Sunday, January 15, 2017

MENYOAL POLITIK YANG SEMATA-MATA PRAKTIS

Dunia yang kita huni saat ini, bisa dibilang hampir segala hal yang ada di dalamnya, telah menjadi dunia politik. Politik telah mengisi seluruh aktifitas keseharian kita. Sebab itu kita mesti berpikir lebih serius lagi mengenai politik dan juga tentang prinsip-prinsip politik yang sedang berjalan.

Di abad ke-19, Ludwig Feuerbach pernah mengatakan, politik telah merenggut posisi agama. Bahkan politik telah merenggut segala hal. Jadi tak heran jika masyarakat begitu berharap berbagai persoalannya terselesaikan dengan politik dan oleh para politisi.

Politik sebagai Sentra Segala Hal?

Sulit untuk tidak menangkap kesan bahwa realitas politik dewasa ini cenderung tercerabut dari proses berpikir reflektif, tafakkur. Politik dimengerti sebagai semata-mata praktis, tindakan-tindakan yang lebih didorong oleh kepentingan politisi ketimbang sebuah visi yang berpijak pada nilai-nilai ideologis tertentu.

Politik yang terpisah dari pemikiran reflektif berpotensi menjadi hal yang menakutkan. Sebab tafakkur akan mempertimbangkan banyak hal dalam melangkah. Kalimat "berpikirlah sebelum bertindak" seharusnya juga berlaku dalam wilayah yang cukup luas semisal dalam dunia politik.

Melihat kembali bagaimana politik berkembang tampak bahwa istilah politik tidak seharusnya direduksi dalam pengertian yang semata-mata praktis. Gagasan politik Plato, Aristoteles, dan umumnya filsuf klasik lainnya, berasal dari gagasan filsafat. Filsafat menjadi pondasi gagasan politik mereka.

Sayangnya politik saat ini seolah telah terpisah dari akar gagasan filosofinya. Saat berbicara politik, kita sudah tak mengerti seperti apa bangunan filosofinya. Bukan suatu kebetulan jika ada yang mengatakan tentang “akhir ideologi.” Sementara ideologi dibangun atas dasar gagasan-gagasan filsafat, politik saat ini tak lagi bersandar kepada gagasan filsafat.

Misalnya, fondasi politik komunisme dibangun atas filsafat materialisme sejarah. Demikian halnya dengan isme-isme lainnya punya landasan filsafat dan kita mudah menemukan landasan filsafatnya. Akhir ideologi adalah akhir dari politik tanpa bangunan filsafat.

Tafakkur, Filsafat, dan Politik

Umumnya para ahli politik dan ekonomi berusaha menciptakan suatu gagasan ideologi sebagai paradigma alternatif dari gagasan sebelumnya. Juga kadang seorang pemikir ingin membuktikan gagasan teoretisnya dalam wilayah praktis. Itulah kenapa kita bisa temukan dalam sejarah, seorang filsuf terlibat dalam politik praktis, misalnya dalam menaikkan atau menurunkan rezim pemerintahan.

Meski demikian, tetap saja tak mudah menemukan relasi yang jelas antara politik dan filsafat.

Berbeda dengan Karl Popper, ia justru tak percaya terhadap gagasan filsafat klasik. Popper bahkan mengatakan Plato dan Hegel sebagai pendusta dan tak punya niat yang baik. Popper hanya percaya terhadap filsafat moderen.

Tapi apa bisa kita mengatakan pemikiran politik Plato yang hidup di abad ke 5 sebelum masehi menyebabkan Hitler berkuasa di abad 20 dan sekaligus menganggap konsep politik al-Farabi yang terpengaruh oleh Plato menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia arab dan timur tengah? Tuduhan Popper atas mereka terlihat berlebihan.

Saat ini kita hanya bisa mengatakan bahwa ideologi seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, Nazisme, dan ideologi lainnya berakar dari filsafat moderen. Filsafat moderen menjadi basis gagasan politik dan ideologi saat ini, bahkan jika para politisi modern kita tidak menyadarinya. Teori konspirasi, misalnya, adalah hasil terbaik dari filsafat moderen yang tidak kita temukan sebelumnya, meskipun boleh jadi secara praktik fenomena konspirasi telah dilakukan jauh hari sebelumnya.

