Tuesday, August 20, 2013

Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi

Apakah engkau merasa dirimu hanya benda kecil?
Padahal dalam dirimu terdapat alam semesta
(Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as)

Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi
Pendahuluan
            Sebagaimana diketahui, pembahasan irfan terdiri dari dua pembahasan inti; pertama, berkenaan dengan tauhid. Kedua, berkenaan dengan muwahhid. Tauhid dalam irfan berkenaan dengan  pembahasan wahdatul wujud, sedangkan yang dimaksud dengan muwahhid adalah seseorang yang telah sampai pada maqam tauhid atau yang biasa disebut dengan insan kamil (manusia sempurna).
            Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai wahdatul wujud yang merupakan puncak tauhid dalam pandangan sufi. Menurut mereka, hakekat wujud hanya satu yaitu wujud Al-Haqq, sedangkan selain Al-Haqq hanya manifestasi, jelmaan, tajalli,  bayangan, atau penampakan dari nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq.
            Dalam tajalli, nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq tersebut bergradasi atau memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian nama merupakan jelmaan dari nama tertinggi Al-Haqq dan sebagian nama merupakan jelmaan dari nama yang berada pada tingkatan bawah. Manifestasi yang paling agung adalah manifestasi dari nama Allah swt dikarenakan dalam nama Allah swt terkandung seluruh nama-nama Tuhan, sebagaimana dalam surah al-isra’;110 ; Katakanlah, “ serulah Allah dan serulah Al-Rahman, dengan nama mana saja kamu seru, hanya bagi-Nya lah asmaul husna” . Manifestasi nama Allah swt adalah insan kamil atau biasa juga disebut dengan Hakekah Muhammadiyah. Hal ini sesuai dengan hadits Qudsi yang berbunyi ; jika bukan engkau wahai Muhammad maka Aku tidak ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.
Hakekat Insan Kamil
            Diantara wujud yang ada, hanya manusialah yang dapat menampung seluruh hakekat di dalam dirinya, sebab dirinya merupakan manifestasi dari nama Allah swt dan nama Allah swt terkandung seluruh nama-nama di dalam diri-Nya. Hakekat insan kamil berada dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi, alam mitsal, alam akal, maqam wahidiyah dan bahkan sampai pada maqam ahadiyah. Namun hanya Rasulullah saw beserta para washinya yang mampu sampai pada maqam ahadiyah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-najm;9 ; Maka  jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Juga dalam hadits, Rasulullah saw bersabda; pernah satu saat diriku bersama dengan Allah swt dimana pada saat itu, baik rasul maupun malaikat muqarrab tak dapat menyertaiku.
            Dari sini, kita akan melihat bahwa hakekat insan kamil memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah (makhluk). Aspek Ilahiyah didalam diri insan kamil dapat ditinjau dalam  beberapa hal; pertama, insan kamil merupakan cermin dari Al-Haqq. Maksud dari cermin disini bahwa insan kamil merupakan jelmaan dari seluruh nama-nama Ilahi. Kedua, insan kamil tercipta berdasarkan bentuk Al-Rahman. Bentuk disini bukan bentuk dalam pemaknaan material akan tetapi yang dimaksud dengan bentuk adalah ‘sesuatu yang nampak pada sesuatu tersebut’, dan yang nampak dalam batin insan kamil adalah Al-Rahman. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek khalqiyah adalah sisi kehambaan dan ubudiyahnya.
            Aspek Ilahiyah di dalam diri insan kamil didapatkan melalui empat tahapan perjalanan sair suluknya. Diawali dari perjalanan dirinya menuju Al-Haqq, kemudian dari Al-Haqq menuju Al-Haqq bersama Al-Haqq, selanjutnya dari Al-Haqq menuju al-khalq bersama Al-Haqq, dan dari al-khalq menuju al-khalq bersama Al-Haqq. Insan kamil atau manusia sempurna adalah mereka yang telah sampai pada perjalanan kedua dan ketiga. Siapa saja yang berhasil suluk sampai pada perjalanan kedua dan ketiga maka disebut dengan insan kamil.
Insan Kamil Sebagai Khalifah
            Makna dari khalifah adalah pengganti, yaitu menggantikan posisi yang digantikan (ghaib). Oleh karena itu, makna khalifah disini harus dimaknai dengan baik jika masih tetap ingin dimaknai sebagai pengganti, sebab persoalannya adalah pengganti disini bukan menggantikan yang ghaib (tidak hadir) karena Tuhan hadir dalam segala sesuatu dan Tuhan tidak pernah tidak hadir. Maka khalifah adalah pengganti yang menggantikan suatu wujud yang tidak pernah tidak hadir. Berdasarkan hal ini kita akan menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi khalifah adalah suatu eksistensi yang memiliki keidentikan dengan Al-Haqq. keidentikan tersebut adalah bahwa dirinya hadir dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi hingga maqam ahadiyah,  dan hanya insan kamil saja yang hadir dalam seluruh tingkatan manifestasi. Oleh karena itu, yang berhak menjadi khalifah adalah insan kamil. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa adam menjadi khalifah setelah Allah swt mengajarkan seluruh nama-nama padanya. (al-baqarah;31)        
Insan Kamil sebagai Ruh Alam Semesta
            Sebagaimana diketahui, ruh manusia berperan sebagai pengatur (rububiyah) terhadap badannya, baik itu disadari atau tidak, meskipun jarang manusia yang menyadari akan hal ini. Untuk membuktikannya, cukup dengan melihat karekteristik dari materi,  dan badan manusia – jika dilihat hanya pada badannya tanpa mengaitkan dengan ruhnya – adalah materi. Jika asumsinya bahwa materi sebagaimana materi dapat mengatur dan merubah nutrisi menjadi rambut, kuku, darah, dst, maka binatang, tumbuhan, dan batu pun seharusnya memiliki karakter yang sama dengan manusia, karena semuanya berasal dari nutrisi. Namun hal tersebut tidak terjadi karena sebagai  diketahui yang mengatur hal tersebut bukan tubuh kita yang hanya materi semata, akan tetapi yang mengatur adalah ruh kita.
            Hubungan alam semesta dengan insan kamil pun demikian halnya. Insan kamil adalah ruh sedangkan alam semesta adalah badannya. Oleh karenanya, dalam tasawwuf atau irfan, manusia disebut sebagai makrokosmos dan alam semesta adalah mikrokosmos. Rahasia mengapa insan kamil adalah ruh alam semesta karena hanya insan kamil yang senantiasa eksis dalam seluruh tingkatan tajalli. Meskipun batinnya naik ke maqam uluhiyah akan tetapi lahirnya tetap saja ada dibumi. Maksudnya kedua aspek didalam dirinya senantiasa terjaga; aspek Ilahiyah dan aspek ubudiyah.
Insan Kamil sebagai Tujuan Penciptaan Alam
            Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan cermin dari seluruh kesempurnaan Ilahiyah. Jika Tuhan ingin melihat kesempurnaan diri-Nya melalui sebuah perantara maka dirinya akan menyaksikan kesempurnaan diri-Nya dalam cermin dan cermin tersebut adalah Rasulullah saw. Alasan lainnya dikarenakan insan kamil merupakan ruh alam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan hal ini sesuai dengan hadits Qudsi; jika bukan engaku wahai Muhammad maka Aku tidak ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.  
Insan Kamil sebagai Simbol Keabadian atau Kehancuran Alam Semesta
            Jika dipahami bahwa insan kamil sebagai ruh alam semesta, maka alam semesta bergantung pada insan kamil, baik dalam keabadiannya maupun dalam kehancurannya. Sebagaimana badan manusia bergantung kepada ruhnya. Maksudnya  selama ruh manusia masih berada dalam tubuhnya maka tubuh tersebut memiliki kehidupan, namun disaat ruh meninggalkan tubuhnya maka pada saat itu tubuhnya tak memiliki kehidupan sebagaimana sebelumnya.     
            Terjadinya kiamat dalam pandangan irfan adalah disaat insan kamil kembali ke maqam uluhiyah secara totalitas. Maksudnya disaat insan kamil meninggalkan dunia ini maka pada saat itu akan terjadi kiamat. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan oleh Imam Maksumin as; jika tidak ada hujjah (insan kamil) maka bumi ini akan hancur.
Insan Kamil untuk Seluruh Manusia
            Apakah insan kamil ini hanya dikhususkan kepada para Rasul, Nabi, dan para Imam ? jika bersandar pada penjelasan Al-Qur’an, maka insan kamil ini tidak hanya dikhususkan kepada para Maksumin semata (Rasul, Nabi, dan Imam). Dalam surah al-ahzab;72 Allah swt berfirman; “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu”.
            Amanah dalam ayat diatas ditawarkan kepada seluruh golongan manusia dan tidak dikhususkan kepada golongan tertentu dari manusia. Rahasia mengapa manusia mampu menerima amanah tersebut dikarenakan manusia memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah sehingga manusia bisa hadir dalam seluruh manifestasi. Namun tentunya manusia hanya bisa naik ke atas melalui berkah wilayah insan kamil, Wilayah Muhammadi saw.  

