Saturday, November 19, 2016

Agama itu Layang-Layang

Selamat Hari Anak Dunia

"Agama itu Layang-layang"

Suatu hari kawan saya bertanya, "agama itu apa?" Ia melanjutkan bahwa pertanyaan ini bukan pertanyaan darinya, namun dari anaknya yang masih duduk di bangku SD kelas 1. Kawan saya bingung menjawabnya. Dan akhirnya pertanyaan itu pun dilimpahkan pada saya.

Saya juga kebingungan menjawabnya sebab anak--anak belum waktunya berpikir dengan nalar argumentasi. Anak-anak hidup di alam imajinasi. Sebuah alam yang penuh dengan keragaman bentuk bentuk imajinasi. Pernahkah kita bertanya mengapa anak-anak senang dengan film kartun? Kerena seperti itulah kebanyakan anak-anak menggunakan alam pikirannya. Film kartun mencoba memahamkan sesuatu kepada kita melalui gambar dan imajinasi, bukan dengan kekuatan dialog argumentatif. Jadi amat disayangkan jika sejak bangku SD kita telah menjejalinya dengan pengetahuan yang belum sesuai dengan pola pikirnya.

Menyadari pola pikir anak-anak seperti itu yang lebih banyak menggunakan imajinasi, akhirnya saya memberikan jawaban dengan mengilustrasikan agama seperti layang-layang. Bahwa agama ibarat layang-layang. Setiap saat kita mesti memegang talinya agar tetap di atas. Kita mesti menjaganya setiap saat agar ia tetap tegar di atas. Jika kita lengah sedikit saja akan membuat layang-layang tersebut jatuh. Layang-layang adalah nilai yang mesti kita junjung tinggi.

Layang-layang sebagai sebuah nilai sangat dekat dengan keseharian kita. Ada saat dimana kita mesti menurunkannya yaitu saat badai besar datang. Sebab jika kita memaksa tetap menerbangkannya, tetap saja tak kan memberikan makna. Justru kita menghancurkannya dengan tangan kita sendiri. Tapi badai itu apa? Badai itu adalah politik dan keangkuhan kita.

Jadi pesan saya untuk anakku, jangan bawa politik dan hawa nafsumu ke dalam agama. Sebab bukan saja akan menghancurkan agama tapi juga menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita. Pahamilah agama seperti layangan. Kau harus menjaganya sendiri agar layanganmu tetap diatas karena hanya dirimu yang mampu menjaga dirimu. Sebab orang lain tak kan mampu menjaga dirimu.

Thursday, November 17, 2016

Korupsi itu Baik

Nihilisme itu apa?
Bahwa nilai yang kita anggap paling mulia, tak lagi memiliki nilai. Tak lagi memiliki tujuan.
Mengapa? Sebab tak lagi menemukan jawaban.

#Nietzsche

Mana yang anda pilih? Tak ada korupsi namun pembangunan tidak berjalan atau ada korupsi dan pembangunan bisa berjalan?

Bagi Fadli Zon, lebih baik ada korupsi asal pembangunan bisa berjalan.

Kira-kira apa ada yang salah dengan pernyataan anggota perwakilan rakyat kita yang terhormat Fadli Zon? Korupsi bisa ditolerir selama bisa menjadi oli pembangunan. Saya tak pernah mengerti mengapa orang seperti ini bisa duduk sebagai anggota dewan yang mulia dan terhormat.

Ungkapan Fadli Zon adalah satu bentuk ungkapan frustasi dalam melihat fenomena korupsi. Bukannya mengambil peran dalam memberantas korupsi, justru mendukung praktek korupsi yang mampu menjadi oli pembangunan.

Kita selalu bicara penistaan agama dan penistaan Qur'an, namun kita tak pernah bicara penistaan atas makna Quran. Quran dengan tegas melarang praktek korupsi, namun kita seenaknya membenarkannya, bukankah ini salah satu penistaan atas makna Quran. Bukankah Fadli Zon sebelumnya berada di front depan menyuarakan penistaan Quran? Apakah Quran hanya bentuk dan tak memiliki makna?

