Tuesday, April 11, 2017

"TAFSIR EKSISTENSIALIS "PERMAINAN" ATAS KEHIDUPAN DUNIA"

Muĥammad:36 - Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau . . .

Quran mengumpamakan kehidupan dunia dengan 'permainan' untuk menegaskan aspek permainan dan senda gurau.

Namun yang menarik, dalam ayat itu ada makna implisit bahwa, jika pemainnya merasakan alur permainannya, saat itu ditemukan makna dan kebahagiaan.

Permainan bisa dipandang dari dua sisi; seseorang yang asyik dalam permainan, seluruh gerak dan tindakannya, berusaha agar sampai pada tujuan.

Misalnya dalam permainan sepak bola, seluruh usaha dilakukan bagaimana caranya menembus gawang lawan, tujuan ini yang akan memberikan makna kepada pemain.

Namun yang hanya duduk diluar lapangan bola dan menyaksikan 'permainan' dari luar, mungkin saja ia akan bertanya, "untuk apa semua ini?"

Mengapa ada orang dewasa, berlari sambil menendang bola lalu mengejarnya sendiri, dan kadang berteriak meminta bola, "maknanya apa?"

Memandang permainan dari luar "permainan" adalah suatu kondisi yang diperhadapkan dengan realitas "pertanyaan atas makna".

Namun bukan perkara mudah menemukan "tujuan" untuk permainan diluar dari permainan itu sendiri. Jika seseorang tak mampu menemukan "tujuan diluar permainan", dia akan mengalami krisis makna. Akhirnya permainan sekedar senda gurau dan sia-sia.

Alasan paradigma absurditas atas kehidupan dunia dalam wacana islam disebabkan oleh 'pandangan tanpa makna' atau memandang permainan diluar gelanggang permainan.

Tugas pertama Nabi adalah membawa kita dari panasnya permainan ke tempat gelanggang permainan agar kita bertanya tentang "makna permainan".

Saat kita tak lagi mampu menjawabnya, Quran memberikan jawabannya yaitu "kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau".

Apapun itu, baik kita terima atau tidak, seseorang yang berada di dalam permainan, lalu melihat permainan dari luar, tak kan lagi melihat permainan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh.

Pada akhirnya, menemukan "ketidaksungguhan permainan" berarti kita telah menemukan wajah "senda gurau" permainan.

Muhammad Nur Jabir

Saturday, March 18, 2017

"Waktu Internal dan Waktu Eksternal"

1. Kita punya dua waktu: waktu yang terjadi dalam diri kita dan waktu yang terjadi di luar diri kita.

2. Ada waktu internal yaitu waktu yang terjadi di dalam diri kita dan ada waktu eksternal yaitu waktu yang terjadi di luar diri kita.

3. Tragedi yang menyakitkan di era kekinian ini karena waktu eksternal telah mendominasi waktu internal kita. Waktu eksternal berhasil merampas kehidupan kita.

4. Penciptaan 'jam', terkhusus jam digital, sedikit banyaknya berhasil menghilangkan rasa dan cita rasa kita terhadap waktu. Bisa dikatakan, huhungan kita dengan waktu eksternal sedang mengalami krisis.

5. Waktu eksternal atau waktu kolektif adalah waktu dimana seluruh detik-detiknya adalah bilangan yang telah ditakar. Artinya waktu itu independen dan terpisah dari kondisi yang terjadi di dalam diri kita.

6. Artinya waktu eksternal mengalir secara serempak dan tak pernah berhenti. Berlaku untuk siapa pun. Sebab itu waktu eksternal adalah waktu pertemuan-pertemuan.

7. Diri kita dipaksa ditempatkan di realitas waktu eksternal yakni waktu yang telah terjadwal dengan sangat rapi.

8. Misalnya saat kita mengatakan "ketemuan yuk", atau "kita akan bertemu pada jam sekian dan dengan durasi waktu sekian". Menunjukkan bahwa waktu eksternal adalah waktu untuk bertemu.

9. Tapi waktu internal tidak berlaku secara serempak. Detik demi detiknya tak sama. Satu sedetik internal terkadang berlangsung selama berjam-jam tanpa kita sadari

10. Bisa juga sebaliknya, berjam-jam telah terlewati namun terasa oleh jiwa hanya sesaat saja terjadi di dalam diri kita.

