudah mencerabut akar kejadian "Om telolet Om". Kita dengan enaknya melepaskan situasi konkretnya dan kapan serta dimana kejadian itu awal mula terjadi. Dan yang paling amat tragis dan keji, setelah mencerabut akar fenomenologinya, seolah-olah "om telolet om" adalah milik kita, dan pada saat itulah kita memberikan pemaknaan baru terhadapnya yaitu "Om" simbol kesucian orang Hindu dan "Telolet" bermakna terompet sebagai alat khas ibadah orang Yahudi. Setelah pemaknaan baru ini kita berikan pada fenomena "om telolet om", barulah kita mengatakan sebagai konspirasi dan pendangkalan akidah. Jadi siapakah sebenarnya yang akidahnya sangat dangkal?

Begitu mudahkah kita ummat muslim memperkosa makna dan bahasa? Seolah-olah semua makna dan bahasa adalah milik kita sehingga begitu mudah kita mengarahkan setiap fenomena sebagai konpirasi atas agama suci kita. Namun berpikirlah sejenak dengan nurani, bukankah kita sebagai ummat muslim yang berperan sebagai tukang fitnah dalam kejadian ini? Bukankah kita telah menista agama Hindu dalam fenomena "Om telolet Om"? Beruntung kita sedang berada dalam posisi mayoritas dan sangat beruntung pula penganut agama Hindu di Indonesia memiliki kesadaran tinggi dan mengamalkan ajaran mereka dengan baik.

Namun sekali lagi, apakah ini hanya persoalan mayoritas dan minoritas? Saat kita mayoritas kita berhak memfitnah dan melakukan apa saja sekehendak kita? Pernahkah anda pikir bagaimana rasanya saudara-saudara kita ummat muslim yang kebetulan sedang berada dalam minoritas? Apakah anda setuju mereka diperlakukan tak adil dan juga dinista dan difitnah?

Saya malu pada ummat Hindu dan saya mesti memohon maaf atas nama ummat muslim kepada mereka para pemeluk agama Hindu. Tapi saya yakin, ummat Hindu juga paham bahwa orang-orang yang menista agama mereka bukanlah representasi ummat muslim pada umumnya. Hanya sebagian ummat muslim saja yang sedang menegaskan kedangkalan akidah dan kegamangan akidah mereka.

Muhammad Nur Jabir

Wednesday, November 30, 2016

“Terjebak Macet” dan “Keterbatasan Penafsiran”

Sudah beberapa kali saya mengalami fenomena terjebak macet. Saya yakin hampir semua pernah mengalaminya. Namun terjebak macet di perempatan lampu merah, bagi saya cukup mengerikan. Sebab meskipun tanda lampu lalu lintas: merah, kuning, hijau, berturut-turut dan secara bergantian menyala akan tetapi sudah tak punya arti lagi. Seluruh kendaraan numpuk di tengah dan tak ada ruang celah sedikit pun untuk bergerak.

Saat giliran lampu hijau menyala, seluruh kendaraan berusaha maju ke depan, walau sadar tak ada lagi ruang gerak untuk maju ke depan. Sebagian besar kendaraan memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya dan berulang-ulang sebagai satu-satunya pilihan terbaik. Nah bayangkan jika keempat titik sudut tanda lampu lalu lintas melakukan hal yang sama, dan anehnya lagi sebab semua menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk bergerak.

Mengapa semua kendaraan di perempatan lampu merah itu merasa berhak membunyikan klakson? Sebab seluruh kendaraan mendapat giliran nyala lampu hijau karena seluruh kendaraan hanya bisa diam dan tak bisa bergerak. Maksudnya lampu lalu lintas berjalan secara otomatis, tak peduli apakah mobil sedang bergerak atau tidak. Rambu-rambu lalu lintas tak punya kehendak dalam mengambil inisiatif atau mencari solusi secara sponton. Bahasa rambu lalu lintas adalah bahasa program tanpa memiliki kehendak. Seluruh kendaraan membenarkan penafsirannya atas rambu lalu lintas waktu itu.

