Sunday, March 3, 2013

Walaya according Toshihiko Izutsu


Introduction
Pembahasan walaya merupakan pembahasan penting dalam pandangan dunia mistis. Bisa dikatakan hampis semua sufi membahas mengenai persoalan walaya. Salah satunya adalah Ibn Arabi, pembahasan walaya dieksplorasi lebih jauh dalam berbagai karya Ibn Arabi khususnya dalam karya emasnya Fushusul Hikam.
Hampir seluruh komentator terhadap Fushusul Hikam mengakui kerumitan yang ada dalam pembahasan Fushus. Oleh karena itu dibutuhkan kunci tertentu untuk memahami teks yang ada di Fushusul Hikam. Kunci tersebut bisa ditemukan pada murid–murid Ibn Arabi yang bersentuhan langsung dengannya. Salah satu murid yang sangat berjasa menjelaskan teks–teks Ibn Arabi adalah Shadaruddin Qunawi dan murid–murid Qunawi seperti Jandi. Dalam makalah ini kami ingin menjelaskan mengenai walaya dalam perstektif Toshihiko Izutsu dalam bukunya  ‘Sufism and Taoism’
Walaya dalam persektif Izutsu
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa gagasan Izutsu tentang walaya akan kami bahas dalam bukunya Sufism and Taoism khususnya pada pasal 16. Pada pasal ini Izutsu membahas konsep walaya dan dikaitkan dengan pembahasan kerasulan dan kenabian.
Makna Walaya secara Umum
Menurut Izutsu konsep walaya merupakan konsep yang paling luas diantara konsep yang ada karena meliputi konsep ‘nubuwwah’ dan ‘risalah’. Izutsu dengan mengutip pandangan Qasyani meyakini bahwa setiap Rasul adalah Nabi dan setiap Nabi adalah Wali akan tetapi tidak sebaliknya. Menurut Izutsu hubungan diantara ketiganya agak kompleks dan rumit dalam gagasan Ibn Arabi.
Menurut Izutsu, Wali adalah salah satu nama dari nama-nama Tuhan. Berbeda dengan Rasul dan Nabi yang merupakan karekteristik dari nama–nama manusia dan bukan dari nama–nama Tuhan. Dari sini bisa terlihat jelas perbedaan diantaranya dimana Wali adalah nama dari Al-Haqq itu sendiri tapi tidak bisa dinisbahkan kepada-NYA nama Rasul dan Nabi.
Dalam hal ini Izutsu ingin menjelaskan bahwa tidak semua nama bisa dinisbahkan kepada Tuhan walaupun nama tersebut memiliki nilai sakralitas yang tinggi seperti nama Nabi dan Rasul, dimana Nabi dan Rasul tidak termasuk dari nama–nama Tuhan. Disini juga letak kunci mengapa Izutsu menyebut konsep Walaya lebih luas dibandingkan Rasul dan Nabi karena walaya adalah derajat tertinggi yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu Wali adalah sebuah nama yang bisa dinisbahkan kepada Al-Haqq dan juga kepada manusia. Nama tersebut dimiliki secara bersama– sama, baik oleh Al-Haqq dan juga manusia. Namun untuk mencapai maqam tersebut manusia harus mencapai puncak pengetahuan yang tertinggi terhadap Al-Haqq dan pada saat itulah dia berhak untuk menyandang predikat Wali.     
Dalam pandangan Izutsu Wali adalah yang mereka yang telah mampu melampaui batas – batas ubudiyah sehingga dia bisa sampai pada derajat rububiyah. Izutsu menambahkan bahwa kemampuan seorang Arif menembus batas – batas ubudiyah sehingga naik ke atas dikarenakan dirinya telah tenggelam dalam Al-Haqq.
Lanjut, Izutsu kemudian menjelaskan mengapa dialam ini tidak pernah kosong dari walaya. menurutnya hal tersebut dikarenakan Wali adalah salah satu nama diantara nama–nama Tuhan, maka sebagaimana Tuhan senantiasa abadi, tentunya nama–namaNYA pun akan tetap abadi. Oleh karena itu selama masih ada manusia yang sampai pada maqam walaya maka alam ini akan senantiasa ada dan kokoh.
Namun berbeda dengan risalah dan nubuwwah yang telah berakhir pada Rasullullah saw sebagai ‘khatamannabiyyin’. Setelah Rasulullah saw, tidak ada lagi Nabi Tasyri’ (pembawa hukum– hukum syariat yang dia dapatkan langsung dari Tuhan) tapi yang ada adalah nubuwwah ‘aam’ yaitu nubuwwah tanpa tasyri’ atau walaya itu sendiri. Menurut Izutsu risalah dan nubuwwah tersebut sangat bergantung kepada syarat–syarat kondisi yang ada, karena itu hal tersebut bisa saja hadir dan juga menghilang.  
