Thursday, December 10, 2015

Epistemologi Modern; Analisa terhadap Pengetahuan

Beragam pendekatan dalam menganalisis esensi pengetahuan. Misalnya menganalisa pengetahuan dari sisi fungsinya atau menganalisa pengetahuan dari aspek pengetahuan sebagai prihal yang bersifat partikukar serta menganalisa pengetahuan dari aspek kaitannya dengan persoalan proposisional.

Pembahasan kita terkait dengan pengetahuan dari sisi proposisional bahwa, maksud dari pengetahuan disini adalah terkait dengan relasi dari pengetahuan tersebut yaitu proposisi. Maksudnya seseorang memahami atas suatu proposisi. Oleh karena itu definisi pengetahuan disini adalah analisa atas suatu proposisi.
Misalnya kita mengetahui proposisi, "Jakarta adalah ibukota Indonesia" atau proposisi lainnya "air tersusun dari oksigen dan hidrogen".

Sebelum menjelaskan lebih jauh, sebaiknya kita membedakan antara dua bentuk pengetahuan; "mengetahui bahwa" dan "mengetahui secara deskriptif (pengetahuan deskriptif). Jenis pengetahuan "mengetahui bahwa" adalah suatu bentuk pengetahuan terhadap suatu proposisi melalui perantara "bahwa". Kata "bahwa" (that) menjadi perantara antara kata "tahu" dengan proposisi tertentu, misalnya "prakiraan cuaca tahu bahwa udara saat ini berawan". Adapun pengetahuan deskriptif adalah suatu bentuk pengetahuan yang menganalisa kandungan dari suatu proposisi dengan menganalisa antara kata "tahu" dengan kandungan yang ada pada proposisi tersebut dan juga struktur yang berperan dalam proposisi tersebut, misalnya "saya tahu meja ini berwarna coklat".

Jauh sebelumnya Plato memaparkan persoalan epistemologi dengan menganalisa sebelumnya atas standar pengetahuan. Dan persoalan ini dilanjutkan oleh para peneliti epistemologi modern dengan membatasinya pada persoalan proposisi atau analisa atas unsur-unsur proposisi. Misalnya proposisi, "suatu ini adalah seperti ini atau seperti itu". Berdasarkan hal ini pengetahuan didefinisikan dengan "true justified belief" (benar, justifikasi, dan percaya). Ketiga hal tersebut adalah unsur utama dalam pengetahuan dan sekaligus menjadi syarat utama terbentuknya pengetahuan. Masing-masing dari unsur tersebut mesti dijelaskan batasannya agar kita dapat memahami ketiga unsur tersebut sebagai syarat utama dalam pengetahuan.

a) Percaya

Istilah percaya dalam persoalan ini adalah istilah yang terkait dengan pembahasan epistemologi. Percaya atau mempercayai adalah relasi antara seseorang dengan proposisi X dimana jika tak ada relasi tersebut maka tak ada jalinan kondisi pengetahuan diantara keduanya. Kondisi pengetahuan yang dimaksud disini adalah mental. Sebab itu kondisi-kondisi mental bisa saja beragam dan oleh karenanya hanya sebagian dari jenis kondisi mental kita saja dalam berhadapan dengan suatu proposisi. Dan setiap orang mungkin saja memiliki relasi yang berbeda terhadap suatu proposisi, misalnya proposisi, "hari ini hujan". Setiap orang tidak memiliki relasi yang sama terhadap proposisi tersebut sehingga proposisi tersebut bunyinya seperti, "si fulan meyakini jika hari ini hujan turun", "si fulan sangat berharap hari ini hujan akan turun", "si fulan takut jika hari ini hujan", "si fulan sangat suka jika hari ini hujan turun". Dari seluruh contoh proposisi-proposisi tersebut kita temukan kata "berharap" dan "takut" serta "suka" yang menunjukkan satu bentuk relasi antara "si fulan" dengan  proposisi "hari ini hujan". Namun mesti dipahami bentuk relasi yang terbangun antara si fulan dengan proposisi berbeda dengan persoalan percaya atau mempercayai.

