Thursday, August 6, 2015

Takwil Syair Rumi (3)

Rahasiaku tak terpisah dari jeritan deritaku,
Namun mata dan telinga tak mampu meraihnya.
~ Rumi


Takwil;
Syair ini masih bagian dari syair nei atau seruling, 'dengarkanlah jeritan derita seruling bambu yang mengisahkan keterpisahan dari rumpun bambunya'. Pada syair ini, Rumi memposisikan dirinya sebagai nei yang dalam takwilnya nei adalah simbol dari insan kamil.
Sebagai insan kamil yang telah menjalani perjalanan spiritual, tentu menyimpan banyak rahasia-rahasia hakikat manusia dan alam semesta, termasuk Tuhan. Dan rahasia ini diperoleh dari pengalaman spiritual, bukan dari bangku sekolah. Sebab itu hampir dikata, pengalaman ini sangat sulit menjelaskannya pada yang lain padahal di dalamnya dipenuhi dengan rahasia-rahasia Ilahi. Sebab itu kata Rumi, saya ini seperti nei yang mencoba menjelaskan rahasia-rahasia dibalik suara seruling.
Jika kita bertanya pada Rumi, lalu bagaimana kami bisa memahami rahasiamu ? Rumi menjawab, 'rahasiaku tak jauh dari jeritan deritaku'. Seolah Rumi ingin mengatakan, seperti nei, rahasianya tak jauh dari keindahan suara jeritan deritanya. Maksudnya, Rumi ingin mengatakan, jika kalian ingin memahami rahasiaku, pahamilah dibalik syair-syairku. Syair-syairku menyimpan rahasia Ilahiyah, manusia, dan alam semesta.
Namun kata Rumi, bukan mata dan telinga lahiriyah yang dapat memahaminya. Jika kita hanya melihat sepintas syair-syair Rumi dan tak berusaha menakwil maknanya, maka kita akan melihat syair Rumi tak ubahnya dengan syair-syair lainnya. Padahal sejak awal bait syairnya Rumi mengatakan, 'dengarkanlah jeritan derita nei'. Tapi benar, tak semua manusia bisa memahami jeritan derita nei, karena sekali lagi kata Rumi, bukan telinga dan mata itu yang dapat merengkuhnya.

Wednesday, August 5, 2015

Takwil Syair Rumi (2)


Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
Tak diketahui kebaruan itu dalam keabadian
Umur bagai arus, baru dan baru
Senantiasa berlangsung dalam jasad
~ Rumi


Maulana Rumi ingin memberikan suatu penafsiran baru atas realitas keberadaan jiwa dan alam. Suatu penafsiran bahwa jiwa dan dunia senantiasa baru. Meskipun Anehnya kita tak pernah menyaksikan kebaruan itu. Yang kita saksikan hanya perubahan, seperti perubahan pergantian waktu dari sebuah proses gerak.
Lalu kebaruan mana yang dimaksud ! Kita akan memaknai baru jika ada suatu hal baru yang melekat pada diri kita, seperti saat kita memakai baju baru. Bagaimana jika hal ini disematkan pada jiwa bahwa ada hal yang senantiasa baru pada jiwa ? Apa yang baru pada jiwa dan yang senantiasa baru ?
Tak mudah menjawabnya. Namun ada yang menarik yang dikatakan Sadra bahwa wujud mumkin yang dalam terminologi Sadra disebut dengan wujud faqir adalah wujud yang senantiasa bergantung pada Ilahi. Bahkan lebih dari itu, menurut Sadra, bukan wujud yang bergantung namun kebergantungan itu sendiri. Apa maksud kebergantungan itu sendiri ?
Maksudnya, wujud faqir tak memiliki independensi wujud sama sekali, satu-satunya yang dimiliki adalah kefaqiran eksistensi. Kita tak bisa mengatakan bahwa diri kita ada dimana diri kita ini bergantung. Namun yang bisa kita katakan bahwa diri kita adalah kebergantungan itu sendiri, bukan 'ada' yang bergantung pada sesuatu yang menunjukkan suatu independensi eksistensi pada diri kita.
Jika demikian, lalu apa konsekwensinya ? Apa konsekwensinya jika wujud kita adalah wujud faqir bahwa bahkan dalam eksistensipun kita faqir ? Konsekwensinya adalah kita senantiasa meminta wujud pada penyebab segala wujud yang dalam bahasa teologi disebut dengan Tuhan. Bukan hanya kita, bahkan segala entitas-entitas mumkin termasuk alam semesta senantiasa meminta pada Ilahi.
Lalu apa konsekwensi jika kita senantiasa meminta wujud pada Ilahi ? Konsekwensinya adalah wujud kita senantiasa baru dan baru. Kita dan alam senantiasa baru karena setiap saat kita meminta eksistensi pada Ilahi. Betul, kita senantiasa dalam penciptaan yang baru karena wujud kita senantiasa baru.
Anehnya kata Rumi, kita tak sadar kebaruan itu dalam keabadian. Artinya meski senantiasa eksistensi kita baru, namun tak meniscayakan identitas yang disebut 'aku' ikut berubah. Disini 'aku' yang senantiasa dan setiap saat meminta eksistensi. Jika ditanya apakah 'aku' ini ada ? Tidak. 'aku' disini tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tidak ada, karena 'aku' senantiasa memperoleh wujud yang baru dan karena senantiasa dan setiap saat meminta wujud. sehingga tak bisa dikatakan ada juga tak bisa dikatakan tiada. Ada dan tiada senantiasa beringan dalam hakikat kita dan alam semesta.
Sebagaimana firman Tuhan, (Ar-Raĥmān):29 - Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (atau setiap waktu Dia mencipta).
Setiap waktu Dia mencipta adalah jawaban atas sebuah permintaan eksistensi yaitu semua yang ada di langit dan dibumi senantiasa meminta eksistensi kepadaNya.

