Showing posts with label Filsafat Demokrasi. Show all posts
Showing posts with label Filsafat Demokrasi. Show all posts

Monday, February 9, 2015

Demokrasi itu apa?

Jika salah satu diantara kita ditanya, 'apakah anda menerima demokrasi atau tidak?' Sebagian besar dari kita tanpa ragu akan menjawabnya, 'tentu, kita menerimanya'.

Jika pertanyaannya kita lanjutkan kembali, 'apa sebenarnya yang anda maksud dengan demokrasi?'
Kira-kira kita akan mendefinisikannya, 'mereka yang meraih kekuasaan melalui suara terbanyak'. Definisi ini cukup sederhana dan maksudnya jelas.

Namun jika kita kembali bertanya, 'siapakah mereka yang disebut dengan masyarakat dan siapakah yang memberhak memberikan suara? Apakah seluruh elemen masyarakat memiliki hak suara yang sama ? Darimana kita tahu bahwa sebagian besar dari masyarakat telah memilih dengan baik ? Siapakah diantara mereka yang mesti kita pilih ? Mengapa harus mereka ? Jika sebagian besar pemilih bukan asli pribumi, apa yang mesti dilakukan ? Mengapa masyarakat yang dimaksud dibatasi dengan masyarakat pada negara tersebut saja ? Apakah orang-orang non-pribumi berhak hidup di negeri ini dan juga memiliki hak suara ? Apakah hak suara masyarakat dipahami sebagai sebuah hak individu atau maslahat saja ataukah sesuatu yang plain?'

Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya menunjukkan bahwa konsep demokrasi sejak awal adalah konsep yang ambigu dan tidak jelas.

Demokrasi adalah pemerintahan
Demos, namun demos itu apa ? Demos bermakna keyakinan terhadap nilai-nilai individu manusia dan juga menjunjung tinggi keputusannya baik itu bersifat privasi maupun sosial. Keyakinan terhadap kekuasaan demos berarti memberikan hak sepenuhnya dalam membuat undang-undang, memisahkannya dari bingkai syariat serta memisahkannya dari  kekuasaan mutlak Tuhan sepenuhnya.

Demos bermakna sejumlah massa dari orang-orang. Kata massa berbeda dengan kumpulan. Karena kumpulan bermakna terdiri dari orang-orang yang saling bekerjasama dan saling berinteraksi sehingga saling mempengaruhi. Oleh karenanya dari sekumpulan ini akan melahirkan satu spirit atau ruh tertentu.

Namun massa terbentuk dari orang-orang yang dengan norma-norma, nilai-nilai etika, serta keyakinan-keyakinan internal yang dimilikinya akan mengatur prilaku dan tindakan-tindakan mereka. Perbuatan mereka akan dikontrol sehingga faktor-faktor eksternal tak dapat menciptakan bentuk tindakan apapun di dalam massa tersebut.

Namun setelah priode modernitas,  manusia menjelma dalam sebuah bentuk atomistik dan dipahami sebagai massa sehingga manusia tak lagi memiliki realitas esensi dan atau kualitas. Manusia pada saat itu hanya sejajar dengan kuantitas-kuantitas. Tak ada lagi tanggungjawab dan pesan-pesan moral kemanusiaan. Massa ialah masyarakat yang dipenuhi dengan bahan mentah yang dengannya massa tersebut terbangun. Dan dikelilingi dengan reklame dan propaganda. Karl Marx menyebut masyarakat modern seperti itu dengan 'adonan sosial' yang dapat dibentuk sekehendak kita. Disisi lain semakin kuat kekuatan individu yang disertai dengan menurunnya kekuatan kelompok, sistem birokratik dan propaganda sosial akan semakin meningkat. Dalam kata lain, semakin lemah adonan, akan semakin mudah tangan mencengkramnya.

Padahal jika potensi kekuatan agung manusia tidak dikontrol atau dipertimbangkan dengan pengetahuan transenden seperti akal, intuisi, dan agama maka akan terjadi kekisruhan, sebagaimana yang terlihat dalam perang dunia dan apa yang terjadi dalam dunia posmodernite. Sebagian ilmuan barat pun mengakui bahwa terjadinya perang dunia dikarenakan persoalan itu. Mereka menyebutnya sebagai masyarakat massa.

Fenomena ini menjadi perhatian sebagian pemikir eksistensialisme seperti Heidegger. Manusia dalam pengertian demos ialah sistem pengaktifan kebutuhan-kebutuhan material dan psikis yang didasarkan pada kecendrungan nafsani. Demokrasi salah satu tahapan aktualitas realitas eksternal kecendrungan nafsani manusia. Demi mengayomi segala kebutuhan sebagian individu tertentu, dibentuklah dasar-dasar demokrasi, dalam setiap priode dan juga dalam beragam bentuk pemikiran, Sebagaimana yang telah didefinisikan oleh liberalisme klasik mengenai demokrasi ialah kalangan elitis dan menengah yang mampu membayar pajak.

Karl Marx menganggap ploretar nasionalis, kalangan feminis, fasisme, dan ras ariya sebagai jelmaan dari demos. Dan bahkan embrio demokrasi yaitu pada masa  yunani kuno menganggap laki-laki merdeka atena (lawan dari perempuan-perempuan, budak-budak, dan para transmigran) sebagai jelmaan demos. Aspek yang membedakan antara demokrasi dengan bentuk-bentuk pemerintahan lainnya, bukan pada kesamaan hak suara dan kebebasan untuk semua, karena sebagaimana yang kami sampaikan, fasisme salah bentuk dari demokrasi. Namun yang membedakannya dapat terlihat pada tahap awal yaitu hak legislator yang terpisah dari Tuhan dan juga meletakkan kecendrungan nafsani sebagai hal yang mendasar, bukan keinginan-keinginan Ilahiyah. Karena itu dalam pandangan ini, apakah diasumsikan bahwa ada alam immateri, atau jika pun diyakini keberadaannya, tidak memiliki peran yang penting dalam mengatur alam ini.