Sunday, November 13, 2016

Keyakinan Lebih Menakutkan

Demi sebuah hakikat,
Keyakinan lebih menakutkan
daripada kebohongan.

#Nietzsche

Tak mudah memahami perkataan Nietzsche. Nalar kita sudah terbiasa dengan kaidah-kaidah yang terbangun dan tersusun dengan sangat rapi dalam benak kita. Sedangkan perkataan Nietzsche pada umumnya tidak sejalan dengan pondasi struktur logika berpikir kita. Tapi cobalah sejenak tengok fenomena sekitar kita. Sangat mudah menemukan kepongahan dan keangkuhan. Kepongahan dan keangkuhan tak  butuh pada perangkat nalar yang sistematis, sebab yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menghancurkan siapa saja.

Fenomena bom kembali terulang dan kita tak pernah tahu kapan akan berakhir. Bom beserta pelakunya selalu saja menyisakan tanda tanya. Menyisakan arah panah akan diarahkan kemanakah selanjutnya. Sebab tugas utama pelaku bom bukan pada ledakannya, tapi pesan yang disampaikan adalah setelahnya. Sebab itu pelakunya tak pernah peduli pada mangsanya, meskipun pada akhirnya korban ledakannya adalah orang tua dan anak-anak. Meskipun taruhannya adalah mematikan nurani dan kemanusiaan, mereka tak kan pernah peduli.

Tapi fenomena ini memudahkan kita memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Nietzsche, betapa perjuangan atas sebuah 'hakikat' dengan landasan keyakinan tertentu lebih menakutkan daripada kebohongan. Berbohong adalah kejujuran atas suatu kesalahan dalam memanipulasi kebenaran. Tapi pelaku bom tidak sedang berbohong. Ia sadar telah melakukan suatu tindakan teror. Bukankah ini lebih menakutkan karena akan menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita?!

Mungkin kita sudah terbiasa menertawai keadilan. Kita lebih memilih diam dan bahkan membiarkan hanya karena pelakunya dari orang-orang yang seagama dengan kita dan korbannya adalah orang-orang yang berbeda akidah dengan kita. Meskipun kita sadar, pelakunya telah melakukan tindakan salah dan tidak sejalan dengan agama dan nurani fitrah kemanusiaan kita. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Jadi bukan agama yang sedang diuji, tapi pemaknaan kita atas agama sedang diuji. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan dan kepongahan, bukan saja agama yang terancam, tapi konsep kebertuhanan kita pun terancam. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan atas nama agama, berarti sama saja kita membenarkan Tuhan berlaku tidak adil. Maksudnya, Tuhan yang kita pahami adalah Tuhan yang hanya bisa berlaku adil kepada kelompok kita saja dan tak mampu berlaku berlaku adil pada yang lain. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Dengarkanlah bagaimana Rumi berdialog dengan ayahnya:

"Suatu hari seorang anak bertanya pada ayahnya,
Agama manakah yang terbaik, wahai Ayah?
Kata Ayahnya, aku tak ada urusan dengan agama.
di sisiku, agama tak lagi memiliki nilai,
sebab setiap ada agama baru,
perbedaan pun akan semakin nampak,
hasud dan fitnah pun akan semakin bermunculan,
peperangan antar aliran kembali terulang,
Darah manusia berceceran di atas bumi,
berulang dan terus berulang lagi atas nama agama,
Agama adalah yang mampu hidup bersama yang lain,
Apa guna agama yang mengatakan;
Tumpahkan darah orang-orang kafir.
Sebab itu lah aku tak lagi punya agama,
agar tak ada lagi darah yang tumpah,
Wahai Anakku, jika kau cari agama,
Carilah agama yang mengasihi
Seluruh ummat manusia".

MNJ

Saturday, November 5, 2016

Kebencian adalah Hakikat

Kebencian adalah bagian dari hakikat,
Keindahan hanya imajinasi semata.

Henry Charles Bukowsky

Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumnya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan atau perkataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan.

Kita akan mudah memahaminya jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu idealnya, seharusnya, dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, cinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya.

