Wednesday, September 23, 2015

Setiap Eid adalah Eid Qurban

Setiap Eid adalah Eid Qurban

Jalaluddin Rumi menakwil 'eid' atau Hari Raya sebagai jalan membuka gembok penjara sehingga orang-orang yang terpenjara mendapatkan kebebasan. Bukan hanya orang-orang yang terpenjara oleh materi, namun juga mereka yang terpenjara oleh kekuasaan, terpenjara oleh ketamakan, terpenjara oleh dengki dan hasud, dan lain-lainnya.

Karekteristik 'Eid' ialah memecahkan gembok penjara dan memecahkan cengkraman lingkaran kesesatan yakni dari penjara kezaliman, penjara keterikatan, penjara kejumudan, penjara keterasingan atas diri sendiri, penjara kesepian, serta penjara keterpisahan.

Kata Rumi;

Aku datang lagi bagai Eid agar kubuka gembok-gembok penjara,
dari cengkraman dan taring kanibal.

Orang-orang yang terpenjara di tanah akan merobek bumi. Benih-benih yang sebelumnya terjebak ditanah secara perlahan mulai menampakkan dirinya dan menjadi hijau. Dan yang lebih penting dari segalanya bahwa badan dalam pandangan sufistik adalah penjara dan 'Eid' ruh yang merobek penjara badan. Maksudnya ruh berhasil mendominasi badan dan keluar dari cengkraman badan.

Kata Rumi;

alam ini adalah penjara dan kita adalah orang-orang yang terpenjara,
runtuhkanlah penjara dan jadikan dirimu orang-orang yang bebas.

Sebab itu mati adalah Eid sehingga kematian menemukan maknanya yang baru. Sebab berada pada singgasana mendominasi bukan didominasi. Namun kematian ini bukan kematian sebagai akhir dari kehidupan akan tetapi kematian iradah dimana kematian iradah adalah Qurban itu sendiri. Berdasarkan pemaknaan ini setiap Eid adalah Eid Qurban. Mengorbankan kegelapan di singgasana istana cahaya, mengorbankan kejumudan di kaki puncak pengetahuan dan nalar.

Takdir terbaik bayangan dan kegelapan adalah menjadi quban cahaya. Sebab itu Rumi mengatakan;

musuh adalah kita sendiri dan biarkan kekasih membunuh kita,
kita tenggelam dalam lautan dan kita akan terbunuh oleh ombak.

Pengorbanan adalah karekteristik Eid. Sebab itu setiap Eid meniscayakan qurban. Kegelapan adalah qurbah cahaya, kekerdilan adalah qurban keagungan, dan kekerasan adalah qurban kasih sayang dan kelembutan.

Sebagian orang menyangka Eid adalah fenomena eksternal dan kejadian yang baru yang realitasnya berada diluar eksistensi manusia. Namun hakikatnya, Eid yang meniscayakan kebaruan, tidak terjadi diluar eksistensi manusia. Selama batin manusia tidak memberikan kebaruan, alam realitas eksternalnya pun tak akan memberikan kebaruan. Kebaruan batin adalah hasil dari proses panjang yang dibarengi dengan derita dan penderitaan.

Manusia yang tak mengalami derita dan mencicipi pahit serta tak merasakan penantian, dirinya tak akan merasakan manisnya batin kebahagiaan. Baginya, kenikmatan alam selalu saja berlalu dan tak memberikan warna baru bagi dirinya. Padahal nikmat setiap saat selalu saja baru dan baru.

Akhirnya kami segenap pengurus beserta admin Rumi Institute mengucapkan selamat Hari Raya Qurban.

Mohon maaf lahir dan batin.

