Wednesday, August 19, 2015

Naive Wahdatul Wujud

Wujud dalam pandangan Ibn Arabi;

1. Wujud tak dapat didefiniskan.

2. Wujud adalah hakikat tunggal. Sebab itu tidak terkait dengan univokal (musytarak maknawi) dan equivokal (muyatarak lafzi) karena hanya ada satu wujud.

3. Seluruh kesempurnaan-kesempurnaan akan kembali kepada hakikat wujud.

4. Wujud tidak bergradasi. Namun gradasi terjadi pada manifestasi (tajalli), bukan pada wujud.

5. Wujud identik dengan cahaya.

6. Wujud identik dengan ketunggalan.

7. Wujud identik dengan keniscayaan.

Menurut urafa, wujud tidak terbagi pada wujud wajib dan wujud mumkin. Bahkan wujud identik keniscayaan dan keniscayaan akan kembali kepada hakikat wujud, bukan kepada partikular-partikular wujud. Paradigma wujud seperti ini disebut dengan wahdatul wujud.

Mehdi Hairi Yazdi menyebut pandangan wujud Ibn Arabi dengan sebutan 'naive wahdatul wujud' yaitu suatu paradigma wujud yang sama sekali tak bisa dianalisa dengan bahasa dan pemahaman serta tak bisa dianalisa secara filosofis. Sebab 'naive wahdatul wujud' tak memiliki satu jenis keragaman apapun sehingga tak bisa dijelaskan dalam kerangka dan kaidah-kaidah filsafat.

Berbeda dengan naive wahdatul wujud dalam tradisi tasawwuf, wahdatul wujud dalam kerangka filsafat masih menerima perbedaan dalam dirinya yang disebut dengan gradasi wujud sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra. Adanya perbedaan ini menyebabkan wujud masih bisa dianalisa melalui bahasa dan pemahaman dengan kaidah-kaidah filsafat. Mehdi Hairi Yazdi menyebut paradigma wahdatul wujud filsafat dengan 'critical wahdatul wujud'.

Monday, August 17, 2015

Apakah Heidegger seorang mistis (sufi)?

Menjawab pertanyaan tersebut sejak awal perlu ditekankan antara sufi dalam pemaknaan sesuatu yang diperoleh dari ‘pengalaman sufistik’ dengan sufi dalam pemaknaan ‘bahasa sufistik’. Heidegger tentu bukan seorang pelaku mistis atau dalam kata lain, filsafat Heidegger sedang tidak menjaskan filsafatnya sebagai hasil dari pengalaman mistik. Sebab tak ada satu pun karya Heidegger yang menjelaskan tentang ‘pengalaman mistik’. Sebab itu jika kita berbicara Heidegger sebagai seorang mistis sebenarnya maksud kita adalah bahasa mistik. Sebab itu pertanyaannya adalah mengapa bahasa Heidegger dipahami sebagai bahasa mistis?

Heidegger menggunakan istilah wujud, hakikat, manusia namun memberikan pemaknaan lain yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Penekanan Heidegger pada istilah tersebut bertujuan untuk menemukan jalan keluar dari problem ‘cogito Descartes’ sehingga tak ada dualitas antara ‘aku’ dan ‘tubuh’ serta ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Pandangan ‘cogito Descartes’ sebagaimana dipahami menjadi pondasi modernitas. Meski demikian, hampir semua gagasan filsafat setelah Descartes berusaha keluar dari keterjabakan dualitas Descartes. Kant, Hegel, dan juga Nietzsche berusaha mencari jalan melampaui gagasan dualitas.

Heidegger termasuk salah satu filsuf yang berusaha keluar dari problem dualitas ‘cogito’. Heidegger meyakini, metafisika telah terjebak dalam nihilisme karena telah melupakan eksistensi. Mereka mencari wujud (existence) namun yang mereka jelaskan adalah maujud (existent). Plato yang pertamakali terjebak dalam nihilisme karena menjelaskan wujud melalui maujud. 

Bahasa mistis Heidegger justru dimulai disini yaitu menafikan dualitas antara ‘aku’ dan ‘eksistensi’. Metafisika akan menjebak kita melupakan eksistensi sebab yang meraka cari adalah wujud namun mereka menjelaskannya dengan maujud. Sebab itu dualitas mesti dihilangkan sehingga aku dan eksistensi menyatu. Penyatuan dengan hakikat eksistensi sangat akrab dalam bahasa sufistik. Apalagi usaha dan cita-cita kaum sufi berusaha menyatu dengan hakikat eksistensi melalui ‘fana’. Namun kita mesti tetap membedakan antara mistik kaum sufi yang berasal dari pengalaman mistik dengan Heidegger yang hanya bermain dalam ranah bahasa mistik, bukan pengalaman mistik.