Dari pembahasan diatas Izutsu menyimpulkan pandangan yang disampaikan oleh Ibn Arabi dengan membagi nubuwwah kedalam dua bagian : pertama nubuwwah tasyri’ dan yang kedua adalah nubuwwah tanpa tasyri’ namun syariatnya mengikuti Nabi sebelumnya yang membawa syari’at.  Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kenabian dan kerasulan didapatkan dari derajat kewalayahannya pada setiap diri manusia sempurna. Dia tidak mungkin akan menjadi seorang Nabi dan Rasul kecuali sebelumnya dia telah menjadi seorang Wali. Dalam kata lain derajat risalah dan nubuwwah didapatkan dari derajat walayah. Menurut Izutsu Nabi adalah seorang wali yang ditambahkan pada walayahnya sebuah tanda khusus yaitu sebuah ilmu tertentu terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui. Rasul adalah seorang wali yang ditambahkan pada walayah, dan nubuwwahnya merupakan sebuah ilmu taklif untuk menyampaikan pesan–pesan Ilahi terhadap para pengikutnya. Dari sini bisa dipahami bahwa wali merupakan ciri khusus seluruh insan kamil.
Definisi walaya
Izutsu menjelaskan definisi walaya sebagai pengetahuan sempurna terhadap hakekat puncak Al-Haqq, alam, serta hubungan diantara keduanya. Manusia yang sampai pada maqam walaya, dirinya akan sadar bahwa dirinya merupakan jelmaan dari Al-Haqq. Oleh karena itu dalam esensinya dia akan menyatu dengan nama Tuhan. Penyatuan inilah yang disimpulkan oleh Izutsu sebagai ‘wahdatul wujud’.
Dalam pandangan Izutsu konsep ‘wahdatul wujud’ ini hanya bisa didapatkan melalui fana dari dirinya dan secara sempurna sampai kepada derajat baqa bersama Al-Haqq. Jika seseorang fana maka akan memindahkan dirinya kepada bathin Al-Haqq dan jika demikian maka segala hakekat sesuatu akan dia saksikan secara langsung. Oleh karena itu fana memiliki peranan yang besar dalam menjelaskan konsep walaya. Bahkan menjadi ciri yang pertama diantara ciri–ciri esensi seorang wali.
Dari pembahasan diatas Izutsu mencoba  menjelaskan 3 kategori tahapan fana yang dia kutip dari gagasan Ibn Arabi, diantara ketiga tahapan fana tersebut sebagai berikut :
  1. Takhalluq : takhalluq adalah tahapan pertama dari fana dan maksud dari takhalluq ini adalah ketika seluruh sifat–sifat insaniyah seorang Arif fana dalam sifat–sifat Ilahiyah. Dalam kata lain sifat–sifat seorang Arif tenggelam dalam sifat–sifat Ilahiyah.
  2. Tahaqquq : tahapan kedua dari fana ini menjelaskan bahwa zat seorang Arif tenggelam dalam zat Al-Haqq.
  3. Ta’alluq : tahapan ketiga ini menjelaskan derajat seorang Arif telah sampai pada baqa setelah fana. Kata ta’alluq sendiri secara etimologi bermakna kebergantungan secara total. Kebergantungan secara total ini menjelaskan ciri esesnsi dari walaya. Dalam fana seorang Arif masih menemukan dirinya, namun dalam baqa dia hanya menemukan dirinya tenggelam dalam zat Al-Haqq. Dirinya telah baqa dalam zat Al-Haqq, oleh karena itu dirinya telah menyadari akan ketiadaan dirinya dan yang ada hanya Al-Haqq. Apapun yang dia lakukan bukanlah dirinya akan tetapi Al-Haqq itu sendiri.
Dari pembagian ketiga tahapan fana ini Izutsu menyimpulkan bahwa walaya hanya bisa diraih melalui pengalaman fana. Fana itu sendiri pada hakekatnya menjelaskan keluasan ilmu seorang wali, dikarenakan dirinya telah mampu menyaksikan segala sesuatu akibat ketersambungan dirinya kepada lautan yang tak terbatas akan singgasana Ilahiyah. Pada saat yang bersamaan seorang Arif juga sadar bahwa segala hal tersebut terjadi didalam dirinya. Bahkan pada puncaknya ilmu wali akan menyatu dengan ilmu Ilahi sebelum bentuk entitas–entitas yang tak terbatas tersebut terpisah satu sama lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa nubuwwah dan risalah sangat berhubungan dengan dunia ini. Perkara mereka sangat berhubungan kehidupan alam ini karena untuk mengantarkan manusia kepada kebahagiaan abadi yaitu akhirat. Berbeda dengan walaya yang tidak memiliki hubungan substansi dengan alam ini. Dari hal ini Izutsu beranggapan bahwa  nubuwwah dan risalah bisa dinafikan pada pemiliknya namun walaya tidak mungkin dinafikan dalam dirinya. Oleh karena itu diantara ketiganya yang memiliki posisi puncak adalah walaya sedangkan nubuwwah dan risalah adalah sebuah fadhilah yang ditambahkan pada walaya. Akan tetapi Izutsu menambahkan bahwa jika ketiganya (risalah, nubuwwah dan walaya) tidak berkumpul pada seseorang akan tetapi pada tiga individu yang berbeda maka dalam hal ini seorang Wali harus mengikuti Nabi dan Rasul. Alasannya dikarenakan seorang Rasul memiliki ilmu terhadap hukum tertentu (ilmu zahir). Seorang Rasul dengan ilmunya tersebut akan dibangkitkan kepada ummatnya sedangkan seorang wali tidak memiliki ilmu demikian. Oleh karena itu berkenaan dengan tasyri’ seorang Wali harus mengikuti seorang Rasul pada zamannya.
