Thursday, October 9, 2014

ESKATOLOGI (MA’AD)

Pendahuluan
Setelah memahami bahwa manusia memiliki dua elemen penting yaitu ruh dan badan, pembahasan selanjutnya menjelaskan mengenai perpindahan dari alam dunia menuju alam akhirat. Apakah ruh dan badan sama-sama pindah ke alam sana, atau ruhnya saja, atau keduanya dengan sebuah penakwilan tertentu terhadap badan ?!
Pembahasan mengenai ma’ad pada umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian; eksistensi atau keniscayaan realitas ma’ad dan bentuk perpindahan manusia di alam sana. Maksudnya apakah yang dibangkitkan itu ruh atau badan dan atau keduanya. Sebagian besar filsuf lebih tertarik membahas mengenai ma’ad jismani dan juga mengenai bagian pertama yaitu eksistensi ma’ad.
Pengertian Ma’ad
Pengertian tentang ma’ad:
1.   ~  Kembali ke tempat asal mula.
2. ~ Mati setelah kehidupan dan kehidupan setelah mati.
3. ~ Penciptaan alam lain seperti alam dunia sebagai tempat berkumpul mulai manusia pertama sampai manusia terakhir.
4. ~ Kembalinya jiwa ke asal mula.
5. ~ Perpindahan ruh dari alam dunia menuju alam akhirat.
6 ~ Penyatuan jiwa partikular pada jiwa universal.
7. ~ Kiamat adalah bangkitnya manusia dari kuburan di alam akhirat,  yaitu ketika Tuhan hendak menimbang amal-amal manusia dan pada saat yang sama malaikat datang secara berbaris-baris.

Seluruh definisi yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa pengertian ma’ad ialah kembali kepada alam keabadian.

Probabilitas Terjadinya Ma’ad
Jika belum dibuktikan kemungkinan terjadinya ma’ad atau kemungkinan hari kebangkitan, tentu pembahasan apapun mengenai ma’ad akan sia-sia. Dalam membuktikan realitas ma’ad, bisa melalui pembuktian adanya realitas yang serupa dengannya, keberadaan alam dunia menunjukkan tentang kemungkinan adanya keberadaan alam lain yang mirip dengan dunia, atau dapat pula dijelaskan melalui hirarki realitas alam yakni hubungan antara alam yang satu dengan alam yang lain.

Karekteristik Ma’ad dan Bentuk Realitasnya.
Berkenaan dengan ma’ad jismani, Menurut Sadra, sebagian besar teolog, filsuf, arif, dan sufi meyakini bahwa kebangkitan kelak adalah kebangkitan jismani sekaligus kebangkitan ruhani. Maksudnya jiwa manusia yang immateri, setelah terpisah dengan badannya, akan kembali lagi pada badannya yang semula. Mulla Sadra pun menyebut teorinya dengan ‘kembalinya badan semula yang disertai dengan jiwa’. Menurut Sadra, teori ini sesuai dengan syariat dan akal manusia. Bahkan penginkaran terhadapnya sebanding dengan pengingkaran atas teks Quran.
Kembalinya (mu’ad) badan semula manusia digambarkan seperti jika ada orang yang meninggal, kemudian ada arwah lain yang melihatnya di alam sana. Arwah tersebut akan mengatakan bahwa Si Fulan itu dulu yang ada di dunia. Pondasi pemikiran Sadra berkenaan dengan hal ini bahwa meskipun diri manusia itu tunggal namun pada saat yang sama berada dalam tiga alam sekaligus; alam materi, alam imajinasi (mitsal), dan alam akal.
Pada awalnya manusia itu materi, selanjutnya dengan gerak menyempurnanya menjadi manusia barzakhi dan perjalanan selanjutnya menjadi manusia akli dan ukhrawi. Dari tiga tingkatan manusia tersebut memiliki badan yang satu, namun pada saat yang sama bergradasi. Persis seperti perubahan-perubahan badan manusia dari anak-anak hingga menginjak masa tua. Maksudnya dikarenakan identifikasi badan tersebut pada jiwa dimana jiwa sejak semula adalah tunggal, maka badan ukhrawi adalah badan dunia itu sendiri yang telah mengalami penyempurnaan.
Namun menurut kaum teolog, maksud kembalinya badan semula ialah terkumpulnya kembali bagian-bagian badan yang telah terurai. Setiap bagian-bagian badan tersebut memiliki keterkaitan dengan jiwa tertentu dan oleh karena itu pula memiliki karekteristik tertentu pula. Jadi, badan yang telah terurai dan tersebar sebelumnya, kembali tersusun ulang karena Tuhan mengetahui sepenuhnya bagian-bagian dari badan tersebut. Setelah melewati proses ini, badan akan menyatu kembali dengan ruh sehingga orang yang semula ada di dunia kembali hadir di akhirat.
Meskipun Ibn Sina meyakini ma’ad jismani dan ma’ad ruhani, namun ia beranggapan dalil pembuktian ma’ad jismani itu lemah. Menurut Ibn Sina, hanya ma’ad ruhani yang bisa dibuktikan secara argumentasi akal. Dan keyakinan terhadap ma’ad jismani hanya bisa diyakini dengan iman melalui teks-teks suci.
Syekh Isyraq atau Suhrawardi juga menolak kebangkitan jismani dalam pemaknaan kembalinya bagian-bagian badan semula yang telah terurai. Namun Suhrawardi meyakini akan keberadaan badan barzakhi. Suhrawardi meyakini, manusia akan kembali ke alam cahaya dikarenakan jiwa cinta terhadap keberadaan sumber asalnya dan atau meninggalkan keteruraian.
Pembuktian Ma’ad
Beberapa dalil berikut ini yang jelaskan oleh Qur’an;
  • Tuhan itu MahaBenar dan tidak melakukan pekerjaan yang batil dan sia-sia. Proposisi ‘alam tak memiliki tujuan’ adalah proposisi yang salah. Karena itu alam ini memiliki tujuan yaitu mendapatkan ketenangan dan kedamaian di alam sana. Alam tersebut disebut dengan alam akhirat.
  • Tuhan MahaBijaksana. Dan Tuhan MahaBijaksana tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan keadilan. Demikian halnya bahwa Tuhan itu MahaAdil sehingga Tuhan memberikan ganjaran pada siapa yang berhak. Karena di dunia yang kita saksikan ini, tidak memberikan jaminan sepenuhnya untuk membalas kebaikan dan kesalahan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu mesti ada satu masa yang dapat membalas amal-amal manusia. Dan masa itu adalah hari kiamat.    
  • Keniscayaan dari rahmat Ilahi adalah mengantarkan manusia pada kesempurnaannya. Oleh karena itu mesti ada kiamat sehingga manusia dapat menyaksikan amal perbuatannya sendiri dan sekaligus menyampaikannya pada kesempurnaan.
  • Dalam surah Yasin ; 78 dijelaskan, Tuhan yang pada saat pertama kali menciptakan manusia, mampu untuk menciptakan kembali manusia tersebut seperti sediakala.
Dalil Argumentasi dari Filsuf
Mulla Sadra dalam beberapa karyanya menyimpulkan bahwa pondasi ma’ad jismani dan ruhani ialah;
  • Meskipun karekteristik badan senantiasa berubah, namun jiwa itu tetap dan menjadi penentu identitas personal badan. Oleh karena itu, keseluruhan badan dan jiwa di dunia akan dibangkitkan kembali di alam akhirat.
  • Wujud adalah kebaikan dan pengetahuan terhadapnya adalah bentuk kebaikan lainnya. Semakin sempurna wujud, semakin sempurna pula kebaikan. Oleh karena itu, eksistensi fakultas akal lebih unggul dan kebahagiaan baginya pun lebih besar. Kenikmatan yang dihasilkan dari persepsi-persepsi tersebut tak dapat dibayangkan, karena akal dari sisi persepsi lebih kuat dari persepsi indrawi. Namun kebaikan-kebaikan ini tak diperoleh selama jiwa masih melekat dengan badan duniawinya, ketika terpisah, barulah teraktual.
  • Jiwa mampu sampai pada maqam tertentu dimana kebergantungannya pada badan semakin sedikit dan jiwanya lebih besar tertuju pada alam lain. Kematian akan membuat badannya terpisah dengan jiwanya. Keterpisahan ini bukan karena ketidakmampuan jiwa dalam menjaga badannya, namun dikarenakan secara fitrawi jiwanya lebih tertuju ke alam sana.

Syekh Isyraq meyakini, kecintaan jiwa terhadap asal mula, lebih besar daripada kecintaan jiwa terhadap badannya. Semakin sedikit kebergantungannya pada materi, cintanya akan semakin besar kepada asal keberadaannya. Ketika manusia mati, badan akan kembali ke asalnya. Tak ada kenikmatan lebih besar dari mempersepsi kesempurnaan. Setelah manusia terpisah dari badannya, manusia akan menyaksikan realitas yang nyata dan emanasi Ilahi akan tercurahkan untuknya.         