        
                        
             

            

Saturday, March 23, 2013

Ibn Sina dan Muridnya Bahmanyar


Bahmaniyar adalah salah satu murid terdekat Ibn Sina. Sejak kecil hingga dewasa senantiasa dalam arahan Ibn Sina. Bahmaniyar sangat memuji gurunya yang hampir menguasai seluruh bidang pengetahuan khususnya filsafat. Bahmaniyar pun sangat terkesan dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Singkatnya, pernah suatu ketika Bahmaniyar berkata pada gurunya; ‘Guru... Aku lihat posisimu sederajat dengan  Rasulullah saw. Engkau menguasai berbagai bidang pengetahuan apalagi engkau piawai dalam filsafat. Lihat saja, tak ada filsafat dalam Qur’an dan juga hadits-hadits Rasulullah saw’. Mendengar perkataan muridnya, Ibn Sina hanya tersenyum dan tidak menanggapi perkataannya. Ibn sina menunggu momen yang tepat untuk menanggapinya. Disaat-saat akhir kehidupannya, Ibn Sina sering sakit-sakitan dan kemudian memutuskan untuk kembali ke Hamadan. Hamadan adalah salah satu kota di Iran yang cukup dingin dikarenakan kota tersebut dikellilingi dengan pegunungan, apalagi disaat salju tiba. Suatu malam, Ibn Sina terserang sakit dan membuat dirinya sulit bergerak apalagi untuk keluar rumah, karena pada malam itu cuaca sangat dingin dikarekan salju lebat sedang turun. Kebetulan, dirumah tak ada air untuk diminum. Ibn Sina kemudian meminta tolong pada muridnya Bahmaniyar untuk mencari air minum. Jarak ke tempat penampungan air minum dari rumah Ibn Sina lumayan jauh. Mendengar perintah gurunya, Bahmaniyar berpikir keras untuk memenuhi perintah gurunya. Untuk menepis perintah gurunya, Bahmaniyar berkelit dengan alasan kesehatan yang akan membahayakan dirinya jika keluar rumah dengan cuaca yang sangat dingin. Tak lama kemudian azan subuh pun terdengar. Setelah kalimat asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Ibn Sina mengambil momen ini untuk menanggapi perkataan muridnya tentang kesamaan derajat dirinya dengan Rasulullah saw. Ibn Sina berkata pada muridnya; “coba anda pikirkan dengan baik muazzin itu, dia keluar dari rumahnya menuju Mesjid dan naik kemenara Mesjid untuk melantunkan azan subuh. Muazzin itu tak pernah melihat wajah Rasulullah, tak pernah mendengar suara Rasulullah, dan tak pernah mendapatkan ajaran filsafat seperti yang engkau katakan, dan ketahuilah, Rasulullah saw hidup seribu tahun silam,  tapi muazzin itu bersedia menembus dingin dan salju yang menurut dirimu akan membahayakan dirinya. Sedangkan aku hanya menyuruhmu meminta segelas air minum dan engkau pun tak sanggup. Sungguh, Rasulullah saw adalah manusia suci yang tak ada bandingannya dengan siapapun dan Jangan pernah engkau bandingkan derajat Rasulullah saw dengan siapapun.

Friday, March 15, 2013

Tauhid Sufistik


Pendahuluan

Persoalan tauhid merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
            Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua tersebut akan kembali kepada yang pertama.
            Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan; yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan ilmu hudhuri.

Ketidakterbatasan Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel, karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
            Ketidakterbatasan ini berarti bahwa diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan pada alam konsep sekalipun.
            Pertanyaannya adalah jika yang ada hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
            Berikut ini adalah beberapa ayat dan riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah Al-Hadid ; 3 ;

Dia-lah yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya diri-Nya.

Surah Annisa ; 126
Apapun yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala sesuatu
Ayat diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada prinsip surah Al-Hadid;3.

Surah Al-Baqarah ; 115
Kemanapun engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.

