[Dimensi Universal ajaran para Nabi dalam Quran]
Sebagaimana dipahami bersama, jika kita memandang dari sisi ruang dan waktu maka para Nabi terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Para Nabi Secara periodik, ada yang lebih dahulu dan ada yang lebih terakhir. Maksudnya bahwa keterpisahan jarak beserta ruang dan waktu disebabkan oleh keniscayaan materi. Namun meskipun demikian, hal yang mesti dipahami bahwa para Nabi secara substansi adalah hakekat yang tak terpisahkan dan suatu realitas yang tersambung dari awal hingga akhir.
Rahasia mengapa para Nabi merupakan hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir, dikarenakan para Nabi merupakan manifestasi agung Ilahi. Oleh karenanya, sebagaimana Allah swt memanifestasikan dirinya dalam nama-namaNya dan nama-namaNya pun kemudian memanifestasikan dirinya dalam beragam bentuk, namun pada saat yang sama nama-nama tersebut merupakan satu hakekat yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir. Mengikuti hal tersebut, maka para Nabi pun merupakan satu hakekat yang tersambung dari awal hingga akhir sebagai manifestasi nama agung Ilahi. Hal ini menyadarkan kita bahwa hakekat kebenaran juga merupakan suatu realitas yang tunggal yang tersambung dari awal hingga akhir, mengikuti para Nabi sebagai manifestasi dari hakekat kebenaran dari para Nabi yang juga merupakan manifestasi dari Ilahi.
Dari sini pun dapat dipahami bahwa kebatilan sebagai lawan dari hakekat kebenaran adalah suatu hal yang terpisah-pisah serta terceraiberai dan karena itu pula kebatilan tak memiliki realitas yang tunggal. Jika hakekat kebenaran itu eksistensinya tetap maka kebatilan adalah kesirnaan dan tak memiliki pondasi.
Ajaran para Nabi, melalui hakekatnya yang tersambung dari awal hingga akhir, maka para Nabi pada hakekatnya penyambung masyarakat manusia dari dahulu hingga akan datang. Jika kita mengikuti realitas ini, maka filsafat sejarah dapat dibingkai berdasarkan filosofi hakekat kenabian bahwa para Nabi merupakan pondasi dalam seluruh masyarakat manusia sebab itu tak heran jika jumlah para Nabi bukan hanya 25 saja bahkan lebih. Hal ini juga menegaskan bahwa realitas eksistensi dibangun berdasarkan hakekat kebenaran. Jika kebatilan muncul dipermukaan, kebatilan ini tak kan abadi dan segera akan kembali pada hakekatnya yaitu kesirnaan. Oleh karena itu, Allah swt menciptakan alam ini dan kemudian meletakkan para Nabi dan Rasul di dalamnya sebagai hakekat yang terbentang dan tersambung dari awal hingga akhir. Dalam surah taubah : 33 Allah swt berfirman, ‘Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai’. Ayat ini menjelaskan bahwa akhir dari ciptaan realitas alam ini tak mungkin dengan kezaliman namun dengan keadilan.
Allah swt berkata kepada Rasulullah saw dalam surah annahl : 123 ‘ikutilah agama Ibrahim’. Selanjutnya kepada kita juga mengatakan dalam surah hajj : 78 ‘(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu’. Allah swt menyuruh kita dari dahulu untuk mengikuti tradisi para Nabi. Tradisi ini senantiasa dijaga oleh Allah swt karena di dalamnya terdapat pemikiran Ilahiyah dan pemikiran Ilahiyah yakni tauhid inilah yang kemudian tersebar dalam seluruh generasi manusia dan kemanusiaan. Namun berbeda dengan tradisi orang-orang zalim, misalnya berkenaan dengan Namrud dan Fir’aun Allah swt berfirman dalam surah al-an’am : 45, ‘maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya’. Begitu juga dalam surah al-a’raf : 72 ‘kami tumpas orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami’. Sebagaimana juga dalam surah al-anfal : 8 ‘agar Allah menetapkan yang hak dan membatalkan yang batil’.
Berkenaan dengan hal ini, ada perumpaan yang menarik yang disampaikan oleh Allah swt dalam surah arra’ad : 17 ‘Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, lalu mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya. Maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan’. Dalam ayat ini pertama-tama Allah swt menjelaskan bahwa anugerah Ilahi ini turun bagai air hujan, manusia menampung anugerah tersebut bergantung pada kadar ukurannya masing. Semakin luas wadahnya maka semakin luas pula dalam menampung anugerah Ilahi. Selain itu pula, perumpamaan dalam ayat ini menjelaskan bahwa jika memang hal tersebut adalah sebuah kebenaran maka tentu akan memberikan faedah dalam masyarakat dan jika memberikan faedah dalam masyarakat maka kebenaran tersebut akan kekal dan tetap di bumi. Namun berbeda dengan kebatilan, karena kebatilan tak memberikan faedah dalam masyarakat maka kebatilan cepat berlalu dan sirna.