Kasihan angkot itu yang terjebak ditengah-tengah jalan perempatan. Angkot itu melangkah persis di ujung lampu hijau berakhir dan malangnya sebab ia terjebak di tengah jalanan, menunggu antrian agar mobil yang di depan bisa bergerak maju. Si sopir angkot hanya bisa pasrah mendengarkan cacian dan cemoohan dari pengendara saat itu. Sebagian pengendara motor yang tak sabar menendang mobil angkot itu. Mungkin karena pada umumnya dibenak kita, sopir angkot selalu berkuasa di jalan, berhenti seenaknya dan bergerak semaunya.

Seluruh kendaraan menegaskan bahwa tafsiranku atas lampu hijau sedang menyala adalah benar dan sudah saatnya saya berhak maju ke depan dan oleh karenanya saya berhak membunyikan klakson kendaraan karena kendaraan di depan tak bergerak. Apakah ada tafsiran yang salah? Tak ada satu pun yang salah sebab seluruh kendaraan sedang terhenti dan tak bisa bergerak sehingga semua merasakan hal yang sama mendapatkan giliran lampu hijau.

Mereka hanya melupakan satu hal tentang ‘terjebak macet’. Disini bukan saatnya lagi membicarakan penafsiran mana yang benar. Saatnya menyadari bahwa penumpukan kendaraan akan menjebak kita dalam kemacetan. Kondisi seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan keterbatasan ruang tafsir. Sebab saat seperti ini yang kita butuhkan adalah kearifan, bukan lagi penafsiran. Kita mesti mengalah agar ada ruang yang terbuka dan kendaraan lain melaju.

Persoalannya siapa yang mesti mengalah dan siapa yang mesti mengambil sikap bijaksana? Bukankah hidup ini penuh dengan resiko yang mesti dihitung dengan kalkulasi matematis? Siapa yang mesti membuang waktunya dengan mengalah? Dan siapa yang mesti mengambil peran bijaksana dengan resiko kehilangan keuntungan ekonomisnya? Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita?

Saya tidak tahu, apakah kondisi bangsa kita sedang mengalami ‘terjebak macet’? jika iya, lalu siapa yang akan mengalah dan siapa yang akan mengambil peran arif dan bijaksana? Tentu yang paling banyak berbicara tentang nilai moral dan yang paling banyak berbicara tentang agama. Kecuali semuanya memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya. Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita? Saya tak tahu, hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nihilisme kemanusiaan kita kata Heidegger. Sebab itu saya berdoa, semoga ada yang berperan mengambil ruang ‘mengalah’ dan ruang ‘bijaksana’.  Amin

Muhammad Nur Jabir


 

Thursday, November 24, 2016

Selamat Hari Guru, Guruku!

Kata Guru selalu membawa kita ke masa kanak-kanak. Masa yang paling indah dengan segala bentuk kepolosan dan keluguan. Saat masih kanak-kanak dahulu, kita tak mampu melihat kekanak-kanakan kita. Kita hanya tahu setelah melewati masa kanak-kanak.

Saat dewasa dan mencoba menengok masa kecil kita dahulu, mungkin sebagian dari kita akan tertawa, melihat bagaimana kelakuan kita saat masa kecil dahulu. Bahkan boleh jadi, ada sebagian dari kita yang mengalami trauma dengan masa kecilnya yang hanya akan memberikan kesedihan dan air mata saat kita menengoknya kembali saat ini.

Tapi intinya masa itu adalah masa kepolosan dengan segala bentuk keluguannya. Benak kita belum diisi dengan banyak hal dan kita pun belum bisa belajar banyak hal. Kita baru saja menyelesaikan belajar banyak huruf dan dari situ akhirnya kita bisa merangkai kalimat. Dan dari kalimat itu, kita mulai menyusun beberapa proposisi dalam menyampaikan pesan.

Dan di sanalah kita mulai belajar tentang guru. Sebab dia yang pertama kali mengajarkan kita tentang huruf-huruf dan nama-nama. Oleh karenanya, pada umumnya guru pertama kita adalah orang tua kita sendiri, entah itu ibu atau ayah. Berbahagialah bagi mereka yang memiliki orang tua sekaligus sebagai gurunya. Sebab kriteria guru sejati ada padanya. Mengajar tanpa pamrih, penuh kasih, sepenuh hati, sebab ibu kita hanya menginginkan agar kita mampu sehingga mandiri, bukan yang lain.

