Monday, February 20, 2017

Tasawwuf: Hakikat tanpa Nama

"Hari ini, tasawwuf adalah sebuah nama tanpa hakikat,
Dahulu, adalah hakikat tanpa nama."
~ Ali ibnu Ahmad

Oleh Muhammad Nur Jabir

1. Tasawwuf adalah sebuah nama yang menuai kontrofersial di kalangan muslim. Padahal  tasawwuf sebenarnya hadir untuk menjelaskan hakikat batin keimanan dalam Islam. Dan berdasarkan nama ini, sebagian mengatakan tasawwuf penyebab kemunduran Islam dan sebagian lainnya menyatakan sebagai hal tanda kemuliaan Islam.

2. Makna lain dari istilah tasawwuf adalah makrifat atau irfan. Dalam bahasa ingris biasanya diterjemahkan dengan kata “knowledge” atau “recognition”. Namun kata “Gnosis” lebih sesuai karena kata ini menunjukkan suatu pengetahuan tertentu yang lebih dalam yang diperoleh melalui ketergoncanagan batin. Pengetahuan yang dimaksud berasal dari satu hadits yang populer di kalangan sufi “siapa yang mengenal dirinya, mengenal Tuhan-Nya”.

3. Hadits ini menjelaskan bahwa makrifat tasawwuf yaitu pengetahuan atas Ilahi mesti sejalan dengan pengetahuan atas diri. Pengetahuan seperti ini hakikatnya tak mungkin ditemukan di buku-buku, sebab pengetahuan ini, bahkan saat ini pun telah hadir di hati kita. Namun karena kejahilan dan kelalaian sehingga pengetahuan tersebut tersembunyi.

4. Banyak tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Tiga tokoh fenomenal berikut ini, juga terkenal di barat: Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan Al-Hallaj. Meskipun sebenarnya sangat banyak sekali tokoh-tokoh fenomenal namun belum diteliti secara serius karya-karya mereka. Namun perlu dipahami, apa yang mereka lukiskan, hanya sebagian kecil saja dari fenomena sufistik.  

5. Tasawwuf adalah salah satu pendekatan dalam meraih keimanan. Sufi menitikberatkan pengetahuannya kepada hati, bukan nalar atau akal. Di dalam hatinya mengalir suatu bentuk hubungan antara dirinya dengan Ilahi yakni hubungan secara langsung antara dirinya dengan Ilahi.

6. Kaum sufi juga meyakini Quran dan Hadits sebagai pengetahuan yang paling tinggi. Selain itu, satu-satunya jalan memahami wahyu adalah melalui hati yang suci sehingga pemaknaan tersebut diraih langsung melalui Ilahi, sebagaimana dalam surah Al-Baqarah (2):282, “. . . bertakwalah kepada Allah, dan Allah yang akan mengajarkanmu . . .”  itu sebabnya, Takwa dianggap sebagai nilai yang paling tinggi. Kata seorang sufi, “pengetahuanmu dari generasi ke generasi, kau peroleh dari orang-orang yang telah meninggal, namun pengetahuan kami, diperoleh dari hakikat yang tak pernah mati”.

7. Pengetahuan secara langsung ini bagi para sufi terkadang disebut dengan “Kasyf”. Dan kasyf atau ketersingkapan umumnya terejawantahkan dalam bentuk imajinasi, terutama dalam menjelaskan Tuhan, alam, dan manusia. Tak heran jika sebagian besar sufi, menjelaskan penyingkapannya melalui bait-bait syair. Sampai ada yang mengatakan, syair adalah jalan terbaik dalam mengungkapkan rahasia-rahasia hakikat Ilahi.

