Saturday, March 17, 2018

"Film Silence; Relasi Iman dan Derita"



Terima kasih buat CafeBook Baraya, Bogor, atas undangannya membedah film yang sangat indah memaparkan tentang konteks iman dan keberimanan.

Film "Silence" menawarkan tentang kebisuan lidah agar mampu mendengarkan keheningan batin atau mendengarkan jeritan hati yang paling dalam. Suatu pengalaman keheningan tanpa rekayasa yang hadir begitu saja bersamaan dengan siksaan yang datang bertubi-tubi dan tanpa henti di alam kehidupan eksternal.

Saya mencoba mendekati dan mendedah film "Silence" melalui teori keberimanan Kierkegaard, pendiri filsafat eksistensialisme dan kebetulan beliau juga berposisi sebagai seorang Pendeta. Ada kedekatan yang cukup dalam antara suguhan film dengan penjelasan karekteristik keberimanan menurut Kierkegaard.

Menurut Kierkegaard, seseorang akan dianggap memiliki keberimanan jika memiliki karekteristik berikut ini;

1. "Iman yakni membiarkan diri anda dalam bahaya". Adegan demi adegan dalam film ini seolah ingin mengharmonikan antara iman dan siksa penderitaan. Mulai detik pertama hingga detik film ini berakhir nampak terlihat dengan jelas, iman dan siksa penderitaan menjadi dua hal yang begitu harmoni.

2. "Iman yakni keteguhan dan janji". Maksudnya, sebesar apa pun badai datang menghadang, keberimanan tetap tegar mengahadapinya, dan tak kan pernah goyah oleh apapun.

3. "Iman yakni level kehendak yang kuat atau iradah, bukan pengetahuan". Disini letak perbedaan sebelum seseorang memutuskan beriman pada sesuatu dan setelah beriman. Sebelum beriman adalah level pengetahuan dan setelah beriman atau setelah memutuskan beriman pada sesuatu, berarti ia telah terikat pada sesuatu tersebut.

Intinya, iman adalah pengalaman, bukan konsep-konsep atau gagasan-gagasan, dan bukan pula narasi-narasi. Iman dan keberimanan adalah sesuatu yang kita raih dari pengalaman. Justru pada saat menghadapi suatu fenomena, disitulah keberimanan akan diuji, apakah seseorang benar-benar memiliki keberimanan atau tidak. Dan jika ada, sejauh mana tingkat keberimanannya.

Pendeta Garupe mulai menyadari bahwa keberimanan itu bukan perkara sederhana dan bukan pula level pengetahuan, saat mulai dihadapkan pada bentuk-bentuk siksaan. Dan tepat pada saat itu, terjadi dialog 'keheningan' dengan dirinya sendiri. Dialog paling jujur yang terkadang hadir di dalam diri kita sendiri saat keheningan memaksa dirinya untuk hadir di dalam batin kita yang paling dalam dan tersembunyi.

Dan berikut ini saya kutip dialog keheningan Pendeta Garupe saat mulai merasakan kesendirian dan keheningan di dalam dirinya;

"Saya tergoda . . .
Saya tergoda untuk putus asa,
Menunggu keheninganMu itu menyakitkan,
Saya berdoa tapi saya tersesat,
Apakah aku hanya berdoa kepada yang tidak ada?"

Dan pada akhirnya Pendeta Garupe menjalani keberimanan "Kicijiro", ingkar di lidah namun hati tetap ikrar secara penuh kepada Ilahi.

Ia lebih memilih inkar di lisan demi menyelamatkan tawanan, agar siksaan demi siksaan yang diderita oleh ummatnya bisa berhenti sejenak, agar orang-orang yang dipenjara karena keberimanan bisa lepas.

Pendeta Garupe tidak memilih iman yang egois. Ia lebih memilih memperluas imannya dengan memperluas kasih sayang Tuhan dengan cara pengingkaran atas iman secara lisan.

Banyak hal yang kami diskusikan tadi malam, mohon maaf karena tak sempat merangkum semuanya.

Saya menutup pemaparan saya dengan mengutip puisi Jalaluddin Rumi:

Ada suatu tempat yang lahir dari kesunyian,
Suatu tempat di mana bisikan-bisikan hati membumbung tinggi,
Ada suatu tempat di mana suara-suara menyanyikan keindahanMu,
Suatu tempat di mana setiap nafas mengukir bayangMu,
Di dalam jiwaku.

