Wednesday, October 15, 2014

Pendahuluan; Gerak Substansi dan Gerak Cinta

Persoalan gerak termasuk salah satu tema filsafat yang terbilang kuno karena telah dibahas sejak masa yunani kuno. Perdebatan mengenai gerak telah dimulai oleh Heraclitus yang meyakini akan keberadaan gerak, juga Parmenidus bersama muridnya Zeno yang mengingkari akan keberadaan gerak. Heraclitus meyakini segala sesuatu sedang bergerak dan pertentangan diantara entitas-entitas yang ada merupakan sumber gerak. Berbeda dengan Heraclitus, Parmenidus dan Zeno mengingkari keberadaan gerak. Bagi Parmenidus salah satu dari karekteristik keberadaan adalah diam.
Persoalan mengenai perubahan dan tetap, sejak dahulu menjadi sebuah persoalan yang ambigu bagi kalangan filsuf. Meskipun perubahan senantiasa kita saksikan pada realitas alam ini dan bahkan juga di dalam diri kita sendiri, namun tidak mudah menjelaskan hakekat dari gerak. Karena itu ada filsuf yang mengingkari gerak seperti Parmenidus dan Zeno dan ada juga yang meyakini bahwa segala entitas di alam ini senantiasa berubah seperti Heraclitus. Aristoteles meyakini realitas keduanya yaitu meyakini pada tetap dan berubah.
Aristoteles meyakini bahwa perubahan meniscayakan pada tetap dan berubah. Maksudnya jika dikatakan bahwa A berubah menjadi B tentunya akan melazimkan perbedaan diantara keduanya, dikarenakan A telah berubah menjadi B dan selain itu pula, mesti ada yang tetap yang menunjukkan keidentikan dan aspek yang sama diantara keduanya sehingga dapat dikatakan bahwa A berubah menjadi B. Jika tak ada lagi yang tetap diantara keduanya atau dalam kata lain berubah secara totalitas maka tak dapat lagi dikatakan bahwa A berubah menjadi B.[1]   
Perubahan dalam filsafat merupakan kelaziman dari keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual, baik perubahan ini dalam zat (substansi) atau pun juga perubahan ini berasal dari sifat-sifat zatnya (aksiden).[2] Perubahan dalam zat adalah perubahan yang terjadi pada substansinya seperti perubahan dari tanah kepada tumbuhan, sedangkan perubahan sifat-sifat zatnya adalah perubahan aksiden seperti perubahan pada warna buah apel dari hijau menuju warna merah.
Perubahan yang terjadi pada sesuatu, dihasilkan dari dua bentuk jenis perubahan yaitu perubahan secara spontanitas (daf’iī) atau perubahan secara gradual (tadrījī). Perubahan secara gradual disebut dengan gerak sedangkan perubahan secara spontanitas disebut dengan ‘penciptaan dan peniadaan’ (kaun wa fasād).[3] Hal ini terlihat bahwa tidak semua perubahan tersebut didefinisikan sebagai gerak. Hanya perubahan secara gradual yang disebut dengan gerak.
Filsafat Paripatetik sejak Aristoteles hingga Ibn Sina membahas dan meletakkan persoalan gerak dalam ranah aksidental. Maksudnya gerak hanya terjadi pada empat kategori aksidental yaitu kuantitas, kualitas, posisi, dan ruang.[4] Filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina meletakkan persoalan gerak sebagai karekteristik dari tabiat materi dan oleh karenanya membahas persoalan tersebut dalam bab physics (al-thabi’iyyāt).[5]
Suhrawardi dalam kitabnya Muthārahāt menjelaskan bahwa meskipun gerak bukan bagian dari kategori substansi namun gerak tidak sebagaimana yang dijelaskan oleh filsuf paripatetik yang meyakini bahwa gerak terjadi pada empat kategori aksiden, bahkan lebih dari itu Suhrawardi memasukkan gerak sebagai bagian dari aksiden itu sendiri. Menurut Suhrawardi gerak sejatinya adalah aksiden. Gerak merupakan suatu kondisi yang senantiasa terjadi pada materi. Maksudnya terkadang suatu benda itu diam lalu kemudian bergerak. Artinya kondisi sebelumnya diam lalu kemudian kondisi selanjutnya bergerak yang menunjukkan bahwa ada kondisi yang mengaksiden padanya. Oleh karenanya disifatkan pada benda tersebut suatu sifat aksiden yang disebut dengan gerak. Dengan demikian gerak mesti dimasukkan sebagai salah satu kategori dari aksiden.[6]
Sebagaimana yang terlihat, dalam filsafat Paripatetik dan bahkan Suhrawardi menjelaskan fenomena gerak sebagai fenomena materi. Fenomena perubahan dalam pengertian gerak sangat mudah disaksikan di sekitar kita. Karena itu fenomena gerak adalah merupakan sebuah fenomena yang badihi. Paling tidak, perpindahan dari satu tempat pada tempat yang lain sebagai sebuah fenomena gerak adalah suatu hal yang badihi. Karena itu pula tak heran jika persoalan gerak dibahas dalam filsafat dan juga dibahas dalam fisika sebagaimana filsafat paripatetik memasukkannya ke dalam ranah physics.
Gerak yang dibahas dalam ranah sains dan dalam filsafat tentu berbeda. Saintis membahas gerak dalam pengertian sebuah fenomena tertentu bagi sebuah benda tertentu. Misalnya apakah benda X tersebut bergerak dan bagaimanakah bentuk geraknya. Namun selain wilayah ini, sains tidak lagi mampu untuk menelusuri lebih jauh dan tak lagi menjadi objek pembahasannya.[7]
Filsafat membahas gerak sebagai sebuah pembahasan yang bersifat universal. Dalam kata lain persoalan gerak yang paling penting adalah apakah gerak ada pada realitas eksternal atau tidak.  Filsafat tidak membahas satu spesifik dari benda tertentu. Karena itu bagi filsuf, gerak dibahas dalam ranah ontologi. Maksudnya pembahasannya adalah wujud gerak dan hal ini diluar dari wilayah Sains. Menurut Jawadi Amuli, hal ini yang membedakan antara Mulla Sadra dan filsafat Paripatetik seperti Aristoteles dan Ibn Sina dimana filsafat Paripatetik membahas gerak sebagai fenomena-fenomena tabiat materi, sedangkan Mulla Sadra membahasnya dalam filsafat Ilahiyah dikarenakan membahas gerak dalam ranah ontologi.[8]   
Perbedaan wilayah pembahasan gerak dalam filsafat dan dalam sains, sebenarnya kembali kepada penekanan metodologi yang digunakan dalam masing-masing bidang studi tersebut. Sains menekankan pendekatan indrawi dan eksperimentasi, sedangkan filsafat menggunakan metode akal dan argumentasi.[9] 
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Filsafat membahas tabiat materi dari sisi perubahan-perubahan dan transformasi-transformasi dimana meletakkan tabiat materi sebagai laboratorium potensi dan aktual. Nanti akan kita saksikan, meskipun ‘potensi’ dan ‘aktual’ adalah konsep yang benar dan nyata, namun tak satu pun dari konsep ‘potensi’ dan ‘aktual’ termasuk dari konsep indrawi.[10] 
Mulla Sadra memberikan pehaman yang baru mengenai gerak. Sebelum kehadiran Mulla Sadra, sebagaimana diungkapkan sebelumnya, gerak hanya berkaitan dengan empat kategori pada aksidental dan bahkan Suhrawardi menggolongkan gerak sebagai bagian dari kategori aksiden.
Mulla Sadra selain meyakini bahwa gerak terjadi pada aksidental, juga meyakini bahwa terjadi pada substansi. Bahkan salah satu bagian penting dari filsafat Hikmah Muta’aliyah adalah membuktikan keberadaan gerak substansi.[11] Dalam filsafat Paripatetik seperti Ibn Sina, sulit menerima bahwa gerak juga terjadi pada substansi. Dalil utama yang diutarakan oleh Ibn Sina, gerak melazimkan adanya objek yang bergerak, mesti ada sesuatu yang bergerak sehingga dapat dikatakan bahwa objek A bergerak menuju B. Namun jika substansi dari sesuatu itu sendiri disaat bergerak juga mengalami perubahan maka pada saat itu tak ada lagi objek bagi gerak. Padahal dalam gerak meniscayakan keberadaan objek yang bergerak.[12]   
Beragam argumentasi dalam membuktikan gerak substansi yang dipaparkan oleh Mulla Sadra ingin membuktikan bahwa eksistensi materi senantiasa bergerak. Eksistensi materi adalah eksistensi gradual yang setiap saat senantiasa baru.[13] Oleh karena itu dalam pandangan Sadra, seluruh alam materi senantiasa bergerak, baik itu dalam bentuk aksiden maupun dalam bentuk substansi.
Menurut Abdullah Jawadi Amuli, pengingkaran Zeno terhadap gerak dikarenakan formula argumentasi yang diberikan oleh Aristoteles mengenai gerak. Kritik Zeno sebenarnya berkaitan dengan eksistensi gerak sedangkan argumentasi gerak oleh Aristoteles berkenaan dengan fenomena gerak. Oleh karena itu kehadiran Mulla Sadra menyingkap tabir tersebut dengan membuktikan bahwa pada substansinya pun terjadi gerak.  Oleh karena itu menurut Abdullah Jawadi Amuli keunggulan argumentasi gerak bukan dari warisan filsuf besar seperti Aristoteles dan filsuf-filsuf lainnya yang sepemikiran dengan Aristoteles. Namun keunggulan argumentasi gerak ini adalah hasil dari usaha keras dan penyucian diri Mulla Sadra dan para penerusnya dan bahkan menjadi bagian dari karekteristik filsafat Islam.[14]