Tuesday, October 7, 2014

Resensi Buku; Ketika Tuturan Berarti Tindakan

JUDUL BUKU : LINGUISTIK FENOMENOLOGI  JOHN LANGSHAW AUSTIN “KETIKA TUTURAN BERARTI TINDAKAN”
PENULIS : Dr. WAHYU WIBOBO
PENERBIT : BIDIK-PHRONESIS  PUBLISHING, JAKARTA
TAHUN TERBIT : CETAKAN 1, 2011
TEBAL HALAMAN : xiv+138 hal; 14 cm x 21 cm

Buku ini oleh penulis, disuguhkan untuk menjelaskan pemikiran utama John Langshaw Austin yaitu berkenaan dengan Filsafat Bahasa Biasa. Penulis buku ini membagi pokok pikirannya menjadi empat bagian. Bagian pertama meliputi sejarah singkat dan istilah Filsafat Bahasa dan perbedaannya dengan istilah lainnya seperti Linguistik Struktural dan Filsafat Analitik. Bagian kedua menjelaskan pandangan spesifik Austin tentang Linguistic Phenomenology. Bagian kedua dapat dikatakan gagasan inti dari buku ini karena dasar pemikiran Austin lebih banyak dituangkan pada bagian kedua. Sedangkan bagian ketiga dan bagian keempat memaparkan bagian aplikatif atau aksiologis Filsafat Bahasa Biasa.
Persoalan dan kajian-kajian filsafat pada awal abad 20, lebih banyak pada analisa bahasa beserta maknanya, khususnya di Amerika dan Eropa seperti Inggris. Pada pendahuluan buku ini yang oleh penulis menyebut pendahuluan ini dengan prawacana, menegaskan Ludwig Wittgenstein sebagai pencetus aliran Filsafat Bahasa Biasa dan kemudian dilanjutkan Austin. Wittgenstein yang membangun dasar-dasar baru teori bahasa, sedangkan Austin yang mengaplikasikannya. Penulis juga menjelaskan bahwa Filsafat Kontemporer mencatat aliran filsafat Bahasa Biasa sebagai aliran pemikiran yang paling kritis dan paling berpengaruh, terutama karena (a) upayanya dalam mengoreksi pemikiran strukturalisme bahasa, dan (b) pengaruhnya dalam kelahiran sejumlah pemikiran kritis lainnya yang datang belakangan, seperti teori kritis Habermas, Hermeneutika Kritis Gadamer, Poststrukturalisme Derrida, dan Postmodernisme Lyotard.
Penelitian dan analisa kritis terhadap bahasa menjadi penting, paling minimal dikarenakan oleh dua hal: pertama karena bahasa merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan juga dikarenakan aspek inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kedua, kebanyakan kesalahan-kesalahan dalam pikiran manusia dikarenakan penggunaan yang tidak benar dan tidak benar dalam menggunakan bahasa. Tak heran jika sebagian dari Filsuf Bahasa menklaim kemunculan Filsafat Bahasa adalah tanda kematian bagi aliran-aliran filsafat yang ada sebelumnya. Meskipun saat ini klaim mereka tidak memiliki dampak yang signifikan namun dapat terlihat sumbangsih yang telah diberikan atas analisa filosofis terhadap bahasa.         
Wittgenstein berpandangan bahwa kesalahan kaum filsuf sebelumnya dikarenakan mereka melampaui batas bahasa padahal bahasa memiliki batasan tersendiri. Bahkan kata Wittgenstein, tugas filsafat bukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat, akan tetapi tugas utama filsafat ialah menghancurkannya. Menurut Wittgenstein (First Wittgenstein),  manusia mampu memaparkan realitas melalui perantara bahasa. Menurutnya struktur bahasa dan realitas itu satu. Analisa komprehensif terhadap struktur bahasa mampu menjelaskan struktur realitas. Bahasa adalah gambaran realitas karena terdiri dari proposisi-proposisi yang menjelaskan realitas.
Dr. Wahyu Wibowo pada bagian pertama juga menjelaskan bahwa Filsafat Bahasa bahkan dianggap memiliki metode yang kritis dan netral karena mampu membersihkan bahasa para filsuf sebelumnya dari pemikiran yang melingkar-lingkar tidak jelas dan tidak terlibat dengan realitas. Selain hal ini, metode yang digunakan filsafat bahasa juga dianggap sebagai metode yang khas dalam ilmu filsafat, karena selain digunakan untuk mencari hakikat bahasa juga sekaligus dapat dijadikan teori untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan bahasa.
Sebelum melangkah lebih jauh, buku ini menjelaskan asal muasal aliran Filsafat Bahasa Biasa bahwa, akar Filsafat Bahasa ini berasal dari Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Sebagaimana dipahami, kaidah penting dan mendasar dalam Positivisme Logis adalah prinsip verification. Melalui kaidah ini kaum Positivisme meyakini mampu memilah secara nyata antara proposisi yang memiliki makna dengan proposisi yang tak memiliki makna. Proposisi yang memiliki makna ialah proposisi analitik dan proposisi sintetik. Proposisi analitik ialah proposisi yang berkaitan dengan logika dan matematika, sedangkan proposisi eksprementasi adalah proposisi sintetik. Namun proposisi yang tidak termasuk ke dalam proposisi analitik dan sintetik adalah proposisi yang tidak memiliki makna.
Istilah Filsafat Bahasa mesti dibedakan dari Linguistik Struktural. Linguistik Struktural menjelaskan bahwa bahasa tunduk di bawah hukum linguistik, sedangkan Filsafat Bahasa justru menjelaskan sebaliknya. Oleh karena itu, menurut Filsafat Bahasa, bahasa hanya dapat dipahami dalam format bentuk-bentuk kehidupan yang merupakan konteks bagi pemakaian bahasa itu sendiri. Kehidupan yang kompleks ini berimplikasi pada penggunaan bahasa untuk bermacam-macam tujuan.
Isitilah selanjutnya yang mesti dibedakan ialah antara Filsafat Bahasa dan Filsafat Analitik, apalagi kedua istilah ini sering diidentikkan. Penulis buku ini menjelaskan, dari sudut hakikatnya, kedua istilah ini memang identik karena para filsufnya sama-sama menjadikan bahasa sebagai objek material mereka. Penulis menjelaskan lebih jauh bahwa perbedaan antara Filsafat Bahasa dengan Filsafat Analitik terletak pada fungsi dan cakupan diantara keduanya. Khususnya dalam pandangan Austin bahwa Filsafat Bahasa melingkupi fungsi bahasa, bertalian dengan tindakan manusia.
Teori Austin dipaparkan secara khusus pada bagian kedua dari buku ini. Oleh karenanya sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, inti dari buku ini dijelaskan pada bagian kedua. Penulis menjelaskan, sejak tahun 1940-an Austin telah memperkenalkan teorinya yang membagi ungkapan pada ungkapan performatif, ungkapan konstatif, dan tindak tutur. Namun perlu ditegaskan bahwa Austin tidak menulis buku. Teori-teori Austin di ambil dari makalah-makalah serta ceramah-ceramahnya di kampus pada saat itu. Di dalam perkuliahannya Austin memang kerap melontarkan ungkapan ‘what to say when’, yang dimaknainya bahwa unsur bahasa (what) sama pentingnya dengan dunia fenomena-fenomena (when). Ungkapan ini oleh Austin dinamainya Linguistic Phenomenology.
Teori Linguistic Phenomenology yang diungkapkan oleh Austin menunjukkan bahwa ungkapan hanya sekedar nama untuk menyebut aktivitas analisis bahasanya, karena Austin tidak tertarik dengan analisis bahasa yang melihat bermakna-tidaknya suatu ungkapan bahasa hanya berdasarkan formulasi teori linguistik struktural. Bagi Austin, suatu ungkapan bahasa, selain berbeda ucapannya dengan ungkapan bahasa lain, juga berbeda dalam hal situasi penggunaan dan dampaknya bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
Hal yang patut diperhatikan dalam bagian kedua buku ini, pada sub-tema ‘Aspek Penyembuh Bahasa’, penulis menjelaskan bagaimana keterhubungan antara Wittgenstein dan Austin. Keterhubungan ini terjadi disaat Austin menulis buku tentang Philosophical Investigation. Buku ini bertujuan dalam melakukan koreksi terhadap bukunya sebelumnya, yakni Tractatus Logico-Philosophicus, karena buku ini terasa sempit dalam memahami hakikat realitas, oleh karena hanya terbatas pada logika bahasa. Keterhubungan Austin dengan Wittgenstein dapat terlihat pada pemikiran Wittgenstein tentang fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari manusia, sebagaimana digambarkannya dalam Philosophical Investigation.