Direktur Eksekutif Rumi Institute
Muhammad Nur Jabir

Thursday, September 10, 2015

Pandangan Dunia Jalaluddin Rumi

Tiga unsur utama yang membentuk pandangan dunia Rumi; realitas, makrifat, dan subjek yang mempersepsi. Semua orang meyakini termasuk Rumi bahwa tak ada yang meragukan keberadaan realitas eksternal, suatu keberadaan diluar hakikat diri kita atau diluar benak kita. Dalam sejarah pemikiran, hanya kaum shopis saja yang mengingkari keberadaan realitas eksternal secara mutlak. Namun terlihat dalam keseharian mereka tidak mengamalkan apa yang mereka yakini sendiri karena mereka masih beraktifitas dengan entitas-entitas realitas eksternal.
Sebenarnya realitas itu apa ? Para pemikir telah menguraikan beberapa definisi terkait dengan makna realitas. Namun realitas secara sederhana dapat dimaknai dengan keberadaan yang tidak bergantung kepada pemahaman kita. Maksudnya keberadaan realitas tersebut tidak bergantung pada persepsi kita. Ada dan tidaknya tidak bergantung kepada benak kita. 
Maulana Rumi juga memahami realitas sebagai keberadaan yang keberadaannya tidak bergantung pada persepsi kita. Tapi Rumi tidak berhenti disini, Rumi membuka ruang baru atas pemaknaan realitas. Menurutnya, terjalin relasi yang begitu erat antara realitas dengan potensi yang dimiliki manusia sebagai subjek yang mempersepsi. Jika manusia menguatkan faktor-faktor pendukung dalam mempersepsi sesuatu maka ia akan menemukan realitas-realitas yang baru. Misalnya jika manusia mempertajam persepsi intuisinya seperti potensi dalam menangkap keindahan, maka ia akan mampu memaknai keindahan-keindahan yang ada di realitas eksternal yang selama ini mungkin saja ia yakini sebagai sesuatu yang tidak indah.
Pemaknaan baru atas realitas dalam pandangan Rumi sama sekali bukan dalam pemaknaan bahwa kitalah yang menciptakan realitas. Sebab maksud Rumi dalam persoalan ini yaitu jika potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia terbuka dan teraktual, maka manusia akan memiliki relasi-relasi yang lebih luas. Sama sekali bukan dalam pemaknaan bahwa kitalah yang menciptakan realitas. Sebagaimana dalam syair Rumi berikut ini;
تا رهد زین عقل پرحرص وطلب       صد هزاران عقل بیند بوالعجب  
Jika akal yang penuh dengan rakus dan tamak ini bebas
Wahai bul ‘Ajab! Ratusan akal akan terlihat
M.M, Bag 4, 3649) 

Persoalan pandangan dunia bagi Rumi sangat terkait dengan keterbukaan aspek pencarian tujuan dan pemaknaan dalam diri manusia. Jika manusia hanya disibukkan dan tenggelam dalam fenomena-fenomena keseharian dan terperangkap dalam keinginan-keinginan hawa nafsu, aspek pencarian pemaknaan dan tujuan dalam dirinya akan redup, bahkan dia tak kan lagi mampu bergerak lebih jauh dalam mengaktualkan dirinya. Hati, intuisi, dan memaknai cita rasa kehidupan menjadi faktor penggerak dalam menemukan realitas-realitas yang baru.
Contoh sederhana, bayangkan jika kita mengumpulkan seluruh kitab-kitab penting dunia seperti buku-buku filsafat, irfan, tasawwuf, kemudian kita menghilangkan bagian yang terkait dengan intuisi, hati, dan makna hidup, apakah buku-buku tersebut masih mendapatkan tempat dan layak dibaca?
Hal yang paling utama dalam diri manusia adalah karena manusia mempertemukan dua realitas utama; materi dan immateri. Manusia seperti kanal penghubung antara dua lautan; lautan materi dan lautan immateri. Sebab itu Rumi dalam hal ini sangat meyakini bahwa manusia tidak menciptakan realitas tersebut namun menemukannya. Dan intinya terletak pada fakultas persepsi manusia yang mesti diaktualkan sehingga mampu membuka realitas-realitas baru.
Pandangan dunia Rumi adalah sebuah pandangan dunia yang berusaha mengoptimalkan segala potensi yang ada di dalam diri manusia. Beragam potensi berupa fakultas dapat ditemukan dalam diri manusia dan potensi tersebut dapat meluas jika menemukan keterbukaannya. Berdasarkan pandangan ini, pandangan dunia Rumi juga tentunya dapat dipahami sebagai pandangan dunia yang terbuka mengikuti fakultas manusia yang senantiasa berpotensi menemukan keterbukaan dan keterluasan. 
Dari sini kita akan terlihat relasi antara pandangan dunia dengan dasar pemikirannya. Maksudnya sistem pemikiran Rumi sebagai sistem terbuka akan terlihat dengan jelas dalam aktualitas pemikirannya berikut ini;

1. Metode dalam Cerita dan Kisah
Kejeniusan Rumi dapat terlihat bagaimana ia menggunakan suatu kisah dan cerita dalam menjelaskan makna yang ingin disampaikan.  Rumi sama sekali tak peduli apakah kisah dan cerita tersebut benar adanya atau salah. Apa yang penting baginya adalah menyampaikan pesan dengan memanfaatkan suatu kisah atau cerita. Dalam Matsnawi ia mengakui hal tersebut;  
هم مثال ناقصی دست آورم        تا ز حیرانی خرد را واخرم 
Terkadang analogi (kisah) yang tak sempurna aku sampaikan
Hingga ku katakan, ku bawa akal pada keterpesonaan 
M.M, Bag 4, 424)
    
Kritik terhadap kisah dan cerita yang disampaikan Rumi dalam syair-syairnya menurut pandangan ini tidak tepat sebab Rumi sama sekali tidak peduli apakah kisah itu benar atau salah dan apakah kisah tersebut sempurna atau tidak semppurna. Tugas Rumi adalah menyampaikan prinsip-prinsip filosofis, pondasi pandangan dunia, manusia dan kemanusiaan, serta persoalan-persoalan Ilahiyyat melalui kisah, cerita, dan analogi sehingga kaum awam dapat memahaminya.

