Thursday, February 27, 2014

Filsafat Sejarah

[Dimensi Universal ajaran para Nabi dalam Quran]
Sebagaimana dipahami bersama, jika kita memandang dari sisi ruang dan waktu maka para Nabi terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Para Nabi Secara periodik, ada yang lebih dahulu dan ada yang lebih terakhir.  Maksudnya bahwa keterpisahan jarak beserta ruang dan waktu disebabkan oleh keniscayaan materi. Namun meskipun demikian, hal yang mesti dipahami bahwa para Nabi secara substansi adalah hakekat yang tak terpisahkan dan suatu realitas yang tersambung dari awal hingga akhir.
Rahasia mengapa para Nabi merupakan hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir, dikarenakan para Nabi merupakan manifestasi agung Ilahi. Oleh karenanya, sebagaimana Allah swt memanifestasikan dirinya dalam nama-namaNya dan nama-namaNya pun kemudian memanifestasikan dirinya dalam beragam bentuk, namun pada saat yang sama nama-nama tersebut merupakan satu hakekat yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir. Mengikuti hal tersebut, maka para Nabi pun merupakan satu hakekat yang tersambung dari awal hingga akhir sebagai manifestasi nama agung Ilahi. Hal ini menyadarkan kita bahwa hakekat kebenaran juga merupakan suatu realitas yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir, mengikuti para Nabi sebagai manifestasi dari hakekat kebenaran dari para Nabi yang juga merupakan manifestasi dari Ilahi.
Dari sini pun dapat dipahami bahwa kebatilan sebagai lawan dari hakekat kebenaran  adalah suatu hal yang terpisah-pisah serta terceraiberai dan karena itu pula kebatilan tak memiliki realitas yang tunggal. Jika hakekat kebenaran itu eksistensinya tetap maka kebatilan adalah kesirnaan dan tak memiliki pondasi.
Ajaran para Nabi, melalui hakekatnya yang tersambung dari awal hingga akhir, maka para Nabi pada hakekatnya penyambung masyarakat manusia dari dahulu hingga akan datang. Jika kita mengikuti realitas ini, maka filsafat sejarah dapat dibingkai berdasarkan filosofi hakekat kenabian bahwa para Nabi merupakan pondasi dalam seluruh masyarakat manusia sebab itu tak heran jika jumlah para Nabi bukan hanya 25 saja bahkan lebih. Hal ini juga menegaskan bahwa realitas eksistensi dibangun berdasarkan hakekat kebenaran. Jika kebatilan muncul dipermukaan, kebatilan ini tak kan abadi dan segera akan kembali pada hakekatnya yaitu kesirnaan. Oleh karena itu, Allah swt menciptakan alam ini dan kemudian meletakkan para Nabi dan Rasul di dalamnya sebagai hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir. Dalam surah taubah : 33 Allah swt berfirman, ‘Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai’. Ayat ini menjelaskan bahwa akhir dari ciptaan realitas alam ini tak mungkin dengan kezaliman namun dengan keadilan. 
Allah swt berkata kepada Rasulullah saw dalam surah annahl : 123 ‘ikutilah agama Ibrahim’. Selanjutnya kepada kita juga mengatakan dalam surah hajj : 78 ‘(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu’. Allah swt menyuruh kita dari dahulu untuk mengikuti tradisi para Nabi. Tradisi ini senantiasa dijaga oleh Allah swt karena di dalamnya terdapat pemikiran Ilahiyah dan pemikiran Ilahiyah yakni tauhid inilah yang kemudian tersebar dalam seluruh generasi manusia dan kemanusiaan. Namun berbeda dengan tradisi orang-orang zalim, misalnya berkenaan dengan Namrud dan Fir’aun Allah swt berfirman dalam surah al-an’am : 45, ‘maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya’. Begitu juga dalam surah al-a’raf : 72 ‘kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami’. Sebagaimana juga dalam surah al-anfal : 8 ‘agar Allah menetapkan yang hak dan membatalkan yang batil’.