Wittgenstein dalam tata permainan bahasa, menyinggung tugas filsafat yang dikatakannya harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan berlaku di dalamnya, dan menetapkan logikanya. Analisis bahasa tidak lagi harus didasarkan pada logika formal atau logika matematis, tetapi harus didasarkan pada dan diperlakukan dengan menggunakan bahasa biasa, the ordinary language, yakni bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Pemikiran Wittgenstein mengenai Filsafat Bahasa Biasa dikembangkan oleh para filsuf dari lingkungan Universitas Oxford seusai perang dunia II, terutama Austin. Pemikiran Austin tampak lebih khas dibandiingkan dengan pemikiran Wittgenstein, terutama pemikiran analitisnya tentang ungkapan performatif, ungkapan konstatif, dan tindak tutur.
Dalam sub-tema ‘Pemikiran Analitis Austin’ pada bagian kedua buku ini, penulis memaparkan posisi Austin sebagai seorang filsuf Filsafat Biasa dan memaparkan prinsip-prinsip utama pemikiran Austin. Austin berkeyakinan bahwa dari bahasa biasa sehari-hari akan banyak hal yang dapat dipelajari, mengingat banyaknya distinsi dan nuansa halus yang dikembangkan oleh para pemakai bahasa dari generasi ke generasi dalam rangka mengungkap segala realitas. Austin juga meyakini, tidak sedikit masalah filosofis yang akan tampak menjadi bentuk baru jika didekati dengan alat-alat yang terkandung di dalam bahasa sehari-hari.
Austin berprinsip bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Prinsip ini oleh Austin dalam istilah lingusitik fenomenologis, yakni bagaimana menjelaskan fenomena melalui analisis bahasa. dari prinsipnya ini, Austin hendak menggarisbawahi bahwa linguistik hasruslah dilumuri dengan aspek fenomenologis, karena persoalan-persoalan di dalam Filsafat Bahasa Biasa merujuk pada dua hal utama: hal tentang ‘penggunaan yang biasa dari ungkapan’ (the ordinary use of the expression) dan hal tentang ‘penggunaan bahasa yang biasa’ (the use of ordinary language).
Menurut penulis, pada awalnya Austin membagi jenis-jenis ungkapan atas ungkapan konstatif (pernyataan) sebagai lawan dari ungkapan performatif (dekralatif). Ungkapan konstatif adalah jenis unngkapan bahasa yang melukiskan suatu keadaan faktual atau peristiwa nyata, yang oleh karena itu memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar-salahnya berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Kemudian ungkapan performatif adalah ungkapan yang berimplikasi dengan layak-tidaknya atau berbahagia-tidaknya (happy or unhappy) si penutur ketika mengungkapkannya. Itu sebabnya, ungkapan performatif sukar diketahui salah-benarnya, mengingat pertalian eratnya dengan kewenangan dan kelayakan si penuturnya. Oleh karenanya, Austin memberikan syarat atau ciri-ciri yang harus diperhatikan berkenaan dengan ungkapan performatif. Namun tidak sampai disini, persyaratan untuk ungkapan performatif ternyata juga berlaku bagi ungkapan konstatif.
Perbedaan hakiki diantara kedua bentuk ungkapan itu ternyata diragukan oleh Austin, terutama karena keduanya sama-sama terikat secara kontekstual pada seluruh situasi yang total kapan ujaran itu diungkapkan. Untuk mengatasi keragu-raguannya, Austin mengemukakan teori tindak tutur (speech acts), yaitu tindakan bahasa yang berperan ketika seseorang mengucapkan suatu kalimat. Teori tindak tutur yang dilandasi oleh pemikiran Wittgenstein itu, dibangun oleh Austin melalui tesis ‘dalam mengatakan sesuatu, berarti kita melakukan sesuatu pula’. Pada prinsipnya, tindak tutur menggarisbawahi bahwa perkataan dan tindakan adalah sama.
Selanjutnya Austin membagi membagi tindah tutur ke dalam tiga jenis, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Tindak lokusi, yaitu tindak tutur penutur dalam menyampaikan sesuatu yang pasti, sekalipun tidak ada keharusan bagi si penutur itu untuk melaksanakan isi tuturannya. Tindak ilokusi, yakni tindak tutur penutur yang hendak menyatakan sesuatu dengan menggunakan sesuatu dengan daya khas, yang membuat si penutur itu bertindak sesuai dengan apa yang dituturkannya. Tindak perlokusi, yakni efek tindak tutur si penutur bagi mitra tuturnya. Dalam penegasan lain, bila tindak lokusi dan tindak ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, pada tindak perlokusi yang ditekankan adalah bagaimana respons mitra bicara.
Bagian ketiga dan keempat buku ini, memaparkan aspek aplikatif atau aksiologis  teori Filsafat Bahasa Biasa. Sejak awal penulis menekankan pentingnya aspek aksiologis teori ini. Misalnya pada bagian pertama, penulis menkritisi mereka yang berunjuk rasa dengan membawa kerbau. Bagi Dr. Wibowo, si pembawa kerbau itu ternyata tidak memiliki keseimbangan antara akalnya dan bahasanya. Ia tidak mampu memahami bahwa kerbau bukan sekedar hewan yang berkolerasi dengan makna konotatif ‘gemuk’, ‘malas’, atau ‘bodoh’. Lebih dari hal itu, kata ‘kerbau’ itu sendiri mengandung unsur aksiologis sehubungan dengan nilai-nilai tertentu yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita.
Contoh lainnya disaat menjelaskan ungkapan konstatif dan ungkapan performatif. Misalnya berkenaan dengan ungkapan konstatif, penulis memberikan contoh; “Saya ditugasi Presiden mengatasi luapan lumpur lapindo di Sidoarjo,” ujar mentri Pekerjaan Umum. Si saya atau Mentri Pekerjaan Umum di dalam berita itu sekedar diinformasikan oleh wartawan bahwa ia diberi tugas mengatsi luapan lumpur lapindo. Hal ini berarti benar-salahnya ungkapan ini tergantung faktanya apakah Pak Mentri benar-benar ditugasi oleh Presiden (melalui surat alat bukti tertentu, misalnya surat tugas).
Sementara contoh ungkapan performatif; “Luapan lumpur di Sidoarjo akan teratasi paling lambat akhir 2008,” ujar Mentri Pekerjaan Umum lebih lanjut. Si saya atau Mentri Pekerjaan Umum dalam berita itu sekaligus berjanji melakukan tindakan. Akan tetapi, ungkapan ini belum dapat ditentukan layak-tidaknya, sebelum janji si saya itu direalisasikannya. Dan banyak contoh-contoh lainnya dalam mengaplikasikan teori Filsafat Bahasa Biasa, khususnya pada bagian akhir atau bagian keempat buku ini.
Dalam meresensi buku ini, beberapa hal penting sebagai saran dalam membaca buku ini:
Salah satu kekuatan Buku ini, oleh karena penulis menggunakan bahasa yang lugas dan  mudah dipahami. Khususnya dalam memberikan contoh-contoh aplikatif dari setiap teori-teori Filsafat Bahasa Biasa dalam buku ini. Hal tersebut sekaligus menunjukkan dalam mengaplikasikan Filsafat Bahasa Biasa. Dan juga membuktikan penguasaannya terhadap Filsafat Bahasa Biasa.
Buku ini adalah buku pengantar untuk memahami Filsafat Bahasa Biasa, khususnya dalam memahami pemikiran Austin. Oleh karenanya, disarankan pada pembaca yang ingin memahami lebih jauh, hendaknya membaca buku lainnya yang mengeksplorasi lebih jauh Filsafat Bahasa Biasa, khususnya pemikiran Austin. Sehingga terpahami dengan baik, bagaimana dan dimanakah sejarah lahir Filsafat Bahasa Biasa ini dimulai. Sekaligus memahami lebih jauh teori Speech Acts yang jejaknya diawali oleh Wittgenstein, kemudian Austin, lalu dikembang lebih jauh oleh muridnya, John Searle dalam karyanya “Austin on Locutionary and Illocutionary Acts”.
Hal lain yang belum tersentuh dalam buku ini juga menjadi catatan penting bagi pembaca, khususnya bagi mereka yang ingin meneliti lebih jauh terkait dengan pembahasan ini. Misalnya bagaimana peran Filsafat Bahasa Biasa terkaiat dengan bahasan agama. Sejauh manakah Filsafat Bahasa Biasa ini dapat diaplikasikan ke dalam ranah agama ?        