Intinya, meskipun kita tak tahu seperti apa kaitan antara filsafat dan politik namun tak dapat dipungkiri keduanya saling terkait, bahkkan jika kaitan itu tidak bersifat langsung. Sebab itu jika kita kembali ke makna politik yang sebenarnya kita akan mengatakan bahwa politik adalah tafakkur sebagaimana makna kata asalnya.

Maksudnya, bahkan jika memang aktivitas-aktivitas politik tidak selalu memiliki landasan filsafat, politik mustilah terkait dengan tafakkur atau proses berpikir reflektif, yang membuat kita akan menimbang segala persoalan dari berbagai pendekatan. Ini juga berlaku buat realitas politik modern dewasa ini, bahkan jika para politisi memahami politik sebagai yang semata-mata praktis.

MNJ

Wednesday, January 11, 2017

"Sosok Pemimpin dalam Negara al-Madīnah al-Fādhilah"


Al-Farabi dalam kitabnya Ārā’ Aħl al-Madīnah al-Fādhilah menyebutkan dua belas karekteristik yang mesti dimiliki bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin di sebuah negeri yang menjalankan sistem al-Madīnah al-Fādhilah. Karekteristik tersebut diantaranya:

1. Tidak cacat yakni anggota badannya sempurna.

2. Memiliki kecerdasan dengan pemahaman yang akurat serta imajinatif sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat.

3. Memiliki hafalan yang cukup kuat sehingga tetap mengingat sesuatu yang disaksikannya, didengarkannya, dan dipersepsikannya.

4. Memiliki kecerdasan yang kuat sehingga mampu mengargumentasikan segala perkara dengan baik.

5. Fasih dalam berbahasa dengan pilihan diksi yang tepat sehingga apa yang tertera di hatinya mampu diekspresikan dengan baik dan dengan pilihan kalimat yang mudah dimengerti.

6. Mencintai pengetahuan, taat kepada hikmah, dan problem yang sedang ia hadapi tak menghalanginya menimbah pengetahuan untuk dirinya.

7. Tidak tamak terhadap kenikmatan indrawi dan menjauhi perbuatan yang sia-sia.

8. Mencintai kejujuran dan orang-orang jujur, membenci dusta dan pendusta.

9. Berjiwa besar, mencintai kemuliaan, dan menginginkan harkat dan martabat.

10. Mencintai keadilan dan orang adil, membenci kezaliman dan orang-orang zalim. Ketika keadilan memanggilnya, ia langsung menyahutinya, dan saat kezaliman dan keburukan memanggilnya, ia terus melawannya dan pantang menyerah.

11. Ia melihat seluruh aspek dan kemungkinan dalam mengambil keputusan dan mendahulukan pekerjaan yang semestinya dan seharusnya.

12. Dirham, dinar, dan segala yang terkait dengan aspek dunia, dalam pandangannya adalah perkara yang tak punya harga.

Pandangan Al-Farabi tentang negara dan kemimpinan terinspirasi dari Plato. Namun akankah kita tetap menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan utopis sebagaimana Plato? Tapi memang benar, gagasannya utopis. Itu sebabnya saat memililih seorang pemimpin, dalam kareteria biasanya kita menyebut syarat “beriman dan bertaqwa”, tanpa pernah merinci satu persatu tentang ciri iman dan taqwa. al-Farabi tak menyebutkan karekteristik iman dan taqwa, sebab ia lebih peduli isi daripada bentuk. Sedangkan umumnya kita lebih peduli bentuk daripada isi. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa kita menganggap gagasan al-Farabi sebagai gagasan yang utopis.

Muhammad Nur Jabir

Friday, December 30, 2016

"Analisa Fenomenologi Jean Baudrillard atas Media"


Kita bisa menyebut abad 21 sebagai abad revolusi informasi digital. Di abad ini manusia tak lagi bersandar kepada fakta-fakta di sekitarnya namun mencukupkan dirinya pada fakta imajinatif bahkan percaya pada fakta yang telah diselewengkan.