~ Muhammad Nur Jabir ~

Wednesday, March 14, 2018

Secangkir Teh dan Sepotong Keputat

"Dari Perjalanan Mengetahui Menuju Perjalanan Menemukan"

Terima kasih buat Bunda Rani memberikan kesempatan kepada saya mendengarkan perjalanan ruhaniah Mas Muhammad Zaim. Salah satu rezeki luar biasa yang Tuhan berikan kepada seseorang adalah rezeki dalam mengarungi perjalanan batin di dalam diri kita sendiri.

Suatu perjalanan yang biasanya diawali dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah kita ketahui. Sebab ada banyak hal yang kita tahu namun belum merasakannya apalagi menemukannya. Dan ternyata pengetahuan-pengetahuan itu belum mampu menyadarkan kita sebab belum menemukannya.

Pertanyaan tentang Tuhan yang MahaRahman dan MahaRahim atau Rahmat bagi seluruh alam semesta. Pertanyaan tentang kegelisahan yang tak pernah usai karena pengetahuan tentang Islam dan Keberislaman masih memberikan kegelisahan.

Memang tak semua orang merasa beruntung karena memiliki pertanyaan. Terkadang kita lari dari pertanyaan sebab pertanyaan boleh jadi akan menyita waktu kita berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk menemukan jawabannya.

Perjalanan Mas Muhammad Zaim adalah perjalanan yang mengharuskannya meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana hidup selayaknya orang-orang hidup. Memiliki keluarga, punya pekerjaan dan rumah, punya penghasilan yang memadai, dan apa saja yang mengenakkan agar orang-orang menyebut kita memiliki kehidupan yang layak.

Tentu tak mengherankan jika ada yang menyebut perjalanan seperti ini sebagai perjalanan kegilaan sebab kita tidak sedang menjalani hidup sebagaimana kehidupan kebanyakan orang.

Apalagi perjalanan Mas Zaim bukan perjalanan biasa sebab mesti melampaui sekat-sekat agama dan kepercayaan. Mesti melampaui makna-makna yang diketahui demi mendapatkan proses menemukan.

Kata Maulana Rumi:

"Umumnya kekasih itu dicari lalu ditemukan,
Namun Kekasih ini, ditemukan dulu lalu dicari".

Maksudnya kita sudah tahu bahwa Tuhan ada di dalam diri kita, namun apakah kita sudah menemukanNya?

Menemukan pengalaman tentang keheningan yang benar-benar hening. Pengalaman tentang diri yang tak sejati dan kesejatian diri. Pengalaman tentang kepasrahan. Pengalaman tentang ketakjuban bertemu dengan orang-orang yang sama sekali belum pernah dijumpai namun sangat terkait dengan 'proses menemukan'. Menemukan pengalaman tentang penyatuan dengan semesta. Dan pengalaman tentang rahasia diri dan jiwa.

Dan sebagian besar pengalaman-penglaman itu direkam dengan sangat apik oleh Mas Muhammad Zaim dalam karyanya "Secangkir Teh dan Sepotong Ketupat".

Saya larut dalam pemaparan Mas Zaim tadi sore, seolah saya turut serta dalam perjalanan itu. Saking larutnya sehingga membawa jiwaku teringat salah satu petikan syair dari Maulana Rumi;

Larilah dari hal-hal yang membuatmu nyaman.
Lupakan hal-hal yang membuatmu aman,
Hiduplah saat kamu takut untuk hidup.
Rusaklah reputasimu.
Jadilah terkenal karena keburukanmu.
Aku sudah lama mencoba bersikap bijaksana.
Mulai saat ini aku akan gila.

~ Muhammad Nur Jabir ~

Sunday, March 11, 2018

"Post Truth; Melampaui Kebenaran"


Terima kasih buat CafeBook Baraya, Bogor. Semalam diberi kesempatan berbicara tentang 'terorisme siber'. Sindikat yang berjejaring guna menebar hoax melalui media sosial. Saya lebih suka menggunakan istilah 'terorisme siber' karena tak mungkin seorang muslim menjadi agen penyebar fitnah. Bukankah fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan!

Saat pertama kali tiba, terkesan Cafe ini didesain dengan apik agar pengunjung memiliki kedekatan khusus dengan buku. Hampir setiap dinding berisi quote tentang buku. Kami disambut dengan senyum ramah pelayan CafeBook Baraya. Semakin penasaran ingin segera mencicipi kopi.