  
  

Wednesday, September 17, 2014

Teori Innefabilitas Menurut Allamah Thabatabai

Teori Innefabilitas Menurut Allamah Thabatabai
oleh; Sayid Ahmad Fazeli
alih bahasa; Muhammad Nur Jabir
Abstrak
Tulisan ini mencoba memaparkan beberapa konsep innefabilitas, menurut Allamah Thabatabai. Pada tulisan sebelumnya kami mengutarakan beberapa konsep innefabilitas dalam pandangan W.Stace dan William James. Pada tulisan kali ini kami mencoba mengutarakan beberapa pandangan innefabilitas khususnya dari  beberapa gagasan pemikir Islam Allamah Thabatabai. Beberapa persoalan yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah apakah absolut dapat diekspresikan ? jika wahdatul wujud melazimkan keabsolutan apakah hal ini berarti bahwa tak ada bahasa yang dapat menggambarkan konsep wahdatul wujud ? lalu apa sebenarnya makna dari innefabilitas ? apakah maksudnya bahwa pengalaman irfani wahdatul wujud tidak bisa dikonsepsikan, ataukah tidak bisa dipahami, ataukah tidak bisa dilogikakan ? jika demikian, lalu kata seperti tak terbatas, tak terhingga, paradoks, dan kata ‘absolut’ ini muncul dari mana ? apakah maksud dari innefabilitas bahwa akal tak mampu menjangkaunya karena sudah diluar tapal batas akal ? tulisan ini ingin menunjukkan bahwa pengalaman irfani wahdatul wujud yang absolut dan tak terbatas dapat diekspresikan secara global namun tidak secara terperinci, namun akal yang digunakan bukan lagi akal paripatetik.   
Kata kunci; Allamah Thabataba’i, innefabilitas, ketidakmungkinan-dikonsepsi, irrasioanal, akal, potensi fantasi.  
Mukaddimah
Pada tulisan sebelumnya, kami telah memaparkan gagasan konsep innnefabilitas menurut William James. Sebenarnya kami masih ingin melanjutkan tulisan sebelumnya dengan gagasan pemikiran barat lainnya, namun akan lebih baik jika pada tulisan kali ini kami tetap mengangkat konsep innefabilitas akan tetapi dalam pandangan pemikir Islam, khususnya Allamah Thabataba’i. Tujuannya agar terjadi komparasi pemikiran antara barat dan Islam dalam melihat persoalan innefabilitas.
Allamah Thabataba’i salah satu filsuf hikmah muta’aliyah dengan maslak irfani. Bisa juga disebut sebagai filsuf Sadrian yang menerima ontologi irfani. Dalam kata lain, menerima ontologi irfani dengan kacamata Sadra. Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat gagasan Allamah Thabataba’i mengenai innefabilitas dalam beberapa karyanya, khususnya pada risālah Allamah Thabataba’i. Sebagaimana diketahui bahwa innefabilitas merupakan sebuah gagasan yang menjelaskan bahwa yang mutlak, absolut, tak terbatas, dan khususnya pada maqam zat, tidak dapat diekspresikan. Teori Allamah Thabataba’i ini disebut dengan ketidakmungkinan-dikonsepsikan karena Allamah ingin menjelaskan innnefabilitas melalui konsep. Namun dalam tulisan ini, kami tidak hanya mengangkat gagasan Allamah Thabataba’i, tapi juga memaparkan teori lainnya dalam menjelaskan innefabilitas. 
     
1.      Teori Innefabilitas Allamah Thabataba’i; ketidakmungkinan-dikonsepsikan.
Allamah Thabatabai memiliki beberapa bentuk analisa dalam menjelaskan innefabilitas. Sebagai contoh, dalam uraiannya Allamah menegaskan persoalan tersebut dengan kalimat ; ‘[bahwa sesungguhnya hal tersebut] telah keluar dari batasan pemaparan’;
« قد عرفت أن مقتضى البرهان المذكور في الفصل الثالث ارتفاع كل تعين مفهومي و تحديد مصداقي عن الذات و أنحاء كل تميز هناك حتى هذا الحكم بعينه.و من هنا يظهر أن استعمال لفظ المقام و المرتبة و نحوهما هناك مجاز من باب ضيق التعبير.و من هنا يظهر أن التوحيد الذاتي بمعنى معرفة الذات بما هو ذات مستحيل فإن المعرفة نسبة بين العارف و المعروف و قد عرفت أن النسب ساقطة هناك و كل ما تعلق من المعرفة به فإنما بالاسم دون الذات و لا يحيطون به علما و إليه يرجع ما ذكروا أن المعرفة على قدرالعارف مثال ذلك‏الاعتراف من البحر فإن القدح مثلا لا يريد إلّا البحر لكن الذي يأخذه على قدر سعته.و يظهر أيضا أنه خارج عن حيطة البيان‏» (طباطبایی، 1387، 15)
Sebagaimana pemaparan Allamah Thabatabai diatas, inti argumentasi yang diutarakan oleh penulis merujuk pada tulisan lainnya. Tulisan Allamah berkenaan dengan hal tersebut sebagai berikut:
« حيث ان كل مفهوم منعزل بالذات عن المفهوم الآخر بالضرورة فوقوع المفهوم على المصداق لا يختلف عن تحديد ما للمصداق بالضرورة و هذا ضروري للمتأمل و ينعكس إلى أن المصداق الغير المحدود في ذاته وقوع المفهوم عليه متأخر عن مرتبة ذاته نوعا من التأخر و هو تأخر التعين عن الإطلاق.و من المعلوم أيضا أن مرتبة المحمول متأخر عن مرتبة الموضوع و حيث أن الوجود الواجبي صرف فهو غير محدود فهو أرفع من كل تعين اسمي و وصفي و كل تقييد مفهومي حتى من نفس هذا الحكم فلهذه الحقيقة المقدسة إطلاق بالنسبة إلى كل تعين مفروض حتى بالنسبة إلى نفس هذا الإطلاق ‏» (همان، 7 ـ 6)