Benar apa kata Jean Baudrillard bahwa media berperan besar dalam mengkerdilkan fakta. Baudrillard melanjutkan penjelasannya tentang tahapan-tahapan yang mungkin dilakukan oleh media dalam merubah fakta. Tahap pertama menggambarkan fakta sebagai cermin fakta. Lalu tahap kedua berubah menjadi topeng fakta. Pada tahap ketiga media berusaha menjelaskan fenomena sebagai ketidakhadiran fakta. Dan tahap terakhir memutuskan relasi dengan fakta. Bagi Baudrillard, tahap akhir adalah tahap para-faktual atau fakta-akut.

Sebagian ahli menambahkan tahap selanjutnya sebagai tahap  tanda imajinasi-manipulatif. Pada tahap ini kita diperhadapkan dengan gambar-gambar palsu yang tak lagi menggambarkan fakta konkrit realitas eksternal. Bahkan kita diperhadapkan dengan sebuah gambar dimana gambar tersebut berasal dari gambar lainnya. Tahap ini adalah rangkaian matarantai gambar dimana gambar pertama adalah kurban pertama dari fakta realitas.

Pada tahapan ini setiap gambar hanya menunjukkan atau hanya penanda atas gambar lainnya. Manusia berada diantara tumpukan-tumpukan gambar dan tanda-tanda yang akan membuat kehilangan dirinya dan bahkan tak lagi memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Bisa dikatakan periode ini adalah periode matinya fakta atau matinya realitas. Gambar-gambar dan tanda-tanda hanya cermin atas gambar-gambar lainnya. Realitas eksternal sudah tidak memiliki lagi pijakan yang nyata.

Jean Baudrillard menampilkan dunia digital sebagai pencapaian puncak keterasingan manusia atas dirinya. Sebab meskipun manusia dalam keramaian tapi seolah-olah sedang berada di dalam kamarnya menikmati segala bentuk serangan informasi dari berbagai arah. Media dan informasi berhasil mengikat tangan dan kakinya sehingga menerima begitu saja dan tanpa tanya atas para-faktual media dan informasi. Para-faktual berhasil nampak lebih nyata dari fakta itu sendiri. Ditambah lagi para konsumen media tidak memiliki kemampuan dalam menganalisa data dan informasi.

"Periode kini adalah periode memenjarakan tafakkur dan pikiran dan membebaskan segala bentuk kepalsuan".

MNJ

Wednesday, December 21, 2016

"Fenomenologi 'Om Telolet Om' dan Kegamangan Akidah"

Austin atau John Langshaw Austin salah satu filsuf yang banyak menganalisa penggunaan bahasa. Austin dikenal sebagai filsuf bahasa keseharian. Teori 'speech acts' salah satu teori yang populer dari Austin. Makna 'speech acts' bahwa bertutur adalah tindakan, bukan sekedar bahasa semata.

Austin berkeyakinan, banyak hal yang dapat dipelajari dari bahasa biasa sehari-hari atau bahasa keseharian. Apalagi mengingat banyaknya distingsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.

Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah disebut dengan linguistik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa.

Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik haruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Keseharian merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).

Saya tidak sedang ingin menjelaskan filsafat bahasa keseharian. Saya ingin mengatakan bahwa betapa mudah kita sebagai ummat muslim mengatakan "om telolet om" sebagai konspirasi akidah, bahkan menganggap sebagai pendangkalan akidah. Justru saya balik bertanya, "siapakah sebenarnya yang akidahnya dangkal dalam konteks ini? dan siapakah yang sedang mempertontonkan kedangkalan akidahnya?"

"Om telolet om" hanya berawal dari kesenangan seorang anak kecil. Awal mula fenomena ini berawal dari aksi bocah-bocah tanggung di daerah Jawa Timur dalam memburu bunyi klakson bus yang terdengar 'telolet' dan merekamnya dengan telepon seluler.