Berkenaan dengan hal ini, ada perumpaan yang menarik yang disampaikan oleh Allah swt dalam surah arra’ad : 17 ‘Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya. Maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan’. Dalam ayat ini pertama-tama Allah swt menjelaskan bahwa anugerah Ilahi ini turun bagai air hujan, manusia menampung anugerah tersebut bergantung pada kadar ukurannya masing. Semakin luas wadahnya maka semakin luas pula dalam menampung anugerah Ilahi. Selain itu pula, perumpamaan dalam ayat ini menjelaskan bahwa jika memang hal tersebut adalah sebuah kebenaran maka tentu akan memberikan faedah dalam masyarakat dan jika memberikan faedah dalam masyarakat maka kebenaran tersebut akan kekal dan tetap di bumi. Namun berbeda dengan kebatilan, karena kebatilan tak memberikan faedah dalam masyarakat maka kebatilan cepat berlalu dan sirna.
Allah swt dalam surah qashas : 51 berfirman, ‘Dan sesungguhnya telah Kami turunkan ayat-ayat (Al-Qur’an) ini kepada mereka secara berturut-turut agar mereka ingat’. Ayat ini menjelaskan posisi Nabi sebagai perantara yang menyambungkan perkataan Ilahi agar sampai kepada masyarakat. Kemudian pada ayat lain Allah swt berfirman dalam surah mukminun : 44 ‘Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut’. Ayat ini menegaskan ketersambungan antara satu Rasul dengan Rasul lainnya dan ayat ini menyebutnya dengan ketersambungan yang mutawatir atau berturut-turut. Berbeda dengan orang-orang zalim dan inkar, Allah swt berfirman dalam surah saba : 19 ‘Dan Kami jadikan mereka kisah (sebagai pelajaran bagi orang lain) dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya’. Oleh karenanya, para Nabi adalah hakekat yang tunggal, yang senantiasa hadir dalam masyarakat, dan kemudian memberikan efek. Dari sini kita dapat mengerti pentingnya memahami tradisi dan sirah para Nabi bahwa ketika realitas manusia tersambungkan dengan hakekat kebenaran maka dirinya pun akan menjadi sebuah realitas yang tetap.
Dalam surah taubah : 32 Allah swt berfirman, ‘Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya’ dan juga dalam surah shaf : 8 ‘tapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci’. Cahaya Ilahi tidak mungkin dimatikan, meskipun ada yang ingin mencoba mematikannya namun mereka tak kan mungkin mematikannya, karena cahaya Ilahi ini sampai kepada masyarakat melalui wahyunya. Cahaya Ilahi yang berupa wahyu ini senantiasa bersinar dan bahkan Allah swt sendiri yang menjaganya sehingga pancaran sinarnya sampai kepada seluruh manusia. Berdasarkan hal ini, jika ada yang menganggap bahwa di alam ini terkadang cahaya Ilahi yang bersinar dan terkadang api kezaliman yang menerangi manusia, tentu anggapan ini adalah anggapan yang tidak tepat karena cahaya Ilahi tak kan pernah padam.
Kemudian dalam beberapa ayat selanjutnya, seperti dalam surah maryam : 41 ‘Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 51 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 16 ‘Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur’an’. Surah maryam : 56 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris di dalam Al-Qur’an’. Surah shad : 41 ‘Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub’.
Ayat-ayat sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa tradisi mereka yaitu tradisi para Nabi sebelumnya senantiasa hidup hingga saat ini sehingga Allah swt memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menceritakan Nabi-Nabi sebelumnya. Dan juga dalam surah al-an’am : 90 allah swt berfirman, ‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah petunjuk mereka’. Yang Allah swt perintahkan kepada kita adalah mengikuti petunjuknya karena petunjuk ini adalah hidayah Ilahi dan hidayah Ilahi ini senantiasa berlangsung terus menerus. Karenanya terkadang hidayah ini dalam bentuk sirah Nabi Ibrahim, terkadang dengan sirah Nabi Musa, terkadang dengan sirah Nabi Isa, dan juga terkadang dengan sirah Nabi-Nabi lainnya. Dan saat ini kita berada dalam sirah Rasulullah saw.
    