Surah Al-Mujadilah ; 7
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73 Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.

Surah Al-Anfal ; 17
Bukan engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.

Surah Al-Baqarah ; 186
Jika seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.

Surah Al-Waqiah ; 85
Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.

Surah Qaf ; 16
Dari kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya. Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak berpisah.
    
Tasybih dan Tanzih
            Tuhan yang tak terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih (penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang, tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada makhluk dan Tuhan.
            Pada saat yang sama, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat.

Tujuan para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
            Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya. Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein as.
            Namun untuk mempersiapkan qalbu berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah. Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang. Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat. Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya kemudahan karena suluk adalah non-materi.
            Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan) terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24 tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan, ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq (iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha, taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).       
                           
                

Tuesday, March 12, 2013

Plato


Dalam filsafat Plato ada tiga dasar pemikiran penting yang menjadi ciri khas pemikirannya. Ketiga dasar pemikiran ini selanjutnya dikritik oleh muridnya Aristoteles. Ketiga pemikiran tersebut sebagai berikut:
Teori Idea-Idea
Menurut Plato, segala apa yang ada di alam indrawi ini, baik itu substansi maupun aksiden, hakekatnya terdapat di alam lain. Manusia yang ada di alam ini ibaratnya seperti bayangan-bayangan dari hakekat-hakekat yang ada di alam sana. Misalnya seluruh manusia yang hidup di alam indrawi ini berasal dari satu hakekat dan berasal dari asal yang sama yaitu berasal dari alam sana. Manusia hakiki dan hakekat manusia adalah manusia di alam sana. Begitu juga dengan entitas-entitas lainnya.
Plato menyebut hakekat-hakekat di alam sana dengan idea. Sebagian filsuf muslim menerjemahkan idea ini ke dalam filsafat Islam dengan mitsal. Keseluruhan hakekat-hakekat tersebut di alam sana disebut dengan mutsul (jamak dari kata mitsal) oleh filsuf muslim. Ibn Sina sebagai pengikut aliran paripatetik menolak keras teori ini sedangkan Suhrawardi sebagai pengikut aliran iluminasi sangat fanatik teori idea ini. Mirdamad dan Mulla Sadra adalah dua filsuf yang sangat mendukung teori ini. Namun terminologi yang mereka gunakan berbeda dengan Plato, bahkan Suhrawardi pun menggunakan terminologi yang berbeda dengan Plato. Salah satu filsuf lainnya yang sangat mendukung teori ini adalah Mir Fendereski yang merupakan salah satu filsuf pada priode dinasti Safawiyah. Berkenaan dengan teori ini Mir Fendereski menulis syair :
Bentuk di alam bawah ini jika dengan tangga makrifat
Naiklah ke atas, hakekat dirinya satu saja
Perkataan ini tak kan dipahami secara lahiriyah
Meskipun anda al-Farabi atau Ibn Sina
Ruh Manusia
Plato meyakini bahwa ruh manusia sebelum menyatu dengan badan telah diciptakan dan berada di alam ide. Kemudian setelah badannya tercipta, ruhnya menyatu dengan badannya. Mulla Sadra menerima gagasan Plato mengenai keberadaan segala sesuatu sebelum turun ke alam realitas eksistensi. Namun pendekatan serta terminologi yang digunakan Sadra berbeda dengan Plato. Karena ada parameter lain yang digunakan dalam hal ini yaitu terminologi ruh, nafs, dan badan jismani.
Teori Pengingatan Kembali
Teori ini bisa dianggap sebagai konsekwensi atau turunan dari kedua teori Plato sebelumnya. Teori ini oleh Plato disebut dengan ‘pengingatan kembali’. Maksudnya sebelum manusia menyatu dengan badannya di dunia, ruhnya telah diciptakan dan telah ada di alam ide. Ketika manusia berada di alam ide, manusia telah menyaksikan segala sesuatu yang ada di alam sana. Karena di alam ide tak ada tabir antara satu entitas dengan entitas lainnya. oleh karenanya apa yang diketahui di alam dunia ini adalah pengingatan kembali atas apa yang diketahui sebelumnya di alam ide. Namun ketika ruh menyatu dengan badan, badannya menjadi hijab atau tabir sehingga ruhnya tak lagi terkoneksi dengan cahaya di alam ide. Akibatnya manusia lupa atas apa yang diketahui sebelumnya. Saking lupanya, ketika manusia mendapatkan pengetahuan seolah baru pertama kali ia mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk keluar dari persoalan ini, manusia mesti berusaha menghilangkan tabir atau hijab tersebut dengan dialektika pemikiran metode rasional atau dalam pandangan Suhrawardi berusaha meraih cinta kepada kebaikan mutlak melalui tazkiyah dan penyucian diri.     


    