Takwil Syair Rumi (1)

Saya tak percaya, saya begitu tak sadar,
Bagaimana mungkin saya melupakan hakikat !
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertanyaan hakikat ini untuk siapa ? Ada bentuk pertanyaan yang tujuannya bukan untuk bertanya namun mengingatkan, seperti firman Tuhan, 'bukankah Aku Tuhanmu !'. Pertanyaan ini adalah pertanyaan untuk mengingatkan, bukan meminta jawaban.
Lalu untuk siapa pertanyaan Rumi ? Iya untuk kita, bukan untuk Rumi sebab Rumi menulisnya dalam kesadaran eksistensinya akan hakikat. Tapi apa maksud Rumi dengan hakikat ! Bukankah kita melakukan segala aktifitas keseharian kita dengan kesadaran ! Bukankah setiap hari kita berdialog dengan orang-orang dekat kita !
Lalu mana yang disebut hakikat !
Tapi saya ingat Sabda Rasul yang suci, 'kebanyakan manusia tertidur, mereka sadar saat mereka mati'. Iya. Sadar dan kematian ternyata memiliki hubungan erat. Seolah syarat mempersepsi hakikat adalah dengan kematian. Benar. Sebab saat ini kita merasa hidup hanya karena badan kita bergerak, mata kita melihat,  telinga kita mendengar, mulut kita berbicara, tapi hati kita lalai. Kita hanya melihat yang nampak namun tak mampu melihat dibaliknya. Dalam surah arrum ; 7, 'mereka mengetahui zahirnya kehidupan dunia namun lalai dari akhirat (batinnya)'.

Sunday, August 2, 2015

Kontradiksi Menurut Hegel

Mereka yang akrab dengan filsafat Hegel akan memahami bahwa salah satu karekteristik logika dialektika hegel adalah kontradiski atau paradoks. Dan oleh karena itu setiap konsep adalah kontradiksi, dan bukan hanya konsep 'lingkaran segiempat' yang kontradiksi sebagai salah satu contoh.

Namun mesti dipahami, maksud kontradiksi dalam pandangan Hegel, bukan kontradiksi sebagaimana yang dipahami oleh Aristoteles sebab jika yang kita gunakan sejak awal adalah kontradiksi dalam pemaknaan Aristoteles maka tentu pembicaraan mengenai kontradiksi Hegelian tak punya makna sama sekali, bahkan kita tak lagi bisa berbicara dan membahasnya. Seluruh proposisi dialektika Hegel niscaya batil jika tolak ukur dalam menilainya melalui pendekatan logika Aristotelian.

Maksudnya jika anda meyakini kemustahilan terjadinya kontradiksi, namun pada saat yang sama setiap wujud akan menghasilkan ketiadaan dan setiap ketiadaan akan menghasilkan wujud, maka tentu logika manusia tak lagi bermakna dan bahkan hanya akan menghancurkan logika fitrawi manusia. Oleh karenanya Hegel tidak bermaksud membenturkan logika dialektikanya dengan logika Aristotelian. Karena Hegel pun memahami dengan baik logika Aristotelian sehingga bisa mengatakan dialektika ada sekaligus tidak ada, kontradiksi sekaligus tidak kontradiksi. Sebab itu Hegel ingin memberikan pemaknaan yang lain tentang kontradiksi.

