Sunday, June 19, 2016

Perempuan dalam Tasawwuf

Sufi Perempuan dan Perempuan dalam Tradisi Sufi
Muhammad Nur Jabir

Banyak pertanyaan yang menggelitik mengenai sufi perempuan misalnya mengapa hanya beberapa deratan nama saja yang kita kenal sebagai sufi perempuan seperti Rabiah Adawiyah. Kira-kira apa yang menyebabkan sehingga tak banyak tokoh sufi yang kita kenal dari kalangan perempuan? Apakah hal ini menunjukkan bahwa hanya kalangan pria saja yang memiliki potensi besar untuk menjadi sufi? Apakah kurangnya tokoh sufi dari kalangan perempuan karena kondisi sosiologis pada waktu itu atau dalam kata lain kurang dikenal oleh masyarakat karena sufi perempuan lebih banyak diam di dalam rumah?

Namun suatu hal yang mesti dipahami, tokoh perempuan yang sempat terekam namanya dalam sejarah disebabkan hasil interaksi mereka dengan tokoh sufi pria. Dan tokoh pria tersebutlah yang menjelaskan mengenai maqam yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Oleh karena itu kurangnya jumlah sufi dari kalangan perempuan, bukan karena potensi yang dimiliki perempuan dalam meraih maqam sufistik terlihat lemah.
Dalam empat perjalanan sufistik tak ada penekanan atas laki-laki dan perempuan sebab keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih maqam ruhaniah. Namun meskipun perjalanan keempat adalah perjalanan yang hanya diperuntukkan kepada kaum pria saja, namun hal tersebut dikarenakan perjalanan keempat adalah perjalanan tabligh dimana persoalan tabligh lebih sesuai diemban oleh kaum pria. Tapi yang perlu diketahui, ukuran kesempurnaan ada pada maqam wilayah dan maqam wilayah berada perjalanan ketiga dari empat perjalan manusia. Dan pada perjalanan ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal ini dalam persoalan sufistik tidak ada aspek pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun terkait dengan posisi perempuan dalam tasawwuf, Ibn Arabi meyakini sebagaimana yang tertera dalam  kitab Taurat bahwa perempuan yakni Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebab itu Hawa bagaian dari Adam dan berasal dari tulang rusuk Adam. Berdasarkan hal ini maka laki-laki berposisi sebagai 'subjek mempengaruhi' dan perempuan sebagai 'objek dipengaruhi'. Tentu 'subjek mempengaruhi' lebih dominan daripada 'objek dipengaruhi'. Namun hal tersebut hanya terkait dari aspek penciptaan bukan dalam kesempurnaan sebab dalam hal kesempurnaan keduanya memiliki keunggulan yang sama.

Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Dia (Rasulullah saw) yang seluruh ummat takluk pada perkataannya
Ketika sampai pada istrinya, ia berkata, "bicaralah padaku" (Bait 2428, Buku 1)
Meskipun dirimu secara lahiriyah mendominasi wanita,
Namun secara batin wanita mendominasimu. (Bait 2431, Buku 1)

Maulana Rumi ingin menjelaskan bahwa dominasi laki-laki atas perempuan hanya aspek luarnya saja namun secara esensial wanita mendominasi laki-laki. Alasannya karena aspek rasa yang ada pada perempuan mampu mendominasi akal yang ada pada laki-laki. Namun laki-laki jahil dan pemarah lebih kuat atas dominasi perempuan.

