Monday, April 23, 2018

Film The Quite Place; Paling Diam, Paling Aman


Sebenarnya saya paling tidak suka film horor, tapi film horor yang satu ini, buat saya judulnya menarik, The Quite Place. Tempat yang paling senyap.

Apalagi ditambah dengan aturan main,
Dont Make a Sound,
Never leave the Path
Red Means Run

Tapi sebelum itu, saya teringat satu essay menarik, judulnya kira-kira begini, "mengapa akhir-akhir ini orang-orang moderen menyukai film Zombie?"

Memang film ini bukan film Zombie, tapi Monster. Karakter Zombie sangat dekat dengan karakter monster dalam film ini, hanya tahu menyerang dan haus darah. Namun zombie bergerak dengan sangat lamban, namun monster di film ini bergerak dengan sangat cepat. Menyergap dalam kesenyapan.

Walau si monster punya kepala namun tak punya mata, tapi seolah punya telinga. Sehingga kekuatan monster dalam film ini mendeteksi seluruh mangsanya dengan bunyi-bunyian. Si monster bisa membedakan antara hasil bunyi-bunyian alamiah alam dengan bunyi-bunyian hasil produk manusia.

Ia mampu mendeteksi suara keindahan alam, seperti suara angin dan suara pepohon dan dedaunan karena hempasan angin. Tahu suara gemercik air dan suara deras air terjun. Dan suara keindahan alam lainnya.

Tapi begitu ada yang bicara, apalagi teriak, seketika monster itu akan datang menyergap, sangat cepat. Bahkan suara dari bunyi kendaraan, televisi, radio, handphone, atau bunyi apa pun yang tak berasal dari suara alam, tak kan luput dari sergapan, karena monster itu buta, hanya tahu mendeteksi bunyi-bunyian. Sehingga terlihat kecewa setiap kali menyerang benda-benda yang tak bernyawa.

Film ini memotret satu wilayah perkampungan yang telah diserang oleh monster. Kota-kota dan perkampungan berubah menjadi tempat yang paling senyap. Tak ada bunyi, nada dan irama. Tak ada kata dan kalimat yang mampu terucap. Semua orang terpaksa memilih bisu. Bahasa terindah adalah bahasa isyarat.

Berbagai jenis kendaraan seolah tak punya kuasa untuk bergerak atau digerakkan. Alat komunikasi yang paling riuh, seketika menjadi kehilangan fungsinya karena dipaksa diam dan membisu.

Kira-kira monster itu sedang menyimbolkan apa dan siapa?

Monster itu simbol dari penghancur peradaban. Si monster hanya bisa beradaptasi dengan suara alam. Namun tak bisa kompromi dengan segala bentuk kreativitas dan inovasi.

Seolah si monster sengaja dihadirkan untuk menghancurkan peradaban modernitas yang sudah sangat bising dan tak terkendali.

Beruntung pemikiran sebagai bentuk kreativitas dan inovasi, meskipun riuh tapi tetap senyap. Kecuali si monster masih memaknainya sebagai bagian dari bunyi-bunyian yang mesti dihancurkan, maka tak kan ada lagi yang tersisa dari peradaban ini, kecuali memilih diam di tempat yang paling senyap.

Sebab paling diam adalah paling aman.

Tuesday, April 3, 2018

Bahasa Satire yang Gagal adalah Bahasa Nyinyir


Tapi memang ada benarnya, tak mudah membuat rangkaian bahasa satire dan tak mudah pula memahami satire. Bagi sebagian orang, pemaknaan yang mendalam akan lebih nyaman jika terekspresikan dalam bahasa satire. Selain memiliki makna ganda namun bisa menyembunyikan makna mendalam dengan sangat indah. Dan yang lebih penting, bisa mengeritik seseorang atau suatu pemikiran tanpa mereka sadari.

Bagi mereka yang senang membaca karya-karya Nietzsche, Kafka, Sartre, Syariati, dan Bukowski, pasti sangat akrab dengan gaya bahasa satire. Gaya bahasa yang menohok namun tetap indah dan memiliki kedalaman makna yang sangat dalam.

Namun jika sejak awal hanya berniat ingin membuat gaduh dan kegaduhan. Tak perlu bahasa mendalam apalagi lagi satire, akan lebih tepat jika menggunakan bahasa nyinyir. Seperti perpolitikan kita saat ini, di ruang-ruang sosial media seolah hanya mampu menghasilkan bahasa nyinyir. bahkan hampir di setiap perdebatan politik akan berakhir di sosial media dengan saling nyinyir.

