Thursday, January 24, 2019

Apa Jadinya Jika Setiap Saat Krisis Melanda Kita?




Arti krisis dalam kamus besar bahasa Indonesia, selain menjelaskan keadaan yang berbahaya, kemelut, bisa juga dimaknai sebagai, momen yang sangat menentukan di dalam cerita atau drama, ketika situasi tiba-tiba berbahaya dan keputusan cepat harus diambil.

Tahun-tahun sebelumnya dan berlanjut hingga sekarang ini, kita telah banyak mengalami krisis, gempa bumi, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, dan pembunuhan massal. Hampir tak ada hari yang tenang untuk bercengkrama dengan keindahan kecuali sesekali kita mengarungi jalan-jalan di pedesaan, menghirup udara segar, dan bercengkrama dengan keindahan kepolosan wajah-wajah yang tulus.

Namun krisis masih tetap berlanjut hingga sekarang ini dan sampai detik ini. Tak ada kata usai dalam menghadapi krisis kehidupan sebab peristiwa krisis yang baru, datang menyapa hampir di setiap kesendirian kita. Seolah keseharian yang kita lalui dengan kebahagiaan sebanding dengan krisis yang menerpa kita. Namun ada satu hal yang luput, justru inti persoalannya karena krisis datang setiap saat, datang begitu cepat silih berganti, akhirnya menjadi terbiasa, dan sirna dari pikiran kita.

Artinya krisis sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan kita. Saking biasanya sehingga krisis tak lagi menjadi sebuah krisis. Krisis hanya datang sesaat untuk menyapa dan bersamaan dengan itu pergi dan sirna. Apa masih ada krisis jika sudah menjadi kebiasaan?

Coba lanjutkan krisis-krisis berikut ini, demontrasi, makanan kadaluarsa berisi cacing, korupsi, perbedaan aliran, hoax, terorisme, kebebasan berbicara, politik, perang sipil, tabrakan, travel umrah, dan krisis-krisis lainnya. Bukankah krisis-krisis tersebut sudah menjadi kebiasaan? Dan kalau sudah menjadi ‘biasa’, tak kan disebut lagi sebagai krisis.

Di antara krisis-krisis tersebut, ada krisis yang beruntung sebab ada orang yang meriyawatkannya dan memberitakannya. Tapi tidak semua krisis mendapatkan keberuntungan. Bahkan boleh jadi, cara mengemas suatu peristiwa akan sangat menentukan apakah peristiwa tersebut bisa dianggap sebagai suatu krisis atau bukan. Bahkan sebuah fiksi sekalipun bisa menciptakan krisis sosial hingga mengancam Indonesia bubar.

Jadi manusia kini tidak hanya berhadapan oleh suatu peristiwa krisis tapi juga dihadapkan dengan ‘kemasan peristiwa’ yang akan menentukan apakah peristiwa itu dianggap sebagai suatu krisis atau bukan. Bukan hanya itu, letak peristiwa atau dimana ‘kemasan peristiwa’ tersebut akan diproduksi, juga akan sangat menentukan. Jika ‘kemasan peristiwa’ diproduksi di ruang-ruang debat raksasa yang ditonton jutaan pemirsa, peristiwa itu akan benar-benar terlihat sebagai krisis.

Ada dua istilah waktu di alam pemikiran Yunani kuno, waktu kronologi (chronos) dan waktu kairos. Waktu kronologi adalah waktu yang dibagi menjadi jam, menit, dan detik. Kita merencanakan kegiatan keseharian dan rencana-rencana esok hari dengan waktu kronologi. Namun waktu kairos adalah waktu yang datang secara tiba-tiba, tak diperhitungkan, dan tidak dinantikan.

Waktu kairos adalah waktu yang menghentakkan benak kita secara tiba-tiba, menghentikan kebiasaan kita dengan terpaksa, dan memberikan pertanyaan besar yang akan mengubah kebiasaan-kebiasaan kita sebelumnya. Waktu kairos identik dengan saat peristiwa krisis pertama kali menghampiri kehidupan kita.

Jaman ‘internet is everything’ lebih memudahkan setiap orang menciptakan krisis karena ‘kemasan peristiwa’ tidak hanya terkait dengan masa kini tapi sangat memungkinkan peristiwa masa lalu diubah menjadi krisis masa kini. Seolah waktu kairos yang telah dipaparkan ribuan tahun lalu, baru saja dipaparkan belakangan ini.

