Wednesday, August 5, 2015

Takwil Syair Rumi (1)

Saya tak percaya, saya begitu tak sadar,
Bagaimana mungkin saya melupakan hakikat !
~ Rumi


Takwil Syair;
Pertanyaan hakikat ini untuk siapa ? Ada bentuk pertanyaan yang tujuannya bukan untuk bertanya namun mengingatkan, seperti firman Tuhan, 'bukankah Aku Tuhanmu !'. Pertanyaan ini adalah pertanyaan untuk mengingatkan, bukan meminta jawaban.
Lalu untuk siapa pertanyaan Rumi ? Iya untuk kita, bukan untuk Rumi sebab Rumi menulisnya dalam kesadaran eksistensinya akan hakikat. Tapi apa maksud Rumi dengan hakikat ! Bukankah kita melakukan segala aktifitas keseharian kita dengan kesadaran ! Bukankah setiap hari kita berdialog dengan orang-orang dekat kita !
Lalu mana yang disebut hakikat !
Tapi saya ingat Sabda Rasul yang suci, 'kebanyakan manusia tertidur, mereka sadar saat mereka mati'. Iya. Sadar dan kematian ternyata memiliki hubungan erat. Seolah syarat mempersepsi hakikat adalah dengan kematian. Benar. Sebab saat ini kita merasa hidup hanya karena badan kita bergerak, mata kita melihat,  telinga kita mendengar, mulut kita berbicara, tapi hati kita lalai. Kita hanya melihat yang nampak namun tak mampu melihat dibaliknya. Dalam surah arrum ; 7, 'mereka mengetahui zahirnya kehidupan dunia namun lalai dari akhirat (batinnya)'.

Sunday, August 2, 2015

Kontradiksi Menurut Hegel

Mereka yang akrab dengan filsafat Hegel akan memahami bahwa salah satu karekteristik logika dialektika hegel adalah kontradiski atau paradoks. Dan oleh karena itu setiap konsep adalah kontradiksi, dan bukan hanya konsep 'lingkaran segiempat' yang kontradiksi sebagai salah satu contoh.

Namun mesti dipahami, maksud kontradiksi dalam pandangan Hegel, bukan kontradiksi sebagaimana yang dipahami oleh Aristoteles sebab jika yang kita gunakan sejak awal adalah kontradiksi dalam pemaknaan Aristoteles maka tentu pembicaraan mengenai kontradiksi Hegelian tak punya makna sama sekali, bahkan kita tak lagi bisa berbicara dan membahasnya. Seluruh proposisi dialektika Hegel niscaya batil jika tolak ukur dalam menilainya melalui pendekatan logika Aristotelian.

Maksudnya jika anda meyakini kemustahilan terjadinya kontradiksi, namun pada saat yang sama setiap wujud akan menghasilkan ketiadaan dan setiap ketiadaan akan menghasilkan wujud, maka tentu logika manusia tak lagi bermakna dan bahkan hanya akan menghancurkan logika fitrawi manusia. Oleh karenanya Hegel tidak bermaksud membenturkan logika dialektikanya dengan logika Aristotelian. Karena Hegel pun memahami dengan baik logika Aristotelian sehingga bisa mengatakan dialektika ada sekaligus tidak ada, kontradiksi sekaligus tidak kontradiksi. Sebab itu Hegel ingin memberikan pemaknaan yang lain tentang kontradiksi.

Hegel saat memberikan penjelasan tentang logika dialektikanya mengatakan, "saya mengatakan setiap sesuatu mengandung anti-tesa, lawan atas dirinya sendiri di dalam dirinya. Namun pengertian anti-tesa atau lawan atas dirinya adalah dalam pemaknaan 'meliputi', bukan dalam pemaknaan tesa adalah anti-tesa itu sendiri sebagai realitas yang tunggal yang akan meniscayakan kontradiksi. Jadi perlu dipahami, istilah 'meliputi' beda dengan istilah kontradiksi pada satu realitas objek.

Meski demikian sebagian penafsir Hegelian masih meyakini dialektika Hegelian dalam hal ini kontradiksi Hegelian secara konsep sama dengan kontradiksi Aristotelian. Apalagi Hegel sangat memahami pemikiran filsuf sebelumnya. Kemudian penafsir Hegelian menambahkan, sebenarnya Hegel ingin menjelaskan bahwa ada beberapa jenis bentuk logika. Misalnya dalam logika Aristotelian kontradiksi dianggap sebagai suatu kemustahilan, namun dalam logika lain tidak mustahil.