Maulana Rumi dalam kesempatan lain menyimbolkan laki-laki dengan air, kemudian menyimbolkan perempuan dengan api. Berdasarkan atas penyimbolan ini, air mampu memadamkan api namun jika ada perantara antara api dan air maka api akan membuat air mendidih dan mengubah air menjadi uap. Sebab itu pada hakikatnya perempuan lebih mampu mendominasi laki-laki sebab perempuan menguasai jiwa dan hati laki-laki.
Menurut Ibn Arabi menyaksikan Tuhan dalam perempuan dianggap sebagai bentuk penyaksian yang paling sempurna karena laki-laki menyaksikan dua bentuk dalam diri perempuan yaitu bentuk mempengaruhi dan bentuk dipengaruhi. Perempuan menerima nuthfah dari laki-laki sebagai bentuk dipengaruhi dan membesarkan nuthfah di dalam dirinya sebagai bentuk mempengaruhi yang ada dalam diri perempuan. Sebab itu bagi Ibn Arabi, Hawa yakni perempuan adalah gabungan antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan inilah maksud dari Hadits Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan solat".

Sebab itu baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi menempatkan perempuan lebih mulia dari laki-laki bahkan menarik ke atas hingga menjadi bentuk dari keindahan Ilahi. Kedua arif tersebut memandang cinta sebagai pancaran emanasi dari Ilahi. Manusia tak mungkin menyaksikan hakekat absolut eksistensi Ilahi. Dia hanya bisa disaksikan dalam manifestasi-manifestasi-Nya dan perempuan salah satu dari manifestasi-manifestasi keindahan dan kelembutan Ilahi. Sebab itu cinta pada perempuan adalah cinta kepada Ilahi. karena hanya perempuan yang mampu menunjukkan dua bentuk tersebut.

Selanjutnya Ibn Arabi meyakini meskipun derajat perempuan berada di bawah dari laki-laki dalam aspek penciptaan namun derajat ini tidak mempengaruhi kesempurnaan yang ada di dalam diri perempuan. Oleh karena relasi Hawa atas Adam dalam persoalan penciptaan seperti relasi Adam atas tanah dimana aspek tanah pada Adam tidak akan menghalangi kesempurnaan Adam.
Dalam membuktikan persoalan ini Ibn Arabi mengangkat kisah Hajar ibu Nabi Ismail as. Setelah Allah swt menyaksikan perbuatan Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.        
                                               
Kemudian kata perempuan dalam irfan terkadang tidak bermakna perempuan sebagaimana perempuan akan tetapi bermakna simbolik, sesuai dengan makna yang diinginkan oleh sang sufi dalam menjelaskan hakikat Ilahi. Perempuan dalam ranah sufistik sering digunakan dalam menggambarkan kesempurnaan dan sifat-sifat Ilahi, termasuk simbol-simbol yang melekat pada perempuan seperti rambut, tai lalat, mulut, dst. Misalnya dalam sastra sufi ketika ingin menggambarkan aspek jamaliyah dan jalaliyah Ilahi biasanya menggunakan simbol rambut hitam yang terurai panjang. Saat perempuan mengurai rambutnya yang panjang dan menutupi seluruh wajahnya disebut sebagai simbol jalaliyah Ilahi dan saat mengangkat rambut yang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tersingkap disebut dengan simbol jamaliyah Ilahi.  

Monday, April 4, 2016

Kajian Suluk (1)