Tuesday, August 20, 2013

Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi

Apakah engkau merasa dirimu hanya benda kecil?
Padahal dalam dirimu terdapat alam semesta
(Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as)

Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi
Pendahuluan
            Sebagaimana diketahui, pembahasan irfan terdiri dari dua pembahasan inti; pertama, berkenaan dengan tauhid. Kedua, berkenaan dengan muwahhid. Tauhid dalam irfan berkenaan dengan  pembahasan wahdatul wujud, sedangkan yang dimaksud dengan muwahhid adalah seseorang yang telah sampai pada maqam tauhid atau yang biasa disebut dengan insan kamil (manusia sempurna).
            Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai wahdatul wujud yang merupakan puncak tauhid dalam pandangan sufi. Menurut mereka, hakekat wujud hanya satu yaitu wujud Al-Haqq, sedangkan selain Al-Haqq hanya manifestasi, jelmaan, tajalli,  bayangan, atau penampakan dari nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq.
            Dalam tajalli, nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq tersebut bergradasi atau memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian nama merupakan jelmaan dari nama tertinggi Al-Haqq dan sebagian nama merupakan jelmaan dari nama yang berada pada tingkatan bawah. Manifestasi yang paling agung adalah manifestasi dari nama Allah swt dikarenakan dalam nama Allah swt terkandung seluruh nama-nama Tuhan, sebagaimana dalam surah al-isra’;110 ; Katakanlah, “ serulah Allah dan serulah Al-Rahman, dengan nama mana saja kamu seru, hanya bagi-Nya lah asmaul husna” . Manifestasi nama Allah swt adalah insan kamil atau biasa juga disebut dengan Hakekah Muhammadiyah. Hal ini sesuai dengan hadits Qudsi yang berbunyi ; jika bukan engkau wahai Muhammad maka Aku tidak ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.
Hakekat Insan Kamil
            Diantara wujud yang ada, hanya manusialah yang dapat menampung seluruh hakekat di dalam dirinya, sebab dirinya merupakan manifestasi dari nama Allah swt dan nama Allah swt terkandung seluruh nama-nama di dalam diri-Nya. Hakekat insan kamil berada dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi, alam mitsal, alam akal, maqam wahidiyah dan bahkan sampai pada maqam ahadiyah. Namun hanya Rasulullah saw beserta para washinya yang mampu sampai pada maqam ahadiyah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-najm;9 ; Maka  jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Juga dalam hadits, Rasulullah saw bersabda; pernah satu saat diriku bersama dengan Allah swt dimana pada saat itu, baik rasul maupun malaikat muqarrab tak dapat menyertaiku.
            Dari sini, kita akan melihat bahwa hakekat insan kamil memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah (makhluk). Aspek Ilahiyah didalam diri insan kamil dapat ditinjau dalam  beberapa hal; pertama, insan kamil merupakan cermin dari Al-Haqq. Maksud dari cermin disini bahwa insan kamil merupakan jelmaan dari seluruh nama-nama Ilahi. Kedua, insan kamil tercipta berdasarkan bentuk Al-Rahman. Bentuk disini bukan bentuk dalam pemaknaan material akan tetapi yang dimaksud dengan bentuk adalah ‘sesuatu yang nampak pada sesuatu tersebut’, dan yang nampak dalam batin insan kamil adalah Al-Rahman. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek khalqiyah adalah sisi kehambaan dan ubudiyahnya.
            Aspek Ilahiyah di dalam diri insan kamil didapatkan melalui empat tahapan perjalanan sair suluknya. Diawali dari perjalanan dirinya menuju Al-Haqq, kemudian dari Al-Haqq menuju Al-Haqq bersama Al-Haqq, selanjutnya dari Al-Haqq menuju al-khalq bersama Al-Haqq, dan dari al-khalq menuju al-khalq bersama Al-Haqq. Insan kamil atau manusia sempurna adalah mereka yang telah sampai pada perjalanan kedua dan ketiga. Siapa saja yang berhasil suluk sampai pada perjalanan kedua dan ketiga maka disebut dengan insan kamil.
Insan Kamil Sebagai Khalifah