Sunday, March 3, 2013

Tajalli Ontologi


Tajalli Ontologi ini adalah salah satu karya Prof. DR. Syd Ahmad Fazeli. Alhamdulillah, kami telah diberikan kepercayaan menerjemahkan karya beliau ke dalam bhs Indonesia. Namun tulisan ini hanya salah satu bagian saja. beberapa bagian lain telah dimuat di Jurnal Mulla Sadra. selanjutnya akan diterbitkan secara utuh oleh penerbit Sadra Press. Judul aslinya tasybih dan tanzih dalam pandangan Ibn Arabi. 
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, kami ingin mengingatkan bahwa batasan pembahasan dalam pembahasan kali ini adalah tajalli eksistensial dan ontologis, bukan tajalli syuhudi sebagaimana yang dialami oleh para Arifin. Dalam sistem hirarki alam, proses realisasi takwiniyah alam penciptaan dibagi menjadi dua bagian : busar naik (qaus shu’ud) dan busar turun (qaus nuzul). Terpisah dari busar naik dan busar turun, setelah manusia turun dari watan hakekatnya dan keluar dari wilayah immanen dan kemudian selanjutnya secara gradual hadir dalam alam parsial, maka manusia tersebut dimungkinkan untuk mulai mengembangkan dirinya sejauh kemampuan wujud dirinya dari wujud mutlak dalam mengarungi keragaman ilmu yaqin, ‘ainul yaqin, dan hingga naik pada puncaknya yaitu haqqul yaqin.
Yang dimaksud dengan tajalli dalam pembahasan ini adalah tajalli eksistensial dalam pemaknaan ‘mutlak yang terlimitasi’, sedangkan tajalli syuhudi yang didapatkan oleh para Arif dalam sair suluknya tidak termasuk pembahasan kami. Walaupun koneksitas syuhud seorang salik dalam mengarungi kesempurnaan ( naik ke atas ) adalah tajalli itu sendiri dan pada puncaknya sampai pada tajalli zati, akan tetapi yang ditemukan seorang Arif memberikan justifikasi akan kemutlakan tajalli. Namun dalam proses takwini pluralitas, wujud pluralitas-pluralitas secara terperinci didahului akan ketiadaan realitas ( ‘adam tsubut ) diri mereka yang memberikan identitas akan tajalli ontologis.
Penciptaan dan Peniadaan dalam Sistem Tajalli    
Setelah kami menjelaskan inti sistem manifestasi dalam menganalisa alam pluralitas, sekarang kita sampai pada pembahasan selanjutnya bahwa ketika sistem ini menjelaskan bahwa segala sesuatu merupakan penampakan dari Al-Haqq – dalam artian bahwa Al-Haqq itu sendiri yang hadir dalam inti tiap sesuatu  dalam wadah limitasi dikarenakan prinsip kemutlakannya – lalu bagaimana menjelaskan penciptaan dan peniadaan sesuatu ?
Pembahasan sebelumnya dalam makalah ini menjelaskan bahwa berdasarkan pemikiran Urafa, tiap sesuatu memiliki dua tahapan ; immanen dan manifestasi.
Tahapan immanen menjelaskan bahwa seluruh hakekat-hakekat berada dalam zat secara peleburan ( melebur dalam zat ( indimaji ) ). Penakbiran ‘ wujud ‘ dalam zat juga semata-mata dikarenakan sempitnya bahasa.  Pada hakekatnya apa yang ada dalam zat adalah aspek-aspek kumulatif yang didalamnya antara satu dengan lainnya adalah identik. Seperti antara ‘ ilmu ‘ dan ‘ kudrat ‘ satu sama lain adalah identik dan sama. Setelah hakekat-hakekat  yang terlebur ini terperinci berkat persoalan tajalli, maka hakekat-hakekat tersebut keluar dari immanen dan kemudian nampak dan terperinci di alam syahadah. Proses seperti ini dalam Irfan Teoritis disebut dengan penciptaan (ijad).
Proses peniadaan kebalikan dari yang dijelaskan diatas. Dalam artian bahwa dalam busar naik (qaus shu’ud) takwini yang terperinci secara detail terangkat dan seluruh limitasi-limitasi kembali ke prinsip kemutlakan dirinya. Limitasi-limitasi dari dasar penampakannya kembali ke dasar intinya yang tersembunyi dimana hal tersebut akan membentuk proses ‘ peniadaan ‘;
" ایجاده للاشیاء ، اختفا ؤه فیها مع اظهاره ایَاها ،واعدامه لها فی القیامة الکبری ظهوره بوحدته وقهره ایَاها بأزالة تعیَناتها وسماتها وجعلها متلاشیة کما قال : لمن الملک الیوم لله الواحد القهار ، و کل شیء هالک إلاَوجهه ، و فی الصغری [1]، تحولَه من عالم الشهادة الی عالم الغیب . [2]
Penciptaan dalam Dirinya
Penciptaan sesuatu-sesuatu tidak akan bertambah kepada kemutlakan tak terhingga dengan kemutlakan maqsami disebabkan karena – sebagaimana yang telah kami sebelumnya – penciptaan sesuatu bukanlah sesuatu yang lain terkecuali penampakan-penampakan secara rinci dan limitasi kesempurnaan-kesempurnaan mutlak. Oleh karena itu Mutlak bertajalli pada inti yang terdalam dalam jiwa limitasi, bukan Mutlak bertajalli pada sudut tertentu dan limitasi bertajalli pada sudut lain sehingga terjadi perbedaan diantara mereka.
Oleh karena itu dengan tajalli dan penciptaan, Mutlak akan menampakkan dirinya dalam bentuk limitasi, bukan sesuatu yang ditambahkan padanya.[3] Dalam kata lain penciptaan dan penampakan adalah sesuatu dalam Mutlak, bukan sesuatu yang berbeda dengannya dan atau diluar darinya :
یا خالق الاشیاء فی نفسه     أنت لما تخلقه جامع
تخلق مالا ینتهی کونه ف   یک ،فأنت الضیق الواسع[4]
Unitas, Pluralitas, Urafa 
Sebelumnya dijelaskan bahwa alam adalah penampakan (mazhar) Tuhan. Oleh karena itu setiap sesuatu adalah Haqq yang terlimitasi dalam inti sesuatu tersebut.[5] Maksudnya bahwa dari sisi limitasi maka dirinya adalah makhluk, dan dari sisi Haqq maka penampakan dan jelmaan ini adalah Haqq. Sekarang, jika seseorang hanya melihat sisi identitas makhluknya semata maka dia belum melewati seluruh hakekat yang ada. Begitupun sebaliknya, jika yang dia saksikan hanya idenditas Haqq semata maka dia akan mengingkari pluralitas, dan olehnya pula maka dia belum memahami dua sisi dari alam pluralitas. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan pada posisinya masing-masing, baik identitas Haqqnya maupun identitas makhluk yang majemuk. Maksudnya mereka tidak pernah menganggap keabsurditasan (nothing) pluralitas alam, namun pada saat yang sama mereka juga meyakini bahwa pluralitas tersebut wujudnya tidak independen, akan tetapi mereka adalah Haqq yang terlimitasi.