Akan tetapi perlu diketahui dari satu sisi Wali lebih diatas dari seorang Rasul. Izutsu menjelaskan hal tersebut dengan dalih bahwa seorang Wali bukan hanya memilliki ilmu terhadap Al-Haq dan hakekat sesuatu bahkan dirinya pun sadar bahwa dirinya memiliki ilmu tersebut. Berbeda dengan Nabi dan Rasul yang tidak memiliki kesadaran akan ilmu tersebut. 

Makna Khalifah
Izutsu menjelaskan bahwa konsep “ Insan Kamil “ jika dikaitkan dengan konsep individualitas akan menjelma pada Wali, Nabi dan Rasul dimana ketiga hal tersebut merupakan Khalifah Tuhan, dikarenakan mereka adalah tempat tajalli yang paling sempurna dan paling lengkap dibumi ini. Mereka adalah manifestasi objektif dari “ hakekat muhammadiyah “.
Makna Khatm
Kata khatm bisa dibagi menjadi dua bagian : 1) khatmul anbiya atau khatmul rasul. 2) khatmul auliya. Yang pertama yaitu khatmul anbiya yang pada umumnya digunakan dalam Islam dan dinisbahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. Kemudian yang kedua yaitu khatmul auliya atau wali terakhir. Disini Ibn Arabi menisbahkan dirinya sendiri sebagai khatmul auliya, setidaknya selama alam ini masih tetap eksis. Menurut Izutsu, penisbahan dirinya sebagai khatmul auliya tidak ditegaskan dalam Fushusul Hikam, namun dalam Futuhat Ibn Arabi secara tegas mengatakan ‘tanpa ragu sayalah khatmul auliya, pewaris Muhammad saw dan Isa as’.
Diakhir pembahasan ini Izutsu menjelaskan pandangan Ibn Arabi mengenai hubungan antara khatmul auliya dan khatmul rasul. Ibn Arabi mencoba mengaitkan antara hadis Rasulullah saw dengan mukasyafahnya sendiri (Ibn Arabi). Dalam hadits tersebut Rasulullah saw  menyimbolkan dirinya sebagai batu terkahir yang dengan batu tersebut sebuah tembok bangunan akan menjadi sempurna. Disisi lain Ibn Arabi menyaksikan (mukasyafah) Baitullah dimana Baitullah dibangun dari emas dan perak (dimana perak simbol dari Nabi dan emas simbol dari wali). Dalam mukasyafah tersebut Ibn Arabi melihat dua batu yang masih tersisa, yang satu dari emas dan satunya lagi dari perak. Dalam mimpi tersebut terasa sangat jelas kedua tangannya tertarik untuk mengisi dinding Baitullah yang masih kosong tersebut dengan dua batu yang masih tersisa tadi.
Menurut Izutsu ada pembahasan menarik yang dikemukakan oleh Qashani dalam mengomentari mukasyafah Ibn Arabi. Jika kita cermati secara sepintas antara hadits Rasulullah saw dengan mukasyafah Ibn Arabi akan terlihat dengan jelas bahwa khatmul auliya memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan Rasulullah saw, dikarenakan posisi Rasulullah saw hanya melengkapi satu batu namun khatmul auliya melengkapi dua batu. Namun pada saat yang sama Ibn Arabi sendiri mengaitkan dirinya batu perak sebagai simbolisasi dari kepatuhan dia secara lahiriyah kepada Rasulullah saw dan batu emas simbolisasi dari hakekat dirinya. Dalam menjelaskan hal diatas Qashani mengingatkan kepada kita bahwa walaupun Rasulullah saw hanya mengisi satu kekosongan saja namun beliau tetap saja sebagai khatmul auliya. Dalam kata lain ketika beliau mengisi kekosongan tersebut, beliau mengisinya pada maqom nubuwwah dan risalah, bukan pada maqom wali. Dalam kata lain, Rasulullah saw tidak menampakkan dirinya dalam maqam walaya.       