            Makna dari khalifah adalah pengganti, yaitu menggantikan posisi yang digantikan (ghaib). Oleh karena itu, makna khalifah disini harus dimaknai dengan baik jika masih tetap ingin dimaknai sebagai pengganti, sebab persoalannya adalah pengganti disini bukan menggantikan yang ghaib (tidak hadir) karena Tuhan hadir dalam segala sesuatu dan Tuhan tidak pernah tidak hadir. Maka khalifah adalah pengganti yang menggantikan suatu wujud yang tidak pernah tidak hadir. Berdasarkan hal ini kita akan menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi khalifah adalah suatu eksistensi yang memiliki keidentikan dengan Al-Haqq. keidentikan tersebut adalah bahwa dirinya hadir dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi hingga maqam ahadiyah,  dan hanya insan kamil saja yang hadir dalam seluruh tingkatan manifestasi. Oleh karena itu, yang berhak menjadi khalifah adalah insan kamil. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa adam menjadi khalifah setelah Allah swt mengajarkan seluruh nama-nama padanya. (al-baqarah;31)        
Insan Kamil sebagai Ruh Alam Semesta
            Sebagaimana diketahui, ruh manusia berperan sebagai pengatur (rububiyah) terhadap badannya, baik itu disadari atau tidak, meskipun jarang manusia yang menyadari akan hal ini. Untuk membuktikannya, cukup dengan melihat karekteristik dari materi,  dan badan manusia – jika dilihat hanya pada badannya tanpa mengaitkan dengan ruhnya – adalah materi. Jika asumsinya bahwa materi sebagaimana materi dapat mengatur dan merubah nutrisi menjadi rambut, kuku, darah, dst, maka binatang, tumbuhan, dan batu pun seharusnya memiliki karakter yang sama dengan manusia, karena semuanya berasal dari nutrisi. Namun hal tersebut tidak terjadi karena sebagai  diketahui yang mengatur hal tersebut bukan tubuh kita yang hanya materi semata, akan tetapi yang mengatur adalah ruh kita.
            Hubungan alam semesta dengan insan kamil pun demikian halnya. Insan kamil adalah ruh sedangkan alam semesta adalah badannya. Oleh karenanya, dalam tasawwuf atau irfan, manusia disebut sebagai makrokosmos dan alam semesta adalah mikrokosmos. Rahasia mengapa insan kamil adalah ruh alam semesta karena hanya insan kamil yang senantiasa eksis dalam seluruh tingkatan tajalli. Meskipun batinnya naik ke maqam uluhiyah akan tetapi lahirnya tetap saja ada dibumi. Maksudnya kedua aspek didalam dirinya senantiasa terjaga; aspek Ilahiyah dan aspek ubudiyah.
Insan Kamil sebagai Tujuan Penciptaan Alam
            Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan cermin dari seluruh kesempurnaan Ilahiyah. Jika Tuhan ingin melihat kesempurnaan diri-Nya melalui sebuah perantara maka dirinya akan menyaksikan kesempurnaan diri-Nya dalam cermin dan cermin tersebut adalah Rasulullah saw. Alasan lainnya dikarenakan insan kamil merupakan ruh alam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan hal ini sesuai dengan hadits Qudsi; jika bukan engaku wahai Muhammad maka Aku tidak ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.  
Insan Kamil sebagai Simbol Keabadian atau Kehancuran Alam Semesta
            Jika dipahami bahwa insan kamil sebagai ruh alam semesta, maka alam semesta bergantung pada insan kamil, baik dalam keabadiannya maupun dalam kehancurannya. Sebagaimana badan manusia bergantung kepada ruhnya. Maksudnya  selama ruh manusia masih berada dalam tubuhnya maka tubuh tersebut memiliki kehidupan, namun disaat ruh meninggalkan tubuhnya maka pada saat itu tubuhnya tak memiliki kehidupan sebagaimana sebelumnya.     
            Terjadinya kiamat dalam pandangan irfan adalah disaat insan kamil kembali ke maqam uluhiyah secara totalitas. Maksudnya disaat insan kamil meninggalkan dunia ini maka pada saat itu akan terjadi kiamat. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan oleh Imam Maksumin as; jika tidak ada hujjah (insan kamil) maka bumi ini akan hancur.
Insan Kamil untuk Seluruh Manusia
            Apakah insan kamil ini hanya dikhususkan kepada para Rasul, Nabi, dan para Imam ? jika bersandar pada penjelasan Al-Qur’an, maka insan kamil ini tidak hanya dikhususkan kepada para Maksumin semata (Rasul, Nabi, dan Imam). Dalam surah al-ahzab;72 Allah swt berfirman; “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu”.
            Amanah dalam ayat diatas ditawarkan kepada seluruh golongan manusia dan tidak dikhususkan kepada golongan tertentu dari manusia. Rahasia mengapa manusia mampu menerima amanah tersebut dikarenakan manusia memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah sehingga manusia bisa hadir dalam seluruh manifestasi. Namun tentunya manusia hanya bisa naik ke atas melalui berkah wilayah insan kamil, Wilayah Muhammadi saw.  