Perbedaan Akhlak dengan Amalan Sufistik;
1.      Pembahasan akhlak adalah suatu pembahasan yang akan membimbing manusia dalam meraih sifat-sifat malakah dengan menundukkan beberapa fakultas dalam diri manusia. Sedangkan amalan sufistik dilakukan sebagai tujuan agar menyaksikan hakikat-hakikat batin dan tujuan tertinggi adalah liqaullah.
2.      Pembahasan yang tidak dibahas di dalam persoalan akhlak ialah mengenai persoalan sair suluk atau mengarungi perjalanan ruhaniah dari satu maqam menuju maqam selanjutnya hingga sampai pada puncak tertinggi yaitu liqaullah. Adapun wilayah akhlak membimbing manusia dalam memperindah ruh dengan sifat-sifat yang baik seperti adil, jujur, amanah, dan sifat-sifat lainnya. Selain itu pula tugas akhlak adalah menjauhkan nafs dari sifat-sifat yang buruk.
3.      Tindakan manusia tanpa disertai dengan tawajjuh kepada Ilahi akan menyebabkan tindakan tersebut tak lagi punya makna secara ruhaniyah. Sedangkan dalam akhlak tidak mesti disyaratkan demikian.
Beberapa hal penting terkait dengan persoalan tazkiyah dan suluk;
1.      Setelah manusia memutuskan berjalan menuju Allah swt, kebutuhan utama seorang pesuluk adalah terkait dengan persoalan riyadhah (latihan) atau biasa juga disebut dengan tazkiyah. Adapun makna berjalan menuju Allah swt;
a.       Bahwa kita akan berangkat menuju Tuhan dalam tingkatan yang paling batin, sebagaimana Quran menjelaskannya dengan kalimat "Dialah yang Akhir".
b.      Dalam surah al-Syura (42);53, "ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali segala urusan”. Ayat tersebut ingin menjelaskan bahwa hakikat segala sesuatu kembali kepada Allah swt, bukan kembali kepada surga dan neraka. Sebab itu jika manusia kembali kepada neraka atau surga, sebenarnya kita tidak termasuk ke dalam rombongan kafilah alam semesta sebab alam semesta kembali kepada Allah swt, bukan ke neraka atau ke surga.
c.       Dalam surah al-Maidah (5);35 Allah swt berfirman, " . . . dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya". Allah swt memerintahkan kita untuk mencari perantara agar dapat kembali kepada-Nya. Bahwa tujuan adalah Allah swt dan selain Tuhan adalah wasilah atau perantara. Namun manusia yang tak sadar menjadikan Tuhan sebagai perantara agar dimasukkan ke surga sehingga tujuannya adalah sorgawi, bukan kepada Ilahi.
d.      Dalam surah al-Qashas (28);88 Allah swt berfirman, "tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya”. Berdasarkan ayat ini, jika kita mencari selain Allah swt pada hakikatnya kita mencari kesirnaan dan bukan keabadian sebab segala sesuatu sirna kecuali wajah-Nya.
2.      Pada umumnya setelah manusia memiliki kesadaran dan merenungi bahwa Allah swt meliputi segala sesuatu, manusia akan mengalami apa yang disebut dengan yaqzah. Yaqzah adalah suatu bentuk perubahan secara revolusioner dalam diri manusia. Perubahan tersebut secara langsung akan menarik manusia kembali kepada Ilahi. Manusia rindu dan ingin bergerak untuk sampai kepada kebahagiaan yang sejati yang disebut dengan liqaullah. Sebab itu menurutu kaum sufi, iradah adalah awal gerak manusia dan liqaullah  adalah titik akhir perjalan manusia.
Diantara maksud-maksud dalam melakukan riyadhah;
1.      Menjauhkan segala hal selain Tuhan dalam proses suluk. Disini pesuluk akan memahami bahwa zuhud yang sebenarnya adalah menghilangkan segala bentuk rintangan eksternal yang dapat menghalangi manusia menuju Allah swt.
2.      Menghilangkan penghalang internal atau segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang akan menghalangi manusia menuju Allah swt. Berikut ini beberapa hal yang mesti dilakukan agar manusia bisa berhasil dalam melakukan tahap ini;
a.       Beribadah yang disertai dengan tafakkur.
b.      Mendengarkan keindahan Ilahi.
c.       Mendengarkan perkataan orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih.
3.      Manusia berusaha melembutkan jiwanya sebab Allah swt memiliki sifat lathif (MahaLembut) sebab itu jika manusia tak memiliki jiwa yang lembut akan sulit terkoneksi secara langsung (tanpa hijab) dengan Ilahi. Dalam hal ini manusia perlu melakukan dua hal: berusaha memiliki pikiran yang jernih dan juga cinta yang jernih.
Penjelasan Mengenai Zuhud
Pemaknaan zuhud dalam ranah sufistik berbeda dengan zuhud dalam ranah akhlak. Zuhud dalam ranah akhlak tak ubahnya seperti transaksi, seolah-olah memberikan sesuatu dan berharap mendapatkan sesuatu dari pemberian tersebut. Adapun zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala bentuk kenikmatan yang akan menghalangi manusia berjalan menuju Ilahi. Dalam kata lain, zuhud bagi seorang arif ialah meninggalkan segala perkara yang akan membuat manusia lalai dari mengingat Ilahi.
Makna Tafakkur
Maksud dari tafakkur disini ialah menundukkan nafsu ammarah melalui nafsul muthmainnah. Jika nafsul muthmainnah berhasil mendominasi nafsu ammarah maka fakultas imajinasi dan waham manusia akan suci dan mampu menghindari hal-hal yang buruk. Sebelum melakukan riyadhah, manusia terpenjara oleh alam imajinasi dan wahamnya namun setelah melakukan riyadhah akan terbebas dari hal tersebut.
Dalam menundukkan nafsu ammarah, hendaknya manusia melakukan ibadah yang disertai dengan tafakkur. Jika dalam melakukan suatu rangkaian ibadah, jiwanya senantiasa tawajjuh kepada Allah swt maka ia sedang berada di jalan Allah swt sehingga ia akan mendapatkan pertolongan dari aspek tawajjuh tersebut.   