Sebab itu pertanyaan selanjutnya, apakah kita bisa memiliki suatu pengetahuan terhadap proposisi X tanpa adanya kepercayaan terhadap proposisi tersebut?

Sebagian mejawabnya bahwa kita tak mungkin memiliki pengetahuan tanpa adanya kepercayaan atas proposisi tersebut. Maksudnya jika saya mengatakan bahwa saya mengetahui proposisi X maka akan melazimkan adanya suatu bentuk relasi antara seseorang dengan proposisi tersebut. Sebab itu jika diasumsikan bahwa kita mengetahui proposisi X namun pada saat yang sama kita tidak mempercayainya maka sebenarnya tak ada relasi dan tak ada jalinan kondisi mental dengan proposisi tersebut. Kelaziman dari keberadaan relasi dalam mengetahui proposisi tersebut sama dengan meniscayakan kita menerima syarat kepercayaan sebagai suatu syarat dalam membentuk pengetahuan. Karena kita tak bisa mengatakan "si fulan tahu bahwa monas di Jakarta" namun "si fulan tidak percaya bahwa monas di Jakarta". Oleh karena itu, mengetahui proposisi X melazimkan kita percaya terhadap proposisi tersebut.

b) Benar

setelah kita menjelaskan syarat percaya bahwa percaya adalah syarat dalam mengetahui, pertanyaan selanjutnya, apakah "percaya" saja cukup menjadi syarat dalam pengetahuan? sebelumnya kita mengatakan, percaya terhadap proposisi X tanda bahwa kita mengetahui proposisi tersebut. Sekarang, apakah percaya pada proposisi X berarti kita telah mengetahui proposisi tersebut? tentu jawabannya tidak, sebab kita membutuhkan syarat lain dan yang kedua, tidak semua proposisi memiliki kondisi yang sama, sebagian proposisi cukup dengan percaya namun proposisi lainnya tidak cukup dengan syarat percaya.

Sebab itu syarat lainnya adalah benar. Maksudnya proposisi X adalah proposisi benar jika realitasnya menampakkan demikian adanya. Misalnya proposisi "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan" adalah proposisi yang benar jika demikian adanya bahwa "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan". Mengapa syarat "benar" menjadi syarat yang penting ? karena mental  manusia bisa percaya pada proposisi yang benar dan bisa juga percaya pada proposisi yang salah. Bahkan terkadang kita mengatakan kepercayaan yang benar dan kepercayaan yang salah. Dan oleh karena pengetahuan disebut sebagai sebuah pengetahuan jika sesuatu tersebut benar maka syarat benar menjadi syarat yang penting dan lazim.

c) Justifikasi

Sekarang kita akan melanjutkan pertanyaannya. Berdasarkan atas pembahasan sebelumnya maka "jika si fulan mengetahui proposisi X, maka ia mempercayai proposisi X yang benar tersebut". tapi apakah bisa disimpulkan bahwa si fulan telah mengetahui? Dalam kata lain, apakah syarat percaya dan benar sudah mencukupi? jawabannya negatif, maksudnya mereka menambahkan satu syarat lagi dalam persoalan pengetahuan dan syarat tersebut adalah justifikasi.

Justifikasi menjadi syarat yang paling penting dari diantara syarat-syarat tersebut, sebab meskipun seseorang percaya dan benar terhadap suatu proposisi namun jika tidak memiliki justifikasi maka bisa saja pengetahuan tersebut hanya sebagai pengetahuan yang bersifat kebetulan saja. Misalnya si fulan mengatakan tanpa ada dalil dan bukti yang jelas, sebelum permainan mengatakan "hari ini MU  akan menang dalam pertandingan", dan secara kebetulan MU menang hari itu. Jadi si fulan percaya bahwa MU menang dan secara kebetulan benar, nah pertanyaannya apakah si fulan benar-benar tahu?