 



Al-qur’an Mengajak Ruh Manusia, Bukan Mengajak Pria dan Wanita


Ketika kita merujuk pada Qur’an, kita akan menemukan bahwa kesempurnaan manusia terletak pada pengetahuan dia tentang Tauhid, Ma’ad dan wahyu atau kenabian. Hal ini menandakan bahwa kesempurnaan manusia bergantung pada kualitas pandangan dunia tauhidnya. Dalam kata lain, manusia yang memiliki pandangann dunia tauhid  meyakini bahwa alam ini ada permulaanya yaitu Allah swt, kemudian ada akhirnya yang disebut dengan ma’ad atau hari kebangkitan, kemudian antara awal dan akhir terdapat ‘shiratul mustaqim’ dimana shiratul mustaqim berkaitan dengan persoalan kenabian itu sendiri.   
Kita ketahui bersama bahwa tidak ada eksistensi di alam ini kecuali ketiga eksistensi tersebut. Dimana ketiga hal tersebut berkaitan dengan  ‘awal’ yaitu Tauhid, ‘akhir’ yaitu Ma’ad atau hari kebangkitan dan ‘diantara awal dan akhir’ terdapat kenabiaan. Oleh karena itu ada tiga elemen utama dalam prinsip agama, dan segala sesuatunya akan kembali kepada ketiga prinsip tersebut. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw menjelaskan ; ‘semoga Allah swt merahmati bagi mereka yang mengetahui dari mana asalnya, sedang dimana dia, dan akan kemana dia’.
Untuk mengetahui ketiga prinsip diatas tidak disyaratkan pada pria atau wanita. Artinya bahwa risalah Rasulullah tidak dikhususkan pada pria dan juga tidak dikhususkan pada wanita. Dalam surah Yusuf ; 108 Allah swt berfirman : “ katakanlah, Inilah jalanku, aku dan orang–orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah swt dengan Hujjah yang nyata “. Ajakan Rasulullah saw meliputi seluruh manusia. Tapi mungkin saja kita menemukan ada ajakan tertentu yang dikhususkan kepada wanita dan ajakan tertentu yang dikhususkan kepada pria, namun harus dipahami bahwa pengkhususan tersebut tidak kembali kepada ruh manusia sebagai inti utama dari eksistensi manusia.     
Hakekat Manusia Bukan Pria dan Wanita        
Hakekat manusia dalam pandangan Islam berada pada ruh, bukan pada jasad. Jasad dipahami hanya sebagai instrumen semata. Hubungan tersebut dalam artian bahwa segala prilaku manusia berasal dari jiwa. Pada hakekatnya yang melihat, mendengar, merasakan, dst adalah jiwa. Namun inti dari jiwa adalah ruh sebagai hakekat yang abadi yang secara langsung berasal dari Allah swt. Dalam surah Al-hijr;29 Allah swt berfirman; “ ... dan telah meniupkan kedalam ruh (ciptaan)-Ku,“.
Yang menarik disini karena Al-qur’an juga menyebut malaikat sebagai ruh. Hal ini menunjukkan bahwa pada diri malaikat pun tidak terdapat pria dan wanita. Itulah sebabnya mengapa Al-qur’an menentang orang–orang yang meyakini bahwa malaikat diciptakan dalam bentuk perempuan. Dalam surah shaffat;150 Allah swt berfirman ; “ dan apakah kami menciptakan malaikat berupa perempuan dan apakah mereka menyaksikannya ? “ dan juga dalam surah zukhruf ; 19 Allah swt berfirman ; “ dan mereka menjadikan malaikat–malaikat yang mereka itu adalah hamba–hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang–orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat–malaikat itu ?  kelak akan ditulis persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung jawaban“.
Manusia dan malaikat memiliki dimensi  yang sama yaitu ruh. Oleh karena itu apa yang dicapai oleh malaikat pasti bisa dicapai oleh manusia sempurna. Bahkan pada maqam insaniyah malaikat bersujud atasnya. Ibn Arabi mewasiatkan kepada kita untuk tidak melihat diri kita hanya sebagai bahagian kecil diantara mahkluk yang ada, akan tetapi menurut beliau eksistensi manusia berada pada seluruh tingkatan alam aksistensi.
Jika demikian maka seluruh kesempurnaan manusia harus dikaitkan dengan hakekat manusia yaitu pada ruh manusia, bukan pada jasadnya. Allah swt tidak pernah membedakan antara pria dan wanita, bahkan dalam inti manusia tidak ada pria dan wanita. Allah swt mengajak manusia untuk menuntut ilmu baik itu pria maupun wanita, karena ilmu berkaitan dengan ruh manusia, begitu juga dengan beribadah, suluk (berjalan menuju Allah swt) atau hal–hal lain yang berkaitan dengan ruh manusia. Jika demikian halnya, lalu dari manakah asal perbedaan pria dan wanita ?