Kesimpulan dari argumentasi innefabilitas ini sebagai berikut:
1.      Setiap konsep secara zati [pada hakekatnya] berbeda dari konsep yang lainnya.
2.      Maka setiap konsep secara zati [pada hakekatnya] terbatas.
3.      Maka terjadinya setiap konsep terhadap mishdaqnya menunjukkan keterbatasan mishdaq.
4.      Oleh karena itu, korespondensi konsep pada mishdaq yang tak terhingga adalah mustahil.
5.      Maka terjadinya konsep pada mishdaq yang tak terhingga, lebih terakhir dari tingkatan zat-Nya.     
6.      Proses keterakhiran tersebut, keterakhiran terdeterminasi dari mutlak.
7.      Kata-kata adalah denotasi atas konsep-konsep.
8.      Maka tingkatan tak terhingga tak dapat dikonsepsikan maka tak dapat diekspresikan.
Argumentasi diatas bisa dianalisa dalam beberapa padangan. Pertama, keterbatasan akan terbedakan antara satu dengan yang lainnya, suatu hal yang tak perlu diragukan, jika pembeda tersebut adalah pembeda kontras (tamâyuz taqâbulȋ). Jelas, pembeda kontras berkaitan dengan realitas eksternal karena konsep sebagaimana konsep memang berbeda secara zati antara satu dengan yang lain. Dalam kata lain, difrensiasi konsep tidak menunjukkan atas keterbatasan secara mishdaq dimana konsep tersebut diambil darinya. Yang saya maksud bahwa mungkin saja pada tempat lain dapat membuktikan perkara ini bahwa pengabstraksian konsep menunjukkan keterbatasan mishdaq namun difrensiasi konsep tidak dapat  menunjukkan hal tersebut.
Kedua, difrensiasi merupakan bagian dari partikularitas dan lebih layak dalam memulai membicarakan partikularitas absolut yang merupakan dasar difrensiasi absolut. Dalam difrensiasi absolut, mutlak terpartikularisasi dan oleh karenanya terbedakan namun tidak terbatas. Tentu, hubungannya dengan sisi yang berhadapan dengannya, bukan perbedaan [secara totalitas] (diversity/tabâyun).
Ketiga, denotasi kata-kata atas konsep-konsep adalah ruang ambigu sebagaimana yang telah dibahas pada teori sebelumnya yang juga akan dibahas secara detail pada pasal ketiga yang akan datang.
Bagian keempat, asumsi innefabilitas maqam absolut dan mengurainya dengan kata-kata seperti absolut, maqam, tak terhingga, dan seterusnya. Namun perlu kami ingatkan bahwa kata-kata tersebut tidak menjelaskan hakekat maqam tersebut, bahkan kata-kata itu sendiri menyalahi konsep innefabilitas sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan istilah ‘ekspresi’. Ekspresi meliputi penegasan, majazi, hakiki, dan seterusnya, dan dalam pemaknaan, seakan muncul dalam wadah lafas dan tidak dikhususkan pada jenis bentuk tertentu akan lafas. Bahkan Allamah sendiri menerima bahwa pada sisi tertentu kita dapat mengekspresikan maqam tersebut. Namun ekspresi, tidak menceritakan hakekat konsep atas zat. Yang mengherankan, Allamah meyakini bahwa terjadinya konsep atas sebuah tingkatan, lebih terakhir dari zat tersebut, yaitu terjadinya konsep atas mishdaq yang tak terhingga.
Kelima, yang menjadi  titik permasalahan menurut Allamah ‘terjadinya’ konsep pada mishdaq yang tak terhingga. Sekarang pertanyaannya, apa itu konsep (mafhum) dan dari sesuatu apa diabstraksikan ? jika konsep diabstraksi dari mishdaq yang tak terhingga dan gambaran abstraksi seperti ini dimungkinkan, lalu mengapa kebalikannya – yaitu inthibâq (penglarasan)  – tidak dimungkinkan ? hal lainnya, jika konsep didapatkan dari mishdaq tak terhingga, apakah terjadinya pada mishdaq menjadi terakhir atas terjadinya konsep pada mishdaq yang tak terbatas ?
Keenam, ia mengatakan, terjadinya konsep pada mishdaq yang tak terhingga adalah mustahil. Pertanyaannya adalah;  apa maksud dari kata ‘mishdaq yang tak terhingga’ atau kata lain yang serupa dengannya ? apakah kata-kata tersebut tidak memiliki penterapan-penterapan sebagai konsep ? maka kekuatiran dari penterapan kata ‘konsep’ dan sebagai gantinya adalah ‘mishdaq yang tak terhingga’ merupakan penolakan akan asumsi innefabilitas.
Namun, dengan memberikan warna lebih pada ‘tak terhingga’, dapat diperoleh penguraian lain mengenai innefabilitas. Berkenaan dengan hal ini, kami akan membahasnya pada pembahasan selanjutnya dengan tema ‘tak-mungkin-diketahui’.
Ketujuh, argumentasi Allamah bertujuan untuk menjelaskan bahwa zat tak mungkin dikonsepsikan, maka oleh karenanya ‘tak terekspresikan’, namun objek pembahasannya  adalah ‘tak terekspresikannya’ penyaksian-penyaksian irfani, bukan hanya diperuntukkan pada penyaksian zat. Dalam kata lain, jika persoalannya pada kemustahilan terjadinya konsep pada zat adalah melazimkan adanya pembatasan, maka syuhud dan ilmu lainnya pada zat – atas dasar argumentasi tersebut – akan melazimkan keterbatasan dan hal tersebut mustahil. Maka tak ada sesuatu yang dapat dibicarakan dan tak ada sesuatu yang dapat dipahami dikarenakan konsepnya pun tak ada. Persoalan ini merupakan sebuah bentuk pengetahuan global pada maqam zat dan juga sekaligus sebagai justifikasi adanya konsep global pada maqam zat, namun konsep semata, bukan esensi (mahiyah) yang terbatas.
Kedelapan, Ibn Arabi menegaskan bahwa pembahasan mengenai ke-innefabilitas-an penyaksian-penyaksian tidak berhubungan dengan batasan, keterbatasan, atau ketidak-terbatasan.
«...كل إشارة دقيقة المعنى تلوح في الفهم لا تسعها العبارة و هي من علوم الأذواق و الأحوال فهي تعلم و لا تنقال لا تأخذها الحدود و إن كانت محدودة في نفس الأمر و لكن ما يلزم من له حد و حقيقة في نفس الأمر أن يعبر عنه ‏»
 (Ibn Arabi, 2, 503).
Sebagaimana yang terlihat diatas, kelaziman akan keterbatasan adalah bukan ‘kemungkinannya untuk diekspresikan’. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami bahwa pokok penting innefabilitas yang diasumsikan oleh para urafa, bukan ketidakterbatasan, namun innefabilitas dalam pandangan urafa adalah mungkin saja – juga – meliputi katerbatasan-keterbatasan. Apa yang menjadi pokok pembahasan penting kali ini adalah menjelaskan innefabilitas menurut urafa, bukan menjelaskan konsep universal ketidakmungkinan ekspresi [innefabilitas]. Sebagai contoh, Allamah Thabatabai menguraikan dalam beberapa bentuk penjelasan innefabilitas, akan tetapi apakah sama sekali maksudnya bukan innefabilitas dan atau bertentangan dengan perkataannya sendiri. Sebagai contoh Allamah menulis:
«و من هنا یعلم أن لها مرتبه فوق مرتبه البیان اللفظی لو نزلت الی مرتبه البیان دفعتها العقول العادیه اما لکونها خلاف الضرورة عندهم، أو لکونها منافیا للبیان الذی بینت لهم به و قبلته عقولهم.» (Thabatabai, 153, 1382)
Sebagaimana terlihat diatas, innefabilitas yang dimaksud yaitu jika diungkapkan maka akan diingkari oleh rasionalitas kalangan awam. Pada mukaddimah pasal ini [tulisan sebelumnya] ketika menjelaskan satu persatu gagasan-gagasan yang ada, terlihat adanya pembauran sesuatu dengan innefabilitas pengalaman-pengalaman irfani. Sebelumnya dijelaskan bahwa  penghalang-penghalang ekspresi tidak sama dengan persoalan innefabilitas sebagaimana yang dimaksud oleh urafa. Begitu pula, mungkin saja terdapat sebuah penjelasan yang bertentangan dengan gagasan-gagasan populer yang dijelaskan sebelumnya. Persoalan lainnya yang sangat penting, Allamah sendiri menjelaskan kemungkinan terjadinya ekspresi bahasa dan kemudian satu-persatu menjelaskan penghalang-penghalang sosial akan bahasa tersebut. Oleh karena itu, pengalaman irfani itu sendiri menurut Allamah, dapat diekspresikan.