8. Rahasia-rahasia Ilahi umumnya bersifat paradoks. Aspek paradoks ini berasal dari hakikat Tuhan yang tak terbatas. Misalnya dalam surah Al-Hadid:3, “Dia-lah Awal dan Akhir, Zahir dan Batin”. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa logika memahami Tuhan berbeda dengan logika yang kita gunakan dalam keseharian kita. Logika keseharian adalah logika terbatas sedangkan wujud Ilahi adalah wujud yang tak terbatas. Sehingga bahasa yang biasa digunakan dalam melukiskan Ilahi biasanya bersifat paradoks. Dia segala sesuatu namun Dia bukan itu. Dia jauh sekaligus dekat. Dia ghaib dan juga hadir.

9. Para Sufi setelah melakukan mujahadah yang panjang dengan cara tazkiyatunnafs atau membersihkan jiwa, cinta, rahmat, dan makrifat Ilahi, jika rasa yang hadir di dalam dirinya semakin bertambah, kekuatan nalarnya akan sirna, dan lebih memilih bahasa paradoks. Namun maqam paradoks bukan maqam tertinggi sebab maqam tertinggi adalah yang mampu melewati kefanaan seperti Rasulullah saw.

10. Ada tiga tahap kefanaan dalam tasawwuf; fana, sadar setelah fana, dan baqa setelah fana. Ketiga tahap ini diperoleh dengan proses tazkiyatunnafs dan menyerahkan segala eksistensinya kepada Ilahi. Kemudian ia akan sampai dimana eksistensi dirinya menerima cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi yang teramat dahsyat ini akan menghalangi dirinya menyaksikan dirinya sendiri. Dan pada saat itulah ia akan sadar bahwa dirinya tiada dan hanya Ilahi sebenar-benarnya hakikat.

11. Istilah Baqa dan Fana bisa ditemukan dalam Quran surah Arrahman (55): 26-27, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa”, “dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. Pada akhir ayat ini, dua nama Tuhan disebutkan, Zul-Jalali wal Ikram, kedua nama itu untuk mengiringi perjalanan spiritual manusia. melalui kedua nama itu kita mesti sadar bahwa segala sesuatu punya dua sisi dan manusia mesti sampai kepada dua nama tersebut. Jalaliyah mengisyaratkan sifat agung, berjarak, murka, dendam, memiliki, dan transenden. Aspek Jalaliyah akan memfanakan eksistensi sesuatu. Namun di sisi lain ada Zul-Ikram yang menjelaskan aspek Jamaliyah, seperti cinta, kasih, sayang, pemaaf, pengampun. Aspek Jamaliyah adalah memberikan kemuliaan dan keabadian atas eksistensi sesuatu.

12. Inti dari Fana adalah menafikan selain Dia sebagaimana yang tertera dalam syahadat. Sedangkan Baqa’ adalah mengafirmasi bahwa hanya Ilahi yang hakiki dan sejati.

13. Dalam membandingkan antara Fana dan Baqa, kita mesti memahami bahwa yang sejati adalah Baqa’ bukan Fana. Sebab pada Baqa’ menegaskan eksistensi yang sejak dahulu ada sedangkan Fana menafikan sesuatu yang secara hakikat benar-benar tiada. Lā ilaha adalah menafikan segala bentuk hakikat yang dusta. Sedangkan illallah adalah mengafirmasi kebaqaan Ilahi.

14. Kefanaan (dalam sastra sufi biasanya disimbolkan dengan mabuk) adalah salah satu tanda utama dalam tahapan derajat suluk bagi seorang sufi. Namun hal ini tidak berarti bahwa tidak ada lagi kesadaran dalam kefanaan. Namun yang dimaksud bahwa segala eksistensi dirinya telah mengalir eksistensi Ilahi sehingga dia menyaksikan alam eksternal dengan pandangan Ilahi.

15. Kefanaan adalah buah dari penyaksian Ilahi. Kemudian pada umumnya para Sufi biasanya membahasakan Tuhan dengan cinta dan para pencari Tuhan mereka sebut dengan sebutan para pecinta. Para Sufi dalam persoalan ini juga terilhami dari ayat Quran surah Ali-Imran (3);31, “. Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku . . .”.