Allah swt dalam surah qashas : 51 berfirman, ‘Dan sesungguhnya telah Kami turunkan ayat-ayat (Al-Qur’an) ini kepada mereka secara berturut-turut agar mereka ingat’. Ayat ini menjelaskan posisi Nabi sebagai perantara yang menyambungkan perkataan Ilahi agar sampai kepada masyarakat. Kemudian pada ayat lain Allah swt berfirman dalam surah mukminun : 44 ‘Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) para rasul Kami berturut-turut’. Ayat ini menegaskan ketersambungan antara satu Rasul dengan Rasul lainnya dan ayat ini menyebutnya dengan ketersambungan yang mutawatir atau berturut-turut. Berbeda dengan orang-orang zalim dan inkar, Allah swt berfirman dalam surah saba : 19 ‘Dan Kami jadikan mereka kisah (sebagai pelajaran bagi orang lain) dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya’. Oleh karenanya, para Nabi adalah hakekat yang tunggal, yang senantiasa hadir dalam masyarakat, dan kemudian memberikan efek. Dari sini kita dapat mengerti pentingnya memahami tradisi dan sirah para Nabi bahwa ketika realitas manusia tersambungkan dengan hakekat kebenaran maka dirinya pun akan menjadi sebuah realitas yang tetap.
Dalam surah taubah : 32 Allah swt berfirman, ‘Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya’ dan juga dalam surah shaf : 8 ‘tapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci’. Cahaya Ilahi tidak mungkin dimatikan, meskipun ada yang ingin mencoba mematikannya namun mereka tak kan mungkin mematikannya, karena cahaya Ilahi ini sampai kepada masyarakat melalui wahyunya. Cahaya Ilahi yang berupa wahyu ini senantiasa bersinar dan bahkan Allah swt sendiri yang menjaganya sehingga pancaran sinarnya sampai kepada seluruh manusia. Berdasarkan hal ini, jika ada yang menganggap bahwa di alam ini terkadang cahaya Ilahi yang bersinar dan terkadang api kezaliman yang menerangi manusia, tentu anggapan ini adalah anggapan yang tidak tepat karena cahaya Ilahi tak kan pernah padam.
Kemudian dalam beberapa ayat selanjutnya, seperti dalam surah maryam : 41 ‘Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 51 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Musa di dalam al-Kitab (Al-Qur’an) ini’. Surah maryam : 16 ‘Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Qur’an’. Surah maryam : 56 ‘Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka kisah) Idris di dalam Al-Qur’an’. Surah shad : 41 ‘Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub’.
Ayat-ayat sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa tradisi mereka yaitu tradisi para Nabi sebelumnya senantiasa hidup hingga saat ini sehingga Allah swt memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menceritakan Nabi-Nabi sebelumnya. Dan juga dalam surah al-an’am : 90 allah swt berfirman, ‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah petunjuk mereka’. Yang Allah swt perintahkan kepada kita adalah mengikuti petunjuknya karena petunjuk ini adalah hidayah Ilahi dan hidayah Ilahi ini senantiasa berlangsung terus menerus. Karenanya terkadang hidayah ini dalam bentuk sirah Nabi Ibrahim, terkadang dengan sirah Nabi Musa, terkadang dengan sirah Nabi Isa, dan juga terkadang dengan sirah Nabi-Nabi lainnya. Dan saat ini kita berada dalam sirah Rasulullah saw.
Thursday, February 27, 2014
Filsafat Sejarah
Tuesday, August 20, 2013
Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi
Apakah engkau merasa dirimu hanya benda kecil?
Padahal dalam dirimu terdapat alam semesta
(Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
as)
Insan Kamil dalam Irfan Ibn Arabi
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, pembahasan
irfan terdiri dari dua pembahasan inti; pertama, berkenaan dengan
tauhid. Kedua, berkenaan dengan muwahhid. Tauhid dalam irfan berkenaan
dengan pembahasan wahdatul wujud,
sedangkan yang dimaksud dengan muwahhid adalah seseorang yang telah sampai pada
maqam tauhid atau yang biasa disebut dengan insan kamil (manusia sempurna).
Pada
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai wahdatul wujud yang merupakan
puncak tauhid dalam pandangan sufi. Menurut mereka, hakekat wujud hanya satu
yaitu wujud Al-Haqq, sedangkan selain Al-Haqq hanya manifestasi,
jelmaan, tajalli, bayangan, atau
penampakan dari nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq.