11. Artinya waktu internal kita sangat bergantung kepada kondisi dan cita rasa yang sedang kita alami. Sifatnya sangat personal.

12. Saat kita sedih dan merintih, waktunya terasa berbeda saat kita gembira, riang, dan tertawa. Jadi waktu saya dan anda tentu berbeda.

13. Boleh jadi kita duduk berdampingan, di waktu dan tempat yang sama, namun saya merasa waktu begitu cepat dan anda justru merasakan sebaliknya.

14. Bahkan yang lebih penting dari itu semua, kita bisa merasakan di dalam diri, suatu pengalaman tanpa waktu. Pengalaman melampaui waktu.

15. Tragisnya, waktu internal seolah sirna oleh waktu eksternal. Istirahat yakni saat bunyi lonceng telah berbunyi. Akhirnya lama-lama istirahat justru berubah menjadi sebuah kecemasan.

16. Namun mengapa kita perlu membangun relasi dengan waktu internal kita? Karena hubungan manusia terjadi sangat dalam di dalam diri.

17. Kreasi, seni, pemikiran, dan relasi manusia yang begitu dalam, semuanya terjadi di hati, sebuah ruang tanpa waktu.

18. Saat kita berkonsentrasi dalam berkreasi sesuatu, seperti seni, waktu seolah terhenti, maksudnya waktu berlalu berjam-jam dan sudah tak terasa lagi oleh diri kita.

M. N. Jabir

Monday, February 20, 2017

Tasawwuf: Hakikat tanpa Nama

"Hari ini, tasawwuf adalah sebuah nama tanpa hakikat,
Dahulu, adalah hakikat tanpa nama."
~ Ali ibnu Ahmad

Oleh Muhammad Nur Jabir

1. Tasawwuf adalah sebuah nama yang menuai kontrofersial di kalangan muslim. Padahal  tasawwuf sebenarnya hadir untuk menjelaskan hakikat batin keimanan dalam Islam. Dan berdasarkan nama ini, sebagian mengatakan tasawwuf penyebab kemunduran Islam dan sebagian lainnya menyatakan sebagai hal tanda kemuliaan Islam.

2. Makna lain dari istilah tasawwuf adalah makrifat atau irfan. Dalam bahasa ingris biasanya diterjemahkan dengan kata “knowledge” atau “recognition”. Namun kata “Gnosis” lebih sesuai karena kata ini menunjukkan suatu pengetahuan tertentu yang lebih dalam yang diperoleh melalui ketergoncanagan batin. Pengetahuan yang dimaksud berasal dari satu hadits yang populer di kalangan sufi “siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan-Nya”.

3. Hadits ini menjelaskan bahwa makrifat tasawwuf yaitu pengetahuan atas Ilahi mesti sejalan dengan pengetahuan atas diri. Pengetahuan seperti ini hakikatnya tak mungkin ditemukan di buku-buku, sebab pengetahuan ini, bahkan saat ini pun telah hadir di hati kita. Namun karena kejahilan dan kelalaian sehingga pengetahuan tersebut tersembunyi.

4. Banyak tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Tiga tokoh fenomenal berikut ini, juga terkenal di barat: Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Meskipun sebenarnya sangat banyak sekali tokoh-tokoh fenomenal namun belum diteliti secara serius karya-karya mereka. Namun perlu dipahami, apa yang mereka lukiskan, hanya sebagian kecil saja dari fenomena sufistik.  

5. Tasawwuf adalah salah satu pendekatan dalam meraih keimanan. Sufi menitikberatkan pengetahuannya kepada hati, bukan nalar atau akal. Di dalam hatinya mengalir suatu bentuk hubungan antara dirinya dengan Ilahi yakni hubungan secara langsung antara dirinya dengan Ilahi.

6. Kaum sufi juga meyakini Quran dan Hadits sebagai pengetahuan yang paling tinggi. Selain itu, satu-satunya jalan memahami wahyu adalah melalui hati yang suci sehingga pemaknaan tersebut diraih langsung melalui Ilahi, sebagaimana dalam surah Al-Baqarah (2):282, “. . . bertakwalah kepada Allah, dan Allah yang akan mengajarkanmu . . .”  itu sebabnya, Takwa dianggap sebagai nilai yang paling tinggi. Kata seorang sufi, “pengetahuanmu dari generasi ke generasi, kau peroleh dari orang-orang yang telah meninggal, namun pengetahuan kami, diperoleh dari hakikat yang tak pernah mati”.