Guru selanjutnya adalah yang pertama kali mengajarkan kita tentang makna. Makna dibalik proposisi dan sebuah kalimat. Makna yang ada dibalik relasi subjek dan predikat dalam sebuah kalimat. Saya bersyukur punya guru yang mengajarkan makna-makna di balik simbol. Di sana kita bisa bertanya sepuasnya dan sebebas-bebasnya. Sebab sang guru hanya mengarahkan pertanyaan kita dan akhirnya kita mampu menemukan jawabannya sendiri. Sebab kitalah penentu dalam setiap relasi subjek dan predikat, apakah meng-afirmasi atau negasi.

Guru selanjutnya adalah guru kehidupan yang mengajarkan kita tentang makna hidup dan kehidupan. Sungguh merugi melalui hidup ini tanpa pemaknaan. Melewati setiap momen tanpa pemaknaan adalah kehidupan yang kering tanpa ada aroma kehidupan di dalamnya.

Guru saya mengajarkan bahwa makna hidup yang paling indah adalah 'memberi'. Memberi apa yang kita mampu beri. Bukan pada jumlahnya namun pada esensi memberi. Sebab pada akhirnya apa pun yang kita miliki di dunia ini tak kan bersama kita menapaki jalan kematian. Jadi mengapa mesti kita menaruh apa yang kita miliki di kedalaman sumur yang gelap gulita?!

Guru yang paling istimewa adalah guru yang mengajarkan makna derita dan penderitaan. Derita adalah sesuatu yang sangat personal. Saat derita datang, tak ada yang mampu memahaminya kecuali kita sendiri. Tak mudah melewati derita kecuali saat kita memahami bahwa setiap derita membawa pesan tertentu. Sebab itu kata Rumi, "dengarkanlah pesan itu". Maulana Rumi memberikan pemaknaan luar biasa kepada saya tentang makna derita dalam melewati setiap penderitaan. Saya tumbuh dengan penderitaan dan akhirnya bisa memaknainya dengan tawa hari ini bersama Maulana Rumi, entah esok hari, tapi minimal hari ini saya mampu melewatinya dengan pemaknaan. Kata Rumi, "bahagialah mereka dimana akhir dari tangisnya adalah tawa".

Muhammad Nur Jabir

Saturday, November 19, 2016

Agama itu Layang-Layang

Selamat Hari Anak Dunia

"Agama itu Layang-layang"

Suatu hari kawan saya bertanya, "agama itu apa?" Ia melanjutkan bahwa pertanyaan ini bukan pertanyaan darinya, namun dari anaknya yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Kawan saya bingung menjawabnya. Dan akhirnya pertanyaan itu pun dilimpahkan pada saya.

Saya juga kebingungan menjawabnya sebab anak--anak belum waktunya berpikir dengan nalar argumentasi. Anak-anak hidup di alam imajinasi. Sebuah alam yang penuh dengan keragaman bentuk bentuk imajinasi. Pernahkah kita bertanya mengapa anak-anak senang dengan film kartun? Kerena seperti itulah kebanyakan anak-anak menggunakan alam pikirannya. Film kartun mencoba memahamkan sesuatu kepada kita melalui gambar dan imajinasi, bukan dengan kekuatan dialog argumentatif. Jadi amat disayangkan jika sejak bangku SD kita telah menjejalinya dengan pengetahuan yang belum sesuai dengan pola pikirnya.

Menyadari pola pikir anak-anak seperti itu yang lebih banyak menggunakan imajinasi, akhirnya saya memberikan jawaban dengan mengilustrasikan agama seperti layang-layang. Bahwa agama ibarat layang-layang. Setiap saat kita mesti memegang talinya agar tetap di atas. Kita mesti menjaganya setiap saat agar ia tetap tegar di atas. Jika kita lengah sedikit saja akan membuat layang-layang tersebut jatuh. Layang-layang adalah nilai yang mesti kita junjung tinggi.

Layang-layang sebagai sebuah nilai sangat dekat dengan keseharian kita. Ada saat dimana kita mesti menurunkannya yaitu saat badai besar datang. Sebab jika kita memaksa tetap menerbangkannya, tetap saja tak kan memberikan makna. Justru kita menghancurkannya dengan tangan kita sendiri. Tapi badai itu apa? Badai itu adalah politik dan keangkuhan kita.