Berkenaan dengan definisi gerak. Plato dan Aristoteles tidak sama dalam mendefinisikan gerak. Menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari kesamaan dan keseragaman.[15] Maksudnya terkadang pada suatu objek memiliki dua kondisi yang berbeda yaitu antara kondisi sebelumnya dan kondisi setelahnya. Karena itu menurut Plato gerak adalah keluarnya sesuatu dari satu kondisi yang sama menuju suatu kondisi yang berbeda atau dalam kata lain dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Namun definisi Plato mengenai gerak tersebut meliputi kedua bentuk perubahan, baik perubahan dalam makna perubahan secara spontan (kaun wa fasād) maupun perubahan dalam makna perubahan secara gradual atau gerak.[16]
Definisi gerak menurut Aristoteles adalah kesempurnaan pertama bagi suatu potensial dari sisi sebagaimana sesuatu tersebut adalah potensial.[17] Hal yang penting dalam definisi Aristoteles berkenaan dengan dua hal yaitu kesempurnaan pertama dan aspek potensi sebagaimana potensi. Maksud dari kesempurnaan pertama disini adalah bentuk spesis (shūrah nau’iyah) bagi suatu benda materi dan kesempurnaan yang akan diraih selanjutnya pada batasan yang dimungkinkan disebut dengan kesempurnaan kedua. Kemudian dalam meraih kesempurnaan kedua bagi benda tersebut tentu dari aspek potensi sebagaimana potensi yang dimilikinya. Karena itu gerak termasuk kesempurnaan bagi objek yang bergerak karena dengan gerak inilah akan mengantarkannya kepada kesempurnaan yang kedua.[18]
Dalam pandangan Mulla Sadra gerak didefinisikan dengan hudūts al-tadrījī atau keluarnya sesuatu dari potensi menuju aktual secara gradual atau perlahan-lahan.[19] Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa gerak adalah meninggalkan secara perlahan-lahan sesuatu dari potensi dan sampainya kepada aktualitas dan kesempurnaan eksistensi.
Dalam definisi yang diutarakan oleh Mulla Sadra, Jawadi Amuli mengatakan ada beberapa hal yang mesti dipahami untuk memahami dengan baik mengenai konsep gerak. Salah satunya adalah memahami makna gradual yaitu melewati atau mengarungi jarak eksistensi antara potensi dan aktual dalam satuan waktu. Oleh karena jika aktualitas terjadi secara spontanitas dari sesuatu yang potensialitas maka perubahan ini tak disebut dengan gerak. Karena makna gerak dapat diaplikasikan pada sesuatu yang dapat dibagi secara imajinasi (waħmī) dan pembagian mental (ziħnī), juga bagian-bagian yang diasumsikan satu sama lain tak berkumpul, bahkan masing-masing setelah melewati menyusul yang lainnya dan sebelum menemukan eksistensi setelahnya.[20]
Jawadi Amuli melanjutkan bahwa jika gerak dapat dibagi secara imajinasi atau mental maka gerak secara esensi memiliki ketunggalan yang tersambung dan kontinuitas. Oleh karena bagian-bagian yang diasumsikan tersebut tak dapat berkumpul menunjukkan bahwa hal tersebut senantiasa dalam kondisi mengalir (sayyāl) dan senantiasa proses melewati. Apalagi jika dapat diterapkan pada satuan waktu maka hal tersebut tentu bersifat gradual karena hanya waktu saja yang dapat menjadi tolak ukur atas sesuatu yang bersifat gradual, bukan sesuatu yang diam. Kemudian Jawadi Amuli menyimpulkan bahwa tanpa waktu dan gradual, pemahaman gerak tak dapat ditafsirkan dengan benar. Meskipun konsep waktu berbeda dengan konsep gerak namun hakekat kedua hal tersebut pada realitas eksternal adalah satu.[21]
Dalam sistem pemikiran tasawwuf, gerak senantiasa dimaknai dengan gerak cinta. Gerak cinta ini berasal dari salah satu hadits Qudsi Rasulullah saw, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, Aku cinta untuk dikenal, maka Aku mencipta makhluk agar Aku dikenal.[22] Ibn Arabi menjelaskan bahwa apapun jenis gerak yang terjadi di alam ini berdasarkan pada gerak cinta. Segala perubahan dan segala kemenjadian senantiasa dalam lingkaran gerak cinta, baik itu perubahan dalam busar turun, maupun perubahan dalam busar naik.[23]   
Sebagaimana dipahami, dalam pandangan dunia irfan, realitas alam dijelaskan dengan dua busar, busar naik dan busar turun. Hakekat realitas dimulai dari maqam ghaibul ghuyub atau maqam zat dimana pada maqam ini tak ada determinasi dalam bentuk apapun.[24] Setelah maqam ghaibul ghuyub adalah maqam ahadiyah atau ta’ayyun awwal dimana maqam ini adalah maqam yang sangat dekat dengan maqam zat.[25]  Pada ta’ayyun awwal terkandung segala hakekat yang ada pada level setelahnya secara peleburan (indimājī) dan oleh karenanya ta’ayyun awwal juga disebut dengan haqīqah al-haqāiq.[26]
Cinta pada maqam ta’ayyun awwal merupakan hakekat dari zat dan bahkan cinta pada maqam tersebut adalah zat itu sendiri.[27] Keidentikan realitas cinta pada maqam ta’ayyun awwal menjadi sumber dan asal muasal akan keberadaan prinsip gerak cinta karena pada maqam ta’ayyun awwal terkandung secara peleburan segala hakekat yang ada tingkatan setelahnya atau pada manifestasi-manifestasi selanjutnya.
Ibn Arabi meyakini bahwa gerak alam dari ketiadaan dimana sebelumnya diam dalam ketiadaan tersebut lalu kemudian keluar pada alam eksistensi. Karena itu menurut Ibn Arabi perkara tersebut bahwa gerak dari diam.[28] Disini Ibn Arabi memperlawankan gerak dengan diam. Namun mesti dipahami bahwa diam dalam terminologi Ibn Arabi memiliki konteks penetapan (tsubūt) yaitu disebut dengan wujud ilmiyah karena hal tersebut berada dalam zat Ilahiyah. Dalam hal ini wujud ilmiyah diperhadapkan wujud eksternal (wujud khārijī).[29]
Penafsir Ibn Arabi, Yazdān Panāh memahami bahwa gerak akan terlihat dengan jelas pada ta’ayyun tsānī atau wahidiyah. Pada ta’ayyun awwal belum ada keragaman. Keragaman terpahami pertama kali pada ta’ayyun tsāni karena ta’ayyun tsānī merupakan perantara antara ta’ayyun awwal dengan alam realitas eksternal. Melalui ta’ayyun tsānī inilah muncul nama-nama Ilahi (asma Ilahi). Karena itu persoalan gerak bisa dijelaskan pada ta’ayyun tsānī yaitu pada empat hakekat asma yang disebut dengan aimmah al-asma yaitu hayāt, qudrah, iradah, dan ‘ilmu. Keempat asma tersebut berakar pada ta’ayyun awwal. Yazdān Panāh melanjutkan penjelasannya bahwa para ahli makrifat meyakini kesempurnaan zat itu sendiri adalah batin dari hayāt dan kesadaran (syu’ur) dari kesempurnaan tersebut adalah batin dari ‘ilmu dan gerak cinta merupakan batin dari iradah dan pada akhirnya tawajjuh jaballī merupakan batin dari qudrah.[30]
Gerak dalam ranah filsafat berbeda dengan gerak dalam ranah tasawwuf sebagaimana terlihat pada pembahasan sebelumnya. Letak perbedaan ini berada dalam bangunan ontologi diantara keduanya yaitu penafsiran terhadap hakekat realitas eksternal. Irfan bersandar pada gagasan wahdatul wujud dan filsafat bersandar pada keragaman wujud. Dalam memahami realitas, irfan menggunakan qalbunya dalam menyingkap realitas dan dalam filsafat menggunakan argumentasi akal dalam menyingkap realitas.[31]
Penelitian desertasi ini mencoba untuk menganalisa dan membandingkan gerak dalam ranah filsafat dan gerak dalam ranah irfan. Khususnya perbandingan gerak dalam pengertian gerak substansi dalam filsafat Sadra dengan gerak dalam pengertian gerak cinta dalam pandangan irfan. Penelitian ini penting guna melihat ruang lingkup masing-masing dari gerak yang dimaksud.
Hal penting lainnya dalam penelitian ini yaitu mencoba untuk menganalisa mengenai perubahan yang berlangsung secara terus menerus. Keyakinan terhadap gerak substansi meniscayakan segala sesuatunya bergerak di dalam dirinya, sebab bukan hanya aksidennya saja yang bergerak, bahkan substansinya pun bergerak.
Urafa juga meyakini adanya perubahan secara terus menerus. Salah satu kaidah dalam urafa yaitu ‘entitas-entitas tak pernah tetap dalam dua masa’.[32] Bagi urafa segala entitas-entitas mumkin senantiasa mengalami perubahan dan senantiasa baru dan baru. Apa yang ada pada saat sebelumnya, sirna secara keseluruhan dan pada saat setelahnya mendapatkan kehidupan yang baru. Proses seperti ini bagi urafa disebut dengan tajaddud amtsal.[33]