Berbagai fenomena krisis telah mengepung kehidupan keseharian kita. Setiap saat kita dipertemukan dengan krisis-krisis yang baru. Hal yang paling menakutkan karena kemanusiaan kita akan terbiasa dengan krisis sehingga krisis menjadi kebiasaan kita. Dan pada akhirnya kita mulai tak peduli dan acuh atas berbagai krisis.

Kesimpulannya, kemanusiaan kita tak lagi memiliki empati dan tak berempati kepada kemanusiaan kita. Artinya riwayat kemanusiaan kita telah berakhir dan menjadi pemangsa setiap nilai-nilai kemanusiaan. Suatu bentuk kemanusiaan yang hanya mampu melahirkan kebuasan dan keganasan.

Benar kata Leon Trotsky, “bagi mereka yang memilih hidup tenang, seharusnya tidak dilahirkan di abad 20”.

  
 



Tuesday, January 22, 2019

Memeluk Hujan!



Apa ada orang yang tak merindukan hujan? Apalagi pesan setiap hujan tak sama. Hampir setiap hujan menawarkan makna yang berbeda-beda, makna-makna yang menelusuri di setiap keindahan imajinasi setiap orang. Seolah di dalam setiap tetesan hujan terangkum seluruh makna-makna yang dikandungnya; kegalauan, kesepian, kecemasan, keindahan, kebahagiaan, kerinduan, dan bahkan luka derita penderitaan.

Benar! Hujan tak pernah menitipkan makna yang sama. Hujan tetap dinanti walau di musim penghujan sebab di musim kemarau tak lagi dinantikan, tapi dicari dan berusaha menemukannya. Dan memang seperti itulah cara hujan memainkan perasaan kita dan berdialog dengan kita. Kita harus pandai-pandai menjamu hujan saat ia datang menawarkan maknanya. Karena ia datang begitu saja. Hampir-hampir tak pernah tahu kapan ia benar-benar datang dan benar-benar pergi.

Amat disayangkan, berkali-kali kita hanya mampu mempermainkan hujan. Seolah hujan berafiliasi kepada kepentingan tertentu. Seolah hujan berpihak pada agama tertentu dan punya kepentingan. Bukan kali ini saja, tapi kemarin-kemarin juga begitu, hanya mampu mempermainkan makna-maknanya saja. Padahal hujan turun karena kerinduannya ingin memeluk seluruh penduduk bumi. Dan hujan pun tak ingin dijamu bak seorang Raja, yang akan menyibukkan setiap orang untuk menyambut kedatangannya.

Tugas kita hanya menerima hujan apa adanya. Membirkannya mengalir begitu saja atau mempersiapkan lorong atau kanal khusus agar tepat di kanal itulah air hujan menelusuri makna-makna yang diiginkannya. Sebab hujan sampai kapan pun akan tetap diam dan membisu. Manusialah yang harus aktif memaknainya. Tugas hujan hanya memberi dan tugas kita adalah menerimanya dan menangkap makna-maknanya.

Ada yang berbeda kali ini setiap kali hujan turun. Karena makna keindahan hujan hampir punah, sebab hujan hanya dimaknai sebagai ancaman, terutama saat hujan turun di kota-kota besar. Ibarat monster yang datang dengan giginya yang tajam dan raut wajah menakutkan, siap menerkam keangkuhan para pemilik kota. Dan memang benar, bukan musim penghujan kali ini, musim penghujan kemarin, hujan tetap saja menyisakan korban, tanah longsor, banjir, dan ketenggelaman.

Tugas kita bukan menolak hujan. Tapi menyiapkan kolam raksasa agar air hujan bisa menari-nari di dalam kolam itu. Mungkin akan menghabiskan miliyaran, bahkan triliyunan dalam mewujudkan kolam raksasa itu. Biaya untuk merubuhkan gedung-gedung yang dibangun di atas tangan-tangan indah keangkuhan para pemilik kota. Biaya untuk memaksakan agar orang-orang terpaksa pindah. Dan biaya untuk membangun kolam raksasa yang megah, yang akan memanjakan mata dan hati para penduduk kota agar tidak berlarut-larut dalam tekanan hidup yang mencekam.