Jadi pesan saya untuk anakku, jangan bawa politik dan hawa nafsumu ke dalam agama. Sebab bukan saja akan menghancurkan agama tapi juga menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita. Pahamilah agama seperti layangan. Kau harus menjaganya sendiri agar layanganmu tetap diatas karena hanya dirimu yang mampu menjaga dirimu. Sebab orang lain tak kan mampu menjaga dirimu.

Thursday, November 17, 2016

Korupsi itu Baik

Nihilisme itu apa?
Bahwa nilai yang kita anggap paling mulia, tak lagi memiliki nilai. Tak lagi memiliki tujuan.
Mengapa? Sebab tak lagi menemukan jawaban.

#Nietzsche

Mana yang anda pilih? Tak ada korupsi namun pembangunan tidak berjalan atau ada korupsi dan pembangunan bisa berjalan?

Bagi Fadli Zon, lebih baik ada korupsi asal pembangunan bisa berjalan.

Kira-kira apa ada yang salah dengan pernyataan anggota perwakilan rakyat kita yang terhormat Fadli Zon? Korupsi bisa ditolerir selama bisa menjadi oli pembangunan. Saya tak pernah mengerti mengapa orang seperti ini bisa duduk sebagai anggota dewan yang mulia dan terhormat.

Ungkapan Fadli Zon adalah satu bentuk ungkapan frustasi dalam melihat fenomena korupsi. Bukannya mengambil peran dalam memberantas korupsi, justru mendukung praktek korupsi yang mampu menjadi oli pembangunan.

Kita selalu bicara penistaan agama dan penistaan Qur'an, namun kita tak pernah bicara penistaan atas makna Quran. Quran dengan tegas melarang praktek korupsi, namun kita seenaknya membenarkannya, bukankah ini salah satu penistaan atas makna Quran. Bukankah Fadli Zon sebelumnya berada di front depan menyuarakan penistaan Quran? Apakah Quran hanya bentuk dan tak memiliki makna?

Tapi kita hanya terpesona pada bentuk, dan telah melupakan makna, sementara pada maknalah inti Quran. Kita hanya bisa teriak saat bentuk Quran dilecehkan, namun selalu diam saat makna Quran dilecehkan. Kita adalah orang-orang yang terperangkap pada bentuk, tak lagi tertarik pada makna. Mungkin karena kita sendiri tak lagi bermakna.

Hanya bisa bersedih saat orang-orang berbicara seenaknya, hanya karena mereka sedang berada dalam kekuasaan. Moral manakah yang kita junjung saat ini? Tapi benar, kita tak lagi punya moral sebagai nilai yang kita junjung bersama. Satu-satunya moral yang kita miliki adalah moral kepentingan, tak peduli apakah baik atau buruk, apakah korupsi itu baik atau buruk? Kita hanya membutuhkan oli pembangunan dan itulah nilai sejati yang sesungguhnya.

Pernyataan Fadli Zon menegaskan saya akan akhir dari priode kita. Kita berada di akhir periode nihilisme. Sebab dalam nihilisme, tak ada lagi nilai, karena satu nilai dihancurkan oleh nilai lainnya, dan nilai tersebut juga dihancurkan oleh nilai lainnya. Sebab itu mari kita berpesta pora atas akhir dari nurani fitrah kemanusiaan kita.

http://m.detik.com/news/berita/d-2929613/fadli-zon-korupsi-justru-jadi-oli-pembangunan?utm_source=News&utm_medium=Desktop&utm_campaign=ShareFacebook

Sunday, November 13, 2016

Keyakinan Lebih Menakutkan

Demi sebuah hakikat,
Keyakinan lebih menakutkan
daripada kebohongan.

#Nietzsche

Tak mudah memahami perkataan Nietzsche. Nalar kita sudah terbiasa dengan kaidah-kaidah yang terbangun dan tersusun dengan sangat rapi dalam benak kita. Sedangkan perkataan Nietzsche pada umumnya tidak sejalan dengan pondasi struktur logika berpikir kita. Tapi cobalah sejenak tengok fenomena sekitar kita. Sangat mudah menemukan kepongahan dan keangkuhan. Kepongahan dan keangkuhan tak  butuh pada perangkat nalar yang sistematis, sebab yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menghancurkan siapa saja.