Dalam kata lain, jika seseorang belum memulai menjalani perjalanan suluk Irfani, maka yang dia lihat hanya pluralitas semata dan tentunya limitasi-limitasi yang dia saksikan tidak bermuara pada unitas (wahdat) dan kembali kepada kemutlakan. Jika seseorang hanya bisa sampai pada safar (perjalanan) pertama dari keempat safar Irfani yang ada, maka yang dia saksikan hanya unitas semata dan akan mengingkari pluralitas. Kedua golongan diatas sama-sama tidak memiliki kesempurnaan dalam mengarungi Haqq, dan letak titik perbedaannya bahwa pada golongan pertama belum memulai suluk Irfani, sedangkan yang kedua baru sampai dipertengahan jalan. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan Haqq dan khalq (makhluk) pada tempatnya masing-masing. Dia menempatkan Zat Haqq bebas dari segala limitasi, termasuk limitasi kemutlakan, pada saat yang sama meyakini pluralitas sebagai tajalli dan kehadiran mutlak dalam inti limitasi-limitasi :
" انظرایّهاالسالک طریق الحق ماذاتری من الوحدة والکثرة جمعاً و فرادی ، فان کنت تری الوحدة فقط ، فانت مع الحق  وحده لا رتفاع الاثنینیة ، وإن کنت تری الکثرة فقط  ، فانت مع الخلق وحده ؛ و ان کنت تری الوحد ة فی الکثرة محتجبة و الکثرة فی الوحدة مستهلکةً ، فقد جمعت بین الکمالین وفزت بمقام الحسنین " [6]
" کان الاوّل حال اهل الکمال المحبوبین المعتنی بهم الذین لایحجبهم جلال الحق عن جماله، کالمحجوبین بالخلق عن الحق ؛ ولاجماله عن جلاله ، کالمحجوبین بالحق عن الخلق وهم المهیّمون الباقون فی الجمع المطلق ..."
Kemudian, dalam melanjutkan pembahasan selanjutnya, mahjub disisi Haqq :
" شهود الحق فی عین الخلق والخلق فی عین الحق جمعاً ، من غیراحتجاب بأحدهما عن الآخر"[7]
Tajalli dan Nama ( ism )
Nama (ism) dalam bahasa Irfan adalah Zat yang disertai dengan sifat tertentu. Jelas bahwa setiap nama tertentu dibatasi dengan nama tertentu lainnya. Oleh karena itu ketika nama dalam konteks irfan dalam hal ini Mutlak yang terlimitasi, atau dalam kata lain ketika dari maqam Mutlak bertajalli dalam wadah limitasi-limitasi, maka tajalli adalah keluarnya zat dari kemutlakannya dan turun pada maqam llimitasi-limitasi, kemudian sebagai konsekwensinya penampakan (zuhur) Zat dalam inti nama tertentu. Dengan memperhatikan secara seksama pembahasan sebelumnya, kita dapat memahami keselarasan antara ‘ tajalli ‘ dan ‘ ism ‘ yang merupakan hakekat nama-nama tertentu, dimana dalam tahapan sebelumnya entitas tersebut melebur dalam zat dan kemudian muncul secara terperinci serta membentuk nama-nama secara terperinci.
Berdasarkan analisa yang diberikan dalam sistem tajalli akan nama, terlihat dengan jelas bahwa terincinya yang telah melebur sebelumnya serta terjadinya perincian nama-nama tertentu menjelaskan sebuah proses yang memiliki dua aspek, aspek pertama berkaitan dengan Zat dan aspek lainnya berkaitan dengan nama tertentu. Oleh karena itu disini terdapat sebuah hakekat relasi (idhafah) dan dalam konteks ini Mulla Sadra menyebutnya dengan relasi iluminatif (idhafah isyraqiyah), bukan relasi kategorik (idhafah maquli). Maksudnya bahwa sebelum relasi tersebut eksis maka namapun tidak ada dan bahkan dengan adanya relasi tersebut maka nama mendapatkan bentuknya.[8] Terjadinya kontra diantara relasi-relasi iluminatif tersebut mengakibatkan adanya bilangan dan pluralitas. Melalui analisa yang jeli akan melihat pluralitas tersebut sebagai relasi iluminasi Haqq, dia tidak akan melihat hakekat pluralitas tersebut berhadap-hadapan dengan Zat. Konsekwensi pandangan seperti ini membuahkan hasil yang banyak dalam dimensi akhlak. Mengoyak limitasi-limitasi partikular dan sampai kepada sumber yang agung dan hakekat mutlak sebagai poin penting yang jelas yang memancar dalam puncak pandangan seorang salik. Walaupun dia menyadari bahwa dirinya tidak akan mungkin sampai pada inti hakekat.[9] Dari hal ini kita bisa memaknai Tauhid Hakiki sebagai ‘ pengoyakan limitasi-limitasi ‘ :
‘ sebuah tanda bahwa dirimu berasal dari pondok tauhid (kharabat) ‘
‘ bahwa tauhid adalah pengoyakan limitasi-limitasi (asqath al-idhafah) ‘
Lahiji dalam mengomentari bait diatas, pertama-tama menafsirkan ‘ kharabat ‘ kepada maqam fana pluralitas. Lahiji mengatakan bahwa :
‘ Zat Haqq adalah segala sesuatu itu sendiri dari sisi tajalli dan penampakannya dalam aspek-aspek eksternal (mazahir) ... dan dari sisi bahwa Zat Haqq adalah tajalli dan penampakannya dalam bentuk diri-Nya, maka ada relasi wujud pada diri-Nya. Oleh karena itu kapan saja relasi-relasi tersebut dimusnahkan, atau meniadakan setiap gambaran sesuatu dalam cermin dalam batasan dirinya sehingga tidak ada yang dia saksikan terkecuali Haqq itu sendiri, maka dia telah menemukan makna hakekat tauhid yaitu pengoyakan limitasi-limitasi ;
‘cahaya-cahaya keindahan-Mu memancar pada setiap kesempurnaan’
‘pada kegelapan pun hingga alam menjadi subur’
‘ Engkau adalah segala sesuatu yang ada dibalik pakaian’
‘wujud itu terkadang jatuh disini dan disitu’[10]
Ism ( Name ) dan Musamma ( The Named ) ; keidentikan dan difrensiasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tajalli dan keluarnya Zat dari maqam kemutlakannya adalah justifikasi eksistensi yang terlimitasi, dimana limitasi adalah ism dan Zat adalah musamma. Dalam pembahasan yang berkaitan dengan nama ( ism ) yang telah dibahas sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan nama adalah hakekat eksternal dan realitas, dan kata (lafaz) merupakan ekspresi dari ismul-ism. Oleh karena itu musamma dalam bahasa irfan bukanlah musamma yang sebatas kata semata, bahkan Zat Mutlak Haqq itu sendiri yang bertajalli dengan menerima relasi iluminasi dalam bentuk nama (ism). Oleh karena itu selama Zat hadir dalam inti pluralitas dengan kehadiran eksistensi maka ism dan musamma identik satu sama lain dan dari sisi bahwa Zat tidak dibatasi pada manifestasi tertentu maka ism dan musamma satu sama lain berbeda :
" الاسم ، المسمّی من حیث الذات والاسم غیرالمسمّی من حیث مایختص به من المعنی الذی سیق له "[11]