Pada kesempatan lain, Allamah menjelaskan bahwa salah satu penghalang ekspresi bahasa dikarenakan kemungkinan pengkafiran oleh orang lain karena level pemahaman yang rendah. Namun pada saat yang sama, Allamah mengisyaratkan sebuah riwayat bahwa apa yang kami sembunyikan dari anda, lebih banyak dari apa yang kami tampakkan pada anda, dan bagian rahasia pengetahuan ini hanya disampaikan pada ahli batin. Berdasarkan dengan dalil ini, sebagian dari sahabat Nabi adalah Ashhabul Asrar [memiliki ruhaniyah batiniyah]. Pada pembagian ini juga terlihat bahwa penghalang bentuk ekspresi yang dimaksud, bukan menjadi objek pembahasan innefabilitas irfani. Bahkan sebaliknya, bagian kedua menegaskan kemungkinan ekspresi yaitu dengan kalimat ‘jika kami jelaskan’ atau ‘yang tidak kami jelaskan itu lebih luas’ atau ‘kami hanya menjelaskan pada ahli batin”. (ibid, 154-156).
2.      Ketidakmungkinan-diketahui
Argumentasi yang didasarkan pada ketidamungkinan-diketahui untuk innefabilitas karena ilmu terhadap Tuhan itu tidak mungkin, sedangkan ekspresi merupakan bagian dari pengetahuan, maka Tuhan adalah innefabilitas. Sayyid Haydar Amuli secara ringkas mengargumentasikan persoalan tersebut sebagai berikut:
« اعلم انّ حقيقة التوحيد اعظم و اجلّ من ان يحيط بها عقل من حيث العبارة، او يصل إليها فهم من حيث الإشارة، لانّ العبارة، في طريق تحقيقها، حجاب، و الإشارة، على وجه إشراقها، نقاب، لانّها منزهة من ان تصل الى كنهها ايدى العقول و الافهام، مقدّسة عن ان تظفر بمعرفتها الحقيقية تصرفات الأفكار و الأوهام.»   (Amuli, 348)
Untuk menganalisa lebih jauh argumentasi diaatas, pertama-tama mesti ditentukan, sesuatu apa yang tidak mungkin diketahui ? jawabannya bahwa mustahil memiliki pengetahuan terhadap zat dari sisi hakekatnya. Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat beragam uraian:
 « و لما كان الحق سبحانه من حيث حقيقته في حجاب عزه، لا نسبة بينه و بين ما سواه- كما سبق التنبيه عليه- كان الخوض فيه من هذا الوجه و التشوّق إلى طلبه تضييعا للوقت و طلباً لما لا يمكن تحصيله ‏» (Qunawi, 26-27),
Hakekat mutlak tidak mungkin diketahui karena pengetahuan menunjukkan aspek keterjangkauan terhadap objek yang diketahui, sedangkan keterjangkauan terhadap hakekat mutlak bermakna pembatasan terhadap tak terhingga dan hal tersebut mustahil (Jami, 27, 1370).
Attar juga mengargumentasikan innefabilitas berdasarkan ‘ketidakmungkinan-diketahui’ dan argumentasinya juga bersandar pada ketidakterbatasan:
Dia dekat kepada kita dan kita padanya jauh dan jauh
Namanya Sultan para ayam bagi burung-burung
Tak ada batasan, setiap bahasa adalah namanya
Dalam singgasana kemuliaannya adalah ketenangannya
Kapankah sampainya ilmu dan pikiran pada dia yang disana
Dia tak hinggap di kepala dengan dirinya pada dia yang disana
(Attar, bait 718, 713-714)
Hajwiri dalam menjelaskan persoalan ini mengatakan:
“[Rasulullah saw] mengatakan dengan benar, dan dengarkanlah perkatannya; ‘oleh karena telah sampai pada puncak, maka bahasa dalam menyingkap jalal menjadi bisu dan hati menjadi bingung dalam hakekat keagungannya. Pengetahuan dari persepsi menjadi terhenti, bahasa dari ibarat menjadi lumpuh” (Hajwiri, 294).
Setelah diketahui bahwa pengetahuan adalah relasi dan relasi adalah sebuah bentuk pembatasan, maka pada maqam hakekat absolut sama sekali tak ada relasi,  oleh karenanya tak satupun pengetahuan yang mampu sampai ke sana (Qunawi, 6-7, 1370).
Maka pada maqam hakekat absolut zat yang tak mungkin diketahui, beberapa analisis-analisis di dalam filsafat Islam, banyak ditemukan juga persoalan serupa. Sebagai contoh, Mulla Sadra juga memahami bahwa pengetahuan terhadap Tuhan pada aspek tersebut (maqam zat) adalah mustahil. Ia mengatakan bahwa objek yang diliputi [yang terbatas] tidak akan dapat meliputi objek yang membatasi [yang tak terbatas] (Syirazi, 22-23, 1381). Analisa ini merupakan bentuk analisa lain selain dari analisa yang telah dijelaskan sebelumnya.
Namun penegasan Urafa adalah berkaitan dengan kemustahilan ilmu terperinci pada inti zat, sebab ilmu secara global pada zat masih dimungkinkan:
(Jami,29, 1370)         «ولا الظفر به الا بوجه جملی وهو أن وراء ما تعین امر به ظهر کل متعین»
Dalam kata lain, meskipun mustahil menemukan Tuhan pada inti hakekat dan pada kedalaman hakekatnya secara terperinci, namun mengetahui diri-Nya di dalam manifestasi-manifestasi adalah dimungkinkan (Kharazmi, 194, 1368). Bahkan Sadra sendiri menegaskan bahwa mustahil sebuah akibat memiliki ilmu secara terperinci terhadap hakekat zat sebab. Sadra juga menjelaskan bahwa akibat memiliki ilmu hudhuri terhadap sebab namun sebatas kadar keluasan eksistensinya, bukan seluas maqam zat yang absolut dan tak terhingga. Tetapi mesti dipahami bahwa argumentasi Sadra tidak relevan dengan maqam pembahasan ini, meskipun Sadra juga menggunakan ayat qur’an; Allah memperingatkanmu terhadap diri-Nya (ali-imran;30) sebagaimana urafa juga menggunakannya dan menjelaskan argumentasinya berkaitan dengan maqam zat Tuhan. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada maqam zat, relasi atau nisbah dinafikan, dan penisbahan relasi kausalitas pada-Nya adalah sebuah bentuk kesalahan. Namun bagaimanapun itu, dalam sistem filsafat Sadra, sebuah akibat dimungkinkan untuk memiliki ilmu hudhuri ‘secara global’ pada sebab, dan hal ini bukan hanya dikhususkan pada pengetahuan sebuah akibat pada sebab, bahkan dalam sistem filsafat Sadra, pengetahuan terhadap akibat tidak akan mungkin diketahui oleh siapa pun tanpa pengetahuan terhadap sebabnya. Oleh karena itu, mengetahui setiap akibat, pada hakekatnya meliputi juga pengetahuan terhadap Tuhan. Hal lainnya bahwa sama sekali tidak diragukan mengapa eksistensi atau ‘ada’ dinisbahkan pada maqam tersebut, dan atas dasar inilah hal tersebut disebut dengan badihi (Nasafi, 30, 1386 / Qayshary, 14, 1375). Hal tersebut merupakan salah satu mishdaq dari pengetahuan global pada maqam tersebut, sebagaimana yang diuraikan oleh Qunawi pada uraian sebelumnya dan juga dinukil oleh Jami.
Allamah Thabatabai meyakini bahwa yang sampai kepada Tuhan bukan hanya para Nabi semata, bahkan dimungkinkan pada seluruh keberadaan. Allamah mengutarakan alasannya sebagai berikut:
          «وشهود الظاهر لایخلو من شهود الباطن لکون وجوده من اطوار وجود الباطن و رابطاً بالنسبه الیه» (Thabatabai، 1382، 167)
Mesti dipahami bahwa kata ‘batin’ pada kalimat diatas tidak mesti dimaknai sebagai yang berhadapan dengan kata ‘zahir’, bahkan meliputi juga maqam absolut. Karena dalam lanjutan pembahasannya Allamah mengisyaratkan ayat-ayat yang berkaitan dengan cakupan luas Ilahi terhadap segala perkara dimana Allamah menyebutnya dengan cakupan luas eksistensi. Dalam pandangan Allamah, rahasia mungkinnya ‘liqaullah’ (bertemu dengan Allah) pada alam dunia ini dikarenakan cakupan luas eksistensi yang dimilikinya:
  (ibid, 170)    «والذی هذا [ای احاطة] شأنه لایتأتی الامتراء فی شهوده و لقائه»
Rahasia cakupan luas eksistensi yaitu pada ketidakterbatasan dan keabsolutan zat. Dalam tafsirnya al-mizan, ketika menjelaskan serta menganalisa ‘ketunggalan dominasi’ (wahdah qahriyah), Allamah kemudian menulis:
    «فافرض أمرا متناهيا و آخر غير متناه تجد غير المتناهي محيطا بالمتناهي بحيث لا يدفعه المتناهي عن كماله المفروض أي دفع، فرضته بل غير المتناهي مسيطر عليه بحيث لا يفقده المتناهي في شي‏ء من أركان كماله، و غير المتناهي هو القائم على نفسه، الشهيد عليه، المحيط به‏» (طباطبایی، 6، 89)
Maka ketika menemukan keterbatasan-keterbatasan pada inti keterbatasan tersebut, ketidakterbatasan itu dapat dirasakan secara hudhuri. Namun ilmu hudhuri tersebut tentunya tidak secara detail. Maksudnya maqam zat tersebut – pada maqam zat – tidak akan diketahui secara terperinci. Namun zat Ilahi pada manifestasi-manifestasi dapat dipersepsi, bukan hanya sebatas wajah manifestasinya yang dapat dipersepsi. Perhatikan kata kunci pada kalimat dibawah ini:
«... و أن للمحدود فی نفسه مرتبة خالیة عن الحد، اذ هو خارج عن ذاته علی ما برهن علیه فی محله.» (ibid, 158)
Maksudnya bahwa batasan, bukan bagian zat yang dibatasi, bahkan yang dibatasi memiliki zat dan batasan. Oleh karena itu, ketika menemukan ‘yang dibatasi’, zat yang tak terbatas juga bisa ditemukan pada inti ‘yang dibatasi’.