Tapi kita hanya terpesona pada bentuk, dan telah melupakan makna, sementara pada maknalah inti Quran. Kita hanya bisa teriak saat bentuk Quran dilecehkan, namun selalu diam saat makna Quran dilecehkan. Kita adalah orang-orang yang terperangkap pada bentuk, tak lagi tertarik pada makna. Mungkin karena kita sendiri tak lagi bermakna.

Hanya bisa bersedih saat orang-orang berbicara seenaknya, hanya karena mereka sedang berada dalam kekuasaan. Moral manakah yang kita junjung saat ini? Tapi benar, kita tak lagi punya moral sebagai nilai yang kita junjung bersama. Satu-satunya moral yang kita miliki adalah moral kepentingan, tak peduli apakah baik atau buruk, apakah korupsi itu baik atau buruk? Kita hanya membutuhkan oli pembangunan dan itulah nilai sejati yang sesungguhnya.

Pernyataan Fadli Zon menegaskan saya akan akhir dari priode kita. Kita berada di akhir periode nihilisme. Sebab dalam nihilisme, tak ada lagi nilai, karena satu nilai dihancurkan oleh nilai lainnya, dan nilai tersebut juga dihancurkan oleh nilai lainnya. Sebab itu mari kita berpesta pora atas akhir dari nurani fitrah kemanusiaan kita.

http://m.detik.com/news/berita/d-2929613/fadli-zon-korupsi-justru-jadi-oli-pembangunan?utm_source=News&utm_medium=Desktop&utm_campaign=ShareFacebook

Sunday, November 13, 2016

Keyakinan Lebih Menakutkan

Demi sebuah hakikat,
Keyakinan lebih menakutkan
daripada kebohongan.

#Nietzsche

Tak mudah memahami perkataan Nietzsche. Nalar kita sudah terbiasa dengan kaidah-kaidah yang terbangun dan tersusun dengan sangat rapi dalam benak kita. Sedangkan perkataan Nietzsche pada umumnya tidak sejalan dengan pondasi struktur logika berpikir kita. Tapi cobalah sejenak tengok fenomena sekitar kita. Sangat mudah menemukan kepongahan dan keangkuhan. Kepongahan dan keangkuhan tak  butuh pada perangkat nalar yang sistematis, sebab yang dibutuhkan hanya keberanian untuk menghancurkan siapa saja.

Fenomena bom kembali terulang dan kita tak pernah tahu kapan akan berakhir. Bom beserta pelakunya selalu saja menyisakan tanda tanya. Menyisakan arah panah akan diarahkan kemanakah selanjutnya. Sebab tugas utama pelaku bom bukan pada ledakannya, tapi pesan yang disampaikan adalah setelahnya. Sebab itu pelakunya tak pernah peduli pada mangsanya, meskipun pada akhirnya korban ledakannya adalah orang tua dan anak-anak. Meskipun taruhannya adalah mematikan nurani dan kemanusiaan, mereka tak kan pernah peduli.

Tapi fenomena ini memudahkan kita memahami pesan yang ingin disampaikan oleh Nietzsche, betapa perjuangan atas sebuah 'hakikat' dengan landasan keyakinan tertentu lebih menakutkan daripada kebohongan. Berbohong adalah kejujuran atas suatu kesalahan dalam memanipulasi kebenaran. Tapi pelaku bom tidak sedang berbohong. Ia sadar telah melakukan suatu tindakan teror. Bukankah ini lebih menakutkan karena akan menghancurkan fitrah nurani kemanusiaan kita?!

Mungkin kita sudah terbiasa menertawai keadilan. Kita lebih memilih diam dan bahkan membiarkan hanya karena pelakunya dari orang-orang yang seagama dengan kita dan korbannya adalah orang-orang yang berbeda akidah dengan kita. Meskipun kita sadar, pelakunya telah melakukan tindakan salah dan tidak sejalan dengan agama dan nurani fitrah kemanusiaan kita. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Jadi bukan agama yang sedang diuji, tapi pemaknaan kita atas agama sedang diuji. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan dan kepongahan, bukan saja agama yang terancam, tapi konsep kebertuhanan kita pun terancam. Sebab jika kita membenarkan ketidak adilan atas nama agama, berarti sama saja kita membenarkan Tuhan berlaku tidak adil. Maksudnya, Tuhan yang kita pahami adalah Tuhan yang hanya bisa berlaku adil kepada kelompok kita saja dan tak mampu berlaku berlaku adil pada yang lain. Bukankah ini lebih menakutkan daripada kebohongan?!