Saturday, July 25, 2015

Antara Gambaran dan Pemahaman

Allah adalah cahaya langit dan bumi . . . (Annur;35). Al-Gazali dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, cahaya memiliki empat tingkatan; mishbah, zujajah, misykat, dan zaitunah. Selanjutnya Al-Gazali mengatakan, empat tingkatan ini dapat dipahami namun tak dapat dikonsepsikan atau digambarkan.

Lalu apakah perbedaan antara konsepsi dan pemahaman?

Banyak hal yang mampu terpahami namun kita tak mampu menggambarkan atau mengkonsepsikannya. Misalnya saat anda berada di kelas, anda memahami bahwa anda berada di dalam kelas dan anda pun mampu menggambarkan kelas tersebut. Namun berbeda dengan persoalan waktu, kita bisa memahami namun tak bisa digambarkan dan dikonsepsi. Kita sering menggunakan kata azali dan abadi karena kita memahami maknanya, namun apakah kita bisa menggambarkannya?

Contoh lainnya apakah kita punya gambaran atau konsepsi tentang Tuhan? Bagaimana kita bisa menggambarkan Tuhan? Ali bin Abi Thalib mengatakan, betapapun dirimu berusaha menggambarkan Tuhan secara mendalam, gambaran itu adalah makhlukmu atau ciptaanmu.

Ada banyak persoalan yang mungkin saja kita tak memiliki gambarannya secara jelas sehingga kecendrungan manusia tentu lebih mementingkan persoalan yang mampu digambarkan secara nyata.

Menurut filsuf islam, sesuatu yang memiliki gambaran, terkait dengan alam imajinasi. Pada prinsipnya, bermajinasi ialah mempersepsi gambar, namun istilah ini dalam pandangan orang awam terkadang dipahami secara negatif. Padahal makna imajinasi atau berimajinasi ialah mempersepsi sesuatu yang memiliki gambar.

Pertanyaan selanjutnya, apakah manusia hanya sampai pada level imajinasi atau khiyal atau mampu menembus pada alam selanjutnya? Para penyair lebih banyak bergelut di alam imajinasi. Karena mereka memiliki imajinasi yang kuat sehingga mampu menciptakan syair yang memiliki makna yang tinggi. Bahkan imajinasi mampu menggambarkan kontradiksi yang tak mungkin terjadi di alam eksternal, karena imajinasi adalah alam yang tak tertabas. Terbatasnya justru pada subjek yang membatasinya.

Namun bagaimana dengan persepsi akal? Misalnya konsep "setiap akibat pasti memiliki sebab" apakah memiliki bentuk? Jangan lihat pada api yang memberikan efek panas, sebab api dan panas hanya salah satu dari partikularitas hukum kausalitas.

Nah sekarang konsep "setiap akibat pasti ada sebabnya" bagaimanakah menggambarkannya dan mengkonseptualkannya? Konsep-konsep universal tak memiliki bentuk. Universal dapat digambarkan ketika dikaitkan pada partikularnya. Persoalan bentuk terkait pada partikularitas, bukan universal sebagaimana universal. Dan berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa manusia tidak hanya berhenti pada alam imajinasi saja, namun juga bisa menembus pada alam selanjutnya yaitu alam akal.