Kesimpulannya bahwa argumentasi innefabilitas didasarkan pada ketidakterbatasan yang merupakan objek penyaksian. Jadi karena Tuhan itu absolut dan relasi pengetahuan  bermakna menjangkau atau keterjangkauan,  maka mustahil menjangkau yang absolut sebagaimana yang terlihat pada beberapa uraian sebelumnya berkenaan dengan hal ini. Jelas, ekspresi adalah bagian dari kausalitas dan oleh karenanya Tuhan adalah innefabilitas.
Kesimpulan dari kritikan bahwa apa yang menjadi mustahil adalah pengetahuan secara terperinci ‘selain zat’ pada tingkatan zat sementara ‘ekspresi’ tidak terikat dengan ekspresi tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana pengetahuan secara global – baik hudhuri dan hushuli – dimungkinkan terhadap zat pada maqam manifestasi-manifestasi, maka ungkapan dan ekspresi juga keluar dari lingkaran kemustahilan, kemudian hingga kita sampai disini yaitu kita pasrah  pada wujud ketidakterbatasan yang menjadi objek penyaksian. Namun Ibn Arabi menegaskan bahwa rahasia innefabilitas bukan ketidakterbatasan bahkan dalam penyaksian pada objek yang terbatas pun innefabillitas bisa saja terjadi (Ibn Arabi, 2, 503).
3.      Ketidakmungkinan Pembatasan
Argumentasi berikut ini, selain memiliki banyak kesamaan dengan dua dalil sebelumnya namun tetap memiliki perbedaan. Dalam dalil sebelumnya, khususnya dalil dalam pandangan Allamah Thabatabai, dijelaskan bahwa zat dari aspek ketidakterbatasannya tidak dapat menjadi tempat sandaran konsep yang secara zati terbatas. Kemudian pada dalil sebelumnya juga dijelaskan bahwa kelaziman pengetahuan adalah keterjangkauan ‘subjek yang mengetahui’ pada ‘objek yang diketahui’ dimana jika persoalan ini dikaitkan dengan Tuhan akan menjadi mustahil karena Tuhan itu absolut. Kemudian, oleh karena setiap ekspresi bergantung pada pengetahuan maka mengekspresikan Tuhan juga mustahil. Namun pada dalil terakhir, bukan aspek pengetahuan dan bukan aspek konsep zat yang dibahas, namun bentuk pengekspresian tanpa melazimkan perantara ilmu atau konsep yang akan menyebabkan pembatasan dan hal itu secara jelas mustahil:           
«... فان المتحیز محصور، نطقه محصور، والمحصور لایحیط بالمطلق.» (تلمسانی، 2، 610)
Sisi kekuatan argumentasi ini yaitu meletakkan relasi bahasa pada realitas itu sendiri, tidak seperti dalil sebelumnya yang meletakkan makna setara dengan konsep atau melibatkan sebagian dari pengetahuan di dalamnya. Namun pertanyaannya adalah jika ekspresi secara mutlak tidak dimungkinkan, lalu bagaimana menjustifikasi kata ‘mutlak’ itu sendiri ? pada dasarnya, meskipun zat pada tahapan zat tidak berkaitan dengan ekspresi secara hakiki dan terperinci, namun ekspresi lebih umum dari batasan-batasan ini, dan aplikasi kata-kata seperti kalimat-kalimat yang dijelaskan sebelumnya merupakan dalil yang paling baik akan kemungkinan ekspresi. Batasan-batasan dan penjelasan-penjelasan seperti kata-kata berikut ini; absolut, ketunggalan hakiki, dan seterusnya, menunjukkan bukan inti hakekat maqam tersebut dan juga tidak merubah sesuatu apa pun. Karena cukup dengan ekspresi secara global seperti ini maka perannya melalui kata-kata seperti absolut akan mengantarkan pada sebuah penjelasan bahwa kata-kata ini tidak akan menunjukkan hakekat inti maqam tersebut, dan hal ini cukup dalam menolak kemustahilan asumsi tersebut. Penting diingat pada pasal sebelumnya, khususnya pada pembahasan istilah ‘ekspresi’ dalam innnefabilitas pengalaman irfani bahwa yang dimaksud dengan ekspresi adalah ‘memunculkan dalam bentuk kata’ dan tidak terikat dengan batasan apa pun. Oleh karena itu, argumentasi ini mengenai penafian secara keseluruhan ‘kemungkinan ekspresi’, namun hanya menolak ‘kemungkinan ekspresi’ zat pada maqam zat dan pengekspresian secara hakiki dan terperinci.      
4. Irrasional (ketidakmungkinan-dilogikakan)
Sebagian besar dari para peneliti agama dan irfan, irrasionalitas pengalaman irfani merupakan dasar problema seorang arif dengan bahasa. W. Stace menukil analisa ini dari Plato (W. Stace, 104). W. Stace sendiri pada pasal terakhir di dalam karyanya lebih cendrung pada analisa tersebut (ibid, 316-319). Tokoh ternama lainnya yang menyetujui  analisis ini seperti Izutsu, Suzuki, Otto, dan juga beberapa tokoh lainnya. Pada analisis ini, persoalannya bukan dari lawan bicara (mukhātab) dan bukan dari pembicara, bahkan jika pembicara ingin mengungkapkan pengalamannya pada dirinya sendiri pun akan menemukan jalan buntu. Pengalaman irfani yang paling jelas adalah pengalaman wahdatul wujud yang akan melazimkan beragam paradoks dalam perspektif akal. Ketunggalan dan keragaman salah satu jenis paradoks yang paling penting. Apakah hanya ada satu realitas wujud ataukah keragaman juga merupakan bagian dari hakekat ? perlu diperhatikan, pusat analisis dalam argumentasi ‘irrasional’ untuk innefabilitas yaitu pertentangan pengalaman irfani wahdatul wujud dengan logika, bukan dalam penafian keragaman atau menetapkannya. Maksudnya meskipun kelaziman dari keyakinan akan ketunggalan realitas wujud hakiki adalah penafian pluralitas, namun argumentasi ini tidak dalam menegaskan keragaman atau menentang penjelmaan penafiaan keragaman dengan kesadaran manusia. Pada dasarnya, yang menjadi poin penting bukan pada ketunggalan dan keragaman, namun pada paradoks yang terjadi diantaranya. Sebab dalam pengalaman wahdatul wujud ada dua sisi penetapan ketunggalan dan selanjutnya penafian keragaman dan juga menetapkan keragaman. Berbeda dengan W. Stace yang menyelesaikan persoalan tersebut dengan aspek penetapan paradoksikal (syathahiyat).  Stace menegaskan bahwa seorang Arif dengan paradoks-paradoks negasinya tidak akan menjadi soal (W. Stace, 314). Persoalannya pada ketakutan akal – pada tahap pertama – dalam menyatukan negasi dan afirmasi paradoks, bukan aspek negasinya. Paradoks tasybih dan tanzih termasuk bagian kontradiksi lainnya di dalam wahdatul wujud sebab irfan dari satu sisi meyakini bahwa Tuhan itu tanzih dan tak satu pun yang menyerupainya, namun dari sisi lain bahwa dikarenakan segala sesuatu merupakan manifestasi darinya maka terdapat kesamaan [tasybih]. Paradoks hadir dan gaib dalam pengertian bahwa Tuhan dengan kelaziman tajalli diri-Nya maka Dia hadir dalam seluruh alam dan pada saat yang sama tersembunyi dalam batin zat-Nya.
Kutipan kalimat masyhur dari Kharrāz ‘aku mengenal-Nya dengan menyatukan-Nya diantara dua hal yang kontradiktif’. Juga menurut Ibn Arabi; Dia bukan menyatukan antara dua hal yang kontradiktif, bahkan Dia adalah antara dua hal yang kontradiktif itu sendiri. Objek persoalan tersebut tidak memiliki mishdaq yang lain selain wahdatul wujud (Ibn Arabi, 2, 476). Hanya dalam ranah ini kontradiktif tersebut bisa terjadi (ibid, 635). Disela-sela Ibn Arabi mengisyaratkan sebagian paradoksikal dan menjelaskan pembatasan terjadinya realitas ini hanya pada wujud mutlak, ia meyakini ketidakmampuan bahasa dalam mengungkapkan fenomena kontradiktif:
«فالكون يغاير مركبه بسيطه و عدده توحيده و أحديته و الحق عين تركيبه عين بسيطه عين أحديته عين كثرته من غير مغايرة و لا اختلاف نسب و إن اختلفت الآثار فعن عين واحدة و هذا لا يصح إلا في الحق تعالى و لكن إذا نسبنا نحن بالعبارة فلا بد أن نغاير كان كذا من نسبة كذا و كذا من نسبة كذا لا بد من ذلك للافهام‏» (ibid,116)