Dosa adalah penghalang dalam meraih ketaatan. Demikian halnya, meninggalkan tafakkur akan menghalangi manusia dalam mengingat (tazakkur) sebab tafakkur bermakna 'mencari' dan tazakur bermakna 'memiliki'. Oleh karena itu, pertama manusia bertobat (kembali) dan setelah itu senantiasa mengingat Allah swt.

Thursday, December 10, 2015

Jangan "Ke Sana"

Kan sudah kukatakan padamu,
jangan "ke sana"!
karena yang kau kenal, hanya aku.

~ Maulana Rumi

"Disana" mana yang mesti kita hindari dan kita tak semestinya pergi kesana? Rumi menjawabnya dengan bait selanjutnya "karena yang kau kenal hanya aku".

Aku disini memiliki dua makna; diri dan Tuhan. Aku sebagai diri sebab kita mengenal diri kita sendiri meskipun tidak sepenuhnya, dan Aku sebagai Tuhan karena fitrah suci manusia selalu mengingat-Nya dan selalu ingin kembali pada-Nya.

Saat manusia melangkah "ke sana", berarti ia telah melangkah keluar dari rumahnya dan menuju suatu tempat diluar dirinya. "Disana" adalah tempat yang akan menyibukkan dirinya, sibuk dengan permainan-permainan diluar dirinya. Kesibukan tersebut akan membuatnya terasing, sebab ia hanya asyik diluar padahal rumah eksistensinya ada dalam dirinya yang setiap saat menantinya.

Bahkan saking sibuknya sehingga ia lalai dari dirinya dan tentu lalai dari Ilahi sebab Ilahi bersemayam dalam hati manusia. Di dunia ini penuh dengan "Disana" yang menyebabkan kita lalai. Tempat yang mengantarkan kepada kelalaian. "Disana" bahkan bisa bermakna manusia itu sendiri yaitu saat kita duduk bersamanya hanya mengantarkan kita pada kelalaian dan keterasingan akan realitas diri.

Namun Maulana Rumi mengingatkan kita, di dunia ini tak ada yang memiliki kawan sejati. Setiap manusia hanya memiliki satu kawan sejati yaitu Tuhan. Karena setiap manusia memiliki keterbatasannya sendiri, dan kita tak mungkin menuntut sesuatu dari manusia diluar keterbatasan dirinya, sementara makna kawan sejati ialah memberi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Sebab itu kawan sejati manusia hanya ada dua; dirinya dan Tuhannya.