7. Pengetahuan secara langsung ini bagi para sufi terkadang disebut dengan “Kasyf”. Dan kasyf atau ketersingkapan umumnya terejawantahkan dalam bentuk imajinasi, terutama dalam menjelaskan Tuhan, alam, dan manusia. Tak heran jika sebagian besar sufi, menjelaskan penyingkapannya melalui bait-bait syair. Sampai ada yang mengatakan, syair adalah jalan terbaik dalam mengungkapkan rahasia-rahasia hakikat Ilahi.

8. Rahasia-rahasia Ilahi umumnya bersifat paradoks. Aspek paradoks ini berasal dari hakikat Tuhan yang tak terbatas. Misalnya dalam surah Al-Hadid:3, “Dia-lah Awal dan Akhir, Zahir dan Batin”. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa logika memahami Tuhan berbeda dengan logika yang kita gunakan dalam keseharian kita. Logika keseharian adalah logika terbatas sedangkan wujud Ilahi adalah wujud yang tak terbatas. Sehingga bahasa yang biasa digunakan dalam melukiskan Ilahi biasanya bersifat paradoks. Dia segala sesuatu namun Dia bukan itu. Dia jauh sekaligus dekat. Dia ghaib dan juga hadir.

9. Para Sufi setelah melakukan mujahadah yang panjang dengan cara tazkiyatunnafs atau membersihkan jiwa, cinta, rahmat, dan makrifat Ilahi, jika rasa yang hadir di dalam dirinya semakin bertambah, kekuatan nalarnya akan sirna, dan lebih memilih bahasa paradoks. Namun maqam paradoks bukan maqam tertinggi sebab maqam tertinggi adalah yang mampu melewati kefanaan seperti Rasulullah saw.

10. Ada tiga tahap kefanaan dalam tasawwuf; fana, sadar setelah fana, dan baqa setelah fana. Ketiga tahap ini diperoleh dengan proses tazkiyatunnafs dan menyerahkan segala eksistensinya kepada Ilahi. Kemudian ia akan sampai dimana eksistensi dirinya menerima cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi yang teramat dahsyat ini akan menghalangi dirinya menyaksikan dirinya sendiri. Dan pada saat itulah ia akan sadar bahwa dirinya tiada dan hanya Ilahi sebenar-benarnya hakikat.

11. Istilah Baqa dan Fana bisa ditemukan dalam Quran surah Arrahman (55): 26-27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa”, “dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. Pada akhir ayat ini, dua nama Tuhan disebutkan, Zul-Jalali wal Ikram, kedua nama itu untuk mengiringi perjalanan spiritual manusia. melalui kedua nama itu kita mesti sadar bahwa segala sesuatu punya dua sisi dan manusia mesti sampai kepada dua nama tersebut. Jalaliyah mengisyaratkan sifat agung, berjarak, murka, dendam, memiliki, dan transenden. Aspek Jalaliyah akan memfanakan eksistensi sesuatu. Namun di sisi lain ada Zul-Ikram yang menjelaskan aspek Jamaliyah, seperti cinta, kasih, sayang, pemaaf, pengampun. Aspek Jamaliyah adalah memberikan kemuliaan dan keabadian atas eksistensi sesuatu.

12. Inti dari Fana adalah menafikan selain Dia sebagaimana yang tertera dalam syahadat. Sedangkan Baqa’ adalah mengafirmasi bahwa hanya Ilahi yang hakiki dan sejati.

13. Dalam membandingkan antara Fana dan Baqa, kita mesti memahami bahwa yang sejati adalah Baqa’ bukan Fana. Sebab pada Baqa’ menegaskan eksistensi yang sejak dahulu ada sedangkan Fana menafikan sesuatu yang secara hakikat benar-benar tiada. Lā ilaha adalah menafikan segala bentuk hakikat yang dusta. Sedangkan illallah adalah mengafirmasi kebaqaan Ilahi.