Pembahasan ini juga biasanya dibahas dalam perspektif ‘ penyatuan antara eksoterik (zahir) dan manifestasi (mazhar) ‘, akan tetapi dikarenakan pembahasan tersebut diperlukan pendahuluan yang cukup panjang, maka kami tidak akan membahas perspektif tersebut lebih lanjut.[12]
Analogi-Analogi Tajalli
Untuk memahami tajalli dalam konteks ‘ ithlaq maqsami Zat ‘, dalam irfan nazari biasanya menggunakan beberapa analogi dimana masing-masing dari analogi tersebut memberikan kata kunci pada batasannya sendiri. Dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan secara ringkas sebagian dari analogi tersebut ;
Cermin
Jika hakekat yang satu berada dihadapan beberapa cermin, hakekat yang satu tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda.[13] Identitas yang ada dalam cermin adalah identitas ‘ the others ‘ dan tidak independen. Namun setiap cermin dalam batasan wujudnya sendiri merupakan jelmaan dari hakekat yang satu tersebut.
" فعالم الطبیعة صورفی مرآة واحد ، لابل صورة واحدة فی مرایا متعددة "[14]
Analogi ini banyak kita temukan dalam buku-buku irfan[15]. Sebagian analogi ini dituangkan dalam bentuk syair :
‘ketika cinta menampakkan dirinya, terbakarlah alam’
‘cukuplah engkau adalah cermin-cermin dari sesuatu-sesuatu’
‘dari setiap cermin, engkau akan bertemu dengan diri-Nya’
‘kemana saja matamu memandang, engkau akan melihat-Nya’[16]
" ومالوجه الاّواحد غیرانّه               اذاانت عددت المرایا تعدداً "[17]
Jiwa
Analogi lainnya dalam memudahkan kita memahami ‘ tajalli dalam konteks ithlaq maqsami ‘ adalah analogi jiwa. Analogi ini telah kami isyaratkan sebelumnya, namun dalam kesempatan kali ini pembahasannya lebih pada aspek tajalli jiwa pada berbagai fakultas jiwa.
Jiwa manusia adalah suatu zat yang memiliki potensi mendengar, melihat, dst, dan tentunya jiwa itu sendiri yang hadir dalam inti pendengaran, penglihatan, dst. Ketika jiwa secara terperinci belum turun pada inti potensi tersebut, jiwa tentunya memiliki seluruh potensi tersebut tapi belum secara terperinci ( tafshil ), dan ketika muncul secara terperinci maka potensi tersebut satu sama lain saling terpisah. Pendengaran, penglihatan, dst, bukan sesuatu yang terpisah dari jiwa. Akan tetapi jiwa itu sendiri yang menampakkan dirinya dalam bentuk pendengaran, penglihatan :
" فذکرانّ هویّته هی عین الجوارح التی هی عین العبد . فالهویّة واحدة والجوارح المختلفة "[18]
Bayangan[19]
Bayangan adalah sebuah hakekat yang tidak terpisah dari sang pemilik bayangan. Bahkan dalam zat bayangan tersirat makna ‘ saya adalah bayangan dari seseorang ‘. Adanya perbedaan cahaya yang memancar pada sang pemilik bayangan mengakibatkan munculnya bayangan yang beragam :
" فمااوجد الحق ، الظّلال ... الاّدلائل لک علیک و علیه لتعرف من أنت ومانسبتک الیه ومانسبته الیک "[20]
Bayangan, bagi dirinya sama sekali tidak memiliki hukum, akan tetapi hukum-hukum sang pemilik bayangan menjelma dalam inti bayangan. Mulla Ali Nuri menukil analogi tersebut dari Imam Baqir as :
" الم ترالی ظلّک ، شیئ ولیس بشیئ "[21]
Ruh dan Jasad
Berdasarkan penjelasan Mulla Shadra tentang jiwa, tubuh manusia merupakan jelmaan dari ruhnya. Gagasan tersebut digunakan dalam irfan sebagai analogi dalam menjelaskan pembahasan tajalli :
" فأنت له (حق) کالصورة الجسمیة لک ، وهولک کالروح المدبّرلصورة جسدک "[22]
Shurah (bentuk) bermakna mazhar (manifestasi). Qaishari menegaskan bahwa sebagaimana tubuh anda merupakan manifestasi anda (jelmaan dari ruh anda), maka anda pun merupakan manifestasi dari eksistensi Haqq.[23] Berdasarkan penafsiran ini, hubungan antara ruh dan tubuh adalah bahwa tubuh adalah ruh itu sendiri yang ada dalam inti tubuh dan tentunya hal ini mengingkari keindependenan tubuh.
Analogi diatas dijelaskan dalam syarah Golsyaniroz dalam bait berikut ini :
‘Arif adalah mereka yang berasal dari inti segala entitas’
‘yang dia saksikan hanya Haqq, ketika dia melihat entitas’
‘Haqq seperti jiwa, sedangkan alam seperti tubuhmu’
‘semuanya jelas seperti teluk di alam ini’[24]
Ombak dan Lautan
Ombak adalah lautan itu sendiri yang muncul dalam bentuknya yang lain :
“ pluralitas dan perbedaan bentuk ombak-ombak dan gelembung-gelembung tidak menjadikan lautan mejadi plural ...
" فالبحربحرعلی ماکان فی قدم        انّ الحوادث امواج وأنهار
لایحجبنک اشکال یشاکلها             عمن تشکل فیها فهی أستار”[25]
Cahaya dan Kaca-Kaca Berwarna
‘ aku dan engkau, secara eksistensi adalah aksiden zati ‘
‘ kita semua adalah pancaran rincian-rincian eksistensi ‘
Cahaya yang memancar pada kaca-kaca yang berwarna tentunya akan terpecah-pecah dan beraneka ragam , akan tetapi cahaya kuning adalah cahaya itu sendiri yang berwarna kuning yang tercerai dari warna biru. Cahaya murni memiliki seluruh warna tersebut dalam dirinya secara ‘ indimaji ‘ (melebur) dan hakekat warna-warna yang beragam adalah cahaya murni itu sendiri yang muncul dalam warna tertentu :
‘ entitas-entitas adalah kaca-kaca yang beragam ‘ ‘yang memancar padanya wujud matahari ‘
‘ setiap kaca yang merah, kuning, dan abu-abu ‘ ‘dalam matahari pun, semua warna itu ada‘[26]
Universal dan Partikular
Tabiat (nature) dengan makna sebuah hakekat yang meliputi dingin, panas, lembab, kering adalah bukan hanya sekedar sebuah hakekat semata yang meliputi keempat hal tersebut. Panas adalah tabiat itu sendiri yang memancar dalam wadah tertentu, begitu pula dengan tabiat-tabiat lainnya :
" وماالّذی ظهر غیرها (طبیعت) ؟ وماهی عین ماظهرلاختلاف الصورباالحکم علیها ، فهذاباردیابس وهذاحاریابس فجمع بالیبس ، وأبان بغیرذلک "[27]
Analogi-analogi lain dalam menjelaskan tajalli dibawah naungan pembahasan ithlaq maqsami seperti ‘api dan korek api’,[28] pancaran akal,[29] angka,[30] suara dan pemilik suara,[31] wol dan air,[32] namun demi memperhatikan keluasan pembahasan maka kami tidak akan membahas lebih jauh analogi-analogi tersebut.