Fenomena bom kembali terulang dan kita tak pernah tahu kapan akan berakhir. Bom beserta pelakunya selalu saja menyisakan tanda tanya. Menyisakan arah panah akan diarahkan kemanakah selanjutnya. Sebab tugas utama pelaku bom bukan pada ledakannya, tapi pesan yang disampaikan adalah setelahnya. Sebab itu pelakunya tak pernah peduli pada mangsanya, meskipun pada akhirnya korban ledakannya adalah orang tua dan anak-anak. Meskipun taruhannya adalah mematikan nurani dan kemanusiaan, mereka tak kan pernah peduli.

Tapi fenomena ini memudahkan kita memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Nietzsche, betapa perjuangan atas sebuah 'hakikat' dengan landasan keyakinan tertentu lebih menakutkan daripada kebohongan. Berbohong adalah kejujuran atas suatu kesalahan dalam memanipulasi kebenaran. Tapi pelaku bom tidak sedang berbohong. Ia sadar telah melakukan suatu tindakan teror. Bukankah ini lebih menakutkan karena akan menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita?!

Mungkin kita sudah terbiasa menertawai keadilan. Kita lebih memilih diam dan bahkan membiarkan hanya karena pelakunya dari orang-orang yang seagama dengan kita dan korbannya adalah orang-orang yang berbeda akidah dengan kita. Meskipun kita sadar, pelakunya telah melakukan tindakan salah dan tidak sejalan dengan agama dan nurani fitrah kemanusiaan kita. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Jadi bukan agama yang sedang diuji, tapi pemaknaan kita atas agama sedang diuji. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan dan kepongahan, bukan saja agama yang terancam, tapi konsep kebertuhanan kita pun terancam. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan atas nama agama, berarti sama saja kita membenarkan Tuhan berlaku tidak adil. Maksudnya, Tuhan yang kita pahami adalah Tuhan yang hanya bisa berlaku adil kepada kelompok kita saja dan tak mampu berlaku berlaku adil pada yang lain. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Dengarkanlah bagaimana Rumi berdialog dengan ayahnya:

"Suatu hari seorang anak bertanya pada ayahnya,
Agama manakah yang terbaik, wahai Ayah?
Kata Ayahnya, aku tak ada urusan dengan agama.
di sisiku, agama tak lagi memiliki nilai,
sebab setiap ada agama baru,
perbedaan pun akan semakin nampak,
hasud dan fitnah pun akan semakin bermunculan,
peperangan antar aliran kembali terulang,
Darah manusia berceceran di atas bumi,
berulang dan terus berulang lagi atas nama agama,
Agama adalah yang mampu hidup bersama yang lain,
Apa guna agama yang mengatakan;
Tumpahkan darah orang-orang kafir.
Sebab itu lah aku tak lagi punya agama,
agar tak ada lagi darah yang tumpah,
Wahai Anakku, jika kau cari agama,
Carilah agama yang mengasihi
Seluruh ummat manusia".

MNJ

Saturday, November 5, 2016

Kebencian adalah Hakikat

Kebencian adalah bagian dari hakikat,
Keindahan hanya imajinasi semata.

Henry Charles Bukowsky

Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumnya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan atau perkataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan.

Kita akan mudah memahaminya jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu idealnya, seharusnya, dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, cinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya.

Tapi bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Saya ingin mengajak dan melihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu saja berpikir telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.

Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.

Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin  menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.

Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.   

Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.

Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”

Sunday, June 19, 2016

Perempuan dalam Tasawwuf

Sufi Perempuan dan Perempuan dalam Tradisi Sufi
Muhammad Nur Jabir

Banyak pertanyaan yang menggelitik mengenai sufi perempuan misalnya mengapa hanya beberapa deratan nama saja yang kita kenal sebagai sufi perempuan seperti Rabiah Adawiyah. Kira-kira apa yang menyebabkan sehingga tak banyak tokoh sufi yang kita kenal dari kalangan perempuan? Apakah hal ini menunjukkan bahwa hanya kalangan pria saja yang memiliki potensi besar untuk menjadi sufi? Apakah kurangnya tokoh sufi dari kalangan perempuan karena kondisi sosiologis pada waktu itu atau dalam kata lain kurang dikenal oleh masyarakat karena sufi perempuan lebih banyak diam di dalam rumah?