14. Kefanaan (dalam sastra sufi biasanya disimbolkan dengan mabuk) adalah salah satu tanda utama dalam tahapan derajat suluk bagi seorang sufi. Namun hal ini tidak berarti bahwa tidak ada lagi kesadaran dalam kefanaan. Namun yang dimaksud bahwa segala eksistensi dirinya telah mengalir eksistensi Ilahi sehingga dia menyaksikan alam eksternal dengan pandangan Ilahi.

15. Kefanaan adalah buah dari penyaksian Ilahi. Kemudian pada umumnya para Sufi biasanya membahasakan Tuhan dengan cinta dan para pencari Tuhan mereka sebut dengan sebutan para pecinta. Para Sufi dalam persoalan ini juga terilhami dari ayat Quran surah Ali-Imran (3);31, “. Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku . . .”.

Sunday, January 15, 2017

MENYOAL POLITIK YANG SEMATA-MATA PRAKTIS

Dunia yang kita huni saat ini, bisa dibilang hampir segala hal yang ada di dalamnya, telah menjadi dunia politik. Politik telah mengisi seluruh aktifitas keseharian kita. Sebab itu kita mesti berpikir lebih serius lagi mengenai politik dan juga tentang prinsip-prinsip politik yang sedang berjalan.

Di abad ke-19, Ludwig Feuerbach pernah mengatakan, politik telah merenggut posisi agama. Bahkan politik telah merenggut segala hal. Jadi tak heran jika masyarakat begitu berharap berbagai persoalannya terselesaikan dengan politik dan oleh para politisi.

Politik sebagai Sentra Segala Hal?

Sulit untuk tidak menangkap kesan bahwa realitas politik dewasa ini cenderung tercerabut dari proses berpikir reflektif, tafakkur. Politik dimengerti sebagai semata-mata praktis, tindakan-tindakan yang lebih didorong oleh kepentingan politisi ketimbang sebuah visi yang berpijak pada nilai-nilai ideologis tertentu.

Politik yang terpisah dari pemikiran reflektif berpotensi menjadi hal yang menakutkan. Sebab tafakkur akan mempertimbangkan banyak hal dalam melangkah. Kalimat "berpikirlah sebelum bertindak" seharusnya juga berlaku dalam wilayah yang cukup luas semisal dalam dunia politik.

Melihat kembali bagaimana politik berkembang tampak bahwa istilah politik tidak seharusnya direduksi dalam pengertian yang semata-mata praktis. Gagasan politik Plato, Aristoteles, dan umumnya filsuf klasik lainnya, berasal dari gagasan filsafat. Filsafat menjadi pondasi gagasan politik mereka.

Sayangnya politik saat ini seolah telah terpisah dari akar gagasan filosofinya. Saat berbicara politik, kita sudah tak mengerti seperti apa bangunan filosofinya. Bukan suatu kebetulan jika ada yang mengatakan tentang “akhir ideologi.” Sementara ideologi dibangun atas dasar gagasan-gagasan filsafat, politik saat ini tak lagi bersandar kepada gagasan filsafat.

Misalnya, fondasi politik komunisme dibangun atas filsafat materialisme sejarah. Demikian halnya dengan isme-isme lainnya punya landasan filsafat dan kita mudah menemukan landasan filsafatnya. Akhir ideologi adalah akhir dari politik tanpa bangunan filsafat.

Tafakkur, Filsafat, dan Politik

Umumnya para ahli politik dan ekonomi berusaha menciptakan suatu gagasan ideologi sebagai paradigma alternatif dari gagasan sebelumnya. Juga kadang seorang pemikir ingin membuktikan gagasan teoretisnya dalam wilayah praktis. Itulah kenapa kita bisa temukan dalam sejarah, seorang filsuf terlibat dalam politik praktis, misalnya dalam menaikkan atau menurunkan rezim pemerintahan.

Meski demikian, tetap saja tak mudah menemukan relasi yang jelas antara politik dan filsafat.

Berbeda dengan Karl Popper, ia justru tak percaya terhadap gagasan filsafat klasik. Popper bahkan mengatakan Plato dan Hegel sebagai pendusta dan tak punya niat yang baik. Popper hanya percaya terhadap filsafat moderen.