Sunday, January 15, 2017

MENYOAL POLITIK YANG SEMATA-MATA PRAKTIS

Dunia yang kita huni saat ini, bisa dibilang hampir segala hal yang ada di dalamnya, telah menjadi dunia politik. Politik telah mengisi seluruh aktifitas keseharian kita. Sebab itu kita mesti berpikir lebih serius lagi mengenai politik dan juga tentang prinsip-prinsip politik yang sedang berjalan.

Di abad ke-19, Ludwig Feuerbach pernah mengatakan, politik telah merenggut posisi agama. Bahkan politik telah merenggut segala hal. Jadi tak heran jika masyarakat begitu berharap berbagai persoalannya terselesaikan dengan politik dan oleh para politisi.

Politik sebagai Sentra Segala Hal?

Sulit untuk tidak menangkap kesan bahwa realitas politik dewasa ini cenderung tercerabut dari proses berpikir reflektif, tafakkur. Politik dimengerti sebagai semata-mata praktis, tindakan-tindakan yang lebih didorong oleh kepentingan politisi ketimbang sebuah visi yang berpijak pada nilai-nilai ideologis tertentu.

Politik yang terpisah dari pemikiran reflektif berpotensi menjadi hal yang menakutkan. Sebab tafakkur akan mempertimbangkan banyak hal dalam melangkah. Kalimat "berpikirlah sebelum bertindak" seharusnya juga berlaku dalam wilayah yang cukup luas semisal dalam dunia politik.

Melihat kembali bagaimana politik berkembang tampak bahwa istilah politik tidak seharusnya direduksi dalam pengertian yang semata-mata praktis. Gagasan politik Plato, Aristoteles, dan umumnya filsuf klasik lainnya, berasal dari gagasan filsafat. Filsafat menjadi pondasi gagasan politik mereka.

Sayangnya politik saat ini seolah telah terpisah dari akar gagasan filosofinya. Saat berbicara politik, kita sudah tak mengerti seperti apa bangunan filosofinya. Bukan suatu kebetulan jika ada yang mengatakan tentang “akhir ideologi.” Sementara ideologi dibangun atas dasar gagasan-gagasan filsafat, politik saat ini tak lagi bersandar kepada gagasan filsafat.

Misalnya, fondasi politik komunisme dibangun atas filsafat materialisme sejarah. Demikian halnya dengan isme-isme lainnya punya landasan filsafat dan kita mudah menemukan landasan filsafatnya. Akhir ideologi adalah akhir dari politik tanpa bangunan filsafat.

Tafakkur, Filsafat, dan Politik

Umumnya para ahli politik dan ekonomi berusaha menciptakan suatu gagasan ideologi sebagai paradigma alternatif dari gagasan sebelumnya. Juga kadang seorang pemikir ingin membuktikan gagasan teoretisnya dalam wilayah praktis. Itulah kenapa kita bisa temukan dalam sejarah, seorang filsuf terlibat dalam politik praktis, misalnya dalam menaikkan atau menurunkan rezim pemerintahan.

Meski demikian, tetap saja tak mudah menemukan relasi yang jelas antara politik dan filsafat.

Berbeda dengan Karl Popper, ia justru tak percaya terhadap gagasan filsafat klasik. Popper bahkan mengatakan Plato dan Hegel sebagai pendusta dan tak punya niat yang baik. Popper hanya percaya terhadap filsafat moderen.

Tapi apa bisa kita mengatakan pemikiran politik Plato yang hidup di abad ke 5 sebelum masehi menyebabkan Hitler berkuasa di abad 20 dan sekaligus menganggap konsep politik al-Farabi yang terpengaruh oleh Plato menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia arab dan timur tengah? Tuduhan Popper atas mereka terlihat berlebihan.