Saya bersyukur punya banyak kawan dari berbagai kalangan dan ragam pemikiran. Dari yang paling kiri hingga paling kanan dan yang mengaku berada di tengah-tengah yang terkadang condong ke kanan atau ke kiri.

Diantara mereka ada yang berjilbab, tak berjilbab, bercadar, dan yang bebas sekali pun. Mereka semua orang-orang baik. Tak pernah melakukan korupsi, mencaci, mencibir, apalagi menghardik. Dan tak pernah menyinyir keyakinan seseorang atau minimal mereka tak pernah menuliskannya dalam bentuk puisi dan membacakannya di depan publik.

Jadi saya sudah bisa berdamai dengan perbedaan. Menghormati setiap keyakinan seseorang. Menyadari tak ada satu pun tempat di dunia ini yang hanya terisi satu bentuk pemikiran saja. Kecuali mereka yang suka memenjarakan pemikiran seseorang. Mereka akan memaksakan satu bentuk pemikiran pada semua orang.

Pasti ada pesan yang ingin disampaikan dibalik setiap bahasa, apalagi bahasa satire. Pesan yang hendak disampaikan pada seseorang atau golongan tertentu. Namun kesalahan dalam pilihan diksi dan pengalaman atas makna diksi yang tidak menyeluruh akan menjebak kita dalam keluasan makna. Akibatnya bukan hanya tidak tepat sasaran tapi hanya membuat kegaduhan semakin luas.

Puisi satire yang gagal akan berubah menjadi bahasa nyinyir. Jadi tak perlu heran jika puisi tersebut akan menuai nyinyiran dari semua kalangan. Apalagi di era revolusi teknologi kedua yang akan memudahkan setiap orang berbuat nyinyir kapan saja dan semaunya.

Mungkin karena hampir setiap orang tak ingin ketinggalan momen meskipun terkadang momennya sudah ketinggalan. Hampir setiap orang ingin cepat-cepat memposting sesuatu agar tidak ketinggalan momen. Tanpa pernah berpikir dampak kegaduhannya. Kecuali tujuan satu-satunya puisi itu hanya untuk berbuat kegaduhan.

Tapi mungkin benar kata Schopenhauer, “orang-orang buas saling memangsa satu sama lain, sedangkan orang-orang yang mengaku beradab saling menipu”.

 

Saturday, March 31, 2018

Film The LunchBox: Merayakan Kesendirian

Kami dari Rumi Institute mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Mas Budhy dan Mas Yudhi yang sudah berkenan berbagi makna-makna baru dalam kehidupan “Dabbawalla”, rantang makan siang. Bahwa dalam menjalani dan menyelami rutinitas seluruh aktifitas kehidupan pasti akan terhubungkan dengan “Dabbawalla”.

Jadi apa simbol rangtang dalam film ini?

Saya selalu bertanya-tanya mengapa Fernandes sangat susah tersenyum dan sangat dingin dalam menyapa orang-orang disekitarnya. Menjawab seadanya dan apa adanya. Hampir tak pernah menyelimuti dirinya dengan kebahagiaan. Tatapan sorot matanya yang tajam selalu membawanya ke dalam samudera keindahan derita kesunyian dan kesendirian.

Ternyata Fernandes telah lama kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terkadang kehilangan bisa menenggelamkan kita dalam derita yang berlarut-larut. Khususnya suatu bentuk kehilangan yang akan menyebabkan kita kehilangan makna hidup.

Namun kesendirian dan kesunyian Fernandes tiba-tiba sirna ketika rantang Illa datang menyapa kesunyiannya. Illa selalu mengisi rantang itu dengan menu khusus untuk makan siang yang sebetulnya diperuntukkan untuk suaminya. Tapi si pembawa rantang tanpa sengaja menukarkan rantang itu ke orang lain, Fernandes.

Kesalahan tanpa sengaja yakni ketertukaran tanpa sengaja di dalam film ini menjadi simbol yang sangat kuat, “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”, pesan ini selalu muncul tiap kali film ini akan mencapai klimaks.

Illa memiliki derita yang sama dengan Fernandes. Illa pun sedang mengalami derita kesunyian, namun bukan karena kehilangan, justru oleh kehadiran. Kehadiran dirinya dalam keluarganya sudah tak ada bedanya dengan ketidakhadirannya. Kata, tutur, tawa, dan senyum untuk keluarganya seperti angin sepoi-sepoi yang selalu menyapa dengan kelembutan namun mendapat tanggapan yang sangat dingin.