Kegiatan anak-anak tersebut murni hobi untuk mencari kepuasan bathin. Apalagi mendapat suara telolet yang unik dan sudah dimodifikasi.

Dalam memburu telolet, mereka bergerombol dan rela menunggu lama. Ketika bus tiba, bocah-bocah tersebut akan mengacungkan jempol sambil berteriak ‘Pak Telolet Pak’ ada juga yang teriak ‘Om telolet Om’. Sebagian mereka juga ada yang sengaja menulis tulisan besar ‘Om Telolet’ agar dibaca oleh supir bus.

Setelah mendapat suara telolet, mereka lalu memamerkan hasil buruan mereka dengan mengunggah rekamannya ke media sosial, mulai dari Facebook, YouTube dan lainnya. (Lihat: http://www.bintang.com/lifestyle/read/2684502/asal-usul-fenomena-om-telolet-om)

"Om telolet Om" menjadi tranding topik di twitter setelah para Dj-Dj dunia mulai ikut meramaikan sebagai ekspresi kebahagiaan, lucu-lucuan, dan juga kelugu-luguan.

Namun kita dengan mudah mencerabut akar kejadian "Om telolet Om". Kita dengan enaknya melepaskan situasi konkretnya dan kapan serta dimana kejadian itu awal mula terjadi. Dan yang paling amat tragis dan keji, setelah mencerabut akar fenomenologinya, seolah-olah "om telolet om" adalah milik kita, dan pada saat itulah kita memberikan pemaknaan baru terhadapnya yaitu "Om" simbol kesucian orang Hindu dan "Telolet" bermakna terompet sebagai alat khas ibadah orang Yahudi. Setelah pemaknaan baru ini kita berikan pada fenomena "om telolet om", barulah kita mengatakan sebagai konspirasi dan pendangkalan akidah. Jadi siapakah sebenarnya yang akidahnya sangat dangkal?

Begitu mudahkah kita ummat muslim memperkosa makna dan bahasa? Seolah-olah semua makna dan bahasa adalah milik kita sehingga begitu mudah kita mengarahkan setiap fenomena sebagai konpirasi atas agama suci kita. Namun berpikirlah sejenak dengan nurani, bukankah kita sebagai ummat muslim yang berperan sebagai tukang fitnah dalam kejadian ini? Bukankah kita telah menista agama Hindu dalam fenomena "Om telolet Om"? Beruntung kita sedang berada dalam posisi mayoritas dan sangat beruntung pula penganut agama Hindu di Indonesia memiliki kesadaran tinggi dan mengamalkan ajaran mereka dengan baik.

Namun sekali lagi, apakah ini hanya persoalan mayoritas dan minoritas? Saat kita mayoritas kita berhak memfitnah dan melakukan apa saja sekehendak kita? Pernahkah anda pikir bagaimana rasanya saudara-saudara kita ummat muslim yang kebetulan sedang berada dalam minoritas? Apakah anda setuju mereka diperlakukan tak adil dan juga dinista dan difitnah?

Saya malu pada ummat Hindu dan saya mesti memohon maaf atas nama ummat muslim kepada mereka para pemeluk agama Hindu. Tapi saya yakin, ummat Hindu juga paham bahwa orang-orang yang menista agama mereka bukanlah representasi ummat muslim pada umumnya. Hanya sebagian ummat muslim saja yang sedang menegaskan kedangkalan akidah dan kegamangan akidah mereka.

Muhammad Nur Jabir

Wednesday, November 30, 2016

“Terjebak Macet” dan “Keterbatasan Penafsiran”

Sudah beberapa kali saya mengalami fenomena terjebak macet. Saya yakin hampir semua pernah mengalaminya. Namun terjebak macet di perempatan lampu merah, bagi saya cukup mengerikan. Sebab meskipun tanda lampu lalu lintas: merah, kuning, hijau, berturut-turut dan secara bergantian menyala akan tetapi sudah tak punya arti lagi. Seluruh kendaraan numpuk di tengah dan tak ada ruang celah sedikit pun untuk bergerak.