Saat ini kita hanya bisa mengatakan bahwa ideologi seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, Nazisme, dan ideologi lainnya berakar dari filsafat moderen. Filsafat moderen menjadi basis gagasan politik dan ideologi saat ini, bahkan jika para politisi modern kita tidak menyadarinya. Teori konspirasi, misalnya, adalah hasil terbaik dari filsafat moderen yang tidak kita temukan sebelumnya, meskipun boleh jadi secara praktik fenomena konspirasi telah dilakukan jauh hari sebelumnya.

Intinya, meskipun kita tak tahu seperti apa kaitan antara filsafat dan politik namun tak dapat dipungkiri keduanya saling terkait, bahkkan jika kaitan itu tidak bersifat langsung. Sebab itu jika kita kembali ke makna politik yang sebenarnya kita akan mengatakan bahwa politik adalah tafakkur sebagaimana makna kata asalnya.

Maksudnya, bahkan jika memang aktivitas-aktivitas politik tidak selalu memiliki landasan filsafat, politik mustilah terkait dengan tafakkur atau proses berpikir reflektif, yang membuat kita akan menimbang segala persoalan dari berbagai pendekatan. Ini juga berlaku buat realitas politik modern dewasa ini, bahkan jika para politisi memahami politik sebagai yang semata-mata praktis.

MNJ

Wednesday, January 11, 2017

"Sosok Pemimpin dalam Negara al-Madīnah al-Fādhilah"


Al-Farabi dalam kitabnya Ārā’ Aħl al-Madīnah al-Fādhilah menyebutkan dua belas karekteristik yang mesti dimiliki bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin di sebuah negeri yang menjalankan sistem al-Madīnah al-Fādhilah. Karekteristik tersebut diantaranya:

1. Tidak cacat yakni anggota badannya sempurna.

2. Memiliki kecerdasan dengan pemahaman yang akurat serta imajinatif sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

3. Memiliki hafalan yang cukup kuat sehingga tetap mengingat sesuatu yang disaksikannya, didengarkannya, dan dipersepsikannya.

4. Memiliki kecerdasan yang kuat sehingga mampu mengargumentasikan segala perkara dengan baik.

5. Fasih dalam berbahasa dengan pilihan diksi yang tepat sehingga apa yang tertera di hatinya mampu diekspresikan dengan baik dan dengan pilihan kalimat yang mudah dimengerti.

6. Mencintai pengetahuan, taat kepada hikmah, dan problem yang sedang ia hadapi tak menghalanginya menimbah pengetahuan untuk dirinya.

7. Tidak tamak terhadap kenikmatan indrawi dan menjauhi perbuatan yang sia-sia.

8. Mencintai kejujuran dan orang-orang jujur, membenci dusta dan pendusta.

9. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan, dan menginginkan harkat dan martabat.

10. Mencintai keadilan dan orang adil, membenci kezaliman dan orang-orang zalim. Ketika keadilan memanggilnya, ia langsung menyahutinya, dan saat kezaliman dan keburukan memanggilnya, ia terus melawannya dan pantang menyerah.

11. Ia melihat seluruh aspek dan kemungkinan dalam mengambil keputusan dan mendahulukan pekerjaan yang semestinya dan seharusnya.

12. Dirham, dinar, dan segala yang terkait dengan aspek dunia, dalam pandangannya adalah perkara yang tak punya harga.

Pandangan Al-Farabi tentang negara dan kemimpinan terinspirasi dari Plato. Namun akankah kita tetap menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan utopis sebagaimana Plato? Tapi memang benar, gagasannya utopis. Itu sebabnya saat memililih seorang pemimpin, dalam kareteria biasanya kita menyebut syarat “beriman dan bertaqwa”, tanpa pernah merinci satu persatu tentang ciri iman dan taqwa. al-Farabi tak menyebutkan karekteristik iman dan taqwa, sebab ia lebih peduli isi daripada bentuk. Sedangkan umumnya kita lebih peduli bentuk daripada isi. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa kita menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan yang utopis.

