Wednesday, August 12, 2015

Takwil Syair Rumi (8)

Yang kuraih dalam hidupku, tak lebih dari tiga perkataan saja; mentah, matang, dan terbakar.

~ Rumi

Rumi merangkum perjalanan hidupnya dalam tiga hal; mentah, masak, dan terbakar. Ketiga hal itu sebenarnya menjelaskan perjalanan gerak ruhaniyah dirinya sebagaimana sufi lainnya. Tiga hal itu merupakan tangga perjalanan. Namun bagaimana kita memaknai ketiga hal itu?

Sebagian menakwil makna tiga tahapan kehidupan Rumi yaitu mentah, matang, dan terbakar dengan tiga tahapan perjalanan makrifat yaitu ilmul yaqin, 'ainul yaqin, dan haqqul yaqin.

Ilmu yaqin adalah tahap pengetahuan yang tidak bersentuhan secara langsung dengan hakikatnya. Misalnya dikejauhan sana saya melihat asap dan melalui asap ini memberikan saya keyakinan bahwa disana ada api. Saya hanya mengetahui asap namun tidak mengetahui secara langsung api tersebut. Tahap ini oleh Rumi disebut dengan pengetahuan yang masih mentah.

Namun seiring dengan perjalanan ruhaniyah, seseorang bisa sampai pada 'ainul yaqin. 'Ainul yaqin dalam contoh sebelumnya adalah mereka yang telah sampai menyaksikan api. Pengetahuannya lebih sempurna dari pengetahuan sebelumnya yang hanya menyaksikan asap. Rumi menyebut dirinya terkait tahapan ini dengan matang karena telah sampai menyaksikan hakikat.

Jika ruhaniyah seseorang memiliki potensi suci yang cukup, ia dapat melanjutkan perjalanan ruhaniyahnya sampai pada tahap bukan hanya menyaksikan api, ia mencelupkan dirinya kedalam api sehingga dirinya terbakar. Jika pada tahap sebelumnya hanya menyaksikan api sehingga mengetahui bahwa api itu panas, namun setelah ia mencelupkan dirinya ke dalam api, bukan hanya tahu bahwa api itu panas, namun juga mengetahui bagaimana api tersebut membakar. Karena itulah Rumi menyebut tahapan ini dengan terbakar dan simbol sebagai puncak pengetahuan yang telah diraih oleh Rumi.

(At-Takāthur):5 - Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan ilmul yaqin,
(At-Takāthur):6 - niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
(At-Takāthur):7 - dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin.

Tuesday, August 11, 2015

Melampaui Kematian

Mulla Abdurrazzaq Lahiji menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma'ad (hari akhir) adalah kembalinya manusia kepada kehidupan setelah menjalani kematian. Sebab itu ma'ad adalah suatu keniscayaan.

Pembahasan ma'ad salah satu persoalan yang penting, bukan hanya bagi kaum teolog namun juga bagi para ilmuan dan pemikir. Seluruh mazhab dalam Islam meyakini ma'ad sebagai bagian dari ushuluddin (prinsip agama). Sebab itu tak perlu ragu mengenai posisi penting ma'ad. Kata ma'ad berasal dari 'aud, artinya kembali. Mengapa hari akhir disebut ma'ad? Karena pada hari itu adalah hari kembalinya manusia kepada kehidupan. Hakikat kehidupan ada pada alam akhirat. Sebab itu disini, di alam dunia bukan kehidupan yang nyata. Alam materi adalah alam ruang dan waktu yang senantiasa mengalami perubahan dan dalam perubahan materi meniscayakan gerak, dan dalam gerak meniscayakan meniada dan meng-ada. Sebab itu pula alam dunia adalah alam simbolik.

Pertanyaan selanjutnya, apakah persoalan ma'ad adalah persoalan teologi atau termasuk persoalan akal?

Sebagian menjawabnya, oleh karena manusia tak punya jalan menuju hakikat ma'ad dan sangat sulit memahaminya maka persoalan ma'ad adalah persoalan teologi. Maksudnya kita meyakini ma'ad melalui sabda Rasulullah saw. Jika Rasulullah saw tidak menjelaskannya, kita pun tak kan meyakininya.

Sebagian juga meyakini bahwa persoalan ma'ad adalah persoalan  akal. Mereka bersandar pada persoalan baik dan buruk perbuatan manusia karena baik dan buruk perbuatan manusia sifatnya esensi dan fundamental. Sebab hari akhir adalah hari perhitungan. Segala perbuatan baik dan buruk manusia akan dipertanggung jawabkan.