Tapi bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Saya ingin mengajak dan melihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu saja berpikir telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.

Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.

Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin  menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.

Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.   

Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.

Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”

Sunday, June 19, 2016

Perempuan dalam Tasawwuf

Sufi Perempuan dan Perempuan dalam Tradisi Sufi
Muhammad Nur Jabir

Banyak pertanyaan yang menggelitik mengenai sufi perempuan misalnya mengapa hanya beberapa deratan nama saja yang kita kenal sebagai sufi perempuan seperti Rabiah Adawiyah. Kira-kira apa yang menyebabkan sehingga tak banyak tokoh sufi yang kita kenal dari kalangan perempuan? Apakah hal ini menunjukkan bahwa hanya kalangan pria saja yang memiliki potensi besar untuk menjadi sufi? Apakah kurangnya tokoh sufi dari kalangan perempuan karena kondisi sosiologis pada waktu itu atau dalam kata lain kurang dikenal oleh masyarakat karena sufi perempuan lebih banyak diam di dalam rumah?

Namun suatu hal yang mesti dipahami, tokoh perempuan yang sempat terekam namanya dalam sejarah disebabkan hasil interaksi mereka dengan tokoh sufi pria. Dan tokoh pria tersebutlah yang menjelaskan mengenai maqam yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Oleh karena itu kurangnya jumlah sufi dari kalangan perempuan, bukan karena potensi yang dimiliki perempuan dalam meraih maqam sufistik terlihat lemah.
Dalam empat perjalanan sufistik tak ada penekanan atas laki-laki dan perempuan sebab keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih maqam ruhaniah. Namun meskipun perjalanan keempat adalah perjalanan yang hanya diperuntukkan kepada kaum pria saja, namun hal tersebut dikarenakan perjalanan keempat adalah perjalanan tabligh dimana persoalan tabligh lebih sesuai diemban oleh kaum pria. Tapi yang perlu diketahui, ukuran kesempurnaan ada pada maqam wilayah dan maqam wilayah berada perjalanan ketiga dari empat perjalan manusia. Dan pada perjalanan ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal ini dalam persoalan sufistik tidak ada aspek pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun terkait dengan posisi perempuan dalam tasawwuf, Ibn Arabi meyakini sebagaimana yang tertera dalam  kitab Taurat bahwa perempuan yakni Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebab itu Hawa bagaian dari Adam dan berasal dari tulang rusuk Adam. Berdasarkan hal ini maka laki-laki berposisi sebagai 'subjek mempengaruhi' dan perempuan sebagai 'objek dipengaruhi'. Tentu 'subjek mempengaruhi' lebih dominan daripada 'objek dipengaruhi'. Namun hal tersebut hanya terkait dari aspek penciptaan bukan dalam kesempurnaan sebab dalam hal kesempurnaan keduanya memiliki keunggulan yang sama.

Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Dia (Rasulullah saw) yang seluruh ummat takluk pada perkataannya
Ketika sampai pada istrinya, ia berkata, "bicaralah padaku" (Bait 2428, Buku 1)
Meskipun dirimu secara lahiriyah mendominasi wanita,
Namun secara batin wanita mendominasimu. (Bait 2431, Buku 1)

Maulana Rumi ingin menjelaskan bahwa dominasi laki-laki atas perempuan hanya aspek luarnya saja namun secara esensial wanita mendominasi laki-laki. Alasannya karena aspek rasa yang ada pada perempuan mampu mendominasi akal yang ada pada laki-laki. Namun laki-laki jahil dan pemarah lebih kuat atas dominasi perempuan.