Tak lama kemudian, pelayan datang mengantarkan kopi ke meja kami. Sambil menunggu peserta datang, kami menunaikan solat maghrib di Mushalla CafeBook Baraya. Dan acara pun dimulai.

                                                ***

Para ilmuan mengeluarkan satu peristilahan yang disebut dengan 'Post-Truth' bertepatan dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden di tahun 2016. Relasi antara Post-Truth dengan Trump karena  pilihan-pilihan sebagian besar warga Amerika pada saat itu berdasarkan jejaring di sosial media.

Narasi yang sengaja dikonstruksi oleh tim pemenangan, lalu diposting ke media online kemudian dishare oleh para buzer agar sampai ke tangan para pembaca untuk mempengaruhi pilihan-pilihan mereka.

Kekuatan Post-Truth adalah dalam mengemas kebenaran atau kesalahan. Fakta sebagian kebenaran oleh pembaca akan terlihat sebagai kebenaran yang utuh. Dan fakta sebagian kesalahan akan terlihat sebagai kesalahan yang utuh. Atau kebenaran yang sengaja disisipkan kesalahan di dalamnya agar pembaca menjadi ragu dan sulit menentukan benar atau salah, salah atau benar.

Bagaimana membangun narasi? Membaca 'Big Data' akan sangat membantu untuk memahami apa yang sedang terjadi di dalam pikiran setiap orang. "What's on your mind", pertanyaan yang kerap kali kita jumpai setiap membuka facebook. Pertanyaan yang akan membantu membaca pikiran dan keresahan kita.

Memang benar, ruang psikis kita seperti bahagia dan derita dan termasuk ruang keyakinan dipengaruhi dari sosial media. Apalagi media besar atau kecil,  media mainstream atau bukan, hampir tidak ada lagi bedanya saat ini.

                                           ***

Istilah Post-Truth tahun 2016 mengingatkan kita awal munculnya era posmodernisme. Saat itu Nietzsche mengumumkan tentang kematian tuhan, yakni matinya hakikat atau kebenaran. Kebenaran bukan lagi pada fakta, tapi apa yang tergambarkan di dalam sosial media. Menikmati pemandangan yang indah, sudah bukan menjadi tujuan utama dalam mengunjungi destinasi yang indah, sebab tujuan utama adalah mengambil gambar agar bisa diunggah di media sosial.

Era Post-Truth menunjukkan kalau kita terbiasa melihat sebagian dari kebenaran dan tidak melihat secara utuh. Kita membesarkan faktanya dan menyatakan sebagai keseluruhan hakikat. Sebagaimana Trump yang hanya menempatkan orang-orang kulit putih sebagai penduduk Amerika.

Daniel Kahneman dalam bukunya Thingking, fast and slow, menjelaskan bahwa orang-orang saat ini dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan analisa apalagi penelitian, namun berdasarkan apa yang mereka rasakan, keputusan-keputusan yang mereka ambil hanya bersandarkan pada perasaan-perasaan, kondisi kejiwaan, dan keyakinan-keyakinan.

Soal 'tabayun' hanya diperuntukkan kepada golongan di luar kita dan tidak berlaku kepada golongan kita. Sebab apa pun yang terlontar dari golongan kita pasti benar. Dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh orang-orang durjana penyebar fitnah.

Benar apa yang dikatakan oleh Wittgenstein;

"Semakin banyak kau tahu, semakin memudahkanmu untuk berbohong".

Karena fitnah tidak diproduksi oleh orang-orang awam, namun diproduksi oleh orang-orang berpendidikan.

Saya menutup diskusi semalam dengan mengutip puisi dari Maulana Jalaluddin Rumi;

Dunia ada seperti yang engkau perlihatkan,
Bukan seperti apa yang engkau lihat,
melainkan bagaimana engkau lihat itu.
Bukan seperti apa yang engkau dengar,
melainkan bagaimana engkau mendengar itu.
Bukan seperti apa yang engkau rasakan,
melainkan bagaimana engkau merasakannya.
Dengarkanlah dengan pendengaran toleransi.
Melihatlah melalui mata yang mengasihi.
Berbicaralah dengan bahasa cinta.