Muhammad Nur Jabir

Friday, December 30, 2016

"Analisa Fenomenologi Jean Baudrillard atas Media"


Kita bisa menyebut abad 21 sebagai abad revolusi informasi digital. Di abad ini manusia tak lagi bersandar kepada fakta-fakta di sekitarnya namun mencukupkan dirinya pada fakta imajinatif bahkan percaya pada fakta yang telah diselewengkan.

Benar apa kata Jean Baudrillard bahwa media berperan besar dalam mengkerdilkan fakta. Baudrillard melanjutkan penjelasannya tentang tahapan-tahapan yang mungkin dilakukan oleh media dalam merubah fakta. Tahap pertama menggambarkan fakta sebagai cermin fakta. Lalu tahap kedua berubah menjadi topeng fakta. Pada tahap ketiga media berusaha menjelaskan fenomena sebagai ketidakhadiran fakta. Dan tahap terakhir memutuskan relasi dengan fakta. Bagi Baudrillard, tahap akhir adalah tahap para-faktual atau fakta-akut.

Sebagian ahli menambahkan tahap selanjutnya sebagai tahap  tanda imajinasi-manipulatif. Pada tahap ini kita diperhadapkan dengan gambar-gambar palsu yang tak lagi menggambarkan fakta konkrit realitas eksternal. Bahkan kita diperhadapkan dengan sebuah gambar dimana gambar tersebut berasal dari gambar lainnya. Tahap ini adalah rangkaian matarantai gambar dimana gambar pertama adalah kurban pertama dari fakta realitas.

Pada tahapan ini setiap gambar hanya menunjukkan atau hanya penanda atas gambar lainnya. Manusia berada diantara tumpukan-tumpukan gambar dan tanda-tanda yang akan membuat kehilangan dirinya dan bahkan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Bisa dikatakan periode ini adalah periode matinya fakta atau matinya realitas. Gambar-gambar dan tanda-tanda hanya cermin atas gambar-gambar lainnya. Realitas eksternal sudah tidak memiliki lagi pijakan yang nyata.

Jean Baudrillard menampilkan dunia digital sebagai pencapaian puncak keterasingan manusia atas dirinya. Sebab meskipun manusia dalam keramaian tapi seolah-olah sedang berada di dalam kamarnya menikmati segala bentuk serangan informasi dari berbagai arah. Media dan informasi berhasil mengikat tangan dan kakinya sehingga menerima begitu saja dan tanpa tanya atas para-faktual media dan informasi. Para-faktual berhasil nampak lebih nyata dari fakta itu sendiri. Ditambah lagi para konsumen media tidak memiliki kemampuan dalam menganalisa data dan informasi.

"Periode kini adalah periode memenjarakan tafakkur dan pikiran dan membebaskan segala bentuk kepalsuan".

MNJ

Wednesday, December 21, 2016

"Fenomenologi 'Om Telolet Om' dan Kegamangan Akidah"

Austin atau John Langshaw Austin salah satu filsuf yang banyak menganalisa penggunaan bahasa. Austin dikenal sebagai filsuf bahasa keseharian. Teori 'speech acts' salah satu teori yang populer dari Austin. Makna 'speech acts' bahwa bertutur adalah tindakan, bukan sekedar bahasa semata.

Austin berkeyakinan, banyak hal yang dapat dipelajari dari bahasa biasa sehari-hari atau bahasa keseharian. Apalagi mengingat banyaknya distingsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.

Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah disebut dengan linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.

Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik haruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Keseharian merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).

Saya tidak sedang ingin menjelaskan filsafat bahasa keseharian. Saya ingin mengatakan bahwa betapa mudah kita sebagai ummat muslim mengatakan "om telolet om" sebagai konspirasi akidah, bahkan menganggap sebagai pendangkalan akidah. Justru saya balik bertanya, "siapakah sebenarnya yang akidahnya dangkal dalam konteks ini? dan siapakah yang sedang mempertontonkan kedangkalan akidahnya?"