[1] Abdurrasul ‘Ubudiyyat, al-Nizām al-Falsafī  liMadrasah al-Hikmah al-Muta’aliyah, (Beirut: Samt va Muassas-e Āmuzesy-e va Pezuhesy-e Imam Khomeini. 2010), P. 16.
[2] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), P. 120.
[3] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidayah al-Hikmah, (Qom: Muassasah al-Nasyr), Hal. 120. 
[4] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[5] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 81. Pernyataan Ibn Sina sebagai berikut, لقد ختمنا الكلام فى المبادئ العامة للأمور الطبيعية. فحرى بنا أن ننتقل إلى الكلام فى العوارض العامة لها، و لا أعم لها من الحركة و السكون. و السكون كما سنبين من حاله عدم الحركة، فحرى بنا أن نقدم الكلام فى  الحركة
[6] Suhrawardi, Majmū’ah Mushannifāt Syekh Isyrāq, (Tehran: Muassas-eyye Muthāle’āt-e va Tahqīqāt-e Farhanggī. 1375 HS), Jil. 1, Hal. 278.
[7] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 563.
[8] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, Jil. 3, Hal. 563. 
[9] ‘Alī Rabbānī Golpāygānī, Aydhāh al-Hikmah, (Qom: Intesyārāt-e Isyrāq. 1374 HS), Jil. 2, Hal. 219.
[10] Murtadha Muthahhari, Majmmueh Ātsār, (Qom: ), Jil. 6. Hal. 726.
[11] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[12] Ibn Sina, al-Syifā (al-Thabi’iyyāt), (Qom: Maktabah Ayatullah Mar’asyī. 1404 H), Jil. 1, Hal. 124.
[13] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 7, Hal. 290