Dari persoalan tersebut kita memahami bahwa ada sesuatu yang kurang selain dari syarat percaya dan benar yaitu dalam persoalan justifikasi. Namun istilah justifikasi antara para pemikir tidak sama dalam menggunakannya. Sebab itu maksud justifikasi disini adalah justifikasi kaitannya dengan salah satu bagian dari syarat pengetahuan. Maksudnya justifikasi akan belaku jika ia menerima syarat percaya dan memiliki dalil yang baik dalam membenarkan kepercayaannya.

Sebab itu secara umum dapat dikatakan bahwa maksud dari syarat mengetahui adalah jika memiliki ketiga unsur tersebut yaitu truth, belief, dan justified. Maksudnya adalah "si fulan" dianggap mengetahui proposisi X jika;
1. X adalah proposisi yang benar.
2. Si Fulan percaya terhadap proposisi X
3. Si fulan percaya terhadap proposisi X dengan justifikasi yang diberikan padanya.

Monday, December 7, 2015

Kesadaran dan Kejahilan


Di dunia ini hanya ada satu keutamaan, dan itu kesadaran.
Dan hanya ada satu dosa, dan itu kejahilan.

Dan adapun diantara keduanya, keterbukaan dan ketertutupan setiap mata adalah satu-satunya pembeda antara manusia sadar dan manusia jahil.

~ Rumi

Langkah pertama sampai ke tingkat kesadaran adalah memusatkan diri pada tindakan, perkataan, dan pikiran. Saat manusia memahami kondisi-kondisi yang terjadi pada dirinya, baik itu pikiran, imajinasi, dan juga kehidupan dirinya, pertanda bahwa ia telah memiliki satu tahap kesadaran tertentu atas realitas dirinya. Dan pada saat itulah, ia akan menemukan keajaiban akan hakikat dirinya.

Menurut Maulana Rumi, seluruh fenomena kehidupan, segala usaha, dan segala mimpi-mimpi manusia adalah suatu bentuk bahasa sindiran. Sebab manusia tanpa sadar mencari sesuatu yang jauh sebelumnya sesuatu tersebut secara tersembunyi telah ada di dalam dirinya. Namun persoalan ini akan terpahami setelah manusia telah sampai kepada hakikat, bukan sebelumnya.

Hampir dalam seluruh syair Maulana dalam matsnawi menjelaskan mata penglihatan dan hati penyaksian sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Maulana ingin mengatakan, keajaiban senantiasa menyertai kita dan setiap saat terjadi dalam kehidupan kita. Hanya perlu memandangnya saja dan tak perlu menambahkan sesuatu kecuali penglihatan.

Tak perlu kita keluar mencari sesuatu tempat agar kita memahami keajaiban tersebut,  sebab setiap tempat adalah keajaiban saat mata kesadaran kita terbuka. Yang dibutuhkan hanya keterbukaan mata kesadaran. Dan penglihatan kesadaran ini terhubung erat dengan pendengaran. Ajaibnya, seluruh rahasia ibadah terletak pada penyaksian dan pendengaran. Jika kita bisa belajar bagaimana melihat dan mendengar, kita akan meraih rahasia paling dalam perihal ibadah.

Tuesday, December 1, 2015

Aku dan Aku

Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri, maka aku pun terkejut : ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding - Keilahian”.

~ Rumi

Takwil;
"Aku tidak tahu siapa sebenarnya aku". Pertanyaan mengenai diri yaitu aku adalah pertanyaan eksistensial. Suatu pertanyaan eksistensial membutuhkan pendekatan eksistensialis atau pendekatan fenomenologis, sebab fenomenologis bagian dari mode eksistensi.

Aku secara fenomenologis dapat dimaknai sebagai aku yang nampak secara alamiah pada realitas eksternal. Seperti aku yang mendengar, aku yang melihat, aku yang merasa, aku yang berjalan, dan aktifitas-aktifitas lainnya sebagaimana yang nampak diluar.