~ Muhammad Nur Jabir ~

Thursday, May 25, 2017

Hikmah Puasa

Bulan puasa memberikan kita kesempatan terbaik untuk memahami rahasia-rahasia manusia dan alam semesta. Sebab itu seharusnya di bulan puasa ini kita mencukupkan makan dan minum sekadarnya bagi tubuh kita. Sebab kita tak akan sampai kepada hakikat makrifat dalam kondisi kekenyangan. Rasulullah saw bersabda, “tak ada wadah bagi manusia yang lebih buruk seperti perut”. Jika perut dalam kondisi kekenyangan akan mempengaruhi pemahaman kita. Dan itu sebabnya dengan perut kekenyangan tak kan mampu menembus rahasia-rahasia batin alam ini.

Kekenyangan hanya akan memberikan kemalasan dan membuat tubuh menjadi lemah. Sedangkan makan sekadarnya akan memberikan kesehatan, keselamatan, umur panjang, dan hati yang bercahaya. Makan yang melampaui batas tentu akan menyibukkan jiwa sebab jiwa akan disibukkan mengurai makanan tambahan bagi tubuh, selain itu tubuh membutuhkan energi yang lebih banyak dalam proses pembakaran. Jika demikian, manusia yang sering dalam kondisi kekenyangan akan mempercepat proses pengrusakan tubuhnya atau dalam kata lain mempercepat kematiannya.

Kekenyangan atau makan yang melampaui batas akan membuat kita lemas sehingga akan menambah jam waktu tidur kita. Padahal seharusnya manusia tidur agar bisa memahami sesuatu yang lebih banyak. Bukan makan banyak agar bisa tidur lebih lama. Rasulullah saw pernah bertanya kepada sahabatnya, “pelajaran apakah yang engkau peroleh dari mimpimu semalam?”

Suatu hari seseorang bersendawa dihadapan Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw berkata kepadanya, “makanlah secukupnya, sebab sungguh tak layak jika manusia makan dengan kekenyangan yang membuat dia bersendawa di hadapan orang-orang”. Kemudian Rasulullah saw melanjutkan, “orang yang paling lapar di hari kiamat adalah orang yang paling kenyang di dunia ini”.

Kata Sufi, meskipun puasa membuat badan lemah, namun mendengarkan panggilan Ilahi “wahai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa” memberikan kenikmatan yang luar biasa sehingga ibadah tak lagi nampak sebagai sesuatu yang rumit dan susah.

Pesan Rasulullah saw di akhir bulan sya’ban, “Wahai Manusia, sesungguhnya jiwa kalian terpenjara dengan amal-amal kalian, bebaskanlah dengan istighfar kalian”. Maksudnya jiwa kita belum bebas, masih dalam penjara, dan sayangnya kita tak tahu sedang dalam penjara. Dosa-dosa kita telah memenjarakan diri ini. Bulan puasa dengan memperbanyak istighfar dan memohon ampun akan memberikan kebebasan diri.

Jalan untuk menentukan apakah kita masih terpenjara atau bebas ialah dengan melihat amal-amal kita. Jika kita melakukan sesuatu sekehendak kita atau semau kita, berarti kita masih dalam penjara ketamakan. Namun jika mengamalkan sesuatu sesuai dengan keinginan Ilahi berarti kita adalah hamba dan telah menemukan kebebasan.

Bulan puasa adalah bulan menemukan kebebasan. Jangan sampai kita biarkan hari-harinya berlalu begitu saja. Mesti ada rantai yang kita patahkan dalam setiap harinya di bulan puasa. Apalagi puasa adalah jalan terbaik agar mampu memahami hikmah-hikmah ibadah.
Berikut ini diantara hikmah puasa:

1. Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, “berpuasalah! Agar kau peroleh ketenangan dan kebahagiaan selain di bulan puasa”. Sebab kebahagiaan selain di bulan puasa adalah kebahagiaan fatamorgana yaitu bersifat sementara dan cepat berlalu.

2. Sewaktu manusia berpuasa lalu hatinya terikat dengan kenikmatan puasa, perlahan-lahan ia akan sampai kepada batin puasa, bahwa batin puasa adalah bertemu dengan Ilahi. Sebab itu Allah swt berfirman, “puasa untukKu dan Akulah yang akan menebusnya”. Dan tebusan langsung ini hanya dikhususkan untuk ibadah puasa.

3. Ganjaran tertinggi puasa adalah bertemu dengan Ilahi. Ibn Atsir menjelaskan, tak ada satu pun orang musyrik yang berpuasa untuk berhalanya, meskipun mereka menyembahnya.