Namun suatu hal yang mesti dipahami, tokoh perempuan yang sempat terekam namanya dalam sejarah disebabkan hasil interaksi mereka dengan tokoh sufi pria. Dan tokoh pria tersebutlah yang menjelaskan mengenai maqam yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Oleh karena itu kurangnya jumlah sufi dari kalangan perempuan, bukan karena potensi yang dimiliki perempuan dalam meraih maqam sufistik terlihat lemah.
Dalam empat perjalanan sufistik tak ada penekanan atas laki-laki dan perempuan sebab keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih maqam ruhaniah. Namun meskipun perjalanan keempat adalah perjalanan yang hanya diperuntukkan kepada kaum pria saja, namun hal tersebut dikarenakan perjalanan keempat adalah perjalanan tabligh dimana persoalan tabligh lebih sesuai diemban oleh kaum pria. Tapi yang perlu diketahui, ukuran kesempurnaan ada pada maqam wilayah dan maqam wilayah berada perjalanan ketiga dari empat perjalan manusia. Dan pada perjalanan ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal ini dalam persoalan sufistik tidak ada aspek pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun terkait dengan posisi perempuan dalam tasawwuf, Ibn Arabi meyakini sebagaimana yang tertera dalam  kitab Taurat bahwa perempuan yakni Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebab itu Hawa bagaian dari Adam dan berasal dari tulang rusuk Adam. Berdasarkan hal ini maka laki-laki berposisi sebagai 'subjek mempengaruhi' dan perempuan sebagai 'objek dipengaruhi'. Tentu 'subjek mempengaruhi' lebih dominan daripada 'objek dipengaruhi'. Namun hal tersebut hanya terkait dari aspek penciptaan bukan dalam kesempurnaan sebab dalam hal kesempurnaan keduanya memiliki keunggulan yang sama.

Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Dia (Rasulullah saw) yang seluruh ummat takluk pada perkataannya
Ketika sampai pada istrinya, ia berkata, "bicaralah padaku" (Bait 2428, Buku 1)
Meskipun dirimu secara lahiriyah mendominasi wanita,
Namun secara batin wanita mendominasimu. (Bait 2431, Buku 1)

Maulana Rumi ingin menjelaskan bahwa dominasi laki-laki atas perempuan hanya aspek luarnya saja namun secara esensial wanita mendominasi laki-laki. Alasannya karena aspek rasa yang ada pada perempuan mampu mendominasi akal yang ada pada laki-laki. Namun laki-laki jahil dan pemarah lebih kuat atas dominasi perempuan.

Maulana Rumi dalam kesempatan lain menyimbolkan laki-laki dengan air, kemudian menyimbolkan perempuan dengan api. Berdasarkan atas penyimbolan ini, air mampu memadamkan api namun jika ada perantara antara api dan air maka api akan membuat air mendidih dan mengubah air menjadi uap. Sebab itu pada hakikatnya perempuan lebih mampu mendominasi laki-laki sebab perempuan menguasai jiwa dan hati laki-laki.
Menurut Ibn Arabi menyaksikan Tuhan dalam perempuan dianggap sebagai bentuk penyaksian yang paling sempurna karena laki-laki menyaksikan dua bentuk dalam diri perempuan yaitu bentuk mempengaruhi dan bentuk dipengaruhi. Perempuan menerima nuthfah dari laki-laki sebagai bentuk dipengaruhi dan membesarkan nuthfah di dalam dirinya sebagai bentuk mempengaruhi yang ada dalam diri perempuan. Sebab itu bagi Ibn Arabi, Hawa yakni perempuan adalah gabungan antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan inilah maksud dari Hadits Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan solat".

Sebab itu baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi menempatkan perempuan lebih mulia dari laki-laki bahkan menarik ke atas hingga menjadi bentuk dari keindahan Ilahi. Kedua arif tersebut memandang cinta sebagai pancaran emanasi dari Ilahi. Manusia tak mungkin menyaksikan hakekat absolut eksistensi Ilahi. Dia hanya bisa disaksikan dalam manifestasi-manifestasi-Nya dan perempuan salah satu dari manifestasi-manifestasi keindahan dan kelembutan Ilahi. Sebab itu cinta pada perempuan adalah cinta kepada Ilahi. karena hanya perempuan yang mampu menunjukkan dua bentuk tersebut.