Namun pertanyaannya, apakah aku adalah pendengaran? apakah aku adalah penglihatan? apakah aku adalah imajinasi? apakah aku adalah pikiran? apakah aku adalah intuisi?

atau apakah aku adalah gabungan dari penglihatan + pendengaran + imajinasi + pikiran = aku? jika demikian, apakah ketika penglihatanku hilang tak bisa lagi disebut aku? apakah ketika pendengaranku hilang tak bisa lagi disebut aku? dan faktanya bahwa kehilangan pendengaran dan penglihatan dan begitu pula kehilangan fakultas jiwa lainnya tak meniscayakan menghilangkan eksistensi aku.

Sebab itu, aku bukan pendengaran, bukan penglihatan, bukan pikiran, namun pada saat yang sama, aku hadir pada pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Lalu aku itu apa?

Maulana Rumi memberikan tanda untuk mengenal esensi aku. Kata Rumi, "tetapi ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri . . .". Manusia mesti berjalan ke dalam dirinya sendiri. Berjalan berarti meninggalkan satu titik agar dapat berangkat menuju titik lainnya. Dalam hal ini, manusia mesti berjalan dari yang nampak menuju yang batin. Sebab itu perjalanan mencari aku, bukan perjalanan keluar, namun perjalanan ke dalam yaitu ke dalam diri kita sendiri. Bukankah setiap hari kita berjalan di luar dan tak pernah menemukan aku?!

Kemudian kata Rumi, dalam perjalanan diri menuju aku yang batin akan mengejutkan kita sebab aku bukan lagi aku yang independen dan berdiri sendiri, namun aku yang bergantung secara totalitas pada Ilahi. Dalam bahasa Rumi, "ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding - Keilahian”.

Eksistensi Suara adalah udara, udara yang mengalir dari perut. Jadi aku adalah suara, maksudnya aku pada hakikatnya tak memiliki eksistensi apapun. Sebab suara tak pernah memiliki eksistensi secara independen dan berdiri sendiri. karena itu aku adalah kebergantungan secara totalitas pada Ilahi. aku tak memiliki eksistensi yang independen dan berdiri sendiri. Aku adalah ruh Ilahi. Sebagaimana Firman Ilahi, "dan Aku tiupkan ruhku padanya".

Muhammad Nur Jabir

Friday, November 27, 2015

AKU EKSISTENSIALIS

Aku lahir di dunia,

Aku telah menjadi,

Aku telah meng-ada,

Aku datang dengan fenomena,

Aku menjadi tumbuh dan besar,

Aku melompat dan sebagian dari badankumelompat,

Aku membuat badanku melompat,

Aku melompat dari satu titik menuju titik 
yang lain,

Aku melompat dari tempatku, 

Aku melompat dari tempatku menuju 
tempat lainnya,

Aku harus melompat, aku mesti dapat 
melompat,

Aku melompati dan melewati lidahku,

Aku memiliki persepsi, 

Aku mulai mendefinisikan diriku,

Aku menjerit dan aku berbicara,

Aku mulai mendengarkan keributan, 

Aku mencoba memilah keributan,

Aku membuat keributan,

Aku mengeluarkan suara keributan,

Aku mengeluarkan melodi,

Aku berhasil membuat melodi dan 
membuat keributan,

Aku berhasil berbicara,

Aku berhasil menjerit, 

Aku berhasil diam.