        
                        
             

            

Saturday, March 23, 2013

Ibn Sina dan Muridnya Bahmanyar


Bahmaniyar adalah salah satu murid terdekat Ibn Sina. Sejak kecil hingga dewasa senantiasa dalam arahan Ibn Sina. Bahmaniyar sangat memuji gurunya yang hampir menguasai seluruh bidang pengetahuan khususnya filsafat. Bahmaniyar pun sangat terkesan dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Singkatnya, pernah suatu ketika Bahmaniyar berkata pada gurunya; ‘Guru... Aku lihat posisimu sederajat dengan  Rasulullah saw. Engkau menguasai berbagai bidang pengetahuan apalagi engkau piawai dalam filsafat. Lihat saja, tak ada filsafat dalam Qur’an dan juga hadits-hadits Rasulullah saw’. Mendengar perkataan muridnya, Ibn Sina hanya tersenyum dan tidak menanggapi perkataannya. Ibn sina menunggu momen yang tepat untuk menanggapinya. Disaat-saat akhir kehidupannya, Ibn Sina sering sakit-sakitan dan kemudian memutuskan untuk kembali ke Hamadan. Hamadan adalah salah satu kota di Iran yang cukup dingin dikarenakan kota tersebut dikellilingi dengan pegunungan, apalagi disaat salju tiba. Suatu malam, Ibn Sina terserang sakit dan membuat dirinya sulit bergerak apalagi untuk keluar rumah, karena pada malam itu cuaca sangat dingin dikarekan salju lebat sedang turun. Kebetulan, dirumah tak ada air untuk diminum. Ibn Sina kemudian meminta tolong pada muridnya Bahmaniyar untuk mencari air minum. Jarak ke tempat penampungan air minum dari rumah Ibn Sina lumayan jauh. Mendengar perintah gurunya, Bahmaniyar berpikir keras untuk memenuhi perintah gurunya. Untuk menepis perintah gurunya, Bahmaniyar berkelit dengan alasan kesehatan yang akan membahayakan dirinya jika keluar rumah dengan cuaca yang sangat dingin. Tak lama kemudian azan subuh pun terdengar. Setelah kalimat asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Ibn Sina mengambil momen ini untuk menanggapi perkataan muridnya tentang kesamaan derajat dirinya dengan Rasulullah saw. Ibn Sina berkata pada muridnya; “coba anda pikirkan dengan baik muazzin itu, dia keluar dari rumahnya menuju Mesjid dan naik kemenara Mesjid untuk melantunkan azan subuh. Muazzin itu tak pernah melihat wajah Rasulullah, tak pernah mendengar suara Rasulullah, dan tak pernah mendapatkan ajaran filsafat seperti yang engkau katakan, dan ketahuilah, Rasulullah saw hidup seribu tahun silam,  tapi muazzin itu bersedia menembus dingin dan salju yang menurut dirimu akan membahayakan dirinya. Sedangkan aku hanya menyuruhmu meminta segelas air minum dan engkau pun tak sanggup. Sungguh, Rasulullah saw adalah manusia suci yang tak ada bandingannya dengan siapapun dan Jangan pernah engkau bandingkan derajat Rasulullah saw dengan siapapun.

Friday, March 15, 2013

Tauhid Sufistik


Pendahuluan

Persoalan tauhid merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
            Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua tersebut akan kembali kepada yang pertama.
            Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan; yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan ilmu hudhuri.

Ketidakterbatasan Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel, karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
            Ketidakterbatasan ini berarti bahwa diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan pada alam konsep sekalipun.
            Pertanyaannya adalah jika yang ada hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
            Berikut ini adalah beberapa ayat dan riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah Al-Hadid ; 3 ;

Dia-lah yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya diri-Nya.

Surah Annisa ; 126
Apapun yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala sesuatu
Ayat diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada prinsip surah Al-Hadid;3.

Surah Al-Baqarah ; 115
Kemanapun engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.

Surah Al-Mujadilah ; 7
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73 Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.

Surah Al-Anfal ; 17
Bukan engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.

Surah Al-Baqarah ; 186
Jika seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.

Surah Al-Waqiah ; 85
Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.

Surah Qaf ; 16
Dari kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya. Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak berpisah.
    
Tasybih dan Tanzih
            Tuhan yang tak terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih (penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang, tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada makhluk dan Tuhan.
            Pada saat yang sama, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat.