Irfan, Tasawwuf, dan Filsafat


Abstrak
 Makalah ini bermaksud untuk menjelaskan pembahasan irfan secara garis besar dan diperuntukkan bagi mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan pembahasan irfan sebelumnya. Dalam makalah ini, selain menjelaskan beberapa tema-tema penting dalam irfan tapi juga berusaha menjelaskan beberapa istilah irfan. Fokus makalah ini menjelaskan bangunan pemikiran irfan Ibn Arabi sebagai peletak pertama bangunan dasar irfan teori.
Kata kunci ; irfan, wujud, wahdatul wujud, zat, Al-Haq, ta’ayyun awwal, ta’ayyun tsani, tajalli, insan kamil.
Muqaddimah
Sebelum kami menjelaskan lebih jauh, ada baiknya jika kita mengetahui letak persamaan dan perbedaan antara istilah irfan dan tasawwuf. Mungkin ada yang membedakan kedua istilah tersebut berdasarkan mazhab yang ada, bahwa irfan mewakili kaum syi’ah sedangkan tasawwuf mewakili kaum sunni. Mungkin juga ada yang membagi dalam terma lain bahwa irfan dibangun berdasarkan terma-terma filosofis sedangkan tasawwuf non filosofis.
Diantara teori pemilahan irfan dan tasawwuf yang ada, kami memilih pemilahan yang ditawarkan oleh Murtadha Muthahhari bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara irfan dan tasawwuf. Irfan adalah tasawwuf dan tasawwuf adalah irfan itu sendiri. Perbedaan ini muncul dari sudut pandang seseorang terhadap seorang Sufi. Jika yang kita saksikan pada seorang Sufi adalah sistem alam pemikirannya maka pada hakekatnya kita sedang menyaksikan aspek irfani dari Sufi tersebut, namun jika yang kita saksikan pada seorang Sufi aspek sosialnya – seperti bagaimana prilaku kesehariannya, cara berpakaian, tingkah laku, dst – maka yang sedang kita saksikan pada Sufi tersebut adalah aspek tasawwufnya.[1]
Berdasarkan hal diatas, pada diri seorang Sufi terdapat dua aspek sekaligus, pertama adalah sisi irfannya dan yang kedua adalah sisi tasawwufnya. Sisi irfan menjelaskan aspek pandangan dunia seorang Sufi, menjelaskan tentang bagaimana pemikiran dia tentang wahdatul wujud, konsep tajalli dan tentang manusia yaitu insan kamil. Sisi tasawwuf menjelaskan aspek sair suluknya yang terbingkai dalam prilaku kesehariannya. Pembahasan kita kali ini menjelaskan tentang irfan teori yaitu menjelaskan aspek pemikiran dari seorang sufi. Oleh karena itu kata yang tepat yang kita gunakan saat ini adalah irfan.
Dari hal diatas kita bisa melihat pembagian besar dalam irfan, yaitu irfan teori dan irfan amali (tasawwuf). Irfan teori adalah sebuah penafsiran akan eksistensi – dalam hal ini wahdatul wujud – beserta konsekwensinya yang diperoleh melalui syuhud dan mukasyafah. Sedangkan irfan amali (tasawwuf) menjelaskan proses yang harus dijalani manusia sehingga sampai pada puncak tauhid (wahdatul wujud). Dalam irfan amali seorang Sufi senantiasa berusaha menjalani ‘takhallaqu bi akhlaqillah’ [berakhlak  dengan akhlak-akhlak Ilahiyah]. Segala perbuatannya dijalani dalam ruang lingkup syariah dan melalui syariah (zahir) tersebut masuk kedalam inti hakekat (bathin). Tapi disini harus dipahami bahwa terminologi akhlak berbeda dengan terminologi akhlak yang dipahami oleh seorang sufi. Akhlak yang biasanya dipahami oleh kaum awam adalah bermakna memperindah diri dengan sifat-sifat hasanah. Seperti bagaimana seseorang memperindah diri dengan sifat malu, sifat dermawan, rendah diri, dst. Sedangkan akhlak dalam terminologi irfan tidak bermakna memperindah diri, akan tetapi bermakna perjalanan manusia dari satu titik terendah menuju titik yang paling puncak yaitu wahdatul wujud yang mereka pahami sebagai puncak ketauhidan. Akhlak dalam irfan adalah gerak dari satu stasiun menuju stasiun lainnya, dari gerak kesadaran, menuju taubat hingga sampai pada puncak tauhid yaitu wahdatul wujud. Akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan selainnya bersifat statis.
Secara garis besar pembahasan irfan membahas dua tema penting yang menjadi poros seluruh pembahasan irfan. Kedua persoalan tersebut adalah tauhid dan muwahhid. Yang dimaksud dengan tauhid oleh kaum Sufi adalah wahdatul wujud. Para Sufi meyakini bahwa wujud hanya layak dinisbahkan kepada Al-Haqq. Selain Al-Haqq hanyalah nama-nama-Nya dan manifestasi-Nya saja yang secara esensi nama-nama tersebut tidak memiliki wujud yang independen. Konsekwensi dari prinsip wahdatul wujud ini meniscayakan penafian wujud selain Al-Haqq dan hal ini akan semakin menyulitkan ketika menjelaskan relasi antara Al-Haqq dan selain Haqq.
Relasi antara Al-Haqq dan selain Al-Haqq dalam irfan diselesaikan dengan prinsip tajalli. Tajalli hanyalah bayangan diri-Nya yang beraneka ragam. Keaneka ragaman ini bergantung pada bentuk-bentuk cermin yang ada. Cermin menampakkan wajah-Nya bergantung pada potensi dan bentuk yang ada pada cermin. Yang menarik dalam terminologi ini bahwa kita bisa menemukan banyak teks-teks dalam hadits dan qur’an yang menggunakan terminologi bayangan tersebut dengan istilah tanda. Bahkan penamaan didalam surah pun dijelaskan dengan istilah ayat (tanda). Karena itu dalam pandangan dunia irfan segala sesuatu selain Al-Haqq adalah tanda-tanda tentang diri-Nya (kemana pun wajahmu menghadap maka engkau akan menemukan wajah-Nya. Al-Baqarah; 115).