Saat giliran lampu hijau menyala, seluruh kendaraan berusaha maju ke depan, walau sadar tak ada lagi ruang gerak untuk maju ke depan. Sebagian besar kendaraan memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya dan berulang-ulang sebagai satu-satunya pilihan terbaik. Nah bayangkan jika keempat titik sudut tanda lampu lalu lintas melakukan hal yang sama, dan anehnya lagi sebab semua menyadari bahwa tak ada lagi ruang untuk bergerak.

Mengapa semua kendaraan di perempatan lampu merah itu merasa berhak membunyikan klakson? Sebab seluruh kendaraan mendapat giliran nyala lampu hijau karena seluruh kendaraan hanya bisa diam dan tak bisa bergerak. Maksudnya lampu lalu lintas berjalan secara otomatis, tak peduli apakah mobil sedang bergerak atau tidak. Rambu-rambu lalu lintas tak punya kehendak dalam mengambil inisiatif atau mencari solusi secara sponton. Bahasa rambu lalu lintas adalah bahasa program tanpa memiliki kehendak. Seluruh kendaraan membenarkan penafsirannya atas rambu lalu lintas waktu itu.

Kasihan angkot itu yang terjebak ditengah-tengah jalan perempatan. Angkot itu melangkah persis di ujung lampu hijau berakhir dan malangnya sebab ia terjebak di tengah jalanan, menunggu antrian agar mobil yang di depan bisa bergerak maju. Si sopir angkot hanya bisa pasrah mendengarkan cacian dan cemoohan dari pengendara saat itu. Sebagian pengendara motor yang tak sabar menendang mobil angkot itu. Mungkin karena pada umumnya dibenak kita, sopir angkot selalu berkuasa di jalan, berhenti seenaknya dan bergerak semaunya.

Seluruh kendaraan menegaskan bahwa tafsiranku atas lampu hijau sedang menyala adalah benar dan sudah saatnya saya berhak maju ke depan dan oleh karenanya saya berhak membunyikan klakson kendaraan karena kendaraan di depan tak bergerak. Apakah ada tafsiran yang salah? Tak ada satu pun yang salah sebab seluruh kendaraan sedang terhenti dan tak bisa bergerak sehingga semua merasakan hal yang sama mendapatkan giliran lampu hijau.

Mereka hanya melupakan satu hal tentang ‘terjebak macet’. Disini bukan saatnya lagi membicarakan penafsiran mana yang benar. Saatnya menyadari bahwa penumpukan kendaraan akan menjebak kita dalam kemacetan. Kondisi seperti ini seharusnya menyadarkan kita akan keterbatasan ruang tafsir. Sebab saat seperti ini yang kita butuhkan adalah kearifan, bukan lagi penafsiran. Kita mesti mengalah agar ada ruang yang terbuka dan kendaraan lain melaju.

Persoalannya siapa yang mesti mengalah dan siapa yang mesti mengambil sikap bijaksana? Bukankah hidup ini penuh dengan resiko yang mesti dihitung dengan kalkulasi matematis? Siapa yang mesti membuang waktunya dengan mengalah? Dan siapa yang mesti mengambil peran bijaksana dengan resiko kehilangan keuntungan ekonomisnya? Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita?

Saya tidak tahu, apakah kondisi bangsa kita sedang mengalami ‘terjebak macet’? jika iya, lalu siapa yang akan mengalah dan siapa yang akan mengambil peran arif dan bijaksana? Tentu yang paling banyak berbicara tentang nilai moral dan yang paling banyak berbicara tentang agama. Kecuali semuanya memilih membunyikan klakson sebesar-besarnya. Tapi bukankah kita sedang mempertaruhkan nilai nurani dan fitrah kemanusiaan kita? Saya tak tahu, hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nihilisme kemanusiaan kita kata Heidegger. Sebab itu saya berdoa, semoga ada yang berperan mengambil ruang ‘mengalah’ dan ruang ‘bijaksana’.  Amin

Muhammad Nur Jabir