Aku memandang,

Aku melihat lagi pandangan-pandangan itu,

Aku menemukan kesadaran, 

Aku lebih memahami lagi sesuatu yang 
aku lihat sebelumnya,

Aku lebih memahami pandangan-pandangan itu,

Aku mempersepsi,

Aku mempersepsi lagi persepsi-persepsi yang telah dipersepsi,

Aku telah memiliki kesadaran,

Aku lebih memahami lagi sesuatu yang 
telah dipersepsi,

Aku mulai belajar, 

Aku mulai memahami kata-kata,

Aku mulai memahami kata-kata kerja,

Aku mulai memahami kalimat-kalimat telah dan sedang,

Aku mulai memahami nama-nama benda,

Aku mulai memahami tunggal dan jamak, 

Aku mulai memahami kalimat ‘orang 
ketiga’,

Aku bisa memilah disini dan disana,

Aku mulai memahami waktu dengan 
isyarat,

Aku mulai membedakan kata sifat,

Aku mulai memahami perbedaan baik dan buruk,

Aku mulai memahami kepemilikan,

Aku mulai memahami milikku,

Aku mulai membedakan milikmu,

Aku mulai merangkai realitas diriku,

Aku mulai bertanggung jawab atas 
pernyataan-pernyataanku,

Aku telah menjadi relasi-relasi dari pernyataanku,

Aku telah menjadi objek dari 
pernyataanku,

Aku mulai bertanggung jawab atas relasi-relasi tersebut,

Aku telah berubah menjadi terbuka atau 
tertutupnya mulutku,

Aku telah berubah menjadi sebuah rangkaian keangkuhan alfabet,

Aku hidup dalam kurun waktu tertentu,

Aku mulai berpikir tentang awal dan akhir,

Aku mulai berpikir tentang diriku, 

Aku mulai berpikir tentang orang lain,

Aku mulai keluar dari tabiat,

Aku telah menjadi, 

Aku bukan lagi tabiat,

Aku telah memiliki pilihan,

Aku mulai memahami bahwa engkau
bukan diriku,

Aku mulai bisa menjelaskan pilihanku,

Aku mulai bisa mendiamkan pillihanku,

Aku mampu menginginkan sesuatu,

Aku mampu tidak menginginkan sesuatu,

Aku telah menjadi,

Aku mulai bertanggung jawab,

Aku mampu makan dengan tanganku 
sendiri,

Aku mampu tidak lagi mengotori badanku,

Aku telah mampu mendengarkan nasehatorang lain,

Aku telah mampu menghindar dari 
keburukan-keburukan,

Aku telah mampu membedakan antara 
panas dan dingin,

Aku mampu untuk tidak bermain-main lagi,

Aku mampu memilah antara baik dan 
buruk,

Aku berusaha melakukan sesuai dengan 
permainan yang disepakati,

Aku bertanggungjawab agar tidak lari dari kesepakatan,

Aku mampu tidak melakukan sesuatu dari yang tidak disepakati,

Aku mampu menjauh dari apa yang tidak disepakati,

Aku suatu ketika mampu tidak melakukan dosa,

Aku suatu ketika mampu melewati batas-batas yang disepakati,

Aku suatu ketika patuh dalam pekerjaan,

Aku suatu ketika tak patuh dalam 
pekerjaan,

Aku telah menjadi, 

Aku telah bertanggungjawab, 

Aku menjadi penyebab,

Aku terpaksa membayar pilihan-pilihanku,

Aku terpaksa membayar pilihan-pilihan masa laluku,

Aku terpaksa membayar waktuku,

Aku baru saja menginjakkan kakiku 
diwaktu ini,

Keniscayaan ruang dan waktu mana yang aku langgar,

Keniscayaan kaidah logika mana yang aku langgar,

Keniscayaan rahasia mana yang aku 
langgar,

Akal sehat manakah yang aku langgar,

Kaidah-kaidah keabadian eksistensi mana yang 
aku langgar,

Kaidah cinta mana yang pernah aku 
langgar,

Kaidah permainan mana yang pernah aku langgar,

Kaidah keindahan mana yang pernah aku
 langgar,

Kaidah seni mana yang aku langgar,

Kaidah diam dan kebebasan mana yang 
aku langgar,

Apakah kaidah, logika, cinta, rahasia, 
permainan, keindahan, seni, diam, 
kebebasan, ruang dan waktu pernah aku
 langgar?