Perbedaan pria dan wanita berasal dari jasad semata. Hukum–hukum yang kita lihat dalam Islam pun - jika kita cermati secara sepintas -  terdapat perbedaan yang substansi, sebenarnya perbedaan tersebut kembali kepada jasad atau kembali pada maslahat sosial, bukan kembali kepada ruh sebagai inti hakekat manusia.     
Allah swt berfirman ; “Berlomba–lombalah kalian menuju Allah swt“. Sebuah perlombaan bisa terlaksana secara adil jika seluruh pesertanya memiliki potensi yang sama untuk sampai pada tujuan yang dimaksud. Jika secara substansi memang berbeda, maka pertandingan tersebut tidak adil untuk dilaksanakan. Dalam diri manusia tidak ada sama sekali perbedaan, tidak ada pria dan wanita dan karena itu keduanya bisa sampai kepada Allah swt.
Rahasia Perbedaan Pria dan Wanita
Dalam surah zukhruf ; 32 Allah swt berfirman ; “apakah mereka yang membagi–bagi rahmat Tuhanmu ? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (dan juga saling bantu membantu). Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan“.  
Al-qur’an menjelaskan bahwa kehidupan ini harus berjalan dalam sebuah sistem yang harmoni dan sebaik - baiknya. Jika tidak ada interaksi antara satu eksistensi dengan eksistensi lainnya maka tentunya tidak akan tercipta harmonisasi diantara entitas–entitas yang ada, bahkan tidak akan tercipta perbedaan strata sosial dan karenanya tidak akan terjadi harmoni antara satu dengan lainnya.
Allah swt menciptakan manusia dengan potensi dan kondisi yang berbeda–beda. Jika segala sesuatu diciptakan dengan kondisi dan potensi dalam level yang sama maka sistem eksistensi tidak akan berjalan. Pekerjaan yang beragam menunjukkan adanya potensi yang beragam, dan karenanya diharuskan adanya perbedaan.
Begitu juga dengan perbedaan–perbedaan lainnya seperti perbedaan strata sosial, perbedaan potensi, perbedaan kecendrungan, dst. Namun harus dipahami bahwa perbedaan tersebut tidak menjadi tolak ukur keunggulan atau keutamaan seseorang. Perbedaan tersebut hanya sebagai instrumen dalam aktivitas kerja. Demikian halnya dengan perbedaan antara pria dan wanita, perbedaan tersebut hanya instrumen semata bukan tolak ukur keunggulan spiritual kedekatan kepada Allah swt. Jika seseorang dapat menggunakan potensi yang dia miliki dengan baik sehingga mengantarkan dirinya kepada nilai–nilai ketaqwaan maka dirinya akan menggapai kesempurnaan yang hakiki melalui potensi tersebut.
Kaum Pria Pengayom Bagi Kaum Wanita
Dalam surah annisa;34 Allah swt berfirman ; “pria adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka“. Ayat ini ingin menjelaskan bahwa kaum prialah yang seyogyanya mengatur persoalan dalam rumah tangga karena yang menjamin kehidupan dalam rumah tangga adalah pria. Kaum prialah yang mencari nafkah diluar rumah, oleh karena itu kaum pria pun yang memiliki andil yang besar dalam persoalan rumah tangga.
Namun hal ini tidak berarti bahwa wanita adalah tawanan bagi kaum pria. Kemudian ayat ini juga tidak menunjukkan keutamaan seorang pria terhadap wanita, dikarenakan pada level ini tidak serta merta menunjukkan kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah swt. Ayat ini hanya menunjukkan tugas yang harus dijalani oleh kaum pria dalam keluarga. Ayat diatas membahas sebuah prinsip umum dalam keluarga.
Dalam keluarga, seorang anak – baik itu pria maupun wanita – harus menaati perintah ibu dan ayahnya. Jika seorang Ibu melarang anaknya demi kebaikan, maka seorang anak wajib untuk menaatinya. Meskipun anak tersebut seorang pria dan bahkan telah mendapatkan gelar doktoral. Seorang anak tidak berhak untuk mengatakan bahwa karena saya telah mendapat gelar Doktoral oleh karena itu saya tidak perlu lagi menaati perintah Ibu. Dalam keluarga posisi otoritas bisa saja berubah. Baik itu pria terhadap wanita maupun wanita terhadap pria.