Dalam
tajalli, nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq tersebut bergradasi atau
memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian nama merupakan jelmaan dari nama
tertinggi Al-Haqq dan sebagian nama merupakan jelmaan dari nama yang berada
pada tingkatan bawah. Manifestasi yang paling agung adalah manifestasi dari
nama Allah swt dikarenakan dalam nama Allah swt terkandung seluruh nama-nama
Tuhan, sebagaimana dalam surah al-isra’;110 ; Katakanlah, “ serulah
Allah dan serulah Al-Rahman, dengan nama mana saja kamu seru, hanya bagi-Nya
lah asmaul husna” . Manifestasi nama Allah swt adalah insan kamil atau
biasa juga disebut dengan Hakekah Muhammadiyah. Hal ini sesuai dengan hadits
Qudsi yang berbunyi ; jika bukan engkau wahai Muhammad maka Aku tidak
ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.
Hakekat Insan Kamil
Diantara
wujud yang ada, hanya manusialah yang dapat menampung seluruh hakekat di dalam
dirinya, sebab dirinya merupakan manifestasi dari nama Allah swt dan nama Allah
swt terkandung seluruh nama-nama di dalam diri-Nya. Hakekat insan kamil berada
dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai dari alam materi, alam mitsal, alam
akal, maqam wahidiyah dan bahkan sampai pada maqam ahadiyah. Namun hanya
Rasulullah saw beserta para washinya yang mampu sampai pada maqam ahadiyah,
sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah al-najm;9 ; Maka
jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau
lebih dekat (lagi). Juga dalam hadits, Rasulullah saw
bersabda; pernah satu saat diriku bersama dengan Allah swt dimana pada saat
itu, baik rasul maupun malaikat muqarrab tak dapat menyertaiku.
Dari sini, kita akan melihat bahwa
hakekat insan kamil memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan aspek khalqiyah
(makhluk). Aspek Ilahiyah didalam diri insan kamil dapat ditinjau dalam beberapa hal; pertama, insan kamil
merupakan cermin dari Al-Haqq. Maksud dari cermin disini bahwa insan
kamil merupakan jelmaan dari seluruh nama-nama Ilahi. Kedua, insan kamil
tercipta berdasarkan bentuk Al-Rahman. Bentuk disini bukan bentuk dalam
pemaknaan material akan tetapi yang dimaksud dengan bentuk adalah ‘sesuatu yang
nampak pada sesuatu tersebut’, dan yang nampak dalam batin insan kamil adalah
Al-Rahman. Sedangkan yang dimaksud dengan aspek khalqiyah adalah sisi kehambaan
dan ubudiyahnya.
Aspek Ilahiyah di dalam diri insan
kamil didapatkan melalui empat tahapan perjalanan sair suluknya. Diawali dari
perjalanan dirinya menuju Al-Haqq, kemudian dari Al-Haqq menuju Al-Haqq
bersama Al-Haqq, selanjutnya dari Al-Haqq menuju al-khalq bersama
Al-Haqq, dan dari al-khalq menuju al-khalq bersama Al-Haqq.
Insan kamil atau manusia sempurna adalah mereka yang telah sampai pada
perjalanan kedua dan ketiga. Siapa saja yang berhasil suluk sampai pada
perjalanan kedua dan ketiga maka disebut dengan insan kamil.
Insan
Kamil Sebagai Khalifah
Makna dari
khalifah adalah pengganti, yaitu menggantikan posisi yang digantikan (ghaib).
Oleh karena itu, makna khalifah disini harus dimaknai dengan baik jika masih
tetap ingin dimaknai sebagai pengganti, sebab persoalannya adalah pengganti
disini bukan menggantikan yang ghaib (tidak hadir) karena Tuhan hadir dalam
segala sesuatu dan Tuhan tidak pernah tidak hadir. Maka khalifah adalah
pengganti yang menggantikan suatu wujud yang tidak pernah tidak hadir.