Pembahasan kedua dalam irfan menjelaskan tentang konsep insan kamil (muwahhid = seseorang yang mampu menampung hakekat wahdatul wujud). Insan kamil dalam irfan merupakan penampakan Al-Haqq yang paling sempurna. Cermin yang paling sempurna diantara cermin yang ada adalah insan kamil. Konsep ini sejalan dengan apa yang ada dalam hadits ‘khalaqa adam ‘ala shuratih’ bahwa Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan bentuk-Nya, atau dalam hadits lain dijelaskan ‘laulak lama khalaqtul aflak’ (jika bukan engkau wahai Muhammad maka aku tidak akan menciptakan langit dan bumi). Berdasarkan hal ini insan kamil merupakan batin atau ruh alam semesta, sedangkan alam semesta adalah badan atau tubuh insan kamil.
Perbedaan Irfan dengan Filsafat
Irfan sebagaimana filsafat berusaha  menjelaskan tiga hal utama ; Tuhan, Alam, dan manusia. Akan tetapi masing-masing menjelaskan sesuai dengan pondasi bangunan pemikirannya. Berikut ini beberapa perbedaan tersebut ;
  1. Metode
Metode yang digunakan dalam filsafat dalam menjelaskan hakekat yaitu melalui argumentasi. Filsafat  berangkat dalam menyelusuri hakekat melalui akalnya. Sedangkan dalam irfan metode yang digunakan adalah kasyf dan syuhud melalui qalbunya. Seluruh eksistensi dirinya berangkat menuju Tuhan. Dalam filsafat dengan ilmu hushuli, sedangkan irfan dengan ilmu hudhuri.
  1. Objek Pembahasan
Objek pembahasan yang dibahas dalam filsafat adalah eksistensi qua eksistensi ‘wujud bima hua wujud’ atau wujud sebagaimana wujud itu sendiri. Maksudnya bahwa dalam filsafat, pluralitas eksistensi masih diakui walaupun wujud pada hakekatnya hanya satu (annal wujud fi wahdatihi ‘ainul katsrah wal katsrah ‘ainul wahddah = bahwa wujud dalam kesatuannya adalah pluralitas  dan pluralitas adalah kesatuannya itu sendiri). Sedangkan dalam irfan objek yang dibahas adalah Al-Haqq dimana Al-Haqq adalah wujud itu sendiri dan wujud adalah Al-Haqq. Irfan  menafikan adanya pluralitas dalam wujud. Al-wujud hanya dinisbahkan kepada Tuhan dan selain Tuhan adalah fatamorgana.
  1. Hirarki Alam
Filsafat menjelaskan bahwa alam ini adalah akibat dari Tuhan dimana Tuhan sebagai sebab sedangkan alam ini sebagai akibatnya. Filsafat dalam menjelaskan hirarki alam eksistensi masih menggunakan prinsip kausalitas dan dalam prinsip kausalitas ini meniscayakan adanya pluralitas wujud, paling minimal ada dua wujud. Wujud sebab yakni Tuhan dan wujud akibat yaitu selain Tuhan. Tapi dalam irfan hirarki alam semesta dijelaskan dengan pendekatan asmaulhusna, bahwa selain Tuhan hanyalah penampakan dari nama-namanya. Oleh karena itu dalam irfan wujud tidak memiliki gradasi akan tetapi yang bergradasi adalah nama-nama Tuhan. Dalam irfan segala persoalan diselesaikan dengan pendekatan asmaulhusna.
Dari perbedaan hal diatas kita bisa menyaksikan adanya perbedaan pandangan dunia yang cukup signifikan. Perbedaaan ini berasal dari perbedaan metodologi yang kemudian mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap segala sesuatu.
Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa hirarki alam dalam irfan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan bentuk hirarki alam dalam fakultas filsafat. Berikut ini adalah hirarki alam dalam irfan ;
Zat Al-Haqq (maqam ghaib al-ghuyub)
Ibn Arabi meyakini bahwa zat Al-Haqq adalah maqam yang tak tersentuh. Tidak satupun yang bisa sampai kepada maqam zat. Hal ini ditegaskan dalam do’a Rasulullah saw ; ma ‘araftuka haqqa ma’rifatik wa ma’abadtuka haqqa ‘ibadatik (aku tidak mengetahui diri-Mu sebagaimana hakekat diri-Mu dan aku tidak mungkin menyembah-Mu sebagaimana hakekat ibadah itu sendiri). Hal ini menjelaskan bahwa baik akal tidak mungkin sampai kepada hakekat diri-Nya maupun syuhud tidak  mungkin sampai dalam menyaksikan diri-Nya. Oleh karena itu maqam  zat adalah maqam penafian atas segala identias diri-Nya. Dia adalah tanpa nama, tanpa definisi, tanpa ikatan, dan bahkan menafikan ikatan tanpa … itu sendiri. Karena itu dalam irfan maqam  zat bukan objek pembahasan. Nah sekarang, hakekat Al-Haqq yang tersembunyi tidak akan diketahui tanpa dijelaskan oleh diri-Nya sendiri. Kuntu kanzan makhfiya fa ahbabtu anu’raf, fakhalaqtul khalq likai u’raf ; Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku cinta untuk dikenal, maka aku mencipta agar aku dikenal. Cinta disini menunjukkan maqam zat Al-Haqq. Hal ini menunjukkan bahwa ketika zat ingin menyaksikan kesempurnaannya sendiri dalam maqam  zatnya, untuk menyaksikan kesempurnaan tersebut bisa melalui dua cara. Cara pertama adalah tanpa perantara apapun dan yang kedua adalah melalui perantara sesuatu dan sebaik-baiknya perantara adalah cermin karena cermin lah yang bisa menunjukkan segala hakekat yang ada sebagaimana adanya. Menyaksikan keindahan diri melalui cermin jauh lebih indah dari pada menyaksikan diri tanpa cermin, dan karena indah dan keindahan adalah merupakan hakekat diri-Nya maka terciptalah cermin tersebut, dimana cermin dalam istilah irfan adalah tajalli. Oleh karena itu tajalli pertama disebut dengan maqam Ahadiyah yang sangat identik dengan Al-Haqq. Para Sufi menyebut Ahadiyah ini dengan Hakekah Muhammadiyah.