4. Namun manusia tak kan sampai kepada rahasia batin puasa jika hanya zahir manusia saja yang puasa. Batin manusia mesti puasa agar sampai kepada rahasia batin puasa yakni bertemu dengan Ilahi. Manusia semestinya tidak membiarkan imajinasinya diisi dengan hal-hal yang negatif.

5. Allah swt berkata kepada Musa as, “Wahai Musa, mengapa kau tak bermunajat kepadaKu? Musa as menjawab, “Duhai Tuhanku, saya sedang berpuasa dan jika sedang berpuasa, aroma mulut tidak mengenakkan, bagaimana mungkin saya bermunajat kepadaMu?” Wahai Musa, “aroma mulut orang yang berpuasa lebih aku senangi daripada aroma wangi kasturi?” Jawab Tuhan.
Sebab disana, wewangian hanya diraih dengan puasa. Salah satu batin puasa adalah parfum. Puasa adalah parfum di alam sana, alam ukhrawi.

6. Jangan katakan, ramadhan pergi atau ramadhan datang, tapi katakanlah, “bulan ramadhan datang atau bulan ramadhan pergi”. Sebab bulan ramadhan adalah salah satu nama diantara nama-nama Ilahi.

7. Filosofi puasa erat kaitannya dengan ‘imsak’ yakni menahan. Puasa mengajarkan kita agar bisa menahan. Jika bulan-bulan sebelumnya kita terbiasa untuk tidak menahan, bulan puasa mengajarkan kita agar sebisa mungkin belajar untuk menahan yakni mengendalikan hawa nafsu.

8. Orang-orang berpuasa sebenarnya sedang mengamalkan anjuran utama dalam nilai sufistik yaitu berakhlak dengan akhlak Ilahi. Sebagaimana Tuhan tidak makan dan minum manusia pun mengamalkan sifat Ilahi saat menjalankan ibadah puasa.

M. N. Jabir

Tuesday, April 11, 2017

"TAFSIR EKSISTENSIALIS "PERMAINAN" ATAS KEHIDUPAN DUNIA"

Muĥammad:36 - Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau . . .

Quran mengumpamakan kehidupan dunia dengan 'permainan' untuk menegaskan aspek permainan dan senda gurau.

Namun yang menarik, dalam ayat itu ada makna implisit bahwa, jika pemainnya merasakan alur permainannya, saat itu ditemukan makna dan kebahagiaan.

Permainan bisa dipandang dari dua sisi; seseorang yang asyik dalam permainan, seluruh gerak dan tindakannya, berusaha agar sampai pada tujuan.

Misalnya dalam permainan sepak bola, seluruh usaha dilakukan bagaimana caranya menembus gawang lawan, tujuan ini yang akan memberikan makna kepada pemain.

Namun yang hanya duduk diluar lapangan bola dan menyaksikan 'permainan' dari luar, mungkin saja ia akan bertanya, "untuk apa semua ini?"

Mengapa ada orang dewasa, berlari sambil menendang bola lalu mengejarnya sendiri, dan kadang berteriak meminta bola, "maknanya apa?"

Memandang permainan dari luar "permainan" adalah suatu kondisi yang diperhadapkan dengan realitas "pertanyaan atas makna".

Namun bukan perkara mudah menemukan "tujuan" untuk permainan diluar dari permainan itu sendiri. Jika seseorang tak mampu menemukan "tujuan diluar permainan", dia akan mengalami krisis makna. Akhirnya permainan sekedar senda gurau dan sia-sia.

Alasan paradigma absurditas atas kehidupan dunia dalam wacana islam disebabkan oleh 'pandangan tanpa makna' atau memandang permainan diluar gelanggang permainan.

Tugas pertama Nabi adalah membawa kita dari panasnya permainan ke tempat gelanggang permainan agar kita bertanya tentang "makna permainan".

Saat kita tak lagi mampu menjawabnya, Quran memberikan jawabannya yaitu "kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau".

Apapun itu, baik kita terima atau tidak, seseorang yang berada di dalam permainan, lalu melihat permainan dari luar, tak kan lagi melihat permainan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh.

Pada akhirnya, menemukan "ketidaksungguhan permainan" berarti kita telah menemukan wajah "senda gurau" permainan.

Muhammad Nur Jabir