Dengarkanlah bagaimana Rumi berdialog dengan ayahnya:

"Suatu hari seorang anak bertanya pada ayahnya,
Agama manakah yang terbaik, wahai Ayah?
Kata Ayahnya, aku tak ada urusan dengan agama.
di sisiku, agama tak lagi memiliki nilai,
sebab setiap ada agama baru,
perbedaan pun akan semakin nampak,
hasud dan fitnah pun akan semakin bermunculan,
peperangan antar aliran kembali terulang,
Darah manusia berceceran di atas bumi,
berulang dan terus berulang lagi atas nama agama,
Agama adalah yang mampu hidup bersama yang lain,
Apa guna agama yang mengatakan;
Tumpahkan darah orang-orang kafir.
Sebab itu lah aku tak lagi punya agama,
agar tak ada lagi darah yang tumpah,
Wahai Anakku, jika kau cari agama,
Carilah agama yang mengasihi
Seluruh ummat manusia".

MNJ

Saturday, November 5, 2016

Kebencian adalah Hakikat

Kebencian adalah bagian dari hakikat,
Keindahan hanya imajinasi semata.

Henry Charles Bukowsky

Sepertinya kita akan sulit memahami pernyataan Charles Bukowsky. Tapi sebelumnya, lebih baik menempatkannya sebagai pernyataan atau perkataan satire. Lebih tepatnya sebagai pernyataan ironi atas refleksi suatu potret kehidupan.

Kita akan mudah memahaminya jika keindahan sebagai hakikat dan kebencian sebagai imajinasi. Namun itu idealnya, seharusnya, dan semestinya. Sebab fitrah manusia memang demikian, cinta pada keindahan, keadilan, dan kebenaran. Tapi satu sisi kita mesti menyadari bahwa kita hidup di dunia. Kenyataan terkadang memberikan jawaban sebaliknya.

Tapi bagaimana menggambarkan kebencian sebagai bagian dari hakikat? Saya ingin mengajak dan melihat bagaimana dunia sekitar kita yang sangat sulit “menerima” yang lain. Kita sulit menerima jika orang lain berbeda dengan diri kita. Kita akan lebih senang jika orang lain seperti diri kita. Mengikuti cara kita memandang dan memaknai kehidupan ini. Mengapa? karena kita selalu saja berpikir telah menemukan mata air kebenaran. Kita telah mereguknya dan merasakan kebagiaan mata air tersebut. Begitu bahagianya sehingga menganggap mereka yang tak merasakan mata air kebenaran yang kita reguk sebagai orang-orang yang tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Dan hingga akhirnya serta secara perlahan-lahan menganggap cara pandang kita sebagai satu-satunya neraca kebenaran. Kita adalah kebenaran dan selain kita adalah kesesatan.

Pada saat itulah, kita akan heran melihat orang lain. Heran mengapa mereka memililih jalan yang tak sesuai dengan cara pandang kita. Bahkan boleh jadi kita jijik saat melihat mereka melakukan ritual yang berbeda dengan ritual kita. Dan akhirnya kita tak mau lagi melihat mereka. Kita lebih asyik bersama dengan kelompok kita sendiri. Kita akan menutup pintu rumah kita rapat-rapat agar tak lagi terlihat ritual yang mereka lakukan. Saat kita membuka pintu itu kembali, perasaan kita kepada orang lain bukan hanya jijik, tapi kita mulai membenci mereka. Kita memilih memutuskan silaturrahim. Memutuskan pertemanan kita di FB. Meng-unfollow mereka di twitter dan instagram. Memblock Whatsapp mereka.

Sekarang pertanyaannya, ada berapakah cara pandang orang di dunia ini? Mungkin kita akan menjawabnya, jumlahnya sebanding dengan aliran pemikiran yang ada di dunia ini. Namun jika ingin  menjawabnya secara lebih detail, sebenarnya jumlahnya sebandingan dengan jumlah manusia. Sebab meskipun kita berada dalam satu aliran tapi kita punya penafsiran dan pemahaman sendiri. Nah sekarang bayangkan jika setiap orang melakukan hal yang sama, menganggap pandangannya sebagai satu-satunya neraca kebenaran dan membenci pandangan orang lain yang berbeda dengan kita. Tentu kita akan mulai saling memangsa. Benar kata Hobbes, saat itu manusia adalah serigala.