Beragam uraian telah ditulis dalam menjelaskan persoalan ini dan saya hanya mencukupkan dengan menggambarkan secara umum ke-paradoks-an sebuah maqam dimana urafa menyebut maqam tersebut dengan ‘beyond intellect’ (diluar tapal batas akal). Namun perlu diingat bahwa ke-paradoks-an maqam tersebut juga berasal dari hukum akal. Sebagai contoh pertanyaan tentang; apakah ‘mumkin’ itu ada atau tidak ? jika iya, maka akan bertentangan dengan pembatasan wujud yang hanya pada wujud mutlak. Jika jawabannya tidak, indrawi dan akal akan menentangnya. Melihat persoalan secara filosofis seperti ini, juga mirip dalam mempertanyakan apakah mahiyah itu ada atau tiada. Sang penanya menginginkan bahwa filosof akan memberikan jawaban pada salah satu diantara dua hal yang kontradiktif yaitu ia atau tidak. Perkataan berikut ini salah satu bentuk penilaian akal terhadap  pensifatan-pensifatan urafa [terhadap Tuhan] melalui pengalaman-pengalaman mereka:
“sangat jelas bahwa pensifatan-pensifatan yang aneh oleh para urafa melalui pengalaman-pengalaman khas mereka dan juga menemukan Tuhan dengan kehadiran-Nya, dipenuhi dengan kontradiksi-kontradiksi dan dari segala jenis bentuk kontradiksi” (Syūlim, 51).
Kesimpulan dari argumentasi diatas sebagai berikut:
1.      Wahdatul wujud adalah irrasional (diluar dari tapal batas akal) dan penuh dengan paradoks.
2.      Alam penakbiran adalah alam akal dan karenanya berlaku kaidah logika baginya.
3.      Maka kata-kata yang berada dibawah naungan akal, berlaku baginya kaidah akal. Namun tak dapat diberlakukan pada kata-kata diluar tapal batas akal.
4.      Oleh karena itu jika wahdatul wujud memakai pakaian frasa, seorang arif tidak akan menerimanya. Misalnya ungkapan ‘Dia adalah Dia’ menurut arif tidak sesuai dengan penyaksian-Nya dan juga ungkapan ‘Dia bukan Dia’ tidak sesuai dengan penyingkapannya.
5.      Maka pengalaman irfani tak dapat diekspresikan (innefability).
Sebagian mengatakan bahwa akal yang cakupannya menafikan wilayah wahdatul wujud disebut dengan akal paripatetik. Karena pembaca analisa-analisa dan penjelasan-penjelasan indah Ibn Arabi adalah juga akal. Setelah itu Sadra – yang saat ini dianggap sebagai puncak pemikiran filsafat Islam – juga menggunakan akal dalam menganalisa relasi kausalitas dan akhirnya sampai pada pembahasan tajalli. Sebagai contoh, Ibn Arabi secara rinci menjelaskan paradoks tasybih dan tanzih – salah satu paradoks yang telah dibicarakan sebelumnya – dan menggambarkan penyatuan tasybih dan tanzih,  juga menjelaskan ‘beyond’ tasybih dan tanzih. Penguraian Ibn Arabi seperti ini dipahami oleh arif yang tak punya makasyafah, tanpa melihat apakah arif tersebut menerima argumentasi Ibn Arabi atau tidak. Berkenaan dengan Sadra, ia juga meyakini sebagaimana yang diyakini oleh arif bahwa akal akan tercerahkan [memahami hakekat sebagaimana adanya] setelah sampai pada perkara paling akhir suluk irfani. Pada saat itu akal mendapatkan pencerahan dengan cahaya hidayah Ilahi. Hasilnya akal mampu mencipta kata seperti manifestasi (tasya’un), aspek (jihah), perubahan-perubahan entitas (tathawwur). Disela-sela pembahasannya Sadra mengingatkan rumitnya memahami persoalan tersebut, ia juga menjelaskan  bahwa sebagian besar dari akal yang digunakan, akal yang belum mendapatkan siraman cahaya Ilahi, akal seperti ini tidak akan sampai pada persoalan tersebut. Yang menarik disini karena Sadra menuliskan pemikirannya dan diperuntukkan bagi pembaca yang bukan arif, dan dia berkeyakinan bahwa dengan penjelasan-penejelasan seperti ini yang disertai dengan fungsi kata, dapat menukil makna wahdatul wujud tersebut. (Syirazi, 1, 300-302)
Pokok lainnya, di dalam paradoks-paradoks wahdatul wujud perlu diperhatikan aspek-aspek negasi dan afirmasi. Menurut Stace, tidak satupun dengan sendirinya dapat mentransfer penyaksian irfani wahdatul wujud. Setiap arif masing-masing memperhatikan aspek negasi dan afirmasi, kemudian menurut mereka, hal tersebut bertentangan dengan menyaksikan penyatuan antara dua hal kontradiktif. Berdasarkan alasan ini, pengalaman irfani tak bisa diekspresikan. Namun sebagaimana yang juga diisyaratkan oleh Ibn Arabi, persoalan arif bukan ‘kebingungan epistemologi’ dari Sang Agung atau ‘kebingungan epistemologi’ seorang arif dari memahami objek yang disaksikan. Namun ‘kebingungan’ (tahayyur) merupakan sifat realitas eksternal. Izutsu menyebut hal tersebut dengan ‘kebingungan metafisika’. Jadi, seorang arif dengan aspek paradoksikalnya yang ia miliki, sedang menjelaskan dengan baik kondisi yang disaksikannya. Meskipun setelah pembaca mendengarkan hal tersebut, mungkin menerimanya atau dapat menkonsepsinya dengan teliti atau juga tidak. Namun apapun itu, pembaca dapat memahami maknanya. Dalam kata lain, ekspresi adalah memunculkan dalam bentuk kata, dan belum disyaratkan padanya apakah dalam satu kalimat atau dua kalimat (maksud saya dua kalimat paradoks).
Anehnya, mereka yang meyakini argumentasi ini dengan entengnya menggunakan kata-kata seperti paradoks, namun wilayah persoalannya diluar tapal batas akal (irrasional) sehingga tak dapat diekspresikan. Apakah penggunaan kata seperti ‘paradoks’ bukan bentuk ekspresi ? dalam kata lain, apakah kata paradoks baginya dapat dipahami ? apakah persoalan seperti ‘segitiga yang segiempat’ tidak termasuk sebagai salah satu mishdaqnya ? maka baik maknanya dapat dipahami dan juga pada persoalan tersebut terdapat beragam mishdaq. Oleh karena itu, bahkan jika disepakati ada alam diluar tapal batas akal, namun tetap saja dapat diekspresikan.
Kritikan lainnya, secara mendasar tidak dapat diterima jika wahdatul wujud itu ‘irrasional’ dan tak dapat dilogikakan. Banyak penelitian yang berkaitan dengan persoalan ini. Tulisan ringkas ini tidak ingin membuktikan rasionalitas wahdatul wujud. Sebagai contoh, pada buku-buku inti irfan seperti buku mishbāh al-uns menguraikan beberapa argumentasi secara rinci dalam membuktikan wahdatul wujud. Kami tidak bermaksud untuk memaparkan semua argumentasi wahdatul wujud. Namun persoalan tersebut kami angkat dalam menegaskan bahwa wahdatul wujud dapat dilogikakan, dapat dipahami, dan dapat diekspresikan.
Persoalan lainnya, meskipun kita mengabaikan asumsi bahwa penjelasan wahdatul wujud diekspresikan dengan dua kalimat yang paradoks, namun kita tidak bisa mengabaikan pentasybihan-pentasybihan padanya. Pada pasal yang akan datang kita akan mellihat bahwa meskipun sistem bahasa akal tidak sesuai dengan wahdatul wujud karena akal hanya memahami tanzih sedangkan tanzih tidak menjangkau wahdatul wujud dikarenakan wahdatul wujud – pada sisi yang lain – memiliki aspek tasybih. Namun potensi fantasi (wāhimah) sebagai alat tasybih yang paling baik berperan dalam mengekspresikan wahdatul wujud.
Berdasarkan hal tersebut, ekspresi hanya sekedar memunculkan dalam bentuk kata, dan urafa mengutarakan maksudnya dalam bentuk yang paling baik dengan menggunakan bahasa paradoksikal dan tasybih. Pada dasarnya kita tidak dapat berharap pada ekspresi akal – dalam pengertian akal peripatetik – dalam mengekspresikan wahdatul wujud.
Kritikan terakhir pada argumentasi ini yaitu pada ‘penjelasan bahwa ekspresi berada dibawah naungan batasan akal’, padahal tidak demikian halnya. Sebagai contoh, jika memperhatikan produk-produk potensi lainnya selain akal, apakah setara dan sedanding dengan perangkat bahasa ? apakah fungsi bahasa potensi lain selain akal seperti fungsi pentasybihan potensi fantasi, tidak digunakan sebagai ekspresi bahasa ? tampaknya disini ada pembauran dimana bahasa hanya dibatasi pada peletakan kata-kata pada makna dan makna bersifat independen. Kemudian mereka sampai pada kesimpulan ini bahwa ‘peletakan’ pada dua hal yang tidak terdapat perbedaan, secara akal tidak dibenarkan. Padahal pertama, fungsi bahasa tidak dibatasi hanya pada akal semata. Bahkan meskipun demikian halnya, dengan banyaknya tanda dan penanda akan menunjukkan signifikasi. Misalnya kata ‘difrensiasi komprehensiv’ (tamāyuz ihāthī) menunjukkan sebuah realitas dan memiliki makna. Namun menurut pandangan yang menafikan hal tersebut menganggap sebagai ‘kebingungan metafisika’ dan tentunya tak dapat diekspresikan.