Berdasarkan hal ini kita akan menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi khalifah
adalah suatu eksistensi yang memiliki keidentikan dengan Al-Haqq. keidentikan
tersebut adalah bahwa dirinya hadir dalam seluruh tingkatan manifestasi, mulai
dari alam materi hingga maqam ahadiyah,
dan hanya insan kamil saja yang hadir dalam seluruh tingkatan
manifestasi. Oleh karena itu, yang berhak menjadi khalifah adalah insan kamil.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan bahwa adam menjadi khalifah setelah Allah swt
mengajarkan seluruh nama-nama padanya. (al-baqarah;31)
Insan
Kamil sebagai Ruh Alam Semesta
Sebagaimana
diketahui, ruh manusia berperan sebagai pengatur (rububiyah) terhadap
badannya, baik itu disadari atau tidak, meskipun jarang manusia yang menyadari
akan hal ini. Untuk membuktikannya, cukup dengan melihat karekteristik dari
materi, dan badan manusia – jika dilihat
hanya pada badannya tanpa mengaitkan dengan ruhnya – adalah materi. Jika
asumsinya bahwa materi sebagaimana materi dapat mengatur dan merubah nutrisi
menjadi rambut, kuku, darah, dst, maka binatang, tumbuhan, dan batu pun
seharusnya memiliki karakter yang sama dengan manusia, karena semuanya berasal
dari nutrisi. Namun hal tersebut tidak terjadi karena sebagai diketahui yang mengatur hal tersebut bukan
tubuh kita yang hanya materi semata, akan tetapi yang mengatur adalah ruh kita.
Hubungan alam semesta dengan insan
kamil pun demikian halnya. Insan kamil adalah ruh sedangkan alam semesta adalah
badannya. Oleh karenanya, dalam tasawwuf atau irfan, manusia disebut sebagai
makrokosmos dan alam semesta adalah mikrokosmos. Rahasia mengapa insan kamil
adalah ruh alam semesta karena hanya insan kamil yang senantiasa eksis dalam
seluruh tingkatan tajalli. Meskipun batinnya naik ke maqam uluhiyah akan tetapi
lahirnya tetap saja ada dibumi. Maksudnya kedua aspek didalam dirinya
senantiasa terjaga; aspek Ilahiyah dan aspek ubudiyah.
Insan
Kamil sebagai Tujuan Penciptaan Alam
Pada pembahasan
sebelumnya telah dijelaskan bahwa insan kamil merupakan cermin dari seluruh
kesempurnaan Ilahiyah. Jika Tuhan ingin melihat kesempurnaan diri-Nya melalui
sebuah perantara maka dirinya akan menyaksikan kesempurnaan diri-Nya dalam
cermin dan cermin tersebut adalah Rasulullah saw. Alasan lainnya dikarenakan
insan kamil merupakan ruh alam sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dan hal
ini sesuai dengan hadits Qudsi; jika bukan engaku wahai Muhammad maka Aku
tidak ciptakan langit dan bumi beserta seisinya.
Insan
Kamil sebagai Simbol Keabadian atau Kehancuran Alam Semesta
Jika dipahami
bahwa insan kamil sebagai ruh alam semesta, maka alam semesta bergantung pada
insan kamil, baik dalam keabadiannya maupun dalam kehancurannya. Sebagaimana
badan manusia bergantung kepada ruhnya. Maksudnya selama ruh manusia masih berada dalam
tubuhnya maka tubuh tersebut memiliki kehidupan, namun disaat ruh meninggalkan
tubuhnya maka pada saat itu tubuhnya tak memiliki kehidupan sebagaimana
sebelumnya.
Terjadinya
kiamat dalam pandangan irfan adalah disaat insan kamil kembali ke maqam
uluhiyah secara totalitas. Maksudnya disaat insan kamil meninggalkan dunia ini
maka pada saat itu akan terjadi kiamat. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan
oleh Imam Maksumin as; jika tidak ada hujjah (insan kamil) maka bumi ini
akan hancur.
Insan
Kamil untuk Seluruh Manusia
Apakah insan
kamil ini hanya dikhususkan kepada para Rasul, Nabi, dan para Imam ? jika
bersandar pada penjelasan Al-Qur’an, maka insan kamil ini tidak hanya
dikhususkan kepada para Maksumin semata (Rasul, Nabi, dan Imam). Dalam surah
al-ahzab;72 Allah swt berfirman; “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul
amanat itu”.
Amanah dalam
ayat diatas ditawarkan kepada seluruh golongan manusia dan tidak dikhususkan
kepada golongan tertentu dari manusia. Rahasia mengapa manusia mampu menerima
amanah tersebut dikarenakan manusia memiliki dua aspek; aspek Ilahiyah dan
aspek khalqiyah sehingga manusia bisa hadir dalam seluruh manifestasi. Namun
tentunya manusia hanya bisa naik ke atas melalui berkah wilayah insan kamil,
Wilayah Muhammadi saw.