Hegel saat memberikan penjelasan tentang logika dialektikanya mengatakan, "saya mengatakan setiap sesuatu mengandung anti-tesa, lawan atas dirinya sendiri di dalam dirinya. Namun pengertian anti-tesa atau lawan atas dirinya adalah dalam pemaknaan 'meliputi', bukan dalam pemaknaan tesa adalah anti-tesa itu sendiri sebagai realitas yang tunggal yang akan meniscayakan kontradiksi. Jadi perlu dipahami, istilah 'meliputi' beda dengan istilah kontradiksi pada satu realitas objek.

Meski demikian sebagian penafsir Hegelian masih meyakini dialektika Hegelian dalam hal ini kontradiksi Hegelian secara konsep sama dengan kontradiksi Aristotelian. Apalagi Hegel sangat memahami pemikiran filsuf sebelumnya. Kemudian penafsir Hegelian menambahkan, sebenarnya Hegel ingin menjelaskan bahwa ada beberapa jenis bentuk logika. Misalnya dalam logika Aristotelian kontradiksi dianggap sebagai suatu kemustahilan, namun dalam logika lain tidak mustahil.

Saturday, July 25, 2015

Antara Gambaran dan Pemahaman

Allah adalah cahaya langit dan bumi . . . (Annur;35). Al-Gazali dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, cahaya memiliki empat tingkatan; mishbah, zujajah, misykat, dan zaitunah. Selanjutnya Al-Gazali mengatakan, empat tingkatan ini dapat dipahami namun tak dapat dikonsepsikan atau digambarkan.

Lalu apakah perbedaan antara konsepsi dan pemahaman?

Banyak hal yang mampu terpahami namun kita tak mampu menggambarkan atau mengkonsepsikannya. Misalnya saat anda berada di kelas, anda memahami bahwa anda berada di dalam kelas dan anda pun mampu menggambarkan kelas tersebut. Namun berbeda dengan persoalan waktu, kita bisa memahami namun tak bisa digambarkan dan dikonsepsi. Kita sering menggunakan kata azali dan abadi karena kita memahami maknanya, namun apakah kita bisa menggambarkannya?

Contoh lainnya apakah kita punya gambaran atau konsepsi tentang Tuhan? Bagaimana kita bisa menggambarkan Tuhan? Ali bin Abi Thalib mengatakan, betapapun dirimu berusaha menggambarkan Tuhan secara mendalam, gambaran itu adalah makhlukmu atau ciptaanmu.

Ada banyak persoalan yang mungkin saja kita tak memiliki gambarannya secara jelas sehingga kecendrungan manusia tentu lebih mementingkan persoalan yang mampu digambarkan secara nyata.

Menurut filsuf islam, sesuatu yang memiliki gambaran, terkait dengan alam imajinasi. Pada prinsipnya, bermajinasi ialah mempersepsi gambar, namun istilah ini dalam pandangan orang awam terkadang dipahami secara negatif. Padahal makna imajinasi atau berimajinasi ialah mempersepsi sesuatu yang memiliki gambar.

Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia hanya sampai pada level imajinasi atau khiyal atau mampu menembus pada alam selanjutnya? Para penyair lebih banyak bergelut di alam imajinasi. Karena mereka memiliki imajinasi yang kuat sehingga mampu menciptakan syair yang memiliki makna yang tinggi. Bahkan imajinasi mampu menggambarkan kontradiksi yang tak mungkin terjadi di alam eksternal, karena imajinasi adalah alam yang tak tertabas. Terbatasnya justru pada subjek yang membatasinya.

Namun bagaimana dengan persepsi akal? Misalnya konsep "setiap akibat pasti memiliki sebab" apakah memiliki bentuk? Jangan lihat pada api yang memberikan efek panas, sebab api dan panas hanya salah satu dari partikularitas hukum kausalitas.

Nah sekarang konsep "setiap akibat pasti ada sebabnya" bagaimanakah menggambarkannya dan mengkonseptualkannya? Konsep-konsep universal tak memiliki bentuk. Universal dapat digambarkan ketika dikaitkan pada partikularnya. Persoalan bentuk terkait pada partikularitas, bukan universal sebagaimana universal. Dan berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa manusia tidak hanya berhenti pada alam imajinasi saja, namun juga bisa menembus pada alam selanjutnya yaitu alam akal.