Bukankah ini lebih baik karena uang triluyanan itu membuat jutaan orang bahagia. Dan membuat kita semua bisa tidur pulas dalam menyambut air hujan dengan senyuman indah di setiap musim penghujan datang! Bukankah akan lebih indah jika di kota-kota besar orang-orang bisa menyaksikan kolam raksasa agar dengan leluasa mereka bisa membuang ego-ego keangkuhan ke dalam air kebijaksanaan itu! Bukankah kita bahagia, anak-anak kota bisa bermain-main dan berlari-lari di atas kolam raksasa! Bukankah akan nampak lebih indah jika orang-orang kota bisa mancing ikan persis di tengah-tengah kota!

Kali ini hujan benar-benar mengajak nurani kemanusiaan kita. Mencoba mengoyak-ngoyak keangkuhan yang tak berarti. Dan selalu bertanya, “sampai kapan kita akan membiarkan air hujan merenggut nyawa!” apakah kita masih belum bisa belajar dari setiap musim penghujan yang akan menjebak kita dalam kecemasan!

Kali ini kita butuh pembangunan yang berbasis lingkungan. Butuh sistem politik dan politisi yang berbasis lingkungan. Bahkan memaknai kembali kemanusiaan kita berbasis lingkungan. Sebab hanya dengan cara ini kita bisa memeluk semesta dan hujan. Terutama memeluk kemanusiaan kita yang semakin rapuh.        
  

Friday, January 18, 2019

Tragedi, Pengenalan Diri, dan LifeStyle



Kata orang, ada dua jenis tragedi kehidupan, saat kita bisa meraih apa yang kita inginkan dan saat kita tak mampu meraihnya. Tidak meraih dan meraih impian adalah tragedi kehidupan. Tentu lebih mudah memaknai, tidak mampu meraih apa yang kita inginkan adalah tragedi kehidupan. Tapi mengapa saat mampu meraih impian kita menjadi bagian dari tragedi kehidupan?

Tapi coba perhatikan, saat seseorang tidak memiliki kendaraan, orang itu sangat berhasrat untuk membeli kendaraan. Kemudian saat kendaraan tersebut mampu terbeli, beberapa bulan kemudian, kendaraan tersebut menjadi suatu hal yang biasa. Kita mulai terbiasa dengan kendaraan tersebut. Seolah-olah dunia ini diciptakan dengan kebahagiaan yang sedikit dan penderitaan yang banyak. Tragedi lebih langgeng daripada kebahagiaan. Betapa manusia begitu didominasi oleh derita dan tragedi.

Dasar persoalannya ada pada diri manusia dari aspek fisiologi. Indra fisik kita mengalami kekenyangan dan akhirnya biasa dan terbiasa. Dan tragedi kehidupan yang nyata akan bermula di saat entitas-entitas yang ada disekitar sebagai faktor penggerak, perlahan-lahan mulai menurun, sebab tidak lagi mempengaruhi indra fisik kita. Tepat pada saat itu, rasa untuk hidup semakin menurun.
Sebenarnya, inilah yang dimaksud dengan ‘menua’ atau menjadi semakin tua. Indra fisik kita semakin menurun terhadap realitas eksternal. Penglihatan, pendengaran, penciuman, dan indra lainya semakin lemah. Suatu perputaran pergantian secara alamiah dari kenikmatan menuju sakit. Apa ada jalan keluar dari persoalan ini?

Jalan keluar dari persoalan ini adalah melatih diri untuk tidak membandingkan, dan mencoba untuk merasakan suatu kenikmatan dari hal yang paling sederhana melalui latihan-latihan tertentu.
Jadi sebelum kita menua secara fisiologi, sebenarnya kita telah menua secara mental. Penuaan secara mental disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan. Sebab kebiasaan-kebiasaan tersebut tidak memberikan respon ke dalam diri dan diri pun lemah dalam memberikan respon terhadap kebiasaan-kebiasaan. Penuaan secara mental tidak terjadi pada anak-anak sebab anak-anak setiap saat selalu memiliki hasrat.

Penyebab utama penuaan mental karena membiarkan kehidupan  beserta momen-momen waktu yang ada bersamanya tergadai pada kenikmatan di masa mendatang. Bahkan masa mendatang yang dimaksud boleh jadi dalam rentetan waktu sejam kemudian. Dalam kata lain, kita membiarkan kehilangan menikmati kenikmatan di masa sekarang yang sedang berjalan secara beruntun. Karena kenikmatan kita tergadai di masa mendatang.

Jadi meskipun kita memasak sesuatu, makan dan minum pada masa sekarang ini, namun kenikmatannya seolah sirna karena kenikmatan yang kita maksud senantiasa terkait dengan masa depan. Jika demikian, tepat di dalam kondisi seperti itu, ada suatu hal yang terlupakan bahwa, jika kita tak bisa menikmati masa sekarang ini yang sedang berlangsung maka di masa selanjutnya pun tak kan bisa kita nikmati.

Dan pada akhirnya tak ada yang disebut dengan kebahagiaan di masa depan, hanya metafor dan tak mendasar. Menggadai kehidupan kita di masa yang akan datang, secara perlahan satu demi satu akan merenggut momen-momen kehidupan kita. Artinya yang ada hanya masa depan yang belum datang, sedangkan kita menjalani masa sekarang ini sebagai kebiasaan-kebiasaan saja.

Jadi cara melanggengkan tragedi adalah menggadaikan kebahagiaan di masa mendatang.
Semakin besar respon kita dengan cara yang indah dan menunjukkan kesungguhan terhadap realitas yang ada di sekitar, suatu tanda bahwa kita semakin hidup. Begitu pun sebaliknya, semakin acuh kita terhadapnya maka kebiasaan akan menjebak kita, hanya keberulangan-keberulangan dalam menjalani kehidupan, akhirnya menjemukan dan membosankan.

Padahal intinya bagaimana kita melihat, memandang, dan memaknai seluruh momen-momen kita sebagai momen keindahan dan kebahagiaan. Coba perhatikan seorang pelukis, sebelum melukis pepohonan, ia mencoba melihat sedalam mungkin pepohonan tersebut dan dari situ terciptalah lukisan pohon.

Hanya dengan cara ini kita bisa keluar dari lingkaran kebiasaan-kebiasaan yang menjemukan yaitu dengan menjalani hidup dengan baik. Maksudnya melihat dengan baik, mendengar dengan baik, bertutur dengan baik, dan melakukan segalanya dengan baik, agar mampu merasakan kebahagiaan di masa sekarang ini yang sedang berlangsung.

Kata Sa’di:

Aku mencintai seluruh alam karena seluruh alam berasal dariNya,
Apa ada beda sedih dan bahagia bagi seorang arif?

Saturday, January 12, 2019

Antara Filsafat dan Tafakkur

Meskipun kita senang pembahasan filsafat, akan tetapi, tentu tak semua aliran filsafat, kita turut senang membacanya. Aliran filsafat yang menurut hemat kita, lebih mampu  menjawab persoalan kekinian, pasti kita akan membacanya lebih banyak. Begitu pun sebaliknya, dalam aliran filsafat lainnya, kita hanya membaca sedikit. Tak menyelaminya lebih dalam.

Adalah hal yang sangat wajar, jika dalam aliran filsafat tersebut, kita menerima gagasannya dengan baik, namun pada aliran lain kita menolaknya. Hal itu tak perlu kita pertengkarkan sebab kita berhak memilih dan memilah diantara suguhan gagasan filsafat yang ada. Artinya, menolak suatu aliran filsafat masih dalam koridor filsafat.

Namun melarang seseorang membaca pemikiran tertentu adalah hal yang tak wajar dalam filsafat. Meskipun kita tak senang terhadap aliran materialisme dan positivisme, bukan berarti kita pun ikut melarang membacanya. Sebab melarang membaca aliran tertentu, berarti sejak awal kita tak siap menelusuri ragam perspektif dalam belantara pemikiran filsafat. Apalagi sudah semestinya kita harus cermat dan mencermati perkembangan filsafat yang sedang berkembang saat ini dan jalan satu-satunya hanya dengan membaca.

Tapi benar, sebagian Filsuf Yunani melarang belajar filsafat, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, Plato salah satu filsuf yang melarang. Tapi mereka tak pernah melarang membaca buku filsafat dan tak pernah melarang berguru pada filsuf tertentu yang berseberangan dengan gagasan filsafatnya.

Namun boleh jadi, karena selama ini kita hanya fokus pada kaidah-kaidah filsafat, bukan filsafat sebagai sebuah renungan filosofis, sehingga pelarangan itu juga terjadi di dalam para penggiat filsafat.

Disisi lain, Sokrates dan Suhrawardi adalah contoh terbaik bahwa tidak semua orang senang terhadap diskursus filsafat. Mereka berdua adalah tumbal sejarah kemajuan berfilsafat. Kita tak mungkin mengingkari sebagian orang yang tidak senang dengan filsafat, khususnya filsafat yang bebas dari doktrin ideologi. Sebab filsafat sejatinya seperti itu, ia hadir bukan sebagai pelayan dari ideologi manapun. Filsafat hadir hanya mengajarkan agar orang-orang mencintai hikmah; philo-sophia.

Hal yang sering kita lupakan, bahwa perkembangan suatu pemikiran sangat identik dengan konteks budaya. Jika suatu masyarakat pada umumnya tidak mendukung perkembangan pemikiran aliran filsafat tertentu, sebesar apapun usaha yang kita lakukan, tidak akan memberikan hasil maksimal sebagaimana yang kita harapkan. Sejarah perkembangan pemikiran adalah bukti terbaik atas persoalan ini. Ini bukan bahasa apatis, akan tapi suatu refleksi yang jujur atas realitas yang ada, tapi bukankah saat ini filsafat hanya hadir di kampus-kampus dan gaib di tengah-tengah masyarakat?

Tapi ada satu hal yang tak mungkin dihindari oleh siapa pun dan dalam masyarakat mana pun yaitu tentang tafakkur. Tafakkur adalah tanda atas kehidupan seseorang. Jika tafakkur tak lagi melekat pada diri seseorang, berarti tanda bahwa orang tersebut sedang mengalami kematiannya secara perlahan-lahan. Sebab tak ada lagi proses berpikir dalam menghadapi suatu fenomena.

Jadi sebaiknya kita cukup mendorong agar masyarakat senantiasa melakukan proses tafakkur. Sebab siapa saja berhak menolak filsafat dan seluruh aliran filsafat, namun tak ada yang mungkin menolak tafakkur.

Sunday, December 30, 2018

Tafsir Sufi Surah Demi Masa, Wal Ashri



Wal Ashri yakni Demi masa. Ada satu pertanyaan yang menarik, Mengapa Tuhan bersumpah dengan masa? Mengapa Tuhan tidak bersumpah atas diriNya sendiri atau atas namaNya? Sebenarnya apa yang dimaksud dengan masa (al-Ashri). Di sini. al-Ashr berasal dari ad-Dahr yang juga terkait dengan persoalan konteks masa. Dalam hadits dijelaskan bahwa ad-Dahr merupakan salah satu dari nama Tuhan. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sebenarnya Tuhan bersumpah atas namanya sendiri. Tuhan tidak bersumpah atas sesuatu di luar diriNya.

Salah satu hadis dari Rasulullah saw,jangan pernah engkau mencela masa, karena sesungguhnya Allah adalah ad-Dahr (Allah adalah masa itu sendiri). Maksudnya masa atau ad-Dahr adalah salah satu nama dari nama-nama Ilahi.

Coba perhatikan jam yang kita gunakan! Apakah yang dimaksud dengan masa atau waktu di sini adalah jam? Jika kita teliti lebih dalam, kita akan tahu bahwa masa atau waktu tak bisa dibagi di realitas eksternal. Jika kita membagi waktu selama 24 jam, pembagian itu berdasarkan atas  pembagian kita di alam mental, demi memudahkan kita dalam mengatur kehidupan keseharian.

Pernahkah kita tahu kapan pukul 01.00 dan tepat pukul 01.00? Maksudnya apakah kita pernah benar-benar hadir di potongan waktu pukul 01.00? Biasanya kita menjawab pertanyaan ini sambil melihat posisi jam yakni saat jarum jam menunjukkan pukul 01.00. Namun soal kehadiran sebenarnya adalah hanya terkait dengan masa sekarang ini, dan bahkan ‘sekarang’ ini tidak bisa kita bagi, misalnya dalam rentang waktu satu menit dari detik nol (0) hingga 60 detik, lalu saya membagi dua, masing-masing menjadi 30 detik, kemudian dari 30 detik saya bagi lagi menjadi dua bagian, dan demikian selanjutnya dibagi lagi terus menerus, dan kita tidak mungkin benar-benar berada di dalam potongan pembagian tadi, sebab yang ada hanya masa sekarang ini, bahkan ketika saya menyebut ‘sekarang’ itu pun sudah berlalu.

Jadi yang disebut dengan sekarang atau kehadiran dalam realtime senantiasa diapit oleh dua hal: yaitu masa lalu dan masa datang. Yang lalu sudah terlewati sementara masa yang akan datang belum tiba, dan dua hal tersebut terus menerus berdampingan seperti itu dalam mengapit masa sekarang. Masa sekarang diapit oleh yang telah berlalu dan belum terjadi.

Dengan demikian, sangat sulit memahami masa. Sulit membayangkan kapan kita benar-benar berada di kondisi sekarang ini yakni realtime. Semua manusia telah melewati hal yang sudah terjadi sedangkan yang akan datang belum terjadi. Masa adalah kehadiran eksistensi kita di dalam realtime. Artinya, Tuhan mengajarkan kepada kita agar bisa hadir di realtime sekarang ini, sehingga kita benar-benar ada pada realtime.

Jika kita benar-benar sadar berada di masa kini, dan al-Ashr adalah salah satu dari nama Tuhan (wal Ashri), maka kesadaran masa kini seharusnya menjadi kesadaran bersama Tuhan. Itu sebabnya mengapa dalam ayat selanjutnya, ‘sungguh manusia benar-benar dalam kerugian’, karena kebanyakan manusia, apakah bersama masa lalu atau bersama yang akan datang, apakah kesadaran kita dibangun dengan angan-angan yang belum terjadi atau kesadaran kita adalah kesadaran yang belum ‘move on’ sehingga hidup dengan masa lalu yang telah terjadi. Kebanyakan manusia merugi karena berada di masa lalu atau di berada di masa yang akan datang. Islam mengajarkan kita agar senantiasa bisa berada di realtime saat ini. Dan berada di realtime pilihannya ada dua, apakah bersama Tuhan atau selain diriNya.

Jika kita hubungkan dengan konteks masa, seharusnya kita selalu berzikir sehingga masa sekarang kita senantiasa bersama Tuhan. Maksudnya zikir itu sudah seharusnya kita lantunkan terus-menerus sehingga kesadaran Ilahi  tetap berada di dalam realtime. Quran mengatakan ‘dirikanlah solat untuk mengingat-Ku’ kemudian di ayat lain dikatakan ‘ingatlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya’ sehingga kesadaran Ilahiah terus hadir di dalam diri kita.

Dalam surah ini Tuhan mengajarkan bahwa esensi diri yang paling sejati  adalah apa yang kita miliki saat ini. Kesadaran kita sekarang ini seharusnya bersama Allah swt. Oleh karena itu masa yang dimaksud bukan masa ciptaan manusia dalam sebutan jam, karena waktu dalam pengertian jam sengaja kita ciptakan untuk mengatur ritme kehidupan kita, sementara waktu itu bukan jam tetapi kesadaran kita untuk hadir dalam konteks ‘sekarang’ ini.

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian’, karena memang kebanyakan kita tidak bersama Tuhan akan tetapi apakah kita bersama masa lalu atau bersama masa yang akan datang. Kita dikuasai oleh angan-angan kita sendiri atau kita belum bisa move on terhadap apa yang terjadi dan itu yang mengganggu kebersaaan kita dengan Tuhan di realtime masa sekarang.

‘Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh’ maksud iman disini adalah kesadaran secara terus-menerus. Jadi maksud pengecualian disini ‘kecuali orang-orang yang beriman’ adalah orang-orang yang terus-menerus bersama Tuhan. Tentu implikasi kesadaran Ilahiah adalah ‘amal sholeh’. Sebab itu Quran tidak pernah memisahkan dua hal tersebut. Keimanan terkait dengan kesadaran dan amal soleh terkait dengan perbuatan sehingga keduanya harus berkelindan. Kebanyakan orang hanya mementingkan iman sedangkan yang lain hanya mementingkan amal saja.

Saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran’. Yang senantiasa terpanggil untuk saling menasehati adalah yang senantiasa berada di dalam masa. Orang yang tidak bersama Tuhan, jika memberikan suatu nasehat, nasehat itu tidak berasal dari dalam dirinya karena orang itu tidak bersama Tuhan. Suatu nasehat tidak akan memberikan efek jika si pemberi nasehat itu senditi tidak mengamalkannya. Misalnya orang tua menasehati anaknya untuk sholat tetapi orang tua tersebut tidak sholat, maka anaknya tidak akan ikut nasehat tersebut.

Dan yang menarik ialah surah ini ditutup dengan aspek sabar, Maksudnya memiliki kesadaran terus menerus di realtime membutuhkan kesabaran yang luar biasa karena saat berhadapan dengan suatu fenomena, kita sedang diperhadapkan dengan tiga kesadaran; fisik, psikis, dan Ilahiyah. Dan di dalam realtime kita, sebenarnya kesadaran manakah yang mendominasi diri kita diantara ketiga kesadaran tersebut?!