[14] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 558.
[15] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts. 1981), Jil. 3, Hal. 24.
[16] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 296.
[17] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 24.
[18] Hasan Moallimī . . . (va Jam’-e Newisandegān), Tārīkh-e Falsafeh Islāmī, (Qom: Markaz-e Jahānī  ‘Ulūm-e Islāmī. 1385), Hal. 312-313.
[19] Shadruddin Syirāzī, al-Hikmah al-Muta’āliyah fi al-Asfār al-Arba’ah,  Jil. 3, Hal. 22.
[20] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh, (Qom: Esra’. 1382 HS), Jil. 3, Hal. 561.  
[21] Abdullah Jawādi Āmūlī, SarCesymeh-ye Andisyeh,  Jil. 3, Hal. 561.  
[22] Ghulam Husain Ridhā Nizhād, Syarh-e Kabīr bar Fushūs al-Hikam Ibn Arabi, (Tehran: al-Zahra. 1380 HS), Jil. 2, Hal. 1133.
[23] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[24] Shadruddin Qūnawī, Risālah al-Nushūs, Hal. 6
[25] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 158.
[26] Muhammad Husain Fādhil Tūni, Majmu’ah Rasāil-e  ‘Irfānī wa Falsafī, (Qom: Mathbū’āt-e Dīnī. 1382 HS), Hal. 118.
[27] Muhammad ibn Hamzah Fannārī, Mishbāh al-Uns, (Tehran: Intisyārāt-e Maulā. 1373 HS), Hal. 356.
[28] Muhyiddin Ibn Arabi, Fushūs al-Hikam, (Qom: Intisyārāt-e al-Zahra. 1370 HS), Hal. 203.
[29] Hasan Hasanzadeh Āmulī, Mumiddul Ħimam dar Syarh-e Fushūs al-Hikam, (Tehran: Sāzmān-e Cāp va Intisyārāt-e Vezārat-e Farhang va Irsyād-e Islamī. 1378 HS), Hal. 555.
[30] Yadullah Yazdān Panāh, Mabānī  wa Ushūl ‘Irfan Nazarī, (Qom: Muassas-e Āmūzesy-e  wa  Pezuhesy-e Imam Khomeini. 1389), Hal. 423.
[31] Murtadha Muthahhari, Majmu’eh Ātsār, (Qom: Shadra. 1358 HS), Jil. 23, Hal. 29.
[32] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 6.
[33] Jalaluddin Ħamāiī, Du Risaleh dar Falsafeh Islāmī, (Tehran: Pezuhesygāh-e ‘Ulūm-e Insānī  va Muthale’āt-e Farhanggī. 1375 HS), Hal. 5.

Sekilas Mengenai Perempuan dalam Quran


Dalam Quran, hakikat manusia terletak pada ruh, bukan pada badan. Persoalan gender adalah perkara yang berkaitan dengan badan. Ruh dan hakikat manusia tak memiliki identitas gender. Karena itu Quran adalah guru bagi ruh-ruh manusia. Quran tak pernah membeda-bedakan realitas manusia antara satu dengan lainnya pada aspek ruh. Ruh adalah hakikat immateri yang tak lagi terkait dengan persoalan gender.
Tak heran ketika Quran berbicara mengenai persoalan tazkiyah, tazkiyah yang dimaksud adalah tazkiyah ruh. Quran justru diturunkan untuk mengajarkan pengetahuan dan juga tazkiyah. Berdasarkan hal ini, Islam sejak semula tidak membagi manusia pada laki-laki dan perempuan.
Berbeda dengan pandangan Islam, dalam pandangan barat, manusia sejak semula telah terbedakan dari laki-laki dan perempuan. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya, barat sangat berusaha keras untuk menyamakan keduanya. Pembagian tersebut dikarenakan hakikat manusia hanya dilihat dari aspek badannya saja. Selanjutnya mereka menganggap bahwa badan laki-laki dan perempuan sangat mirip, sehingga mereka memberlakukan hukum yang sama pada keduanya. Namun dalam Islam, seluruh hakikat manusia pada ruh, dan badan adalah alat semata dalam menggapai tujuannya.
Meskipun badan dipahami hanya sebagai aksidental semata, namun badan tetap memiliki peran dan hukum yang terkait dengannya. Namun berkaitan dengan nilai, keunggulan, dan kemuliaan tidak disematkan pada badan, namun disematkan pada ruh.
Tak Ada Gender dalam Keunggulan dan Kemuliaan
Kemuliaan atau bahkan kenistaan tidak disematkan pada gender. Karena tidak disematkan kemuliaan dan kenistaan pada badan. Maksudnya, predikat-predikat seperti muslim, kafir, alim, jahil, taqwa, fasiq, benar, salah, mulia, hina adalah tidak disematkan pada badan.
Pengetahuan dan pemikiran disematkan pada akal teori. Penyaksian (mukasyafah) dan syuhud disematkan kepada hati. Takwa dan fasiq disematkan pada jiwa. Jadi tak satupun dari predikat-predikat sebelumnya yang disematkan kepada badan. Begitu pula dengan sifat-sifat lainnya seperti iradah, ikhlas, iman, sabar, tawakkal terkait dengan fakultas akal praktis. Jika sabar tidak terkait dengan persoalan gender, maka penyabar (orang yang sabar) tidak terkait dengan persoalan gender.
Perempuan dan Maqam Khalifatullah
Maqam tertinggi pada diri manusia adalah maqam khalifatullah. Jika demikian, apakah maqam khalifatullah ini hanya diperuntukkan pada laki-laki ? atau khalifatullah ini tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki saja, namun juga untuk perempuan, akan tetapi yang mampu meraih maqam tersebut adalah hanya laki-laki saja! Atau sebenarnya khalifatullah tidak terkait dengan gender ?
Quran (2;30) mengatakan, ‘sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Maqam khalifatullah adalah maqam insaniyah, bukan maqam laki-laki. Pusat atau lokus pembelajaran dan pengajaran pada ruh manusia, bukan pada badan. Yang akan menjadi seseorang itu alim adalah ruh manusia, bukan badan, bukan laki-laki dan perempuan. Yang mengetahui asma-asma Ilahi adalah ruh manusia, bukan badan.
Maqam Mulia Seorang Ibu dalam Quran
Perintah-perintah yang ada dalam Quran, terkadang perintah tersebut ditujukan pada laki-laki dan perempuan sebagai perintah yang berlaku kepada keduanya, dan terkadang ada perintah yang dikhususkan kepada laki-laki atau dikhususkan kepada perempuan. Misalnya dalam Quran  (31;14) Allah swt berfirman, ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu’.
Setelah Quran memuliakan kedua orang tua, lalu Quran berbicara secara terpisah mengenai jerih payah yang ditanggung oleh seorang ibu, bukan seorang ayah. Allah swt berfirman dalam Quran (46;15), ‘Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan’.
Quran berbicara tentang jerih payah yang ditanggung seorang ibu selama 30 bulan. Mulai dari masa mengandung, melahirkan, hingga menyusui adalah masa yang sulit bagi seorang ibu. Quran memaparkan hal tersebut untuk menggambarkan bagaimana bentuk pengkhidmatan seorang ibu. Pengkhidmatan ini tidak setara dengan pengkhidmatan seorang ayah.
Perempuan dalam Irfan