Persoalan ini akan semakin penting dan dibutuhkan disaat seluruh manusia mulai berpikir mengenai kematian dirinya saat mereka hidup. Tak ada manusia yang tak berpikir mengenai kematian dirinya. Sebagian berpikir keras mengenai kematian. Sebagian pula setiap saat berpikir tentang kematian, bahkan sebagian filsuf mendefinisikan manusia sebagai 'eksistensi yang berpikir kematian'. Maksudnya hanya manusia saja yang berpikir tentang kematian dirinya.

Prof Dinani menambahkan, manusia bukan hanya eksistensi yang berpikir tentang kematian dirinya, namun manusia adalah eksistensi yang melampaui kematian dirinya. Maksudnya setelah kita mati, apa yang akan terjadi? Ini yang dimaksud dengan 'melampaui kematian'. Sekarang, keabadian anda setelah mati sangat bergantung pada apa yang telah anda raih di alam ini.

Tuhannya Filsuf dan Tuhannya Nabi

Perbedaan Tuhan para filsuf dan Tuhan para Nabi, Tuhan para Nabi dapat diseru dengan do'a, namun Tuhan para filsuf mesti didialektikakan dan diargumentasikan. Para filsuf seperti ahli matematika sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan matematika. Namun para Nabi seperti para pecinta yang senantiasa asyik dengan dekat kekasihnya. Lantunan doa dan pujian yang bergumam di bibirnya begitu lembut dalam mengurai keindahan Ilahi dan keagungan Ilahi. Tak heran jika para Nabi pun mengajak kaumnya menuju jalan Ilahi dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan amarah. Sebab bahasa hati hanya akan berbekas di hati. Hallaj pernah berkata, "segala lantunan ini untuk kekasih, bukan menjelaskan rahasia Ilahi".

Tuhan bukan hakikat rahasia yang hanya bisa dipahami dengan akal karena bagi yang punya hati dapat memahamiNya dengan cinta. Inilah rahasianya mengapa para Nabi lebih mudah diterima daripada para filsuf. Sebab para Nabi mampu menarik hati yang sedang dahaga mencari Ilahi.

Meskipun doa dan munajat simbol atas ungkapan rintihan kehidupan, namun jauh sebelum itu adalah simbol kehambaan. Sebelum memohon hajat untuk raga, terlebih dahulu memohon menunaikan hajat-hajat hati dan kebutuhan esensi jiwa.

Doa bukan hanya ritual menyeru Ilahi namun juga wahana untuk mengetahuiNya. Bukan monolog, namun juga dialog. Bercakap-cakap berarti dua arah. Dalam berdialog dengan Ilahi, selain menghasilkan kedekatan, juga memberikan pengetahuan. Juga membebaskan ruh, menguatkan iman, dan meluaskan hati serta pemikiran. Manusia akan hadir dengan seluruh eksistensinya dihadapan kehadiran Ilahi.

Kekasih akan merenggut segala eksistensi pecinta, baik itu hati, jiwa, dan pemikiran. Bukan itu saja, bahkan memurnikannya. Dalam doa, selain melantunkan kebutuhan kekasih, juga kebutuhan pecinta. Juga kedekatan, takut, cinta, makrifat, tobat, inabah, kemuliaan, dan ijabah. Begitu pula kebutuhan-kebutuhan kehidupan dan duniawi, juga keinginan-keinginan ideal dan transenden. Apakah ada selain doa yang mampu menurunkan kemuliaan dan kebaikan ?!

Sunday, August 9, 2015

Sadra dan Filsafat

Keberhasilan Sadra dikarenakan kemampuan dia menggunakan karya ribuan tahun pemikiran sebelumnya. Maksudnya Sadra telah mampu merubah suatu pemikiran dari teori menjadi sebuah wacana.

Kata Sadra, maksud dari teks filsafat itu bukan berarti bahwa kita cukup memahami teori sebelumnya, kemudian mengajarkan kembali teks tersebut kepada orang lain.

Maksud dari teks filsafat itu bahwa dari teori-teori filsafat sebelumnya mesti diawali dengan suatu wacana yang baru. Teori-teori filsafat sebelumnya mesti direnungi dengan pemikiran yang baru.

Jika filsafat hanya dibaca dan dilalui dengan sederhana, sebenarnya kita hanya menghafal saja. Namun kita tak pernah memaparkan suatu pertanyaan yang baru dan bermutu, kecuali kita memang benar-benar tak memiliki pertanyaan.