Maulana Rumi dalam kesempatan lain menyimbolkan laki-laki dengan air, kemudian menyimbolkan perempuan dengan api. Berdasarkan atas penyimbolan ini, air mampu memadamkan api namun jika ada perantara antara api dan air maka api akan membuat air mendidih dan mengubah air menjadi uap. Sebab itu pada hakikatnya perempuan lebih mampu mendominasi laki-laki sebab perempuan menguasai jiwa dan hati laki-laki.
Menurut Ibn Arabi menyaksikan Tuhan dalam perempuan dianggap sebagai bentuk penyaksian yang paling sempurna karena laki-laki menyaksikan dua bentuk dalam diri perempuan yaitu bentuk mempengaruhi dan bentuk dipengaruhi. Perempuan menerima nuthfah dari laki-laki sebagai bentuk dipengaruhi dan membesarkan nuthfah di dalam dirinya sebagai bentuk mempengaruhi yang ada dalam diri perempuan. Sebab itu bagi Ibn Arabi, Hawa yakni perempuan adalah gabungan antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan inilah maksud dari Hadits Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan solat".

Sebab itu baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi menempatkan perempuan lebih mulia dari laki-laki bahkan menarik ke atas hingga menjadi bentuk dari keindahan Ilahi. Kedua arif tersebut memandang cinta sebagai pancaran emanasi dari Ilahi. Manusia tak mungkin menyaksikan hakekat absolut eksistensi Ilahi. Dia hanya bisa disaksikan dalam manifestasi-manifestasi-Nya dan perempuan salah satu dari manifestasi-manifestasi keindahan dan kelembutan Ilahi. Sebab itu cinta pada perempuan adalah cinta kepada Ilahi. karena hanya perempuan yang mampu menunjukkan dua bentuk tersebut.

Selanjutnya Ibn Arabi meyakini meskipun derajat perempuan berada di bawah dari laki-laki dalam aspek penciptaan namun derajat ini tidak mempengaruhi kesempurnaan yang ada di dalam diri perempuan. Oleh karena relasi Hawa atas Adam dalam persoalan penciptaan seperti relasi Adam atas tanah dimana aspek tanah pada Adam tidak akan menghalangi kesempurnaan Adam.
Dalam membuktikan persoalan ini Ibn Arabi mengangkat kisah Hajar ibu Nabi Ismail as. Setelah Allah swt menyaksikan perbuatan Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.        
                                               
Kemudian kata perempuan dalam irfan terkadang tidak bermakna perempuan sebagaimana perempuan akan tetapi bermakna simbolik, sesuai dengan makna yang diinginkan oleh sang sufi dalam menjelaskan hakikat Ilahi. Perempuan dalam ranah sufistik sering digunakan dalam menggambarkan kesempurnaan dan sifat-sifat Ilahi, termasuk simbol-simbol yang melekat pada perempuan seperti rambut, tai lalat, mulut, dst. Misalnya dalam sastra sufi ketika ingin menggambarkan aspek jamaliyah dan jalaliyah Ilahi biasanya menggunakan simbol rambut hitam yang terurai panjang. Saat perempuan mengurai rambutnya yang panjang dan menutupi seluruh wajahnya disebut sebagai simbol jalaliyah Ilahi dan saat mengangkat rambut yang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tersingkap disebut dengan simbol jamaliyah Ilahi.  

Monday, April 4, 2016

Kajian Suluk (1)