Dalam kesempatan lain Maulana Rumi mengatakan, "aku mencari Tuhan dan yang kutemukan adalah diriku, dan aku mencari diriku dan aku temukan Tuhan". Oleh sebab itu maksud "disana" menurut Rumi adalah tempat yang tak dapat menemukan "diri" dan juga "Tuhan" karena semuanya asing dan terasing.

Pada akhirnya Rumi ingin menyampaikan pesan Tuhan;

"datanglah . . .
hanya padaKu saja,
karena hanya Aku saja kawanmu"

Epistemologi Modern; Analisa terhadap Pengetahuan

Beragam pendekatan dalam menganalisis esensi pengetahuan. Misalnya menganalisa pengetahuan dari sisi fungsinya atau menganalisa pengetahuan dari aspek pengetahuan sebagai prihal yang bersifat partikukar serta menganalisa pengetahuan dari aspek kaitannya dengan persoalan proposisional.

Pembahasan kita terkait dengan pengetahuan dari sisi proposisional bahwa, maksud dari pengetahuan disini adalah terkait dengan relasi dari pengetahuan tersebut yaitu proposisi. Maksudnya seseorang memahami atas suatu proposisi. Oleh karena itu definisi pengetahuan disini adalah analisa atas suatu proposisi.
Misalnya kita mengetahui proposisi, "Jakarta adalah ibukota Indonesia" atau proposisi lainnya "air tersusun dari oksigen dan hidrogen".

Sebelum menjelaskan lebih jauh, sebaiknya kita membedakan antara dua bentuk pengetahuan; "mengetahui bahwa" dan "mengetahui secara deskriptif (pengetahuan deskriptif). Jenis pengetahuan "mengetahui bahwa" adalah suatu bentuk pengetahuan terhadap suatu proposisi melalui perantara "bahwa". Kata "bahwa" (that) menjadi perantara antara kata "tahu" dengan proposisi tertentu, misalnya "prakiraan cuaca tahu bahwa udara saat ini berawan". Adapun pengetahuan deskriptif adalah suatu bentuk pengetahuan yang menganalisa kandungan dari suatu proposisi dengan menganalisa antara kata "tahu" dengan kandungan yang ada pada proposisi tersebut dan juga struktur yang berperan dalam proposisi tersebut, misalnya "saya tahu meja ini berwarna coklat".

Jauh sebelumnya Plato memaparkan persoalan epistemologi dengan menganalisa sebelumnya atas standar pengetahuan. Dan persoalan ini dilanjutkan oleh para peneliti epistemologi modern dengan membatasinya pada persoalan proposisi atau analisa atas unsur-unsur proposisi. Misalnya proposisi, "suatu ini adalah seperti ini atau seperti itu". Berdasarkan hal ini pengetahuan didefinisikan dengan "true justified belief" (benar, justifikasi, dan percaya). Ketiga hal tersebut adalah unsur utama dalam pengetahuan dan sekaligus menjadi syarat utama terbentuknya pengetahuan. Masing-masing dari unsur tersebut mesti dijelaskan batasannya agar kita dapat memahami ketiga unsur tersebut sebagai syarat utama dalam pengetahuan.

a) Percaya

Istilah percaya dalam persoalan ini adalah istilah yang terkait dengan pembahasan epistemologi. Percaya atau mempercayai adalah relasi antara seseorang dengan proposisi X dimana jika tak ada relasi tersebut maka tak ada jalinan kondisi pengetahuan diantara keduanya. Kondisi pengetahuan yang dimaksud disini adalah mental. Sebab itu kondisi-kondisi mental bisa saja beragam dan oleh karenanya hanya sebagian dari jenis kondisi mental kita saja dalam berhadapan dengan suatu proposisi. Dan setiap orang mungkin saja memiliki relasi yang berbeda terhadap suatu proposisi, misalnya proposisi, "hari ini hujan". Setiap orang tidak memiliki relasi yang sama terhadap proposisi tersebut sehingga proposisi tersebut bunyinya seperti, "si fulan meyakini jika hari ini hujan turun", "si fulan sangat berharap hari ini hujan akan turun", "si fulan takut jika hari ini hujan", "si fulan sangat suka jika hari ini hujan turun". Dari seluruh contoh proposisi-proposisi tersebut kita temukan kata "berharap" dan "takut" serta "suka" yang menunjukkan satu bentuk relasi antara "si fulan" dengan  proposisi "hari ini hujan". Namun mesti dipahami bentuk relasi yang terbangun antara si fulan dengan proposisi berbeda dengan persoalan percaya atau mempercayai.