Mungkin kita terlalu lama asyik dengan rumah kita sendiri. Tak punya kesempatan mendengarkan dan memahami orang lain. Tak mau tahu mengapa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda dengan kita. Kita lupa bahwa setiap orang berproses menjadi diri mereka sendiri. Mereka juga punya nalar sendiri sebagaimana kita menggunakan nalar kita sendiri. Orang lain juga membangun neraca kehidupannya sendiri sebagaimana kita membangun neraca kehidupan kita sendiri.   

Sebab itu jangan sampai kita berubah menjadi Zombie. Manusia tanpa nalar yang hanya siap memangsa karena keinginannya hanya memangsa. Manusia Zombie adalah manusia yang berjalan dengan tanpa kesadaran dengan langkah yang tertatih-tatih dengan mulut penuh darah akibat memangsa.

Karena jika kita berubah menjadi manusia Zombie akan menegaskan apa yang dikatakan oleh Charles Bukowsky, “kebencian adalah hakikat sedangkan keindahan hanya imajinasi”

Sunday, June 19, 2016

Perempuan dalam Tasawwuf

Sufi Perempuan dan Perempuan dalam Tradisi Sufi
Muhammad Nur Jabir

Banyak pertanyaan yang menggelitik mengenai sufi perempuan misalnya mengapa hanya beberapa deratan nama saja yang kita kenal sebagai sufi perempuan seperti Rabiah Adawiyah. Kira-kira apa yang menyebabkan sehingga tak banyak tokoh sufi yang kita kenal dari kalangan perempuan? Apakah hal ini menunjukkan bahwa hanya kalangan pria saja yang memiliki potensi besar untuk menjadi sufi? Apakah kurangnya tokoh sufi dari kalangan perempuan karena kondisi sosiologis pada waktu itu atau dalam kata lain kurang dikenal oleh masyarakat karena sufi perempuan lebih banyak diam di dalam rumah?

Namun suatu hal yang mesti dipahami, tokoh perempuan yang sempat terekam namanya dalam sejarah disebabkan hasil interaksi mereka dengan tokoh sufi pria. Dan tokoh pria tersebutlah yang menjelaskan mengenai maqam yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Oleh karena itu kurangnya jumlah sufi dari kalangan perempuan, bukan karena potensi yang dimiliki perempuan dalam meraih maqam sufistik terlihat lemah.
Dalam empat perjalanan sufistik tak ada penekanan atas laki-laki dan perempuan sebab keduanya memiliki potensi yang sama dalam meraih maqam ruhaniah. Namun meskipun perjalanan keempat adalah perjalanan yang hanya diperuntukkan kepada kaum pria saja, namun hal tersebut dikarenakan perjalanan keempat adalah perjalanan tabligh dimana persoalan tabligh lebih sesuai diemban oleh kaum pria. Tapi yang perlu diketahui, ukuran kesempurnaan ada pada maqam wilayah dan maqam wilayah berada perjalanan ketiga dari empat perjalan manusia. Dan pada perjalanan ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal ini dalam persoalan sufistik tidak ada aspek pengkhususan bagi laki-laki dan perempuan.

Adapun terkait dengan posisi perempuan dalam tasawwuf, Ibn Arabi meyakini sebagaimana yang tertera dalam  kitab Taurat bahwa perempuan yakni Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Sebab itu Hawa bagaian dari Adam dan berasal dari tulang rusuk Adam. Berdasarkan hal ini maka laki-laki berposisi sebagai 'subjek mempengaruhi' dan perempuan sebagai 'objek dipengaruhi'. Tentu 'subjek mempengaruhi' lebih dominan daripada 'objek dipengaruhi'. Namun hal tersebut hanya terkait dari aspek penciptaan bukan dalam kesempurnaan sebab dalam hal kesempurnaan keduanya memiliki keunggulan yang sama.