Panutan Baik dan Buruk dalam Qur’an
Manusia yang baik tentunya menjadi suri tauladan bagi seluruh ummat manusia. Jika dia seorang pria maka tidak hanya menjadi panutan bagi pria akan tetapi juga wanita, begitupun sebaliknya jika dia seorang wanita maka bukan hanya menjadi panutan bagi wanita akan tetapi juga pria. Al-qur’an menceritakan 4 tokoh perempuan, dua diantaranya sebagai contoh perempuan baik dan dua lagi sebagai contoh perempuan buruk.
Dalam surah attahrim ; 10 Allah swt berfirman ; “Allah swt menjadikan istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang–orang kafir“. Istri Nuh dan istri Luth adalah dua contoh perempuan buruk yang dikisahkan dalam Qur’an. Dan dua perempuan lainnya adalah istri Fir’aun dan Sayyidah Maryam as sebagai contoh perempuan baik.
Jika kita cermati ayat diatas, Qur’an tidak menyebutkan perumpamaan bagi “perempuan“ kafir, akan tetapi Qur’an menyebutkan perumpamaan bagi “orang–orang“ kafir. Hal ini mempertegas bahwa baik dan buruk sebagai sifat manusia tidak berasal dari unsur ke-pria-an atau ke-wanita-an, namun berasal dari jiwa atau ruh manusia. Jika kebaikan maka pasti berasal dari ruh karena ruh-lah yang berhubungan langsung dengan Allah swt, dan jika keburukan datangnya dari bagian jiwa kita, dikarenakan ada bagian fakultas jiwa kita yang cendrung kepada unsur hewaniyah. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah  Annisa ; 79 ; “segala kebaikan yang kamu peroleh, maka hal itu berasal dari Allah swt. Dan segala keburukan yang kamu peroleh berasal dari (kesalahan) dirimu sendiri “.    Kesimpulannya bahwa Islam mengajak ruh manusia, bukan mengajak pria dan wanita disebabkan kedua hal tersebut hanya instrumen semata dan bukan inti dari hakekat manusia. Oleh karena itu tolak ukur kesempurnaan dan keutamaan manusia harus didasarkan pada seberapa jauh kaitannya dengan ruh manusia.
        

Alam Mitsal dan Mukasyafah (Penyaksian)


Sebagaimana dimaklumi, terdapat tiga tingkatan realitas alam yaitu alam materi, alam mitsal, dan alam akal. Dalam terminologi irfan ketiga alam tersebut disebut dengan alam nasut, alam malakut, dan alam jabarut. Ketiga realitas alam tersebut masing-masing memiliki karekteristik tersendiri dan juga masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Alam akal atau alam jabarut adalah alam yang tidak memiliki bentuk dan tidak memiliki materi atau beban. Pada alam akal sama sekali tidak ditemukan karekteristik materi. Alam akal bersifat  non-materi murni. Malaikat, ruh, dan jiwa universal berada pada alam akal. Hakekat Jibrail adalah hakekat yang tak berbentuk karena hakekatnya adalah ruh.
Alam materi atau alam nasut sangat mudah kita pahami karena hampir seluruh keseharian kita bersentuhan dengan materi. Dengan demikian karekteristiknya juga mudah dipahami. Beberapa karekteristiknya adalah adanya gerak, memiliki tiga dimensi, ruang, waktu, berbeban, dan tentu memiliki bentuk.
Alam mitsal atau alam barzakh memiliki bentuk namun tidak memiliki beban dan materi. Contoh yang paling baik dalam menggambarkan alam mitsal melalui fenomena mimpi. Pada saat kita bermimpi, disana kita melihat bentuk-bentuk tanpa ada karekteristik materi, seperti waktu yang merupakan karekteristik materi. Misalnya terkadang kita bermimpi dan melihat diri kita pada saat kita masih kecil dan kemudian berpindah pada fenomena yang lain dan melihat diri kita pada saat remaja atau seperti sekarang ini. Oleh karena itu, alam mitsal memiliki sebagian ciri yang ada pada alam akal dan juga memiliki ciri yang ada pada alam materi. Dalam kata lain, alam mitsal memiliki bentuk dan bentuk ini merupakan ciri alam materi, juga pada alam mitsal adalah alam yang tak memiliki beban dan materi dimana tak berbeban dan tak bermateri ini merupakan ciri dari alam akal. Disini kita akan memahami mengapa alam mitsal itu disebut dengan barzakh karena barzakh adalah antara [diantara] dimana alam mitsal terletak diantara alam materi dan alam akal.
Ada satu pertanyaan kaitannya dengan pembahasan kita kali ini, mengapa para sufi menjelaskan secara terpisah pembahasan alam mitsal ? para sufi menjelaskan alam mitsal secara detail karena kebanyakan mukasyafah pertama kali terjadi pada alam mitsal. Penyaksian atau mukasyafah ini bisa terjadi pada saat bermimpi dan juga pada saat dalam kondisi terjaga. Karena mesti dipahami bahwa yang menjadi dasar dalam irfan adalah penyaksian atau mukasyafah melalui qalbu dalam proses suluknya, dan karena mukasyafah sering terjadi pada alam mitsal, maka para sufi menjelaskan khusus berkenaan dengan alam mitsal ini.