Tapi apa bisa kita mengatakan pemikiran politik Plato yang hidup di abad ke 5 sebelum masehi menyebabkan Hitler berkuasa di abad 20 dan sekaligus menganggap konsep politik al-Farabi yang terpengaruh oleh Plato menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia arab dan timur tengah? Tuduhan Popper atas mereka terlihat berlebihan.

Saat ini kita hanya bisa mengatakan bahwa ideologi seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, Nazisme, dan ideologi lainnya berakar dari filsafat moderen. Filsafat moderen menjadi basis gagasan politik dan ideologi saat ini, bahkan jika para politisi modern kita tidak menyadarinya. Teori konspirasi, misalnya, adalah hasil terbaik dari filsafat moderen yang tidak kita temukan sebelumnya, meskipun boleh jadi secara praktik fenomena konspirasi telah dilakukan jauh hari sebelumnya.

Intinya, meskipun kita tak tahu seperti apa kaitan antara filsafat dan politik namun tak dapat dipungkiri keduanya saling terkait, bahkkan jika kaitan itu tidak bersifat langsung. Sebab itu jika kita kembali ke makna politik yang sebenarnya kita akan mengatakan bahwa politik adalah tafakkur sebagaimana makna kata asalnya.

Maksudnya, bahkan jika memang aktivitas-aktivitas politik tidak selalu memiliki landasan filsafat, politik mustilah terkait dengan tafakkur atau proses berpikir reflektif, yang membuat kita akan menimbang segala persoalan dari berbagai pendekatan. Ini juga berlaku buat realitas politik modern dewasa ini, bahkan jika para politisi memahami politik sebagai yang semata-mata praktis.

MNJ

Wednesday, January 11, 2017

"Sosok Pemimpin dalam Negara al-Madīnah al-Fādhilah"


Al-Farabi dalam kitabnya Ārā’ Aħl al-Madīnah al-Fādhilah menyebutkan dua belas karekteristik yang mesti dimiliki bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin di sebuah negeri yang menjalankan sistem al-Madīnah al-Fādhilah. Karekteristik tersebut diantaranya:

1. Tidak cacat yakni anggota badannya sempurna.

2. Memiliki kecerdasan dengan pemahaman yang akurat serta imajinatif sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

3. Memiliki hafalan yang cukup kuat sehingga tetap mengingat sesuatu yang disaksikannya, didengarkannya, dan dipersepsikannya.

4. Memiliki kecerdasan yang kuat sehingga mampu mengargumentasikan segala perkara dengan baik.

5. Fasih dalam berbahasa dengan pilihan diksi yang tepat sehingga apa yang tertera di hatinya mampu diekspresikan dengan baik dan dengan pilihan kalimat yang mudah dimengerti.

6. Mencintai pengetahuan, taat kepada hikmah, dan problem yang sedang ia hadapi tak menghalanginya menimbah pengetahuan untuk dirinya.

7. Tidak tamak terhadap kenikmatan indrawi dan menjauhi perbuatan yang sia-sia.

8. Mencintai kejujuran dan orang-orang jujur, membenci dusta dan pendusta.

9. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan, dan menginginkan harkat dan martabat.

10. Mencintai keadilan dan orang adil, membenci kezaliman dan orang-orang zalim. Ketika keadilan memanggilnya, ia langsung menyahutinya, dan saat kezaliman dan keburukan memanggilnya, ia terus melawannya dan pantang menyerah.

11. Ia melihat seluruh aspek dan kemungkinan dalam mengambil keputusan dan mendahulukan pekerjaan yang semestinya dan seharusnya.

12. Dirham, dinar, dan segala yang terkait dengan aspek dunia, dalam pandangannya adalah perkara yang tak punya harga.

Pandangan Al-Farabi tentang negara dan kemimpinan terinspirasi dari Plato. Namun akankah kita tetap menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan utopis sebagaimana Plato? Tapi memang benar, gagasannya utopis. Itu sebabnya saat memililih seorang pemimpin, dalam kareteria biasanya kita menyebut syarat “beriman dan bertaqwa”, tanpa pernah merinci satu persatu tentang ciri iman dan taqwa. al-Farabi tak menyebutkan karekteristik iman dan taqwa, sebab ia lebih peduli isi daripada bentuk. Sedangkan umumnya kita lebih peduli bentuk daripada isi. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa kita menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan yang utopis.

Muhammad Nur Jabir