Tujuan para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
            Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya. Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein as.
            Namun untuk mempersiapkan qalbu berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah. Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang. Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat. Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya kemudahan karena suluk adalah non-materi.
            Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan) terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24 tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan, ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq (iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha, taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).       
                           
                

Tuesday, March 12, 2013

Plato


Dalam filsafat Plato ada tiga dasar pemikiran penting yang menjadi ciri khas pemikirannya. Ketiga dasar pemikiran ini selanjutnya dikritik oleh muridnya Aristoteles. Ketiga pemikiran tersebut sebagai berikut:
Teori Idea-Idea
Menurut Plato, segala apa yang ada di alam indrawi ini, baik itu substansi maupun aksiden, hakekatnya terdapat di alam lain. Manusia yang ada di alam ini ibaratnya seperti bayangan-bayangan dari hakekat-hakekat yang ada di alam sana. Misalnya seluruh manusia yang hidup di alam indrawi ini berasal dari satu hakekat dan berasal dari asal yang sama yaitu berasal dari alam sana. Manusia hakiki dan hakekat manusia adalah manusia di alam sana. Begitu juga dengan entitas-entitas lainnya.
Plato menyebut hakekat-hakekat di alam sana dengan idea. Sebagian filsuf muslim menerjemahkan idea ini ke dalam filsafat Islam dengan mitsal. Keseluruhan hakekat-hakekat tersebut di alam sana disebut dengan mutsul (jamak dari kata mitsal) oleh filsuf muslim. Ibn Sina sebagai pengikut aliran paripatetik menolak keras teori ini sedangkan Suhrawardi sebagai pengikut aliran iluminasi sangat fanatik teori idea ini. Mirdamad dan Mulla Sadra adalah dua filsuf yang sangat mendukung teori ini. Namun terminologi yang mereka gunakan berbeda dengan Plato, bahkan Suhrawardi pun menggunakan terminologi yang berbeda dengan Plato. Salah satu filsuf lainnya yang sangat mendukung teori ini adalah Mir Fendereski yang merupakan salah satu filsuf pada priode dinasti Safawiyah. Berkenaan dengan teori ini Mir Fendereski menulis syair :
Bentuk di alam bawah ini jika dengan tangga makrifat
Naiklah ke atas, hakekat dirinya satu saja
Perkataan ini tak kan dipahami secara lahiriyah
Meskipun anda al-Farabi atau Ibn Sina
Ruh Manusia
Plato meyakini bahwa ruh manusia sebelum menyatu dengan badan telah diciptakan dan berada di alam ide. Kemudian setelah badannya tercipta, ruhnya menyatu dengan badannya. Mulla Sadra menerima gagasan Plato mengenai keberadaan segala sesuatu sebelum turun ke alam realitas eksistensi. Namun pendekatan serta terminologi yang digunakan Sadra berbeda dengan Plato. Karena ada parameter lain yang digunakan dalam hal ini yaitu terminologi ruh, nafs, dan badan jismani.
Teori Pengingatan Kembali
Teori ini bisa dianggap sebagai konsekwensi atau turunan dari kedua teori Plato sebelumnya. Teori ini oleh Plato disebut dengan ‘pengingatan kembali’. Maksudnya sebelum manusia menyatu dengan badannya di dunia, ruhnya telah diciptakan dan telah ada di alam ide. Ketika manusia berada di alam ide, manusia telah menyaksikan segala sesuatu yang ada di alam sana. Karena di alam ide tak ada tabir antara satu entitas dengan entitas lainnya. oleh karenanya apa yang diketahui di alam dunia ini adalah pengingatan kembali atas apa yang diketahui sebelumnya di alam ide. Namun ketika ruh menyatu dengan badan, badannya menjadi hijab atau tabir sehingga ruhnya tak lagi terkoneksi dengan cahaya di alam ide. Akibatnya manusia lupa atas apa yang diketahui sebelumnya. Saking lupanya, ketika manusia mendapatkan pengetahuan seolah baru pertama kali ia mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk keluar dari persoalan ini, manusia mesti berusaha menghilangkan tabir atau hijab tersebut dengan dialektika pemikiran metode rasional atau dalam pandangan Suhrawardi berusaha meraih cinta kepada kebaikan mutlak melalui tazkiyah dan penyucian diri.