Aku telah melakukan,

Aku menghindar untuk melakukan,

Aku menunjukkan eksistensiku, 

Aku dengan pikiran menunjukkan 
eksistensiku,

Aku dengan bahasa aku tunjukkan
eksistensiku,

Aku menyatakan wujudku sendiri,

Aku menyatakan wujudku pada yang lain,

Aku menyatakan wujudku kepada ILahi,

Aku pergi,

Aku pergi dengan tujuan,

Aku pergi dengan tujuan walau tak 
mengerti tujuan itu apa,

Aku pergi tanpa tujuan,

Aku pergi dengan arah walau tanpa tujuan,

Aku adalah tujuan,

Aku memikirkan yang orang lain 
membicarakannya,

Aku membicarakan yang orang lain 
memikirkannya,

Aku seharusnya berbicara keras namun 
aku berbisik,

Aku seharusnya berbisik namun aku teriak,

Aku berbicara pada orang dimana 
berbicara padanya adalah keburukan,

Aku mengucapkan salam dimana ucapan salam padanya adalah pengkhianatan.

Karya Muhammad Nur Jabir

*puisi ini dibacakan pada peringatan Hari Filsafat Dunia di kampus Paramadina, 28 Nov 2015

Thursday, November 5, 2015

Bahasa dan Persoalan Kontradiksi

Pembahasan kali ini adalah hasil dari perdebatan sesama penghuni di Grup Telegram "Dialektika Pemikiran". Grup ini akan melaksanakan kajian tiap malam jumat. Malam jumat kemarin 5-11-2015 membahas mengenai bahasa dan persoalan-persoalan ketiadaan seperti kontradiksi.  Berikut ini beberapa hasil diskusi yang sempat kami edit;

1) Persoalan bahasa dalam logika tidak sama dengan pembahasan bahasa dalam filsafat.
namun struktur pembahasan bahasa dalam logika menjadi landasan pembahasan dan mempengaruhi pembahasan bahasa dalam filsafat khususnya dalam filsafat islam.

2) dalam epistemologi islam biasanya dijelaskan tiga relasi segitiga yang saling berkaitan antara objek eksternal, gambaran atau makna, dan bahasa. Relasi antara makna dengan objek eksternal sifatnya niscaya dan hakiki. Sedangkan hubungan antara bahasa dengan objek realitas eksternal beserta makna bersifat iktibari. Maksud dari iktibari disini yaitu dalam pengertian kesepakatan atau kontruksi mental.
Yang berarti tidak ada hubungan logis atau tak ada hubungan niscaya antara bahasa dan objek eksternal.

contohnya air eksternal bisa dibahasakan dalam berbagai bahasa; water, air, je'ne, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan hubungan diantaranya tidak niscaya akan tetapi iktibari. Namun antara air eksternal dgn maknanya adalah hubungan niscaya dan tetap.

Iktibari maksudnya bergantung kepada konstruksi mental kita. Sesuatu itu ada dan tidak adanya bergantung kepada konstruksi mental manusia. Sedangkan hakikat tidak bergantung kepada konstruksi mental kita, sesuatu itu ada dan tak ada, tidak bergantung pada kontruksi mental kita seperti gunung, pohon, lautan, yang ada di alam eksternal.

3) Hubungan antara bahasa dan filsafat sangat erat. Tanpa bahasa filsafat tak akan ada, karena itu bahasa memiliki peran penting dalam menjelaskan filsafat
sekaligus menjelaskan bagaimana hubungan antara bahasa dengan berpikir atau tafakkur hubungannya dengan bahasa.