Namun seorang filsuf yang tak memiliki pertanyaan, apakah bisa disebut sebagai seorang filsuf ?! Filsuf yang tak memiliki pertanyaan, konsep-konsep tersebut hanya dibaca saja dan dipelajari, tak lebih dari hal itu.

Siapa saja yang mengaku berfilsafat tanpa ada pertanyaan fundamental dari dalam dirinya, mungkin dia sedang bergurau atau tak sadar diri. Dan pertanyaan yang saya maksud disini bukan pertanyaan sederhana, namun pertanyaan yang fundamental.

Fenomenologi dan Problemnya

Hirarki atau gradasi salah satu karekteristik hakikat eksistensi. Lokus gradasi hanya pada eksistensi dan tak kan mewujud pada yang realitas yang lain.

Ketika dikatakan bahwa ketunggalan merupakan esensi yang fundamental bagi wujud. Tak semestinya kita berpandangan bahwa ketunggalan hanya aksiden bagi wujud sehingga dikatakan kita mensifatkan ketunggalan pada wujud. Karena mesti dipahami bahwa tak ada sesuatu diluar eksistensi yang dapat mengaksiden pada wujud. Maksudnya, wujud adalah ketunggalan itu sendiri dan ketunggalan adalah wujud itu sendiri. Kedua konsep tersebut, yaitu konsep wujud dan konsep ketunggalan diabstraksi dari satu hakikat.

Oleh karena itu ketunggalan sejati adalah wujud dan wujud sejati juga adalah ketunggalan itu sendiri.

Wujud mutlak yang merupakan wujud murni hanya akan menjelma pada menifastasi-manifestasi. Sebab itu dapat dikatakan, mutlak tak kan nampak kecuali pada determinasi (batasan), sebagaimana kemurnian tak kan nampak kecuali pada yang tidak murni.

Mereka yang pernah membaca filsafat fenomenologi akan memahami bahwa ada ragam pandangan terkait dengan fenomenologi. Namun ada satu kaidah yang diyakini oleh seluruh aliran fenomenologi, "kita senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena".

Kaidah ini mudah dipahami dan diterima karena berakar dari pondasi realitas eksternal. Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa, sebagaimana manusia sebagai entitas yang terdeterminasi senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena, karena manusia bukan entitas yang mutlak yang kosong dari segala bentuk batasan-batasan dan determinasi-determinasi. Sebab mutlak sebagaimana mutlak tak kan berhadapan dengan sesuatu apapun.

Berdasarkan hal ini pula dapat dikatakan, dalam kemutlakan dualitas tak lagi bermakna sebab kemutlakan senantiasa Dipahami sebagai dasar dan sumber. Tentu sesuatu yang dipahami sebagai 'sumber', bagaimana mungkin berhadapan dengan sesuatu dimana sesuatu tersebut muncul dari sumber itu sendiri?

Tak diragukan bahwa fenomena berasal dan diabstraksi dari sumber. Meskipun boleh jadi sumber dari fenomena-fenomena tersebut tak diketahui dan tanpa determinasi. Namun tak diketahui dan tanpa determinasi sama sekali tidak bermakna 'tidak ada'.

Mereka yang menganggap dirinya sebagai seorang fenomenolog, tentu akan menganggap dirinya selalu berhadapan dengan fenomena-fenomena. Selanjutnya asumsi 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena' akan membentuk dan mempengaruhi model kehidupannya.

Karena itu pertanyaan yang mesti dijawab terkait dengan hal ini, "jika kehidupan manusia idealnya dengan 'senantiasa berhadapan dengan fenomena-fenomena', lalu bagaimana kita memaknai kehidupan ini?"

Dalam kata lain, jika kita meyakini manusia hidup dialam ini dan menetap di dalamnya, namun apakah ada orang di alam ini yang dapat menyaksikan seluruh alam dan memposisikan keseluruhan tsb sebagai suatu fenomena?

Tak mudah menjawab pertanyaan ini karena manusia adalah bagian dari alam ini sehingga tak dapat berhadapan dengan keseluruhan alam ini sebagai suatu fenomena.

Jika kita dapat mempersepsi di alam ini, lalu bagaimanakah kita dapat mempersepsi keseluruhan alam ini sebagai sebuah fenomena?maksudnya apakah mungkin keseluruhan alam ini sebagai objek fenomenologi?