Akhirnya Illa membiarkan rantang itu tertukar sebab “kereta yang salah bisa membawamu menuju stasiun yang benar”. Illa pun mendapat kehidupan baru dari rantang tertukar. Illa dan Fernandes akhirnya berkomunikasi melalui tulisan yang dioret-oret di atas sepucuk kertas yang diselipkan ke dalam rantang.

Jadi rantang adalah hati. Hati yang selalu diisi dengan keindahan, akan memberikan warna keindahan dan menyapa setiap orang dengan keindahannya. Mereka berdua dipertemukan dalam kesendirian melalui keindahan hati yang tulus dan polos.

Tapi memang benar, akhir film ini menitipkan sebuah pesan utama bagi ummat manusia yaitu merayakan kesendirian. Dari kesendirian menuju kesendirian yang lain. Proses yang sedang berlangsung diantara keduanya adalah proses memaknai kesendirian diri yang paling sendiri.

Jika kita gagal memaknai kesendirian kita yang paling sunyi berarti kita gagal memaknai kesejatian diri. Tiap-tiap dari kita adalah orang-orang yang sedang berada di atas kereta. Sebelum naik kereta kita sendiri dan saat turun pun, kita tetap sendiri dan menapaki jalan kesendirian diri kita yang paling sendiri. Dan setiap orang seharusnya sudah tahu di stasiun mana dia akan turun.

Kesendirian bukan tragedi, namun kegagalan dalam memaknai kesendirian adalah tragedi besar bagi ummat manusia moderen saat ini.

Kata Maulana Rumi:

Duhai jiwa!
Aku merindukanmu!
Kemanapun daku beranjak!
Seolah aku selalu membawa dirimu!
Walau hanya mengingatmu dan kesendirian.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih yang tak terhingga buat teman-teman semua yang sudah menyiapkan waktunya bersedia hadir di Rumi Institute tadi malam.

    

Tuesday, March 27, 2018

"Pengalaman Spiritual dalam Agama"

Sebenarnya apa esensi agama? Kita tidak akan menemukan jawaban yang sama atas pertanyaan ini, bahkan boleh jadi bagi setiap penganut agama akan memberikan jawaban yang berbeda, semuanya sangat bergantung kepada sejauh mana pengalaman kita terhadap agama.

Namun bagi para pesuluk atau para pejalan spiritual, esensi agama adalah pengalaman dan mengalami tentang aspek ke-Ilahiyah-an (transenden).

Berkenaan dengan pejalan, Ibn Arabi mengatakan, ada dua jenis pejalan, mereka yang diperjalankan oleh Tuhan dan mereka yang berjalan sendiri menuju Tuhan.

Ada pejalan yang sejak awal Tuhan telah menarik tangannya menuju diriNya dan ada pejalan yang bergerak sendiri menuju Tuhan.

Secara umum pengalaman ini terbagi menjadi dua bagian; pengalaman agama dan pengalaman spiritual.

Pengalaman spiritual sudah pasti menjadi bagian dari pengalaman agama, namun pengalaman agama belum tentu menjadi pengalaman spiritual.

Lalu apa yang dimaksud dengan pengalaman Spiritual?

Menurut Rudolf Otto, pengalaman spiritual adalah suatu pengalaman yang di dalam pengalaman itu terdapat aspek penyatuan dengan Tuhan.

Perjalanan spiritual adalah perjalanan di dalam diri. Proses perjalanan ini pada umumnya terbagi menjadi tiga bagian; Tahzib (proses pengoyakan diri), lalu Isyraq (emanasi), hinga sampai pada Wishal atau penyatuan dengan Tuhan.

lalu bagaimana kita bisa sampai kepada Ilahi melalui diri?

Man Arafa Nafsah, Arafa Rabbah. Siapa yang mengenal dirinya mengenal Tuhannya. Hadits ini senada dengan salah satu ayat Quran;

(وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ . . .
[Surat Al-Hashr 19]

(Al-Ĥashr):19 - Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri . . .

Lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri, bukan lupa diri berarti lupa terhadap Tuhan. Mungkin logika kita selama ini mengatakan bahwa jika lupa terhadap diri berarti lupa terhadap Tuhan, namun logika Al-Quran justru sebaliknya, lupa Tuhan berarti lupa terhadap diri.