Selanjutnya Ibn Arabi meyakini meskipun derajat perempuan berada di bawah dari laki-laki dalam aspek penciptaan namun derajat ini tidak mempengaruhi kesempurnaan yang ada di dalam diri perempuan. Oleh karena relasi Hawa atas Adam dalam persoalan penciptaan seperti relasi Adam atas tanah dimana aspek tanah pada Adam tidak akan menghalangi kesempurnaan Adam.
Dalam membuktikan persoalan ini Ibn Arabi mengangkat kisah Hajar ibu Nabi Ismail as. Setelah Allah swt menyaksikan perbuatan Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.        
                                               
Kemudian kata perempuan dalam irfan terkadang tidak bermakna perempuan sebagaimana perempuan akan tetapi bermakna simbolik, sesuai dengan makna yang diinginkan oleh sang sufi dalam menjelaskan hakikat Ilahi. Perempuan dalam ranah sufistik sering digunakan dalam menggambarkan kesempurnaan dan sifat-sifat Ilahi, termasuk simbol-simbol yang melekat pada perempuan seperti rambut, tai lalat, mulut, dst. Misalnya dalam sastra sufi ketika ingin menggambarkan aspek jamaliyah dan jalaliyah Ilahi biasanya menggunakan simbol rambut hitam yang terurai panjang. Saat perempuan mengurai rambutnya yang panjang dan menutupi seluruh wajahnya disebut sebagai simbol jalaliyah Ilahi dan saat mengangkat rambut yang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tersingkap disebut dengan simbol jamaliyah Ilahi.  

Monday, April 4, 2016

Kajian Suluk (1)