Sebagaimana dipahami bersama, tak ada perempuan yang membawa syariat tertentu karena syariat merupakan aspek pelaksanaan atau implementasi. Namun mesti dipahami bahwa setelah kenabian tasyri’i dan berakhirnya risalah tasyri’i, pintu telah tertutup untuk semuanya, baik laki-laki atau perempuan. Karena itu setelah Rasulullah saw, bertahun-tahun lamanya tak ada lagi risalah baru yang muncul. Oleh karena itu, menjauhkan perempuan dari politik, sosial, budaya, dan ekonomi dengan alasan bahwa perempuan tidak membawa syariat adalah alasan yang tidak benar. Karena jika alasan ini dibenarkan, maka setelah berakhirnya risalah tasyri’i maka semestinya alasan ini pun berlaku terhadap laki-laki. Disisi lain, jika dipahami bahwa inti dari nubuwwah adalah wilayah, maka perempuan sama sekali tidak terhalangi dalam meraih hakekat wilayah. 

Thursday, October 9, 2014

ESKATOLOGI (MA’AD)

Pendahuluan
Setelah memahami bahwa manusia memiliki dua elemen penting yaitu ruh dan badan, pembahasan selanjutnya menjelaskan mengenai perpindahan dari alam dunia menuju alam akhirat. Apakah ruh dan badan sama-sama pindah ke alam sana, atau ruhnya saja, atau keduanya dengan sebuah penakwilan tertentu terhadap badan ?!
Pembahasan mengenai ma’ad pada umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian; eksistensi atau keniscayaan realitas ma’ad dan bentuk perpindahan manusia di alam sana. Maksudnya apakah yang dibangkitkan itu ruh atau badan dan atau keduanya. Sebagian besar filsuf lebih tertarik membahas mengenai ma’ad jismani dan juga mengenai bagian pertama yaitu eksistensi ma’ad.
Pengertian Ma’ad
Pengertian tentang ma’ad:
1.   ~  Kembali ke tempat asal mula.
2. ~ Mati setelah kehidupan dan kehidupan setelah mati.
3. ~ Penciptaan alam lain seperti alam dunia sebagai tempat berkumpul mulai manusia pertama sampai manusia terakhir.
4. ~ Kembalinya jiwa ke asal mula.
5. ~ Perpindahan ruh dari alam dunia menuju alam akhirat.
6 ~ Penyatuan jiwa partikular pada jiwa universal.
7. ~ Kiamat adalah bangkitnya manusia dari kuburan di alam akhirat,  yaitu ketika Tuhan hendak menimbang amal-amal manusia dan pada saat yang sama malaikat datang secara berbaris-baris.

Seluruh definisi yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa pengertian ma’ad ialah kembali kepada alam keabadian.

Probabilitas Terjadinya Ma’ad
Jika belum dibuktikan kemungkinan terjadinya ma’ad atau kemungkinan hari kebangkitan, tentu pembahasan apapun mengenai ma’ad akan sia-sia. Dalam membuktikan realitas ma’ad, bisa melalui pembuktian adanya realitas yang serupa dengannya, keberadaan alam dunia menunjukkan tentang kemungkinan adanya keberadaan alam lain yang mirip dengan dunia, atau dapat pula dijelaskan melalui hirarki realitas alam yakni hubungan antara alam yang satu dengan alam yang lain.