2. Paradigma Pandangan Dunia
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan sepintas mengenai pandangan dunia dalam pemikiran Rumi. Selanjutnya akan kami paparkan paradigma yang membentuk pandangan dunia Rumi;
a) Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Rumi tidak meragukan alam eksistensi sebagai suatu realitas yang nyata. Fenomena-fenomena seperti gerak, perubahan, paradoksikalitas alam semesta, serta proses gerak menyempurna dari materi menuju tingkatan eksistensi yang lebih sempurna, seluruhnya adalah bukti nyata keberadaan alam eksistensi. Namun penekanan Rumi yaitu membuktikan keberadaan suatu realitas melalui keterbukaan dan mengaktualkan dimensi-dimensi serta fakultas-fakultas manusia. Terminologi yang digunakan Rumi dalam menjelaskan potensi dan dimensi adalah dengan terminologi mata hati, akal, dan yang dipersepsi. 
خاصه چشم دل که آن هفتاد توست      پیش چشم حس که خوشه چین اوست 
Khususnya mata hati yang memiliki 70 batin
Sedangkan mata lahir ini himpunan pemungutannya.
M.M, Bag 4, 338)

غیراز این معقول ها. معقول ها       یابی اندر عشق پُرفرّوبها
selain dari konsep-konsep ini, ada konsep-konsep lain
Akan kau temukan dalam keagungan dan kemuliaan cinta
(M.M, Bag 5, 3233)

Sayangnya banyak yang salah memahami dari syair-syair Rumi sehingga menganggap Rumi penganut aliran idealisme. Mungkin karena Rumi lebih banyak menaruh perhatian kepada aspek internal manusia. Asumsi tersebut terjadi karena mereka tidak memahami maksud dari syair-syair tersebut. Apalagi jika meyakini bahwa pandangan dunia Rumi adalah pandangan dunia yang terbuka, maka Rumi tidak akan dibatasi dalam satu isme tertentu.
b) Maulana Rumi dalam berbagai karyanya tidak membuktikan secara langsung mengenai keterbatasan alam ini. Meski demikian Rumi meyakini apapun yang ada di alam ini, eksistensi mereka tak lagi memiliki realitas dihadapan keagungan dan kebesaran Tuhan. 
Eksistensi alam ini bagi Rumi tidak abadi dan tidak pula kekal. Bahkan jika pun toh  alam ini diasumsikan seolah tak ditemukan batasan akhirnya, namun mesti tetap diasumsikan keterbatasannya. Sebab biar bagaimanapun kita telah menjangkau alam ini melalui eksistensi dan persepsi kita sendiri. Sebab jika persepsi kita mampu menjangkaunya hal ini menunjukkan bahwa realitas tersebut terbatas. Dalam Matsnawi Rumi menjelaskan;
  حق آن كه دايگى كردى نخست            تا نهال ما ز آب و خاك رست
Demi Tuhan, dengan pemeliharaannya hingga ranting kami mengalir air
Tanah tumbuh dan berkembang
          حق آن شه كه ترا صاف آفريد            كرد چندان مشعله در تو پديد
Demi Tuhan yang telah menciptakanmu dengan kelembutannya
Dan obor bintang yang menyala-nyala menyinari dadamu 
         آن چنان معمور و باقى داشتت            تا كه دهرى از ازل پنداشتت‏
Begitu kokoh dan kekal menciptakanmu
Sehingga materialisme mengira dirimu azali 
         شكر دانستيم آغاز ترا            انبيا گفتند آن راز ترا
Kami bersyukur pada Ilahi, karena kami tahu dirimu berawal
Para Nabi telah menjelaskan rahasia dirimu 
         آدمى داند كه خانه حادث است            عنكبوتى نه كه در وى عابث است   
Manusia tahu, rumah itu berawal dan baru
Namun laba-laba yang bernaung dirumahnya tak kan tahu
(M.M, Bag 2, 2316-2320) 
     