Sunday, April 19, 2015

Pemikiran Jalaluddin Rumi sebagai Sistem Filsafat Terbuka

Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
Tak diketahui kebaruan itu dalam keabadian
Umur bagai arus, baru dan baru
Senantiasa berlangsung dalam jasad
~ Jalaluddin Rumi
Salah satu hal yang menarik dalam pemikiran Rumi adalah tentang sistem filsafatnya yang diyakini sebagai sebuah sistem filsafat yang terbuka. Sistem filsafat sebagaimana yang dipahami ada yang dibangun dalam bentuk sistem yang tertutup dan ada pula dalam bentuk sistem yang terbuka.  
Pengertian sistem filsafat tertutup adalah sebuah sistem pemikiran yang dibangun dalam menafsirkan hakikat alam dan hakikat realitas lainnya melalui sistem tertentu. Misalnya filsafat Himah Muta’aliyah Sadra menafsirkan hakikat alam bersama realitasnya melalui teori fundamentalitas wujud, gradasi wujud, dan gerak substansi. Maksudnya penafsiran atas hakikat alam beserta hakikat yang ada didalamnya tak kan mungkin terselaikan kecuali dengan pendekatan teoti-teori yang telah dibangunnya. Sebab itu hampir seluruh persoalan filsafat diselesaikan dengan fundamentalitas wujud oleh Sadra. Pemikiran Ibn Arabi dapat juga digolongkan sebagai sistem pemikiran yang tertutup karena seluruh pembahasannya diselesaikan dengan pendekatan wahdatul wujud dan sistem tajalli.
Berbeda dengan Ibn Arabi dan Sadra, Maulana Jalaluddin Rumi membangun sistem pemikirannya dengan sistem filsafat yang terbuka. Namun perlu dipahami, sistem filsafat terbuka bukan dalam pengertian tak memiliki sistem filsafat yang khas, namun ada hal yang mendasari mengapa Rumi memilih sistem filsafat terbuka.
Dalam pandangan Rumi, ada dua hal yang tak terbatas yaitu Tuhan dan hakikat alam. Hakikat alam juga tak terbatas dikarenakan alam ini bergantung secara totalitas kepada Tuhan. Dan oleh karena Tuhan tak terbatas maka ciptaan-Nya pun tak terbatas. Kita mengatakan alam ini terbatas, disaat kita membandingkan alam ini dengan Tuhan. Saat itulah kita mengatakan Tuhan tak terbatas dan alam ini terbatas. Namun jika kita melihat alam ini tanpa mengaitkannya dengan Tuhan, kita akan sadar bahwa alam ini senantiasa mengalami kebaruan yang tanpa kita tahu akhir dari kebaruan ini. Sebab itu tak ada satu pun manusia yang mampu mengetahui titik akhir alam ini. Berdasarkan hal ini pula, tak ada yang mampu meneropong dan mempredeksi bagaimana bentuk akhir dari alam ini kecuali berpegang pada teks-teks suci.
Tuhan dan alam semesta bagi Rumi adalah dua hal yang tak terhingga. Pandangan ini sekaligus memberikan implikasi bahwa setiap definisi atas realitas eksternal dari seorang pemikir, pada hakikatnya definisi dia tentang realitas itu sendiri. Dalam kata lain, ia hanya menjelaskan sebagian saja dari realitas eksternal, tidak menjelaskan segala hakikat realitas eksternal. 
Pandangan sistem filsafat yang terbuka ini bagi Rumi berasal dari kesadaran akan hakikat emanasi Tuhan yang tercurahkan terus-menerus tanpa batas. Maksudnya segala hal yang terjadi pada hakikat alam ini disebabkan oleh hakikat dibalik alam materi ini. Karena itu pondasi dari sistem filsafat terbuka dalam pandangan Rumi ialah ketidakterbatasan Tuhan, ketidakterbatasan alam karena alam bersandar sepenuhnya kepada Tuhan, dan selanjutnya adalah emanasi serta tajalli Tuhan yang tercurahkan terus menerus dan tak terbatas. 
Berdasarkan dari pemaparan sebelumnya, maka tak kan kita temukan satu sistem yang tetap dalam pandangan Rumi. Maksudnya satu sistem yang dengan sistem tersebut dijadikan sebagai alat dalam meneropong segala realitas. Tak heran jika dalam syair-syair Rumi akan ditemukan berbagai pendekatan dalam menafsirkan realitas. Misalnya terkadang rumi menjelaskan determinis, terkadang kehendak bebas, dan terkadang diantara keduanya. Semuanya memiliki tempat dalam pandangan Rumi.

Kata Rumi;
Berabad-abad telah berlalu, ini abad baru
Bulannya, bulan itu juga, dan airnya, bukan air itu.
Adil, adil itu juga, dan kemuliaan, kemuliaan itu juga,
Meskipun abad ini telah berganti, juga ummatnya,
Abad telah menggantikan abad lain
Dan makna-makna ini tetap dan abadi
Air itu mengair dan telah berganti berkali-kali
Meksi gambar bulan dan bintang tak berubah 

~ Jalaluddin Rumi

         


Monday, February 9, 2015

Demokrasi itu apa?

Jika salah satu diantara kita ditanya, 'apakah anda menerima demokrasi atau tidak?' Sebagian besar dari kita tanpa ragu akan menjawabnya, 'tentu, kita menerimanya'.

Jika pertanyaannya kita lanjutkan kembali, 'apa sebenarnya yang anda maksud dengan demokrasi?'
Kira-kira kita akan mendefinisikannya, 'mereka yang meraih kekuasaan melalui suara terbanyak'. Definisi ini cukup sederhana dan maksudnya jelas.

Namun jika kita kembali bertanya, 'siapakah mereka yang disebut dengan masyarakat dan siapakah yang memberhak memberikan suara? Apakah seluruh elemen masyarakat memiliki hak suara yang sama ? Darimana kita tahu bahwa sebagian besar dari masyarakat telah memilih dengan baik ? Siapakah diantara mereka yang mesti kita pilih ? Mengapa harus mereka ? Jika sebagian besar pemilih bukan asli pribumi, apa yang mesti dilakukan ? Mengapa masyarakat yang dimaksud dibatasi dengan masyarakat pada negara tersebut saja ? Apakah orang-orang non-pribumi berhak hidup di negeri ini dan juga memiliki hak suara ? Apakah hak suara masyarakat dipahami sebagai sebuah hak individu atau maslahat saja ataukah sesuatu yang plain?'

Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya menunjukkan bahwa konsep demokrasi sejak awal adalah konsep yang ambigu dan tidak jelas.

Demokrasi adalah pemerintahan
Demos, namun demos itu apa ? Demos bermakna keyakinan terhadap nilai-nilai individu manusia dan juga menjunjung tinggi keputusannya baik itu bersifat privasi maupun sosial. Keyakinan terhadap kekuasaan demos berarti memberikan hak sepenuhnya dalam membuat undang-undang, memisahkannya dari bingkai syariat serta memisahkannya dari  kekuasaan mutlak Tuhan sepenuhnya.

Demos bermakna sejumlah massa dari orang-orang. Kata massa berbeda dengan kumpulan. Karena kumpulan bermakna terdiri dari orang-orang yang saling bekerjasama dan saling berinteraksi sehingga saling mempengaruhi. Oleh karenanya dari sekumpulan ini akan melahirkan satu spirit atau ruh tertentu.

Namun massa terbentuk dari orang-orang yang dengan norma-norma, nilai-nilai etika, serta keyakinan-keyakinan internal yang dimilikinya akan mengatur prilaku dan tindakan-tindakan mereka. Perbuatan mereka akan dikontrol sehingga faktor-faktor eksternal tak dapat menciptakan bentuk tindakan apapun di dalam massa tersebut.

Namun setelah priode modernitas,  manusia menjelma dalam sebuah bentuk atomistik dan dipahami sebagai massa sehingga manusia tak lagi memiliki realitas esensi dan atau kualitas. Manusia pada saat itu hanya sejajar dengan kuantitas-kuantitas. Tak ada lagi tanggungjawab dan pesan-pesan moral kemanusiaan. Massa ialah masyarakat yang dipenuhi dengan bahan mentah yang dengannya massa tersebut terbangun. Dan dikelilingi dengan reklame dan propaganda. Karl Marx menyebut masyarakat modern seperti itu dengan 'adonan sosial' yang dapat dibentuk sekehendak kita. Disisi lain semakin kuat kekuatan individu yang disertai dengan menurunnya kekuatan kelompok, sistem birokratik dan propaganda sosial akan semakin meningkat. Dalam kata lain, semakin lemah adonan, akan semakin mudah tangan mencengkramnya.

Padahal jika potensi kekuatan agung manusia tidak dikontrol atau dipertimbangkan dengan pengetahuan transenden seperti akal, intuisi, dan agama maka akan terjadi kekisruhan, sebagaimana yang terlihat dalam perang dunia dan apa yang terjadi dalam dunia posmodernite. Sebagian ilmuan barat pun mengakui bahwa terjadinya perang dunia dikarenakan persoalan itu. Mereka menyebutnya sebagai masyarakat massa.

Fenomena ini menjadi perhatian sebagian pemikir eksistensialisme seperti Heidegger. Manusia dalam pengertian demos ialah sistem pengaktifan kebutuhan-kebutuhan material dan psikis yang didasarkan pada kecendrungan nafsani. Demokrasi salah satu tahapan aktualitas realitas eksternal kecendrungan nafsani manusia. Demi mengayomi segala kebutuhan sebagian individu tertentu, dibentuklah dasar-dasar demokrasi, dalam setiap priode dan juga dalam beragam bentuk pemikiran, Sebagaimana yang telah didefinisikan oleh liberalisme klasik mengenai demokrasi ialah kalangan elitis dan menengah yang mampu membayar pajak.

Karl Marx menganggap ploretar nasionalis, kalangan feminis, fasisme, dan ras ariya sebagai jelmaan dari demos. Dan bahkan embrio demokrasi yaitu pada masa  yunani kuno menganggap laki-laki merdeka atena (lawan dari perempuan-perempuan, budak-budak, dan para transmigran) sebagai jelmaan demos. Aspek yang membedakan antara demokrasi dengan bentuk-bentuk pemerintahan lainnya, bukan pada kesamaan hak suara dan kebebasan untuk semua, karena sebagaimana yang kami sampaikan, fasisme salah bentuk dari demokrasi. Namun yang membedakannya dapat terlihat pada tahap awal yaitu hak legislator yang terpisah dari Tuhan dan juga meletakkan kecendrungan nafsani sebagai hal yang mendasar, bukan keinginan-keinginan Ilahiyah. Karena itu dalam pandangan ini, apakah diasumsikan bahwa ada alam immateri, atau jika pun diyakini keberadaannya, tidak memiliki peran yang penting dalam mengatur alam ini.