Perbedaan Akhlak dengan Amalan Sufistik;
1.      Pembahasan akhlak adalah suatu pembahasan yang akan membimbing manusia dalam meraih sifat-sifat malakah dengan menundukkan beberapa fakultas dalam diri manusia. Sedangkan amalan sufistik dilakukan sebagai tujuan agar menyaksikan hakikat-hakikat batin dan tujuan tertinggi adalah liqaullah.
2.      Pembahasan yang tidak dibahas di dalam persoalan akhlak ialah mengenai persoalan sair suluk atau mengarungi perjalanan ruhaniah dari satu maqam menuju maqam selanjutnya hingga sampai pada puncak tertinggi yaitu liqaullah. Adapun wilayah akhlak membimbing manusia dalam memperindah ruh dengan sifat-sifat yang baik seperti adil, jujur, amanah, dan sifat-sifat lainnya. Selain itu pula tugas akhlak adalah menjauhkan nafs dari sifat-sifat yang buruk.
3.      Tindakan manusia tanpa disertai dengan tawajjuh kepada Ilahi akan menyebabkan tindakan tersebut tak lagi punya makna secara ruhaniyah. Sedangkan dalam akhlak tidak mesti disyaratkan demikian.
Beberapa hal penting terkait dengan persoalan tazkiyah dan suluk;
1.      Setelah manusia memutuskan berjalan menuju Allah swt, kebutuhan utama seorang pesuluk adalah terkait dengan persoalan riyadhah (latihan) atau biasa juga disebut dengan tazkiyah. Adapun makna berjalan menuju Allah swt;
a.       Bahwa kita akan berangkat menuju Tuhan dalam tingkatan yang paling batin, sebagaimana Quran menjelaskannya dengan kalimat "Dialah yang Akhir".
b.      Dalam surah al-Syura (42);53, "ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali segala urusan”. Ayat tersebut ingin menjelaskan bahwa hakikat segala sesuatu kembali kepada Allah swt, bukan kembali kepada surga dan neraka. Sebab itu jika manusia kembali kepada neraka atau surga, sebenarnya kita tidak termasuk ke dalam rombongan kafilah alam semesta sebab alam semesta kembali kepada Allah swt, bukan ke neraka atau ke surga.
c.       Dalam surah al-Maidah (5);35 Allah swt berfirman, " . . . dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya". Allah swt memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat kembali kepada-Nya. Bahwa tujuan adalah Allah swt dan selain Tuhan adalah wasilah atau perantara. Namun manusia yang tak sadar menjadikan Tuhan sebagai perantara agar dimasukkan ke surga sehingga tujuannya adalah sorgawi, bukan kepada Ilahi.
d.      Dalam surah al-Qashas (28);88 Allah swt berfirman, "tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya”. Berdasarkan ayat ini, jika kita mencari selain Allah swt pada hakikatnya kita mencari kesirnaan dan bukan keabadian sebab segala sesuatu sirna kecuali wajah-Nya.
2.      Pada umumnya setelah manusia memiliki kesadaran dan merenungi bahwa Allah swt meliputi segala sesuatu, manusia akan mengalami apa yang disebut dengan yaqzah. Yaqzah adalah suatu bentuk perubahan secara revolusioner dalam diri manusia. Perubahan tersebut secara langsung akan menarik manusia kembali kepada Ilahi. Manusia rindu dan ingin bergerak untuk sampai kepada kebahagiaan yang sejati yang disebut dengan liqaullah. Sebab itu menurutu kaum sufi, iradah adalah awal gerak manusia dan liqaullah  adalah titik akhir perjalan manusia.
Diantara maksud-maksud dalam melakukan riyadhah;
1.      Menjauhkan segala hal selain Tuhan dalam proses suluk. Disini pesuluk akan memahami bahwa zuhud yang sebenarnya adalah menghilangkan segala bentuk rintangan eksternal yang dapat menghalangi manusia menuju Allah swt.
2.      Menghilangkan penghalang internal atau segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang akan menghalangi manusia menuju Allah swt. Berikut ini beberapa hal yang mesti dilakukan agar manusia bisa berhasil dalam melakukan tahap ini;
a.       Beribadah yang disertai dengan tafakkur.
b.      Mendengarkan keindahan Ilahi.
c.       Mendengarkan perkataan orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih.
3.      Manusia berusaha melembutkan jiwanya sebab Allah swt memiliki sifat lathif (MahaLembut) sebab itu jika manusia tak memiliki jiwa yang lembut akan sulit terkoneksi secara langsung (tanpa hijab) dengan Ilahi. Dalam hal ini manusia perlu melakukan dua hal: berusaha memiliki pikiran yang jernih dan juga cinta yang jernih.
Penjelasan Mengenai Zuhud
Pemaknaan zuhud dalam ranah sufistik berbeda dengan zuhud dalam ranah akhlak. Zuhud dalam ranah akhlak tak ubahnya seperti transaksi, seolah-olah memberikan sesuatu dan berharap mendapatkan sesuatu dari pemberian tersebut. Adapun zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala bentuk kenikmatan yang akan menghalangi manusia berjalan menuju Ilahi. Dalam kata lain, zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala perkara yang akan membuat manusia lalai dari mengingat Ilahi.
Makna Tafakkur
Maksud dari tafakkur disini ialah menundukkan nafsu ammarah melalui nafsul muthmainnah. Jika nafsul muthmainnah berhasil mendominasi nafsu ammarah maka fakultas imajinasi dan waham manusia akan suci dan mampu menghindari hal-hal yang buruk. Sebelum melakukan riyadhah, manusia terpenjara oleh alam imajinasi dan wahamnya namun setelah melakukan riyadhah akan terbebas dari hal tersebut.
Dalam menundukkan nafsu ammarah, hendaknya manusia melakukan ibadah yang disertai dengan tafakkur. Jika dalam melakukan suatu rangkaian ibadah, jiwanya senantiasa tawajjuh kepada Allah swt maka ia sedang berada di jalan Allah swt sehingga ia akan mendapatkan pertolongan dari aspek tawajjuh tersebut.   