Karekteristik Ma’ad dan Bentuk Realitasnya.
Berkenaan dengan ma’ad jismani, Menurut Sadra, sebagian besar teolog, filsuf, arif, dan sufi meyakini bahwa kebangkitan kelak adalah kebangkitan jismani sekaligus kebangkitan ruhani. Maksudnya jiwa manusia yang immateri, setelah terpisah dengan badannya, akan kembali lagi pada badannya yang semula. Mulla Sadra pun menyebut teorinya dengan ‘kembalinya badan semula yang disertai dengan jiwa’. Menurut Sadra, teori ini sesuai dengan syariat dan akal manusia. Bahkan penginkaran terhadapnya sebanding dengan pengingkaran atas teks Quran.
Kembalinya (mu’ad) badan semula manusia digambarkan seperti jika ada orang yang meninggal, kemudian ada arwah lain yang melihatnya di alam sana. Arwah tersebut akan mengatakan bahwa Si Fulan itu dulu yang ada di dunia. Pondasi pemikiran Sadra berkenaan dengan hal ini bahwa meskipun diri manusia itu tunggal namun pada saat yang sama berada dalam tiga alam sekaligus; alam materi, alam imajinasi (mitsal), dan alam akal.
Pada awalnya manusia itu materi, selanjutnya dengan gerak menyempurnanya menjadi manusia barzakhi dan perjalanan selanjutnya menjadi manusia akli dan ukhrawi. Dari tiga tingkatan manusia tersebut memiliki badan yang satu, namun pada saat yang sama bergradasi. Persis seperti perubahan-perubahan badan manusia dari anak-anak hingga menginjak masa tua. Maksudnya dikarenakan identifikasi badan tersebut pada jiwa dimana jiwa sejak semula adalah tunggal, maka badan ukhrawi adalah badan dunia itu sendiri yang telah mengalami penyempurnaan.
Namun menurut kaum teolog, maksud kembalinya badan semula ialah terkumpulnya kembali bagian-bagian badan yang telah terurai. Setiap bagian-bagian badan tersebut memiliki keterkaitan dengan jiwa tertentu dan oleh karena itu pula memiliki karekteristik tertentu pula. Jadi, badan yang telah terurai dan tersebar sebelumnya, kembali tersusun ulang karena Tuhan mengetahui sepenuhnya bagian-bagian dari badan tersebut. Setelah melewati proses ini, badan akan menyatu kembali dengan ruh sehingga orang yang semula ada di dunia kembali hadir di akhirat.
Meskipun Ibn Sina meyakini ma’ad jismani dan ma’ad ruhani, namun ia beranggapan dalil pembuktian ma’ad jismani itu lemah. Menurut Ibn Sina, hanya ma’ad ruhani yang bisa dibuktikan secara argumentasi akal. Dan keyakinan terhadap ma’ad jismani hanya bisa diyakini dengan iman melalui teks-teks suci.
Syekh Isyraq atau Suhrawardi juga menolak kebangkitan jismani dalam pemaknaan kembalinya bagian-bagian badan semula yang telah terurai. Namun Suhrawardi meyakini akan keberadaan badan barzakhi. Suhrawardi meyakini, manusia akan kembali ke alam cahaya dikarenakan jiwa cinta terhadap keberadaan sumber asalnya dan atau meninggalkan keteruraian.
Pembuktian Ma’ad
Beberapa dalil berikut ini yang jelaskan oleh Qur’an;
  • Tuhan itu MahaBenar dan tidak melakukan pekerjaan yang batil dan sia-sia. Proposisi ‘alam tak memiliki tujuan’ adalah proposisi yang salah. Karena itu alam ini memiliki tujuan yaitu mendapatkan ketenangan dan kedamaian di alam sana. Alam tersebut disebut dengan alam akhirat.
  • Tuhan MahaBijaksana. Dan Tuhan MahaBijaksana tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan keadilan. Demikian halnya bahwa Tuhan itu MahaAdil sehingga Tuhan memberikan ganjaran pada siapa yang berhak. Karena di dunia yang kita saksikan ini, tidak memberikan jaminan sepenuhnya untuk membalas kebaikan dan kesalahan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu mesti ada satu masa yang dapat membalas amal-amal manusia. Dan masa itu adalah hari kiamat.    
  • Keniscayaan dari rahmat Ilahi adalah mengantarkan manusia pada kesempurnaannya. Oleh karena itu mesti ada kiamat sehingga manusia dapat menyaksikan amal perbuatannya sendiri dan sekaligus menyampaikannya pada kesempurnaan.
  • Dalam surah Yasin ; 78 dijelaskan, Tuhan yang pada saat pertama kali menciptakan manusia, mampu untuk menciptakan kembali manusia tersebut seperti sediakala.
Dalil Argumentasi dari Filsuf
Mulla Sadra dalam beberapa karyanya menyimpulkan bahwa pondasi ma’ad jismani dan ruhani ialah;
  • Meskipun karekteristik badan senantiasa berubah, namun jiwa itu tetap dan menjadi penentu identitas personal badan. Oleh karena itu, keseluruhan badan dan jiwa di dunia akan dibangkitkan kembali di alam akhirat.
  • Wujud adalah kebaikan dan pengetahuan terhadapnya adalah bentuk kebaikan lainnya. Semakin sempurna wujud, semakin sempurna pula kebaikan. Oleh karena itu, eksistensi fakultas akal lebih unggul dan kebahagiaan baginya pun lebih besar. Kenikmatan yang dihasilkan dari persepsi-persepsi tersebut tak dapat dibayangkan, karena akal dari sisi persepsi lebih kuat dari persepsi indrawi. Namun kebaikan-kebaikan ini tak diperoleh selama jiwa masih melekat dengan badan duniawinya, ketika terpisah, barulah teraktual.
  • Jiwa mampu sampai pada maqam tertentu dimana kebergantungannya pada badan semakin sedikit dan jiwanya lebih besar tertuju pada alam lain. Kematian akan membuat badannya terpisah dengan jiwanya. Keterpisahan ini bukan karena ketidakmampuan jiwa dalam menjaga badannya, namun dikarenakan secara fitrawi jiwanya lebih tertuju ke alam sana.

Syekh Isyraq meyakini, kecintaan jiwa terhadap asal mula, lebih besar daripada kecintaan jiwa terhadap badannya. Semakin sedikit kebergantungannya pada materi, cintanya akan semakin besar kepada asal keberadaannya. Ketika manusia mati, badan akan kembali ke asalnya. Tak ada kenikmatan lebih besar dari mempersepsi kesempurnaan. Setelah manusia terpisah dari badannya, manusia akan menyaksikan realitas yang nyata dan emanasi Ilahi akan tercurahkan untuknya.         

Tuesday, October 7, 2014

Resensi Buku; Ketika Tuturan Berarti Tindakan

JUDUL BUKU : LINGUISTIK FENOMENOLOGI  JOHN LANGSHAW AUSTIN “KETIKA TUTURAN BERARTI TINDAKAN”
PENULIS : Dr. WAHYU WIBOBO
PENERBIT : BIDIK-PHRONESIS  PUBLISHING, JAKARTA
TAHUN TERBIT : CETAKAN 1, 2011
TEBAL HALAMAN : xiv+138 hal; 14 cm x 21 cm