Pengalaman tentang penyatuan bagi para sufi, bukan pengalaman yang bisa dicapai dengan nalar, sebab pengalaman tentang penyatuan adalah suatu pengalaman dimana si penyimak telah sirna di dalam objek yang disimak.

Ada kalimat Ibn Arabi yang sangat menarik, "Tuhan tidak seperti sesuatu, dan sesuatu tidak seperti Tuhan, lalu bagaimana mungkin manusia yang juga bagian dari sesuatu mampu mengetahui Tuhan dimana Tuhan bukan sesuatu dan juga sesuatu bukan Tuhan?"

Kata Ibn Arabi, tak ada jalan lain kecuali meniadakan diri dimana pada saat itu tidak ada lagi yang bisa disebut sebagai sesuatu sebab telah sirna atau fana di dalam Dzat Ilahi.

(يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ)
[Surat Fatir 15]

Hai Manusia, kalian semua faqir menuju Allah. Dan Dialah Allah Yang MahaKaya lagi MahaTerpuji.

Dalam hal ini, Quran menegaskan bahwa wujud manusia adalah wujud faqir yaitu suatu keberadaan yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?

Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita 'ada' dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.

Terakhir saya menutup diskusi kita dengan mengutip syair indah dari Maulana Rumi;

"Ada sebentuk kehidupan yang bersemayam dalam dirimu, temukanlah kehidupan itu.
Temukan permata rahasia itu di pegunungan dalam ragamu.
Wahai engkau yang sedang berlalu-lalang, carilah dengan sekuat daya upaya.
Apapun yang sedang engkau cari, carilah di dalam dirimu, bukan di luar".

"Jika ada cahaya di dalam dirimu, kau akan tahu jalan pulang".

Monday, March 26, 2018

"Realpolitik; Serius Gak Serius"

Serius gak serius. Yah santai saja. Sebab kita semua merayakannya. Setiap orang merayakan kepentingannya.

Realpolitik tidak ditemukan di buku-buku politik, di bangku-bangku kuliah, apalagi di perpustakaan. Realpolitik adalah politik yang sebenar-benarnya politik. Saking benarnya sehingga tak pernah menguap di permukaan kecuali di sudut-sudut warung kopi.

Jadi mengapa kita mesti begitu serius dengan perubahan-perubahan politik yang terjadi!? Toh 'dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat' tak pernah terjadi, sebab di warung kopi maknanya berubah menjadi 'dari rakyat oleh rakyat untuk juragan'. Kita kan memaklumi jika setiap kelompok memperjuangkan kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok akan berjuang dan membela juragannya.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Realpolitik sekarang ini tidak butuh orang yang pintar-pintar amat untuk meraih kursi politik. Dalam kata lain, setiap orang berpotensi meraih kursi politik, siapa pun dia. Sudah tidak ada bedanya antara orang pintar dan orang yang tidak berpengetahuan dalam meraih kursi politik. Dan itu semua dilakukan atas nama demokrasi. Kita tak perlu sibuk dengan hasilnya yang penting prosesnya berjalan. 'Yo wes sakkarepmu', 'ero'-ero'nu, mau-maunu, terserah, bodoh amat.

Jadi tak perlu terlalu serius sebab semua orang sedang mengurus kepentingannya sendiri. Negara sibuk dengan sistemnya sendiri, petani sibuk dengan problemnya sendiri, dan orang-orang di warung kopi juga sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Dan inilah salah satu bagian dari realpolitik yakni bertemu secara langsung dalam mengatasi masalah, bukan perwakilan. Orang-orang berdiskusi menyelesaikan masalahnya sendiri di warung kopi, petani bertemu sesama petani, dan negara bertemu dengan jajaran para aparatur negara dalam menyelesaikan persoalannya.

Ketidakseriusan menjadi satu-satunya hal yang paling serius. Dan keseriusan  menjadi hal yang tidak serius. Sebab perubahan ke depan sudah tidak dapat diprediksi seperti apa bentuknya.

Realpolitik adalah petanda bahwa politik sudah mati sebab politik sudah berubah menjadi konspirasi.  Dan konspirasi adalah cara memainkan apa saja dalam meraih kemenangan. Dalam politik masih ada peluang berbicara tentang etika politik namun dalam konspirasi hanya berbicara tentang kemenangan sebab etika politik menjadi penghalang utama dalam melakukan konspirasi.

Tulisan ini terinspirasi dari juragan saya Mas Daniel dan Mas Anom sewaktu berdiskusi di CafeBook Baraya. Bogor.