Wednesday, January 11, 2017

"Sosok Pemimpin dalam Negara al-Madīnah al-Fādhilah"


Al-Farabi dalam kitabnya Ārā’ Aħl al-Madīnah al-Fādhilah menyebutkan dua belas karekteristik yang mesti dimiliki bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin di sebuah negeri yang menjalankan sistem al-Madīnah al-Fādhilah. Karekteristik tersebut diantaranya:

1. Tidak cacat yakni anggota badannya sempurna.

2. Memiliki kecerdasan dengan pemahaman yang akurat serta imajinatif sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

3. Memiliki hafalan yang cukup kuat sehingga tetap mengingat sesuatu yang disaksikannya, didengarkannya, dan dipersepsikannya.

4. Memiliki kecerdasan yang kuat sehingga mampu mengargumentasikan segala perkara dengan baik.

5. Fasih dalam berbahasa dengan pilihan diksi yang tepat sehingga apa yang tertera di hatinya mampu diekspresikan dengan baik dan dengan pilihan kalimat yang mudah dimengerti.

6. Mencintai pengetahuan, taat kepada hikmah, dan problem yang sedang ia hadapi tak menghalanginya menimbah pengetahuan untuk dirinya.

7. Tidak tamak terhadap kenikmatan indrawi dan menjauhi perbuatan yang sia-sia.

8. Mencintai kejujuran dan orang-orang jujur, membenci dusta dan pendusta.

9. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan, dan menginginkan harkat dan martabat.

10. Mencintai keadilan dan orang adil, membenci kezaliman dan orang-orang zalim. Ketika keadilan memanggilnya, ia langsung menyahutinya, dan saat kezaliman dan keburukan memanggilnya, ia terus melawannya dan pantang menyerah.

11. Ia melihat seluruh aspek dan kemungkinan dalam mengambil keputusan dan mendahulukan pekerjaan yang semestinya dan seharusnya.

12. Dirham, dinar, dan segala yang terkait dengan aspek dunia, dalam pandangannya adalah perkara yang tak punya harga.

Pandangan Al-Farabi tentang negara dan kemimpinan terinspirasi dari Plato. Namun akankah kita tetap menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan utopis sebagaimana Plato? Tapi memang benar, gagasannya utopis. Itu sebabnya saat memililih seorang pemimpin, dalam kareteria biasanya kita menyebut syarat “beriman dan bertaqwa”, tanpa pernah merinci satu persatu tentang ciri iman dan taqwa. al-Farabi tak menyebutkan karekteristik iman dan taqwa, sebab ia lebih peduli isi daripada bentuk. Sedangkan umumnya kita lebih peduli bentuk daripada isi. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa kita menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan yang utopis.

Muhammad Nur Jabir

Comments
0 Comments

0 comments: