Friday, October 19, 2018

Filsafat: Melatih Diri untuk Kematian?


Sokrates dalam risalah Phaedo mengatakan, "berfilsafat yakni melatih diri untuk kematian". Memang sulit memahami relasi antara filsafat dan kematian. Namun kira-kira seperti apa makna yang diinginkan oleh Sokrates?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa belajar dari peristiwa kematian. Kematian adalah terpisahnya ruh dari badan.

Sokrates ingin menggambarkan 'aktifitas berfilsafat' melalui suatu ilustrasi yang sangat indah tentang kematin.

Ketika kita sedang melakukan aktifitas berfilsafat, pahamilah bahwa ruh kita sedang bertamasya melampaui ruang dan waktu, meskipun badan kita sedang berada di ruang dan waktu sekarang ini. Namun ruh tidak ingin terjebak dengan 'disini' dan 'kini'.

Ketika seseorang bertanya, "keadilan itu apa?", maksud dari pertanyaan ini, "dimana pun dan kapan pun, keadilan senantiasa adil sebagaimana dirinya". Jadi bukan seperti ini maksudnya, "kemarin atau hari ini, siapa yang telah berbuat zalim kepadaku?".

Ketika seorang bertanya, "apa itu keindahan?", orang itu tidak sedang bertanya, "siapa yang paling indah di ruangan ini?". Tapi sedang menanyakan esensi keindahan sebagaimana keindahan.

Oleh sebab itu, melatih kematian adalah mencoba menelusuri makna yang tidak terjebak pada 'kini' dan 'disini' dan inilah aktifitas sejati berfilsafat. Mencoba agar ruh tidak terjabak pada badan. Melampaui segala realitas dan tenggelam dalam keuniversalan.

Thursday, October 18, 2018

Setiap Orang Berhak atas Air Hujan

Dan hujan pun turun. Setiap orang punya alasan, apakah memilih menjauhi derita air hujan, atau membiarkan diri diguyur keindahan air hujan. Setiap orang berhak atas dirinya dan berhak memaknai segala sesuatu yang datang pada dirinya.

Ada juga yang memilih kenangan, entah itu kenangan atas penderitaan atau kenangan atas kebahagiaan. Mungkin saja kenangan di kala orang-orang besar tak membiarkan kita bermain-main dengan hujan di masa kecil dahulu.

Orang-orang besar selalu khawatir pada anak-anak kecil. Tak membiarkan mereka bermain dan mengambil makna-makna dari setiap permainan. Orang-orang besar selalu resah dengan keresahan-keresahan yang dahulu tak pernah mereka resahkan.

Orang-orang besar merasa berhak melarang tangan-tangan kecil karena punya tangan besar, jemari yang panjang, dan kebesaran-kebesaran yang dibesar-besarkan. Sewaktu kita kecil, kita hanya tahu bahwa kita kecil dan tak punya hak atas diri kita sendiri.

Hingga sampai hari ini, hujan turun lagi, tapi dalam suasana yang tak kecil lagi, sudah dewasa memahami diri, meski terkadang masih salah memaknai.

Akhirnya kita memilih dan membiarkan diri diguyur keindahan air hujan. Keindahan atas kenangan yang tak membiarkan kita memaknai hujan di waktu kecil. Saat ini kita memaknai sepuas-puasnya makna diguyur air hujan, bahwa hari ini kita berhak memaknai diri kita sendiri.

Jadi, Saat kau jadi hujan,
Jangan pernah tanya ini rumah siapa!
Atap ini dan atap itu gak ada bedanya.

Saat kau jadi hujan,
Tak usah peduli wadahnya,
Mangkuk, cangkir, dan gelas,
sama saja.

~ Muh. Nur. Jabir ~

Tuesday, October 9, 2018

Politik dan Tafakkur

Dunia yang kita huni saat ini, bisa dibilang, hampir segala peristiwa yang terjadi di dunia ini telah menjadi peristiwa politik. Politik telah mengisi seluruh aktifitas keseharian kita. Sebab itu kita mesti berpikir lebih serius lagi mengenai politik dan juga tentang prinsip-prinsip politik yang sedang berjalan. Di adab 19 Ludwig Feuerbach pernah mengatakan, politik telah merenggut posisi agama. Bahkan politik telah merenggut segala hal. Jadi tak heran jika masyarakat berharap berbagai persoalannya terselesaikan dengan politik dan oleh para politisi. Namun apa benar politik telah menjadi poros segala hal?

Politik yang terpisah dari prinsip tafakkur akan berpotensi menjadi suatu hal yang menakutkan. Gagasan politik Plato, Aristoteles, dan umumnya filsuf klasik lainnya merupakan produk dari gagasan filsafat mereka. Filsafat menjadi pondasi dalam gagasan politik mereka. Sayangnya politik saat ini telah terpisah dari akar gagasan filosofinya. Saat berbicara politik, kita sudah tak mengerti seperti apa bangunan filosofinya.

Bukan suatu kebetulan jika ada yang mengatakan tentang “akhir ideologi” sebab ideologi dibangun atas dasar gagasan-gagasan filsafat sedangkan politik saat ini tak lagi bersandar kepada gagasan filsafat. Misalnya pondasi politik komunisme dibangun atas filsafat materialisme sejarah. Demikian halnya dengan isme-isme lainnya punya landasan filsafat dan kita mudah menemukan landasan filsafatnya. Akhir ideologi adalah akhir dari politik tanpa bangunan filsafat.

Namun kerumitan persoalan ini justru dalam menemukan relasi antara politik dan filsafat atau hubungan antara filsafat dan tafakkur.

Umumnya para ahli politik dan ekonomi berusaha menciptakan suatu gagasan ideologi sebagai paradigma alternatif dari gagasan sebelumnya. Juga terkadang seorang pemikir ingin membuktikan gagasan teoritisnya dalam wilayah praktis. Sebab itu bisa kita temukan dalam sejarah pemikiran seorang filsuf terjun langsung dalam menaikkan atau menurunkan rezim pemerintahan. Meski demikian tetap saja tak mudah menemukan relasi yang jelas antara politik dan filsafat.

Berbeda dengan Karl Popper, ia tak percaya terhadap gagasan filsafat klasik. Popper bahkan mengatakan Plato dan Hegel sebagai pendusta dan tak punya niat yang baik. Tapi apa bisa kita mengatakan pemikiran politik Plato yang hidup di abad ke 5 sebelum masehi menyebabkan Hitler berkuasa di abad 20 dan sekaligus menganggap konsep politik al-Farabi yang terpengaruh oleh Plato menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia arab dan timur tengah? Tuduhan Popper atas mereka terlihat berlebihan.

Saat ini kita hanya bisa mengatakan bahwa ideologi seperti nasionalisme, liberalisme, sosialisme, nazisme, dan ideologi lainnya berakar dari filsafat moderen. Meskipun kita tak tahu seperti apa kaitan antara filsafat dan politik namun hal yang tak dapat dipungkiri bahwa keduanya saling terkait. Sebab itu jika kita kembali ke makna politik yang sebenarnya kita akan mengatakan bahwa politik adalah tafakkur sebagaimana makna kata asalnya. Maksudnya tak selamanya politik memiliki landasan filsafat. Namun filsafat pasti terkait dengan tafakkur sebagaimana politik yang sedang berjalan di barat saat ini berakar dari filsafat moderen.          

Monday, April 23, 2018

Film The Quite Place; Paling Diam, Paling Aman


Sebenarnya saya paling tidak suka film horor, tapi film horor yang satu ini, buat saya judulnya menarik, The Quite Place. Tempat yang paling senyap.

Apalagi ditambah dengan aturan main,
Dont Make a Sound,
Never leave the Path
Red Means Run

Tapi sebelum itu, saya teringat satu essay menarik, judulnya kira-kira begini, "mengapa akhir-akhir ini orang-orang moderen menyukai film Zombie?"

Memang film ini bukan film Zombie, tapi Monster. Karakter Zombie sangat dekat dengan karakter monster dalam film ini, hanya tahu menyerang dan haus darah. Namun zombie bergerak dengan sangat lamban, namun monster di film ini bergerak dengan sangat cepat. Menyergap dalam kesenyapan.

Walau si monster punya kepala namun tak punya mata, tapi seolah punya telinga. Sehingga kekuatan monster dalam film ini mendeteksi seluruh mangsanya dengan bunyi-bunyian. Si monster bisa membedakan antara hasil bunyi-bunyian alamiah alam dengan bunyi-bunyian hasil produk manusia.

Ia mampu mendeteksi suara keindahan alam, seperti suara angin dan suara pepohon dan dedaunan karena hempasan angin. Tahu suara gemercik air dan suara deras air terjun. Dan suara keindahan alam lainnya.

Tapi begitu ada yang bicara, apalagi teriak, seketika monster itu akan datang menyergap, sangat cepat. Bahkan suara dari bunyi kendaraan, televisi, radio, handphone, atau bunyi apa pun yang tak berasal dari suara alam, tak kan luput dari sergapan, karena monster itu buta, hanya tahu mendeteksi bunyi-bunyian. Sehingga terlihat kecewa setiap kali menyerang benda-benda yang tak bernyawa.

Film ini memotret satu wilayah perkampungan yang telah diserang oleh monster. Kota-kota dan perkampungan berubah menjadi tempat yang paling senyap. Tak ada bunyi, nada dan irama. Tak ada kata dan kalimat yang mampu terucap. Semua orang terpaksa memilih bisu. Bahasa terindah adalah bahasa isyarat.

Berbagai jenis kendaraan seolah tak punya kuasa untuk bergerak atau digerakkan. Alat komunikasi yang paling riuh, seketika menjadi kehilangan fungsinya karena dipaksa diam dan membisu.

Kira-kira monster itu sedang menyimbolkan apa dan siapa?

Monster itu simbol dari penghancur peradaban. Si monster hanya bisa beradaptasi dengan suara alam. Namun tak bisa kompromi dengan segala bentuk kreativitas dan inovasi.

Seolah si monster sengaja dihadirkan untuk menghancurkan peradaban modernitas yang sudah sangat bising dan tak terkendali.

Beruntung pemikiran sebagai bentuk kreativitas dan inovasi, meskipun riuh tapi tetap senyap. Kecuali si monster masih memaknainya sebagai bagian dari bunyi-bunyian yang mesti dihancurkan, maka tak kan ada lagi yang tersisa dari peradaban ini, kecuali memilih diam di tempat yang paling senyap.

Sebab paling diam adalah paling aman.

Tuesday, April 3, 2018

Bahasa Satire yang Gagal adalah Bahasa Nyinyir


Tapi memang ada benarnya, tak mudah membuat rangkaian bahasa satire dan tak mudah pula memahami satire. Bagi sebagian orang, pemaknaan yang mendalam akan lebih nyaman jika terekspresikan dalam bahasa satire. Selain memiliki makna ganda namun bisa menyembunyikan makna mendalam dengan sangat indah. Dan yang lebih penting, bisa mengeritik seseorang atau suatu pemikiran tanpa mereka sadari.

Bagi mereka yang senang membaca karya-karya Nietzsche, Kafka, Sartre, Syariati, dan Bukowski, pasti sangat akrab dengan gaya bahasa satire. Gaya bahasa yang menohok namun tetap indah dan memiliki kedalaman makna yang sangat dalam.

Namun jika sejak awal hanya berniat ingin membuat gaduh dan kegaduhan. Tak perlu bahasa mendalam apalagi lagi satire, akan lebih tepat jika menggunakan bahasa nyinyir. Seperti perpolitikan kita saat ini, di ruang-ruang sosial media seolah hanya mampu menghasilkan bahasa nyinyir. bahkan hampir di setiap perdebatan politik akan berakhir di sosial media dengan saling nyinyir.

Saya bersyukur punya banyak kawan dari berbagai kalangan dan ragam pemikiran. Dari yang paling kiri hingga paling kanan dan yang mengaku berada di tengah-tengah yang terkadang condong ke kanan atau ke kiri.

Diantara mereka ada yang berjilbab, tak berjilbab, bercadar, dan yang bebas sekali pun. Mereka semua orang-orang baik. Tak pernah melakukan korupsi, mencaci, mencibir, apalagi menghardik. Dan tak pernah menyinyir keyakinan seseorang atau minimal mereka tak pernah menuliskannya dalam bentuk puisi dan membacakannya di depan publik.

Jadi saya sudah bisa berdamai dengan perbedaan. Menghormati setiap keyakinan seseorang. Menyadari tak ada satu pun tempat di dunia ini yang hanya terisi satu bentuk pemikiran saja. Kecuali mereka yang suka memenjarakan pemikiran seseorang. Mereka akan memaksakan satu bentuk pemikiran pada semua orang.

Pasti ada pesan yang ingin disampaikan dibalik setiap bahasa, apalagi bahasa satire. Pesan yang hendak disampaikan pada seseorang atau golongan tertentu. Namun kesalahan dalam pilihan diksi dan pengalaman atas makna diksi yang tidak menyeluruh akan menjebak kita dalam keluasan makna. Akibatnya bukan hanya tidak tepat sasaran tapi hanya membuat kegaduhan semakin luas.

Puisi satire yang gagal akan berubah menjadi bahasa nyinyir. Jadi tak perlu heran jika puisi tersebut akan menuai nyinyiran dari semua kalangan. Apalagi di era revolusi teknologi kedua yang akan memudahkan setiap orang berbuat nyinyir kapan saja dan semaunya.

Mungkin karena hampir setiap orang tak ingin ketinggalan momen meskipun terkadang momennya sudah ketinggalan. Hampir setiap orang ingin cepat-cepat memposting sesuatu agar tidak ketinggalan momen. Tanpa pernah berpikir dampak kegaduhannya. Kecuali tujuan satu-satunya puisi itu hanya untuk berbuat kegaduhan.

Tapi mungkin benar kata Schopenhauer, “orang-orang buas saling memangsa satu sama lain, sedangkan orang-orang yang mengaku beradab saling menipu”.