Sunday, August 16, 2015

Heidegger dan Kematian

Saat Heidegger berpikir tentang kematian, ada satu pertanyaan menarik tentang kematian yang diajukan oleh Heidegger; bagaimanakah kematian dapat menolong manusia? Menurutnya, menaruh perhatian kepada kematian dapat memberikan pandangan jernih kepada manusia. Heidegger dari satu sisi memberikan penekanan yang berbeda mengenai eksistensi bahwa ‘dasein’ (eksistensi manusia) memiliki dua tingkatan;

1. keterasingan atas eksistensi.
2.  kesadaran atas eksistensi.

Pada tingkatan pertama, manusia hidup dalam dunia entitas-entitas keseharian dan asyik dalam kehidupan keseharian bahkan tenggelam di dalamnya. Ketenggelaman tersebut menghasilkan percakapan-percakapan yang tak bernilai. Pada tingkatan ini, ketertarikan manusia hanya pada bentuk-bentuk eksistensi.

Namun pada tingkatan selanjutnya yaitu pada tingkatan kesadaran atas eksistensi, manusia tidak akan tenggelam dalam entitas-entitas lainnya, namun mampu melampauinya. Keberadaan-keberadaan entitas lainnya akan menakjubkan dirinya dan oleh karenanya, kehidupan dalam tingakatan ini adalah kesadaran terus menerus terhadap eksistensi. Heidegger menyebut tingkatan ini dengan ‘ontological mode’. 

Tingkatan pertama adalah tingkatan kehidupan keseharian dan keterasingan dari eksistensi. Heidegger menganggap tingkatan ini tidak esensi dan tidak memberikan kesejatian manusia. Pada tingkatan ini manusia tidak merasakan tanggungjawab terhadap yang lainnya dan manusia tak dapat membangun dirinya dan dunianya.

Namun ketika manusia sampai pada tingkatan kedua, segala perhatian dan pikirannya tertuju pada eksistensi. Manusia akan menemukan kehidupannya yang sejati. Pada tingkatan ini, manusia memiliki kesadaran sepenuhnya terhadap dirinya; sadar atas potensi-potensi dan juga keterbatasan-keterbatasan dirinya. Fungsi kematian pada tingkatan ini akan semakin jelas. Seseorang dengan pemikiran yang sederhana, dari tingkatan keterasingan atas eksistensi tak kan sampai pada tingkatan kesadaran atas eksistensi. Manusia mesti mengalami beberapa pengalaman tertentu sehingga mampu membangkitkan kesadaran internalnya. Setiap manusia dalam kehidupan kesehariannya pasti berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tak mungkin dihindari dan sekaligus menggugah dirinya. Fenomena tersebutlah yang mengantarkan manusia berpikir mengenai eksistensi. Kematian dan berpikir pada kematian memiliki peran khusus sebab mampu mempersiapkan kepada manusia, kemungkinan memiliki kehidupan yang sejati dan bermakna.     

Friday, August 14, 2015

Apakah Hakikat itu ada?

Jika hakikat itu ada apakah pengetahuan dapat menjangkaunya? Tak ada jalan lain kecuali memulainya dengan ilmu huduri (kehadiran). Setiap persepsi dan 'subjek yang mempersepsi', dilihat dari sisi bahwa ia mempersepsi dirinya sendiri, maka sebenarnya ia memperoleh suatu hakikat yaitu hakikat dirinya sebab persepsi adalah hakikat dan wujud itu sendiri. Pengetahuan dan 'objek yang diketahui' dalam hal ini adalah satu dimana wujud dan 'persepsi ilmu huduri' tak terpisah, tak berbeda, dan tak berbilang sehingga tak bisa dikatakan diantara keduanya ada yang lebih dahulu dari yang lain sebagaimana yang terlihat dalam gagasan Descartes, 'aku berpikir maka aku ada' dimana berpikir atau persepsi mendahului eksistensinya.

Perbedaan antara pikiran dan eksistensi adalah pada konsep dimana konsep terkait dengan pengetahuan husuli (korespondensi). Oleh karena itu, sebagian dari pengetahuan dan realitas atau hakikat wujud tak mungkin diragukan. Berdasarkan hal ini pula, jika kita bisa menemukan hakikat eksistensi (meskipun sebagian dari eksistensi dan bahkan hanya diri kita saja) maka kita mampu keluar dari problem skeptisisme absolut. Pondasi argumentasi gagasan ini begitu kokoh sehingga tak mungkin ada yang meragukannya.

Disinilah rahasianya mengapa pembahasan filsafat selalu diawali dengan 'wujud'. Hal lain yang perlu dipahami bahwa apa yang ditemukan melalui ilmu huduri adalah wujud atau hakikat eksistensi dimana wujud lebih dahulu dari segala bentuk persepsi. Namun 'persepsi konsep wujud' tentu tahapannya lebih terakhir.

Thursday, August 13, 2015

Fenomenologi Instagram

Mungkin sebagian dari kita masih ingat, dahulu betapa susahnya mendapatkan sebuah gambar foto dari kamera. Mengabadikan kenangan melalui kamera waktu itu tidak mudah. Prosesnya cukup melelahkan dan meraup kocek yang tidak sedikit. Mungkin masih ingat 'klise foto' yang dimasukkan ke dalam kamera. Klise foto berfungsi merekam gambar melalui pemotretan kamera. Setelah melakukan pemotretan, hasil gambarnya tak dapat langsung dinikmati. Klisenya mesti 'dicuci' terlebih dahulu. Terkadang ada klise foto yang terbakar atau tidak menghasilkan gambar sama sekali.