Buku ini oleh penulis, disuguhkan untuk menjelaskan pemikiran utama John Langshaw Austin yaitu berkenaan dengan Filsafat Bahasa Biasa. Penulis buku ini membagi pokok pikirannya menjadi empat bagian. Bagian pertama meliputi sejarah singkat dan istilah Filsafat Bahasa dan perbedaannya dengan istilah lainnya seperti Linguistik Struktural dan Filsafat Analitik. Bagian kedua menjelaskan pandangan spesifik Austin tentang Linguistic Phenomenology. Bagian kedua dapat dikatakan gagasan inti dari buku ini karena dasar pemikiran Austin lebih banyak dituangkan pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga dan bagian keempat memaparkan bagian aplikatif atau aksiologis Filsafat Bahasa Biasa.
Persoalan dan kajian-kajian filsafat pada awal abad 20, lebih banyak pada analisa bahasa beserta maknanya, khususnya di Amerika dan Eropa seperti Inggris. Pada pendahuluan buku ini yang oleh penulis menyebut pendahuluan ini dengan prawacana, menegaskan Ludwig Wittgenstein sebagai pencetus aliran Filsafat Bahasa Biasa dan kemudian dilanjutkan Austin. Wittgenstein yang membangun dasar-dasar baru teori bahasa, sedangkan Austin yang mengaplikasikannya. Penulis juga menjelaskan bahwa Filsafat Kontemporer mencatat aliran filsafat Bahasa Biasa sebagai aliran pemikiran yang paling kritis dan paling berpengaruh, terutama karena (a) upayanya dalam mengoreksi pemikiran strukturalisme bahasa, dan (b) pengaruhnya dalam kelahiran sejumlah pemikiran kritis lainnya yang datang belakangan, seperti teori kritis Habermas, Hermeneutika Kritis Gadamer, Poststrukturalisme Derrida, dan Postmodernisme Lyotard.
Penelitian dan analisa kritis terhadap bahasa menjadi penting, paling minimal dikarenakan oleh dua hal: pertama karena bahasa merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan juga dikarenakan aspek inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kedua, kebanyakan kesalahan-kesalahan dalam pikiran manusia dikarenakan penggunaan yang tidak benar dan tidak benar dalam menggunakan bahasa. Tak heran jika sebagian dari Filsuf Bahasa menklaim kemunculan Filsafat Bahasa adalah tanda kematian bagi aliran-aliran filsafat yang ada sebelumnya. Meskipun saat ini klaim mereka tidak memiliki dampak yang signifikan namun dapat terlihat sumbangsih yang telah diberikan atas analisa filosofis terhadap bahasa.         
Wittgenstein berpandangan bahwa kesalahan kaum filsuf sebelumnya dikarenakan mereka melampaui batas bahasa padahal bahasa memiliki batasan tersendiri. Bahkan kata Wittgenstein, tugas filsafat bukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat, akan tetapi tugas utama filsafat ialah menghancurkannya. Menurut Wittgenstein (First Wittgenstein),  manusia mampu memaparkan realitas melalui perantara bahasa. Menurutnya struktur bahasa dan realitas itu satu. Analisa komprehensif terhadap struktur bahasa mampu menjelaskan struktur realitas. Bahasa adalah gambaran realitas karena terdiri dari proposisi-proposisi yang menjelaskan realitas.
Dr. Wahyu Wibowo pada bagian pertama juga menjelaskan bahwa Filsafat Bahasa bahkan dianggap memiliki metode yang kritis dan netral karena mampu membersihkan bahasa para filsuf sebelumnya dari pemikiran yang melingkar-lingkar tidak jelas dan tidak terlibat dengan realitas. Selain hal ini, metode yang digunakan filsafat bahasa juga dianggap sebagai metode yang khas dalam ilmu filsafat, karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa juga sekaligus dapat dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan bahasa.
Sebelum melangkah lebih jauh, buku ini menjelaskan asal muasal aliran Filsafat Bahasa Biasa bahwa, akar Filsafat Bahasa ini berasal dari Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Sebagaimana dipahami, kaidah penting dan mendasar dalam Positivisme Logis adalah prinsip verification. Melalui kaidah ini kaum Positivisme meyakini mampu memilah secara nyata antara proposisi yang memiliki makna dengan proposisi yang tak memiliki makna. Proposisi yang memiliki makna ialah proposisi analitik dan proposisi sintetik. Proposisi analitik ialah proposisi yang berkaitan dengan logika dan matematika, sedangkan proposisi eksprementasi adalah proposisi sintetik. Namun proposisi yang tidak termasuk ke dalam proposisi analitik dan sintetik adalah proposisi yang tidak memiliki makna.
Istilah Filsafat Bahasa mesti dibedakan dari Linguistik Struktural. Linguistik Struktural menjelaskan bahwa bahasa tunduk di bawah hukum linguistik, sedangkan Filsafat Bahasa justru menjelaskan sebaliknya. Oleh karena itu, menurut Filsafat Bahasa, bahasa hanya dapat dipahami dalam format bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu sendiri. Kehidupan yang kompleks ini berimplikasi pada penggunaan bahasa untuk bermacam-macam tujuan.
Isitilah selanjutnya yang mesti dibedakan ialah antara Filsafat Bahasa dan Filsafat Analitik, apalagi kedua istilah ini sering diidentikkan. Penulis buku ini menjelaskan, dari sudut hakikatnya, kedua istilah ini memang identik karena para filsufnya sama-sama menjadikan bahasa sebagai objek material mereka. Penulis menjelaskan lebih jauh bahwa perbedaan antara Filsafat Bahasa dengan Filsafat Analitik terletak pada fungsi dan cakupan diantara keduanya. Khususnya dalam pandangan Austin bahwa Filsafat Bahasa melingkupi fungsi bahasa, bertalian dengan tindakan manusia.
Teori Austin dipaparkan secara khusus pada bagian kedua dari buku ini. Oleh karenanya sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, inti dari buku ini dijelaskan pada bagian kedua. Penulis menjelaskan, sejak tahun 1940-an Austin telah memperkenalkan teorinya yang membagi ungkapan pada ungkapan performatif, ungkapan konstatif, dan tindak tutur. Namun perlu ditegaskan bahwa Austin tidak menulis buku. Teori-teori Austin di ambil dari makalah-makalah serta ceramah-ceramahnya di kampus pada saat itu. Di dalam perkuliahannya Austin memang kerap melontarkan ungkapan ‘what to say when’, yang dimaknainya bahwa unsur bahasa (what) sama pentingnya dengan dunia fenomena-fenomena (when). Ungkapan ini oleh Austin dinamainya Linguistic Phenomenology.
Teori Linguistic Phenomenology yang diungkapkan oleh Austin menunjukkan bahwa ungkapan hanya sekedar nama untuk menyebut aktivitas analisis bahasanya, karena Austin tidak tertarik dengan analisis bahasa yang melihat bermakna-tidaknya suatu ungkapan bahasa hanya berdasarkan formulasi teori linguistik struktural. Bagi Austin, suatu ungkapan bahasa, selain berbeda ucapannya dengan ungkapan bahasa lain, juga berbeda dalam hal situasi penggunaan dan dampaknya bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Hal yang patut diperhatikan dalam bagian kedua buku ini, pada sub-tema ‘Aspek Penyembuh Bahasa’, penulis menjelaskan bagaimana keterhubungan antara Wittgenstein dan Austin. Keterhubungan ini terjadi disaat Austin menulis buku tentang Philosophical Investigation. Buku ini bertujuan dalam melakukan koreksi terhadap bukunya sebelumnya, yakni Tractatus Logico-Philosophicus, karena buku ini terasa sempit dalam memahami hakikat realitas, oleh karena hanya terbatas pada logika bahasa. Keterhubungan Austin dengan Wittgenstein dapat terlihat pada pemikiran Wittgenstein tentang fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebagaimana digambarkannya dalam Philosophical Investigation.