4) Pembahasan selanjutnya terkait dengan persoalan kontradiksi. Pertanyaannya apa yang menyebabkan kita dapat membuat proposisi yang bersifat kontradiksi, misalnya segitiga bersisi empat, sedangkan di mental kita tidak menemukan contoh tersebut ?
Mental kita memiliki kekuatan yang luar biasa karena mampu mengasumsikan yang tak ada. Tiada diasumsikan keberadaannya sehingga terlihat ada di mental kita. Dalam diri manusia terdapat satu fakultas yang disebut dgn mutakhayyilah (creative imajination) yg mampu menghubungkan antara satu konsep dgn konsep lainnya
dan karena alam imajinasi tak terbatas maka potensi creative imajinasi kita pun senantiasa berkreasi tanpa batas, misalnya menghubungkan sesuatu yg bertentangan.

Namun mesti dipahami kontradiksi tidak ada di mental dan tidak ada di eksternal, tapi hanya ada di mafhum (konsep) saja.
konsep lebih umum dari mental dan eksternal. karena dalam filsafat Sadra, mental masih bagian dari gradasi eksistensi sehingga disebut dengan 'wujud zihni'.

Dalam kata lain, kontradiksi tidak berasal dari eksternal dan juga tidak berasal dari mental. Kontradiksi hanya konsep semata yang tidak memiliki akar realitas sama sekali, baik di mental maupun di eksternal.

Oleh karena itu mesti dipahami bahwa konsep-konsep dibenak kita tidak memiliki derajat yang sama, sebagian memiliki akar di alam eksternal, sebagian di mental, dan sebagiannya hanya kontruksi kita saja tanpa punya pijakan apapun, baik eksternal maupun internal.

5) lalu bagaimana kita bisa memiliki konsep kontradiksi?

konsep kontradiksi atau yang lebih luas lagi konsep-konsep yang terkait dengan ketiadaan berangkat dari sebuah pengasumsian (tsubut) bahwa ketiadaan seperti kontradiksi diasumsikan keberadaannya dan berdasarkan asumsi tersebut dibangunlah hukum-hukum dan kaidah-kaidah yg terkait dengan ketiadaan.

6) Bagaimana pertama kali mental kita menangkap ketiadaan?
Mental kita mengasumsikan keberadaan sesuatu terkadang melalui lawan dari suatu konsep tertentu, misalnya setelah menangkap konsep 'ada', secara otomatis benak kita menangkap lawannya yaitu tiada, kemudian dari konsep tiada tersebut, benak kita mengasumsikan keberadaannya, setelah itu barulah akal menjelaskan kaidah-kaidah yang terkait dengan tiada. Jadi hal-hal yg tiada, imajinasi kita memberikan asumsi keberadaannya.

karena itu dalam epistemologi islam, mental memiliki beragam fungsi; selain menangkap hakikat-hakikat eksternal, kerja lainnya memberikan asumsi keberadaan pada hal-hal yang tiada.

Oleh karena itu, ketiadaan tak ada di realitas eksternal, dan juga tak ada di mental, namun mental kita mampu mengasumsikan keberadaannya sehingga kita bisa mendiskusikannya dan membahasnya. Jadi keberadaannya adalah keberadaan yang diasumsikan saja.

Dengan demikian, berkat mental, kita bisa berdiskusi tentang sesuatu yang tidak memiliki misdak di alam eksternal.

Mengasumsikan disini dalam pengertian memberikan tsubut (atau membuat relasi subjek predikat, misalnya tiada adalah ada, maksudnya mental kita mengasumsikan keberadaannya
dalam konsep hingga diturunkan dalam bentuk proposisi).

Maksud dari asumsi disini adalah penetapan (tsubut), maksudnya mental kita mengasumsikan keberadaannya, sebab tiada adalah tiada, tak punya pijakan realitas, baik eksternal maupun internal. karena itu mental kita mengasumsikan keberadaan tiada atau memberikan penetapan padanya (tsubut). Jadi di mental, tiada menjadi ada dan berkat mental kita yang memberikan (tsubut) penetapan.

Dalam kata lain, kekuatan mental kita mampu memberikan tsubut dan mengasumsikan tiada adalah ada. sehingga memiliki subjek dan predikat.

Hormat Kami
Moderator Grup Telegram Dialektika Pemikiran

Muhammad Nur Jabir