Hukum yang berlaku di alam eksistensi ini menurut Maulana Rumi bahwa alam eksistensi dalam keberlangsungannya terus menerus dijaga oleh Tuhan. Keterjagaan alam ini setiap saat dan terus menerus oleh Tuhan adalah bukti keterbatasan alam karena segala entitas di alam ini senantiasa membutuhkan pancaran emanasi Ilahi. Pada saaat yang sama bersamaan dengan pancaran emanasi Ilahi, kehendak Ilahi pun akan selalu menyertai dalam setiap pancarannya.
   قرنها بگذشت و اين قرن نوى است            ماه آن ماه است آب آن آب نيست‏
Abad-abad telah berlalu, dan ini abad baru,
Bulannya, bulan-bulan itu juga, namun airnya, bukan air itu lagi.
         عدل آن عدل است و فضل آن فضل هم            ليك مستبدل شد آن قرن و امم‏
Keadilan adalah keadilan itu juga, pengetahuan pun pengatahuan itu juga,
Namun abad-abadnya dan kaum-kaumnya telah berganti.
         قرنها بر قرنها رفت اى همام            وين معانى برقرار و بر دوام‏
Wahai manusia besar! Abad-abad pergi silih berganti,
Namun pemaknaan ini kekal dan abadi.
         آب مبدل شد در اين جو چند بار            عكس ماه و عكس اختر برقرار
Air di aliran ini telah berganti beberapa kali,
Namun gambar bulan dan bintang tetap
         پس بنايش نيست بر آب روان            بلكه بر اقطار عرض آسمان
Sebab itu paradigmanya bukan pada air mengalir,
Namun pada hamparan singgasana langit.  

Wednesday, August 19, 2015

Naive Wahdatul Wujud

Wujud dalam pandangan Ibn Arabi;

1. Wujud tak dapat didefiniskan.

2. Wujud adalah hakikat tunggal. Sebab itu tidak terkait dengan univokal (musytarak maknawi) dan equivokal (muyatarak lafzi) karena hanya ada satu wujud.

3. Seluruh kesempurnaan-kesempurnaan akan kembali kepada hakikat wujud.

4. Wujud tidak bergradasi. Namun gradasi terjadi pada manifestasi (tajalli), bukan pada wujud.

5. Wujud identik dengan cahaya.

6. Wujud identik dengan ketunggalan.

7. Wujud identik dengan keniscayaan.

Menurut urafa, wujud tidak terbagi pada wujud wajib dan wujud mumkin. Bahkan wujud identik keniscayaan dan keniscayaan akan kembali kepada hakikat wujud, bukan kepada partikular-partikular wujud. Paradigma wujud seperti ini disebut dengan wahdatul wujud.

Mehdi Hairi Yazdi menyebut pandangan wujud Ibn Arabi dengan sebutan 'naive wahdatul wujud' yaitu suatu paradigma wujud yang sama sekali tak bisa dianalisa dengan bahasa dan pemahaman serta tak bisa dianalisa secara filosofis. Sebab 'naive wahdatul wujud' tak memiliki satu jenis keragaman apapun sehingga tak bisa dijelaskan dalam kerangka dan kaidah-kaidah filsafat.

Berbeda dengan naive wahdatul wujud dalam tradisi tasawwuf, wahdatul wujud dalam kerangka filsafat masih menerima perbedaan dalam dirinya yang disebut dengan gradasi wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra. Adanya perbedaan ini menyebabkan wujud masih bisa dianalisa melalui bahasa dan pemahaman dengan kaidah-kaidah filsafat. Mehdi Hairi Yazdi menyebut paradigma wahdatul wujud filsafat dengan 'critical wahdatul wujud'.

Monday, August 17, 2015

Apakah Heidegger seorang mistis (sufi)?

Menjawab pertanyaan tersebut sejak awal perlu ditekankan antara sufi dalam pemaknaan sesuatu yang diperoleh dari ‘pengalaman sufistik’ dengan sufi dalam pemaknaan ‘bahasa sufistik’. Heidegger tentu bukan seorang pelaku mistis atau dalam kata lain, filsafat Heidegger sedang tidak menjaskan filsafatnya sebagai hasil dari pengalaman mistik. Sebab tak ada satu pun karya Heidegger yang menjelaskan tentang ‘pengalaman mistik’. Sebab itu jika kita berbicara Heidegger sebagai seorang mistis sebenarnya maksud kita adalah bahasa mistik. Sebab itu pertanyaannya adalah mengapa bahasa Heidegger dipahami sebagai bahasa mistis?