Wittgenstein dalam tata permainan bahasa, menyinggung tugas filsafat yang dikatakannya harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan berlaku di dalamnya, dan menetapkan logikanya. Analisis bahasa tidak lagi harus didasarkan pada logika formal atau logika matematis, tetapi harus didasarkan pada dan diperlakukan dengan menggunakan bahasa biasa, the ordinary language, yakni bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran Wittgenstein mengenai Filsafat Bahasa Biasa dikembangkan oleh para filsuf dari lingkungan Universitas Oxford seusai perang dunia II, terutama Austin. Pemikiran Austin tampak lebih khas dibandiingkan dengan pemikiran Wittgenstein, terutama pemikiran analitisnya tentang ungkapan performatif, ungkapan konstatif, dan tindak tutur.
Dalam sub-tema ‘Pemikiran Analitis Austin’ pada bagian kedua buku ini, penulis memaparkan posisi Austin sebagai seorang filsuf Filsafat Biasa dan memaparkan prinsip-prinsip utama pemikiran Austin. Austin berkeyakinan bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan banyak hal yang dapat dipelajari, mengingat banyaknya distinsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.
Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah lingusitik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa. dari prinsipnya ini, Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik hasruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Biasa merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).
Menurut penulis, pada awalnya Austin membagi jenis-jenis ungkapan atas ungkapan konstatif (pernyataan) sebagai lawan dari ungkapan performatif (dekralatif). Ungkapan konstatif adalah jenis unngkapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual atau peristiwa nyata, yang oleh karena itu memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar-salahnya berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Kemudian ungkapan performatif adalah ungkapan yang berimplikasi dengan layak-tidaknya atau berbahagia-tidaknya (happy or unhappy) si penutur ketika mengungkapkannya. Itu sebabnya, ungkapan performatif sukar diketahui salah-benarnya, mengingat pertalian eratnya dengan kewenangan dan kelayakan si penuturnya. Oleh karenanya, Austin memberikan syarat atau ciri-ciri yang harus diperhatikan berkenaan dengan ungkapan performatif. Namun tidak sampai disini, persyaratan untuk ungkapan performatif ternyata juga berlaku bagi ungkapan konstatif.
Perbedaan hakiki diantara kedua bentuk ungkapan itu ternyata diragukan oleh Austin, terutama karena keduanya sama-sama terikat secara kontekstual pada seluruh situasi yang total kapan ujaran itu diungkapkan. Untuk mengatasi keragu-raguannya, Austin mengemukakan teori tindak tutur (speech acts), yaitu tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat. Teori tindak tutur yang dilandasi oleh pemikiran Wittgenstein itu, dibangun oleh Austin melalui tesis ‘dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula’. Pada prinsipnya, tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama.
Selanjutnya Austin membagi membagi tindah tutur ke dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Tindak lokusi, yaitu tindak tutur penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Tindak ilokusi, yakni tindak tutur penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan sesuatu dengan daya khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi mitra tuturnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons mitra bicara.
Bagian ketiga dan keempat buku ini, memaparkan aspek aplikatif atau aksiologis  teori Filsafat Bahasa Biasa. Sejak awal penulis menekankan pentingnya aspek aksiologis teori ini. Misalnya pada bagian pertama, penulis menkritisi mereka yang berunjuk rasa dengan membawa kerbau. Bagi Dr. Wibowo, si pembawa kerbau itu ternyata tidak memiliki keseimbangan antara akalnya dan bahasanya. Ia tidak mampu memahami bahwa kerbau bukan sekedar hewan yang berkolerasi dengan makna konotatif ‘gemuk’, ‘malas’, atau ‘bodoh’. Lebih dari hal itu, kata ‘kerbau’ itu sendiri mengandung unsur aksiologis sehubungan dengan nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita.
Contoh lainnya disaat menjelaskan ungkapan konstatif dan ungkapan performatif. Misalnya berkenaan dengan ungkapan konstatif, penulis memberikan contoh; “Saya ditugasi Presiden mengatasi luapan lumpur lapindo di Sidoarjo,” ujar mentri Pekerjaan Umum. Si saya atau Mentri Pekerjaan Umum di dalam berita itu sekedar diinformasikan oleh wartawan bahwa ia diberi tugas mengatsi luapan lumpur lapindo. Hal ini berarti benar-salahnya ungkapan ini tergantung faktanya apakah Pak Mentri benar-benar ditugasi oleh Presiden (melalui surat alat bukti tertentu, misalnya surat tugas).
Sementara contoh ungkapan performatif; “Luapan lumpur di Sidoarjo akan teratasi paling lambat akhir 2008,” ujar Mentri Pekerjaan Umum lebih lanjut. Si saya atau Mentri Pekerjaan Umum dalam berita itu sekaligus berjanji melakukan tindakan. Akan tetapi, ungkapan ini belum dapat ditentukan layak-tidaknya, sebelum janji si saya itu direalisasikannya. Dan banyak contoh-contoh lainnya dalam mengaplikasikan teori Filsafat Bahasa Biasa, khususnya pada bagian akhir atau bagian keempat buku ini.
Dalam meresensi buku ini, beberapa hal penting sebagai saran dalam membaca buku ini:
Salah satu kekuatan Buku ini, oleh karena penulis menggunakan bahasa yang lugas dan  mudah dipahami. Khususnya dalam memberikan contoh-contoh aplikatif dari setiap teori-teori Filsafat Bahasa Biasa dalam buku ini. Hal tersebut sekaligus menunjukkan dalam mengaplikasikan Filsafat Bahasa Biasa. Dan juga membuktikan penguasaannya terhadap Filsafat Bahasa Biasa.
Buku ini adalah buku pengantar untuk memahami Filsafat Bahasa Biasa, khususnya dalam memahami pemikiran Austin. Oleh karenanya, disarankan pada pembaca yang ingin memahami lebih jauh, hendaknya membaca buku lainnya yang mengeksplorasi lebih jauh Filsafat Bahasa Biasa, khususnya pemikiran Austin. Sehingga terpahami dengan baik, bagaimana dan dimanakah sejarah lahir Filsafat Bahasa Biasa ini dimulai. Sekaligus memahami lebih jauh teori Speech Acts yang jejaknya diawali oleh Wittgenstein, kemudian Austin, lalu dikembang lebih jauh oleh muridnya, John Searle dalam karyanya “Austin on Locutionary and Illocutionary Acts”.
Hal lain yang belum tersentuh dalam buku ini juga menjadi catatan penting bagi pembaca, khususnya bagi mereka yang ingin meneliti lebih jauh terkait dengan pembahasan ini. Misalnya bagaimana peran Filsafat Bahasa Biasa terkaiat dengan bahasan agama. Sejauh manakah Filsafat Bahasa Biasa ini dapat diaplikasikan ke dalam ranah agama ?