"Om telolet om" hanya berawal dari kesenangan seorang anak kecil. Awal mula fenomena ini berawal dari aksi bocah-bocah tanggung di daerah Jawa Timur dalam memburu bunyi klakson bus yang terdengar 'telolet' dan merekamnya dengan telepon seluler.

Kegiatan anak-anak tersebut murni hobi untuk mencari kepuasan bathin. Apalagi mendapat suara telolet yang unik dan sudah dimodifikasi.

Dalam memburu telolet, mereka bergerombol dan rela menunggu lama. Ketika bus tiba, bocah-bocah tersebut akan mengacungkan jempol sambil berteriak ‘Pak Telolet Pak’ ada juga yang teriak ‘Om telolet Om’. Sebagian mereka juga ada yang sengaja menulis tulisan besar ‘Om Telolet’ agar dibaca oleh supir bus.

Setelah mendapat suara telolet, mereka lalu memamerkan hasil buruan mereka dengan mengunggah rekamannya ke media sosial, mulai dari Facebook, YouTube dan lainnya. (Lihat: http://www.bintang.com/lifestyle/read/2684502/asal-usul-fenomena-om-telolet-om)

"Om telolet Om" menjadi tranding topik di twitter setelah para Dj-Dj dunia mulai ikut meramaikan sebagai ekspresi kebahagiaan, lucu-lucuan, dan juga kelugu-luguan.

Namun kita dengan mudah mencerabut akar kejadian "Om telolet Om". Kita dengan enaknya melepaskan situasi konkretnya dan kapan serta dimana kejadian itu awal mula terjadi. Dan yang paling amat tragis dan keji, setelah mencerabut akar fenomenologinya, seolah-olah "om telolet om" adalah milik kita, dan pada saat itulah kita memberikan pemaknaan baru terhadapnya yaitu "Om" simbol kesucian orang Hindu dan "Telolet" bermakna terompet sebagai alat khas ibadah orang Yahudi. Setelah pemaknaan baru ini kita berikan pada fenomena "om telolet om", barulah kita mengatakan sebagai konspirasi dan pendangkalan akidah. Jadi siapakah sebenarnya yang akidahnya sangat dangkal?

Begitu mudahkah kita ummat muslim memperkosa makna dan bahasa? Seolah-olah semua makna dan bahasa adalah milik kita sehingga begitu mudah kita mengarahkan setiap fenomena sebagai konpirasi atas agama suci kita. Namun berpikirlah sejenak dengan nurani, bukankah kita sebagai ummat muslim yang berperan sebagai tukang fitnah dalam kejadian ini? Bukankah kita telah menista agama Hindu dalam fenomena "Om telolet Om"? Beruntung kita sedang berada dalam posisi mayoritas dan sangat beruntung pula penganut agama Hindu di Indonesia memiliki kesadaran tinggi dan mengamalkan ajaran mereka dengan baik.

Namun sekali lagi, apakah ini hanya persoalan mayoritas dan minoritas? Saat kita mayoritas kita berhak memfitnah dan melakukan apa saja sekehendak kita? Pernahkah anda pikir bagaimana rasanya saudara-saudara kita ummat muslim yang kebetulan sedang berada dalam minoritas? Apakah anda setuju mereka diperlakukan tak adil dan juga dinista dan difitnah?

Saya malu pada ummat Hindu dan saya mesti memohon maaf atas nama ummat muslim kepada mereka para pemeluk agama Hindu. Tapi saya yakin, ummat Hindu juga paham bahwa orang-orang yang menista agama mereka bukanlah representasi ummat muslim pada umumnya. Hanya sebagian ummat muslim saja yang sedang menegaskan kedangkalan akidah dan kegamangan akidah mereka.

Muhammad Nur Jabir