Dosa adalah penghalang dalam meraih ketaatan. Demikian halnya, meninggalkan tafakkur akan menghalangi manusia dalam mengingat (tazakkur) sebab tafakkur bermakna 'mencari' dan tazakur bermakna 'memiliki'. Oleh karena itu, pertama manusia bertobat (kembali) dan setelah itu senantiasa mengingat Allah swt.

Thursday, December 10, 2015

Jangan "Ke Sana"

Kan sudah kukatakan padamu,
jangan "ke sana"!
karena yang kau kenal, hanya aku.

~ Maulana Rumi

"Disana" mana yang mesti kita hindari dan kita tak semestinya pergi kesana? Rumi menjawabnya dengan bait selanjutnya "karena yang kau kenal hanya aku".

Aku disini memiliki dua makna; diri dan Tuhan. Aku sebagai diri sebab kita mengenal diri kita sendiri meskipun tidak sepenuhnya, dan Aku sebagai Tuhan karena fitrah suci manusia selalu mengingat-Nya dan selalu ingin kembali pada-Nya.

Saat manusia melangkah "ke sana", berarti ia telah melangkah keluar dari rumahnya dan menuju suatu tempat diluar dirinya. "Disana" adalah tempat yang akan menyibukkan dirinya, sibuk dengan permainan-permainan diluar dirinya. Kesibukan tersebut akan membuatnya terasing, sebab ia hanya asyik diluar padahal rumah eksistensinya ada dalam dirinya yang setiap saat menantinya.

Bahkan saking sibuknya sehingga ia lalai dari dirinya dan tentu lalai dari Ilahi sebab Ilahi bersemayam dalam hati manusia. Di dunia ini penuh dengan "Disana" yang menyebabkan kita lalai. Tempat yang mengantarkan kepada kelalaian. "Disana" bahkan bisa bermakna manusia itu sendiri yaitu saat kita duduk bersamanya hanya mengantarkan kita pada kelalaian dan keterasingan akan realitas diri.

Namun Maulana Rumi mengingatkan kita, di dunia ini tak ada yang memiliki kawan sejati. Setiap manusia hanya memiliki satu kawan sejati yaitu Tuhan. Karena setiap manusia memiliki keterbatasannya sendiri, dan kita tak mungkin menuntut sesuatu dari manusia diluar keterbatasan dirinya, sementara makna kawan sejati ialah memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sebab itu kawan sejati manusia hanya ada dua; dirinya dan Tuhannya.

Dalam kesempatan lain Maulana Rumi mengatakan, "aku mencari Tuhan dan yang kutemukan adalah diriku, dan aku mencari diriku dan aku temukan Tuhan". Oleh sebab itu maksud "disana" menurut Rumi adalah tempat yang tak dapat menemukan "diri" dan juga "Tuhan" karena semuanya asing dan terasing.

Pada akhirnya Rumi ingin menyampaikan pesan Tuhan;

"datanglah . . .
hanya padaKu saja,
karena hanya Aku saja kawanmu"