Sebab itu pertanyaan selanjutnya, apakah kita bisa memiliki suatu pengetahuan terhadap proposisi X tanpa adanya kepercayaan terhadap proposisi tersebut?

Sebagian mejawabnya bahwa kita tak mungkin memiliki pengetahuan tanpa adanya kepercayaan atas proposisi tersebut. Maksudnya jika saya mengatakan bahwa saya mengetahui proposisi X maka akan melazimkan adanya suatu bentuk relasi antara seseorang dengan proposisi tersebut. Sebab itu jika diasumsikan bahwa kita mengetahui proposisi X namun pada saat yang sama kita tidak mempercayainya maka sebenarnya tak ada relasi dan tak ada jalinan kondisi mental dengan proposisi tersebut. Kelaziman dari keberadaan relasi dalam mengetahui proposisi tersebut sama dengan meniscayakan kita menerima syarat kepercayaan sebagai suatu syarat dalam membentuk pengetahuan. Karena kita tak bisa mengatakan "si fulan tahu bahwa monas di Jakarta" namun "si fulan tidak percaya bahwa monas di Jakarta". Oleh karena itu, mengetahui proposisi X melazimkan kita percaya terhadap proposisi tersebut.

b) Benar

setelah kita menjelaskan syarat percaya bahwa percaya adalah syarat dalam mengetahui, pertanyaan selanjutnya, apakah "percaya" saja cukup menjadi syarat dalam pengetahuan? sebelumnya kita mengatakan, percaya terhadap proposisi X tanda bahwa kita mengetahui proposisi tersebut. Sekarang, apakah percaya pada proposisi X berarti kita telah mengetahui proposisi tersebut? tentu jawabannya tidak, sebab kita membutuhkan syarat lain dan yang kedua, tidak semua proposisi memiliki kondisi yang sama, sebagian proposisi cukup dengan percaya namun proposisi lainnya tidak cukup dengan syarat percaya.

Sebab itu syarat lainnya adalah benar. Maksudnya proposisi X adalah proposisi benar jika realitasnya menampakkan demikian adanya. Misalnya proposisi "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan" adalah proposisi yang benar jika demikian adanya bahwa "rumah itu dibangun hanya dalam tempo 6 bulan". Mengapa syarat "benar" menjadi syarat yang penting ? karena mental  manusia bisa percaya pada proposisi yang benar dan bisa juga percaya pada proposisi yang salah. Bahkan terkadang kita mengatakan kepercayaan yang benar dan kepercayaan yang salah. Dan oleh karena pengetahuan disebut sebagai sebuah pengetahuan jika sesuatu tersebut benar maka syarat benar menjadi syarat yang penting dan lazim.

c) Justifikasi

Sekarang kita akan melanjutkan pertanyaannya. Berdasarkan atas pembahasan sebelumnya maka "jika si fulan mengetahui proposisi X, maka ia mempercayai proposisi X yang benar tersebut". tapi apakah bisa disimpulkan bahwa si fulan telah mengetahui? Dalam kata lain, apakah syarat percaya dan benar sudah mencukupi? jawabannya negatif, maksudnya mereka menambahkan satu syarat lagi dalam persoalan pengetahuan dan syarat tersebut adalah justifikasi.