Heidegger menggunakan istilah wujud, hakikat, manusia namun memberikan pemaknaan lain yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Penekanan Heidegger pada istilah tersebut bertujuan untuk menemukan jalan keluar dari problem ‘cogito Descartes’ sehingga tak ada dualitas antara ‘aku’ dan ‘tubuh’ serta ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Pandangan ‘cogito Descartes’ sebagaimana dipahami menjadi pondasi modernitas. Meski demikian, hampir semua gagasan filsafat setelah Descartes berusaha keluar dari keterjabakan dualitas Descartes. Kant, Hegel, dan juga Nietzsche berusaha mencari jalan melampaui gagasan dualitas.

Heidegger termasuk salah satu filsuf yang berusaha keluar dari problem dualitas ‘cogito’. Heidegger meyakini, metafisika telah terjebak dalam nihilisme karena telah melupakan eksistensi. Mereka mencari wujud (existence) namun yang mereka jelaskan adalah maujud (existent). Plato yang pertamakali terjebak dalam nihilisme karena menjelaskan wujud melalui maujud. 

Bahasa mistis Heidegger justru dimulai disini yaitu menafikan dualitas antara ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Metafisika akan menjebak kita melupakan eksistensi sebab yang meraka cari adalah wujud namun mereka menjelaskannya dengan maujud. Sebab itu dualitas mesti dihilangkan sehingga aku dan eksistensi menyatu. Penyatuan dengan hakikat eksistensi sangat akrab dalam bahasa sufistik. Apalagi usaha dan cita-cita kaum sufi berusaha menyatu dengan hakikat eksistensi melalui ‘fana’. Namun kita mesti tetap membedakan antara mistik kaum sufi yang berasal dari pengalaman mistik dengan Heidegger yang hanya bermain dalam ranah bahasa mistik, bukan pengalaman mistik.

Sunday, August 16, 2015

Heidegger dan Kematian

Saat Heidegger berpikir tentang kematian, ada satu pertanyaan menarik tentang kematian yang diajukan oleh Heidegger; bagaimanakah kematian dapat menolong manusia? Menurutnya, menaruh perhatian kepada kematian dapat memberikan pandangan jernih kepada manusia. Heidegger dari satu sisi memberikan penekanan yang berbeda mengenai eksistensi bahwa ‘dasein’ (eksistensi manusia) memiliki dua tingkatan;

1. keterasingan atas eksistensi.
2.  kesadaran atas eksistensi.

Pada tingkatan pertama, manusia hidup dalam dunia entitas-entitas keseharian dan asyik dalam kehidupan keseharian bahkan tenggelam di dalamnya. Ketenggelaman tersebut menghasilkan percakapan-percakapan yang tak bernilai. Pada tingkatan ini, ketertarikan manusia hanya pada bentuk-bentuk eksistensi.

Namun pada tingkatan selanjutnya yaitu pada tingkatan kesadaran atas eksistensi, manusia tidak akan tenggelam dalam entitas-entitas lainnya, namun mampu melampauinya. Keberadaan-keberadaan entitas lainnya akan menakjubkan dirinya dan oleh karenanya, kehidupan dalam tingakatan ini adalah kesadaran terus menerus terhadap eksistensi. Heidegger menyebut tingkatan ini dengan ‘ontological mode’. 

Tingkatan pertama adalah tingkatan kehidupan keseharian dan keterasingan dari eksistensi. Heidegger menganggap tingkatan ini tidak esensi dan tidak memberikan kesejatian manusia. Pada tingkatan ini manusia tidak merasakan tanggungjawab terhadap yang lainnya dan manusia tak dapat membangun dirinya dan dunianya.

Namun ketika manusia sampai pada tingkatan kedua, segala perhatian dan pikirannya tertuju pada eksistensi. Manusia akan menemukan kehidupannya yang sejati. Pada tingkatan ini, manusia memiliki kesadaran sepenuhnya terhadap dirinya; sadar atas potensi-potensi dan juga keterbatasan-keterbatasan dirinya. Fungsi kematian pada tingkatan ini akan semakin jelas. Seseorang dengan pemikiran yang sederhana, dari tingkatan keterasingan atas eksistensi tak kan sampai pada tingkatan kesadaran atas eksistensi. Manusia mesti mengalami beberapa pengalaman tertentu sehingga mampu membangkitkan kesadaran internalnya. Setiap manusia dalam kehidupan kesehariannya pasti berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tak mungkin dihindari dan sekaligus menggugah dirinya. Fenomena tersebutlah yang mengantarkan manusia berpikir mengenai eksistensi. Kematian dan berpikir pada kematian memiliki peran khusus sebab mampu mempersiapkan kepada manusia, kemungkinan memiliki kehidupan yang sejati dan bermakna.