Perbedaan Akhlak dengan Amalan Sufistik;
1.      Pembahasan akhlak adalah suatu pembahasan yang akan membimbing manusia dalam meraih sifat-sifat malakah dengan menundukkan beberapa fakultas dalam diri manusia. Sedangkan amalan sufistik dilakukan sebagai tujuan agar menyaksikan hakikat-hakikat batin dan tujuan tertinggi adalah liqaullah.
2.      Pembahasan yang tidak dibahas di dalam persoalan akhlak ialah mengenai persoalan sair suluk atau mengarungi perjalanan ruhaniah dari satu maqam menuju maqam selanjutnya hingga sampai pada puncak tertinggi yaitu liqaullah. Adapun wilayah akhlak membimbing manusia dalam memperindah ruh dengan sifat-sifat yang baik seperti adil, jujur, amanah, dan sifat-sifat lainnya. Selain itu pula tugas akhlak adalah menjauhkan nafs dari sifat-sifat yang buruk.
3.      Tindakan manusia tanpa disertai dengan tawajjuh kepada Ilahi akan menyebabkan tindakan tersebut tak lagi punya makna secara ruhaniyah. Sedangkan dalam akhlak tidak mesti disyaratkan demikian.
Beberapa hal penting terkait dengan persoalan tazkiyah dan suluk;
1.      Setelah manusia memutuskan berjalan menuju Allah swt, kebutuhan utama seorang pesuluk adalah terkait dengan persoalan riyadhah (latihan) atau biasa juga disebut dengan tazkiyah. Adapun makna berjalan menuju Allah swt;
a.       Bahwa kita akan berangkat menuju Tuhan dalam tingkatan yang paling batin, sebagaimana Quran menjelaskannya dengan kalimat "Dialah yang Akhir".
b.      Dalam surah al-Syura (42);53, "ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali segala urusan”. Ayat tersebut ingin menjelaskan bahwa hakikat segala sesuatu kembali kepada Allah swt, bukan kembali kepada surga dan neraka. Sebab itu jika manusia kembali kepada neraka atau surga, sebenarnya kita tidak termasuk ke dalam rombongan kafilah alam semesta sebab alam semesta kembali kepada Allah swt, bukan ke neraka atau ke surga.
c.       Dalam surah al-Maidah (5);35 Allah swt berfirman, " . . . dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya". Allah swt memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat kembali kepada-Nya. Bahwa tujuan adalah Allah swt dan selain Tuhan adalah wasilah atau perantara. Namun manusia yang tak sadar menjadikan Tuhan sebagai perantara agar dimasukkan ke surga sehingga tujuannya adalah sorgawi, bukan kepada Ilahi.
d.      Dalam surah al-Qashas (28);88 Allah swt berfirman, "tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya”. Berdasarkan ayat ini, jika kita mencari selain Allah swt pada hakikatnya kita mencari kesirnaan dan bukan keabadian sebab segala sesuatu sirna kecuali wajah-Nya.
2.      Pada umumnya setelah manusia memiliki kesadaran dan merenungi bahwa Allah swt meliputi segala sesuatu, manusia akan mengalami apa yang disebut dengan yaqzah. Yaqzah adalah suatu bentuk perubahan secara revolusioner dalam diri manusia. Perubahan tersebut secara langsung akan menarik manusia kembali kepada Ilahi. Manusia rindu dan ingin bergerak untuk sampai kepada kebahagiaan yang sejati yang disebut dengan liqaullah. Sebab itu menurutu kaum sufi, iradah adalah awal gerak manusia dan liqaullah  adalah titik akhir perjalan manusia.
Diantara maksud-maksud dalam melakukan riyadhah;
1.      Menjauhkan segala hal selain Tuhan dalam proses suluk. Disini pesuluk akan memahami bahwa zuhud yang sebenarnya adalah menghilangkan segala bentuk rintangan eksternal yang dapat menghalangi manusia menuju Allah swt.
2.      Menghilangkan penghalang internal atau segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang akan menghalangi manusia menuju Allah swt. Berikut ini beberapa hal yang mesti dilakukan agar manusia bisa berhasil dalam melakukan tahap ini;
a.       Beribadah yang disertai dengan tafakkur.
b.      Mendengarkan keindahan Ilahi.
c.       Mendengarkan perkataan orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih.
3.      Manusia berusaha melembutkan jiwanya sebab Allah swt memiliki sifat lathif (MahaLembut) sebab itu jika manusia tak memiliki jiwa yang lembut akan sulit terkoneksi secara langsung (tanpa hijab) dengan Ilahi. Dalam hal ini manusia perlu melakukan dua hal: berusaha memiliki pikiran yang jernih dan juga cinta yang jernih.
Penjelasan Mengenai Zuhud
Pemaknaan zuhud dalam ranah sufistik berbeda dengan zuhud dalam ranah akhlak. Zuhud dalam ranah akhlak tak ubahnya seperti transaksi, seolah-olah memberikan sesuatu dan berharap mendapatkan sesuatu dari pemberian tersebut. Adapun zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala bentuk kenikmatan yang akan menghalangi manusia berjalan menuju Ilahi. Dalam kata lain, zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala perkara yang akan membuat manusia lalai dari mengingat Ilahi.
Makna Tafakkur
Maksud dari tafakkur disini ialah menundukkan nafsu ammarah melalui nafsul muthmainnah. Jika nafsul muthmainnah berhasil mendominasi nafsu ammarah maka fakultas imajinasi dan waham manusia akan suci dan mampu menghindari hal-hal yang buruk. Sebelum melakukan riyadhah, manusia terpenjara oleh alam imajinasi dan wahamnya namun setelah melakukan riyadhah akan terbebas dari hal tersebut.
Dalam menundukkan nafsu ammarah, hendaknya manusia melakukan ibadah yang disertai dengan tafakkur. Jika dalam melakukan suatu rangkaian ibadah, jiwanya senantiasa tawajjuh kepada Allah swt maka ia sedang berada di jalan Allah swt sehingga ia akan mendapatkan pertolongan dari aspek tawajjuh tersebut.   

Dosa adalah penghalang dalam meraih ketaatan. Demikian halnya, meninggalkan tafakkur akan menghalangi manusia dalam mengingat (tazakkur) sebab tafakkur bermakna 'mencari' dan tazakur bermakna 'memiliki'. Oleh karena itu, pertama manusia bertobat (kembali) dan setelah itu senantiasa mengingat Allah swt.