Justifikasi menjadi syarat yang paling penting dari diantara syarat-syarat tersebut, sebab meskipun seseorang percaya dan benar terhadap suatu proposisi namun jika tidak memiliki justifikasi maka bisa saja pengetahuan tersebut hanya sebagai pengetahuan yang bersifat kebetulan saja. Misalnya si fulan mengatakan tanpa ada dalil dan bukti yang jelas, sebelum permainan mengatakan "hari ini MU  akan menang dalam pertandingan", dan secara kebetulan MU menang hari itu. Jadi si fulan percaya bahwa MU menang dan secara kebetulan benar, nah pertanyaannya apakah si fulan benar-benar tahu?

Dari persoalan tersebut kita memahami bahwa ada sesuatu yang kurang selain dari syarat percaya dan benar yaitu dalam persoalan justifikasi. Namun istilah justifikasi antara para pemikir tidak sama dalam menggunakannya. Sebab itu maksud justifikasi disini adalah justifikasi kaitannya dengan salah satu bagian dari syarat pengetahuan. Maksudnya justifikasi akan belaku jika ia menerima syarat percaya dan memiliki dalil yang baik dalam membenarkan kepercayaannya.

Sebab itu secara umum dapat dikatakan bahwa maksud dari syarat mengetahui adalah jika memiliki ketiga unsur tersebut yaitu truth, belief, dan justified. Maksudnya adalah "si fulan" dianggap mengetahui proposisi X jika;
1. X adalah proposisi yang benar.
2. Si Fulan percaya terhadap proposisi X
3. Si fulan percaya terhadap proposisi X dengan justifikasi yang diberikan padanya.

Monday, December 7, 2015

Kesadaran dan Kejahilan


Di dunia ini hanya ada satu keutamaan, dan itu kesadaran.
Dan hanya ada satu dosa, dan itu kejahilan.

Dan adapun diantara keduanya, keterbukaan dan ketertutupan setiap mata adalah satu-satunya pembeda antara manusia sadar dan manusia jahil.

~ Rumi

Langkah pertama sampai ke tingkat kesadaran adalah memusatkan diri pada tindakan, perkataan, dan pikiran. Saat manusia memahami kondisi-kondisi yang terjadi pada dirinya, baik itu pikiran, imajinasi, dan juga kehidupan dirinya, pertanda bahwa ia telah memiliki satu tahap kesadaran tertentu atas realitas dirinya. Dan pada saat itulah, ia akan menemukan keajaiban akan hakikat dirinya.

Menurut Maulana Rumi, seluruh fenomena kehidupan, segala usaha, dan segala mimpi-mimpi manusia adalah suatu bentuk bahasa sindiran. Sebab manusia tanpa sadar mencari sesuatu yang jauh sebelumnya sesuatu tersebut secara tersembunyi telah ada di dalam dirinya. Namun persoalan ini akan terpahami setelah manusia telah sampai kepada hakikat, bukan sebelumnya.

Hampir dalam seluruh syair Maulana dalam matsnawi menjelaskan mata penglihatan dan hati penyaksian sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Maulana ingin mengatakan, keajaiban senantiasa menyertai kita dan setiap saat terjadi dalam kehidupan kita. Hanya perlu memandangnya saja dan tak perlu menambahkan sesuatu kecuali penglihatan.

Tak perlu kita keluar mencari sesuatu tempat agar kita memahami keajaiban tersebut,  sebab setiap tempat adalah keajaiban saat mata kesadaran kita terbuka. Yang dibutuhkan hanya keterbukaan mata kesadaran. Dan penglihatan kesadaran ini terhubung erat dengan pendengaran. Ajaibnya, seluruh rahasia ibadah terletak pada penyaksian dan pendengaran. Jika kita bisa belajar bagaimana melihat dan mendengar, kita akan meraih rahasia paling dalam perihal ibadah.