Maulana Rumi dalam Matsnawi mengatakan:
Dia (Rasulullah saw) yang seluruh ummat takluk pada perkataannya
Ketika sampai pada istrinya, ia berkata, "bicaralah padaku" (Bait 2428, Buku 1)
Meskipun dirimu secara lahiriyah mendominasi wanita,
Namun secara batin wanita mendominasimu. (Bait 2431, Buku 1)

Maulana Rumi ingin menjelaskan bahwa dominasi laki-laki atas perempuan hanya aspek luarnya saja namun secara esensial wanita mendominasi laki-laki. Alasannya karena aspek rasa yang ada pada perempuan mampu mendominasi akal yang ada pada laki-laki. Namun laki-laki jahil dan pemarah lebih kuat atas dominasi perempuan.

Maulana Rumi dalam kesempatan lain menyimbolkan laki-laki dengan air, kemudian menyimbolkan perempuan dengan api. Berdasarkan atas penyimbolan ini, air mampu memadamkan api namun jika ada perantara antara api dan air maka api akan membuat air mendidih dan mengubah air menjadi uap. Sebab itu pada hakikatnya perempuan lebih mampu mendominasi laki-laki sebab perempuan menguasai jiwa dan hati laki-laki.
Menurut Ibn Arabi menyaksikan Tuhan dalam perempuan dianggap sebagai bentuk penyaksian yang paling sempurna karena laki-laki menyaksikan dua bentuk dalam diri perempuan yaitu bentuk mempengaruhi dan bentuk dipengaruhi. Perempuan menerima nuthfah dari laki-laki sebagai bentuk dipengaruhi dan membesarkan nuthfah di dalam dirinya sebagai bentuk mempengaruhi yang ada dalam diri perempuan. Sebab itu bagi Ibn Arabi, Hawa yakni perempuan adalah gabungan antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Dan inilah maksud dari Hadits Rasulullah saw, "Ada tiga hal yang aku cintai dari dunia kalian: perempuan, parfum, dan solat".

Sebab itu baik Ibn Arabi maupun Maulana Rumi menempatkan perempuan lebih mulia dari laki-laki bahkan menarik ke atas hingga menjadi bentuk dari keindahan Ilahi. Kedua arif tersebut memandang cinta sebagai pancaran emanasi dari Ilahi. Manusia tak mungkin menyaksikan hakekat absolut eksistensi Ilahi. Dia hanya bisa disaksikan dalam manifestasi-manifestasi-Nya dan perempuan salah satu dari manifestasi-manifestasi keindahan dan kelembutan Ilahi. Sebab itu cinta pada perempuan adalah cinta kepada Ilahi. karena hanya perempuan yang mampu menunjukkan dua bentuk tersebut.

Selanjutnya Ibn Arabi meyakini meskipun derajat perempuan berada di bawah dari laki-laki dalam aspek penciptaan namun derajat ini tidak mempengaruhi kesempurnaan yang ada di dalam diri perempuan. Oleh karena relasi Hawa atas Adam dalam persoalan penciptaan seperti relasi Adam atas tanah dimana aspek tanah pada Adam tidak akan menghalangi kesempurnaan Adam.
Dalam membuktikan persoalan ini Ibn Arabi mengangkat kisah Hajar ibu Nabi Ismail as. Setelah Allah swt menyaksikan perbuatan Hajar dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, Allah swt menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk kesempurnaan sehingga menjadikannya sebagai bagian dari syariat manasik haji. Berdasarkan hal ini kesempurnaan perempuan mampu menjadi sebuah hukum dalam syariat.        
                                               
Kemudian kata perempuan dalam irfan terkadang tidak bermakna perempuan sebagaimana perempuan akan tetapi bermakna simbolik, sesuai dengan makna yang diinginkan oleh sang sufi dalam menjelaskan hakikat Ilahi. Perempuan dalam ranah sufistik sering digunakan dalam menggambarkan kesempurnaan dan sifat-sifat Ilahi, termasuk simbol-simbol yang melekat pada perempuan seperti rambut, tai lalat, mulut, dst. Misalnya dalam sastra sufi ketika ingin menggambarkan aspek jamaliyah dan jalaliyah Ilahi biasanya menggunakan simbol rambut hitam yang terurai panjang. Saat perempuan mengurai rambutnya yang panjang dan menutupi seluruh wajahnya disebut sebagai simbol jalaliyah Ilahi dan saat mengangkat rambut yang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tersingkap disebut dengan simbol jamaliyah Ilahi.