Sewaktu zaman klise foto, biasanya tak semua momen diabadikan sebab mesti menghemat klise foto. Setiap pemotretan berarti mengurangi jumlah batasan klise foto yg ditentukan. Oleh karenanya, pada saat itu foto tak berlaku untuk semua khalayak dan juga tak mudah ditemukan disemua tempat.

Era digital telah merubah hal yang sulit menjadi mudah. Cukup dengan telpon genggam, sebuah gambar bisa diabadikan dengan cepat. Bukan hanya itu, pada saat yang sama teman-teman kita bisa langsung menikmati gambar yang baru saja terekam dengan mensharenya melalui jaringan medsos; instagram, fb, twitter, G+, dan lainnya. Intinya, selfie dengan segala tujuan yang ada dibaliknya menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita. Dalam kata lain, gambar atau foto telah menjadi satu bentuk bahasa dialogis tanpa bahasa. Lalu Bagaimana kita memahami suatu bentuk kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai gambar? Instagram menawarkan satu bentuk baru kehidupan yaitu mampu memberikan setiap saat gambar baru dari kehidupan kita. Kira-kira apa rahasia instagram mengapa begitu diminati?

1. Foto selfie; individualis subjektivisme. Subjektivisme merupakan karekteristik manusia modern. Subjektivisme yang hanya merangkum segala persoalan pada individualisme, "aku". Ketika kamera sedang mengarah pada wajah kita, "diri" adalah subjek atau selfie dan dari sisi eksistensi mempersepsi dirinya melebihi yang lainnya. Namun tanpa sadar foto 'selfie' membawa 'diri' atau 'aku' pada catatan pinggir sebab hanya fokus pada suatu 'relasi', relasi antara selfie pada dirinya dan selfie pada yang lain.

Salah satu menifestasi individualis subjektivisme adalah instagram yang mampu menciptakan sosial artifisial dan individual artifisial. Mereka yang menyebar gambar dirinya di akun instagram akan membuat dirinya menjadi seolah memiliki personal yang beragam dan menjadi potongan-potongan gambar dibenaknya. Identitasnya yang batin dan tersembunyi menjadi nampak dan terbuka. Dan hal ini menjadi salah satu ciri etika individualis humanistik.

2. Asyik umbar keyakinan dalam perang wacana; perkembangan jejaring sosial yang begitu pesat dan cepat, memicu laju perkembangan informasi yang cepat pula. Kondisi tersebut yang memicu seseorang mengumbar setiap keyakinannya ke media sosial. Fakta di dunia kini adalah menyuguhkan berbagai ragam wacana dan keyakinan dan instagram salah satu wadah terbaik dalam mengumbar keyakinan seseorang atau pun juga mengeritiknya, apapun bentuk keyakinanya termasuk lifestyle. Postingan gambar yang disertai dengan kata-kata singkat yang menarik, jika dilakukan terus menerus akan menambah pengikut dan secara perlahan pengikut fanatik akan membentuk pasukan cyber di medsos. Sebagian dari kenikmatan dunia maya sebab memungkinkan menghapus benak seseorang dari keyakinannya. Sebagian orang melakukannya dengan menyebar fitnah sebab Fitnah adalah hal yang sangat mudah dilakukan di dunia medsos.

3. Paradoks kebebasan dan kekerasan; kehadiran followers ibaratnya seperti para penonton yang bertepuk tangan dalam suatu acara pertunjukan. Namun pastinya penonton punya keterbatasan dalam memaknai. Sebab itu respon penonton beragam; suka, kritik, dan bahkan menolak. Hal yang perlu dipahami karena instagram lebih menekankan pada persepsi penglihatan. Mereka yang terbiasa memahami sesuatu melalui pendengaran, keterbatasan dalam memahami akan lebih terasa. Maksudnya mereka yang berusaha mentransfer suatu pemahaman melalui pemahaman, dalam instagram tak memiliki ruang. Artinya pemaknaan yang ditawarkan tak punya standar definisi yang akan berpotensi menjelma sebagai suatu bentuk kekerasan dan kebebasan yang tanpa batas.

Meski demikian, para penikmat instagram justru mendapatkan kenikmatan yang lain, sebab instagram sebagaimana sosmed lainnya punya kekuatan dalam mematikan dan menghidupkan penduduknya. Kekerasan dalam dunia instagram, cukup dengan memblok berarti samadengan perintah meniadakannya. Seperti seorang Raja, jaminan kehidupan dan kematian seseorang ada ditelunjuknya. Namun disisi lain yang paling menakutkan adalah kebebasan berekspresi yang tanpa batas yang tak lagi bisa dikontrol dengan baik. Kebebasan yang tanpa standar tersebut akan berakibat fatal dalam dunia nyata.