Alam Mitsal Muttashil dan Munfashil
Sebagaimana diketahui pada pemabahasan sebelumnya, terdapat tiga tingkatan alam. Para sufi meyakini bahwa segala sesuatu di alam materi, juga memiliki realitas dirinya di alam mitsal dan juga pada alam akal. Pada surah al-hadid;25 “. . . wa anzalnâ al-hadid (dan kami turunkan besi) . . .” menjelaskan bahwa bahkan besi sekalipun, selain ada pada alam materi, juga ada pada alam mitsal, dan juga ada pada alam akal. Namun masing-masing dari besi tersebut mengikuti karekteristik alamnya. Besi pada alam materi dengan karekteristik materi, besi pada alam mitsal mengikuti karekteristik pada alam mitsal, dan juga besi pada alam akal mengikuti karekteristik pada alam akal.
Manusia pun demikian halnya, selain ada pada alam materi saat ini, juga ada pada alam mitsal, dan juga ada pada alam akal. Namun sayangnya tirai hijab dalam diri kita masih besar sehingga kita tidak bisa menyaksikan diri kita sendiri pada alam mitsal dan alam akal.
Alam mitsal yang ada di dalam diri kita disebut dengan mitsal muttashil (tersambung). Setiap orang memiliki alam mitsal sendiri-sendiri di dalam dirinya. Dengan alam mitsal muttashil tersebut manusia bisa menyaksikan bentuk-bentuk pada saat dia bermimpi atau pun pada saat dia terjaga jika dirinya telah memiliki kekuatan jiwa yang telah memadai. Selain dari alam mitsal muttashil, ada juga yang disebut dengan alam mitsal munfashil. Alam mitsal munfashil adalah sebuah realitas alam yang berisikan bentuk-bentuk segala sesuatu di alam ini.
Dalam irfan, segala sesuatunya telah ada sebelumnya pada alam akal. kemudian diturunkan pada alam mitsal hingga pada alam materi. Bahkan segala sesuatu yang akan terjadi dan tercipta pada masa yang akan datang di alam materi ini, sebelumnya telah ada di alam mitsal. Jika alam mitsal muttashil seseorang telah tersambung dengan alam mitsal munfashil, dia bisa menyaksikan fenomena-fenomena yang pada masa yang akan datang.
Alam Mitsal Turun dan Alam Mitsal Naik
Satu lagi pembagian pada alam mitsal adalah alam mitsal turun dan alam mitsal naik. Berdasarkan kalimat ‘innalillahi wa innailaihi rajiun’, menunjukkan bahwa segala sesuatu mengalami proses menurun (dari Allah swt) dan kemudian dari alam materi kembali ke naik keatas (kembali kepada Allah swt). Berdasarkan hal ini, alam mitsal turun berbeda dengan alam mitsal naik. Namun perbedaan ini pada aspek zahir dan batin.
Alam mitsal turun menjelaskan proses dari alam akal menuju alam materi. Alam mitsal naik menjelaskan proses dari alam materi kembali menuju alamnya. Alam mitsal naik disini sangat bergantung dengan amal perbuatannya. Semakin sempurna dirinya maka tempat kembalinya pun semakin sempurna. Oleh karena itu alam mitsal naik ini disyaratkan dengan tingkat amal perbuatan seseorang.
Setelah manusia meninggal, dirinya akan kembali kepada Tuhan. Tempat yang dia tempati setelah manusia meninggal adalah alam barzakh. Alam barzakh adalah alam penantian sebelum terjadinya kiamat besar (kubro). Pada alam itu lah manusia akan ditemani dengan amal perbuatannya yang dilakukan selama manusia hidup di dunia ini.
Persepsi Indrawi Batin dan Persepsi Indrawi Zahir
Manusia memiliki 5 persepsi indrawi dalam berhubungan dengan hal-hal yang bersifat material. Persepsi indrawi tersebut adalah melihat, mendengar, mencium, meraba, dan mencicipi. Kelima persepsi ini kita gunakan dalam memahami realitas alam material. Disamping 5 persepsi indrawi yang dimiliki manusia, ada juga persepsi lain yang disebut dengan persepsi indra bathiniyah. Dengan persepsi inilah kita bisa menyaksikan bentuk-bentuk dialam mimpi, juga dapat mendengar pembicaraan di alam mimpi, dapat mencicipi lezatnya makanan dan seterusnya.
Penyaksian di alam mitsal didasarkan pada indra batin yang dimiliki manusia. Misalnya Rasulullah saw menyaksikan malaikat Jibrail as dengan bentuk tertentu dan memiliki 600 sayap. Terkadang juga Rasulullah saw mendengar bunyi lonceng yang merupakan bentuk lain dari pengetahuan. Maksudnya bunyi lonceng adalah sebuah bentuk pengetahuan itu sendiri.
Melalui pembahasan alam mitsal ini maka kita bisa memahami bagaimana persoalan isra’ mi’raj Rasulullah saw. Dimana pada mi’raj disebutkan adanya beberapa tingkatan langit. Pada langit pertama disaksikan Nabi Adam as. Pada langit kedua disaksikan Nabi Isa dan Nabi Yahya as. Pada langit ketiga disaksikan Nabi Yusuf as. Pada langit keempat Nabi Idris as. Langit kelima Nabi Harun as. Langit keenam Nabi Musa as, dan langit ketujuh Nabi Ibrahim as. Selain hal diatas, pada kisah isra’ mi’raj juga disaksikan bentuk-bentuk lain, seperti arsy, kursi, dan seluruh hakekat-hakekat termasuk para anbiya.   

Saturday, March 2, 2013

Gerak Substansi Sadra dan Tajaddud Amtsal


Urafa meyakini akan adanya relasi keniscayaan yang terus menerus antara wujud dengan kehidupan manusia dan juga dengan entitas-entitas yang lainnya. Bahkan dari waktu ke waktu (dari saat ke saat) senantiasa berubah sehingga senantiasa baru dan baru. Emanasi wujud dari sumber wujud senantiasa tercurahkan kepada segala entitas sehingga setiap saat mengalami perubahan dan baru. Urafa menyebut hal ini dengan teori ‘menanggalkan dan memakai’ (khal’ wa labs). Maksudnya ‘keberadaan’ sebelumnya seluruhnya sirna (menanggalkan) dan kemudian mendapatkan keberadaan yang baru (memakai) dimana keberadaan yang baru ini  serupa dengan keberadaan sebelumnya. Bukan dalam pemaknaan bahwa eksistensi sebelumnya tetap ada dan tanpa perubahan, lalu kemudian ditambahkan padanya keberadaan yang baru. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rumi:
            Setiap jiwa senantiasa baru, dunia dan kita
            Tanpa tahu kebaruan itu dalam keabadian
            Umur bagai arus, baru dan baru
            Berlangsung terus menerus dalam tubuh
Berkenaan dengan hal ini, Urafa dalam kaidahnya mengatakan ‘wujud tidak tetap dalam dua waktu’. Menurut urafa kaidah ini berlaku pada segala entitas makhluk, baik itu substansi maupun aksiden. Kaidah urafa lainnya yang sejalan dengan kaidah ini yaitu ‘tak ada perulangan dalam tajalli’.
Pertanyaannya mengapa keberadaan yang kita saksikan ini tak ada perubahan yang berlangsung secara terus menerus bahkan seolah tetap. Kita melihat keberadaan tersebut senantiasa berada dalam satu kondisi. Alasannya karena adanya emanasi wujud yang terus menerus menerpa segala entitas dari sumber segala keberadaan. Emanasi ini tak pernah terhenti dan senantiasa berlangsung dari momen ke momen. Sebagaimana air hujan yang turun dari langit, kita saksikan seolah air hujan itu berbentuk garis lurus yang tak pernah terputus-putus, padahal jika diamati secara seksama turunnya air hujan, tidaklah demikian halnya.
Persoalan tajaddud amtsal ini bisa ditemukan dalam Qur’an. Silahkan lihat surah alwaqiah;61 untuk  menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu. Juga dalam surah qaf;15 ‘Sebenarnya mereka berada dalam pakaian dari penciptaan yang baru’. Surah fathir;16 ‘Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan dengan penciptaan yang baru’. Kemudian pada surah arrahman;29 ‘Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan’.
Berdasarkan dengan uraian tajaddud amtsal diatas, memang terdapat kemiripin dengan uraian Mulla Sadra berkenaan dengan gerak substansi. Tapi benar, gerak substansi diilhami dari pandangan urafa tentang penciptaan yang terus menerus berlangsung (tajaddud amtsal). Sebagaimana dipahami bahwa dalam gerak substansi, manusia senantiasa bergerak terus menerus melalui potensi yang ia miliki. Gerak dari potensi menuju aktual pada materi senantiasa berlangsung terus menerus. Kita tidak bisa mengasumsikan akan adanya titik diam pada gerak sehingga dikatakan bahwa gerak adalah kumpulan dari potongan titik-titik. Akan tetapi gerak adalah meninggalkan apa yang ada sebelumnya dalam bentuk potensi dan meraih apa yang datang padanya (aktual) dan hal ini berlangsung secara terus menerus dan tanpa terputus-putus hingga sampai pada titik aktul.