Saturday, March 23, 2013
Ibn Sina dan Muridnya Bahmanyar
Bahmaniyar adalah salah satu murid terdekat Ibn Sina. Sejak kecil hingga
dewasa senantiasa dalam arahan Ibn Sina. Bahmaniyar sangat memuji gurunya yang
hampir menguasai seluruh bidang pengetahuan khususnya filsafat. Bahmaniyar pun
sangat terkesan dengan ajaran-ajaran filsafatnya. Singkatnya, pernah suatu
ketika Bahmaniyar berkata pada gurunya; ‘Guru... Aku lihat posisimu sederajat
dengan Rasulullah saw. Engkau menguasai berbagai bidang pengetahuan
apalagi engkau piawai dalam filsafat. Lihat saja, tak ada filsafat dalam Qur’an
dan juga hadits-hadits Rasulullah saw’. Mendengar perkataan muridnya, Ibn Sina
hanya tersenyum dan tidak menanggapi perkataannya. Ibn sina menunggu momen yang
tepat untuk menanggapinya. Disaat-saat akhir kehidupannya, Ibn Sina sering sakit-sakitan
dan kemudian memutuskan untuk kembali ke Hamadan. Hamadan adalah salah satu
kota di Iran yang cukup dingin dikarenakan kota tersebut dikellilingi dengan
pegunungan, apalagi disaat salju tiba. Suatu malam, Ibn Sina terserang sakit
dan membuat dirinya sulit bergerak apalagi untuk keluar rumah, karena pada
malam itu cuaca sangat dingin dikarekan salju lebat sedang turun. Kebetulan,
dirumah tak ada air untuk diminum. Ibn Sina kemudian meminta tolong pada
muridnya Bahmaniyar untuk mencari air minum. Jarak ke tempat penampungan air
minum dari rumah Ibn Sina lumayan jauh. Mendengar perintah gurunya, Bahmaniyar
berpikir keras untuk memenuhi perintah gurunya. Untuk menepis perintah gurunya,
Bahmaniyar berkelit dengan alasan kesehatan yang akan membahayakan dirinya jika
keluar rumah dengan cuaca yang sangat dingin. Tak lama kemudian azan subuh pun
terdengar. Setelah kalimat asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Ibn Sina mengambil momen ini
untuk menanggapi perkataan muridnya tentang kesamaan derajat dirinya dengan
Rasulullah saw. Ibn Sina berkata pada muridnya; “coba anda pikirkan dengan baik
muazzin itu, dia keluar dari rumahnya menuju Mesjid dan naik kemenara Mesjid
untuk melantunkan azan subuh. Muazzin itu tak pernah melihat wajah Rasulullah,
tak pernah mendengar suara Rasulullah, dan tak pernah mendapatkan ajaran
filsafat seperti yang engkau katakan, dan ketahuilah, Rasulullah saw hidup
seribu tahun silam, tapi muazzin itu bersedia menembus dingin dan salju
yang menurut dirimu akan membahayakan dirinya. Sedangkan aku hanya menyuruhmu
meminta segelas air minum dan engkau pun tak sanggup. Sungguh, Rasulullah saw
adalah manusia suci yang tak ada bandingannya dengan siapapun dan Jangan pernah
engkau bandingkan derajat Rasulullah saw dengan siapapun.
Friday, March 15, 2013
Tauhid Sufistik
Pendahuluan
Persoalan tauhid
merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan
Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan
perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru
karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid
adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini
bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang
kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan
penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua
tersebut akan kembali kepada yang pertama.
Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan;
yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan
melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan
melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof
berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan
qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam
mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan
ilmu hudhuri.
Ketidakterbatasan
Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam
menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan
menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip
yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya
yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang
memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel,
karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan
tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud
malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam
materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh
karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki
rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka
meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang
membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
Ketidakterbatasan ini berarti bahwa
diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir
dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi
seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka
tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena
itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan
pada alam konsep sekalipun.
Pertanyaannya adalah jika yang ada
hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut
sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan
maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
Berikut ini adalah beberapa ayat dan
riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah
Al-Hadid ; 3 ;
Dia-lah
yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat
diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah
batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan
awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak
sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu
bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu
awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada
pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena
ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya
diri-Nya.
Surah
Annisa ; 126
Apapun
yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala
sesuatu
Ayat
diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt
meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada
prinsip surah Al-Hadid;3.
Surah
Al-Baqarah ; 115
Kemanapun
engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga
kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas
sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali
sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.
Surah
Al-Mujadilah ; 7
Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan
tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan
antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama
mereka dimanapun mereka berada.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam
dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73
Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt
adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa
Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan
tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka
perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu
akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya
dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt
berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.
Surah
Al-Anfal ; 17
Bukan
engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.
Surah
Al-Baqarah ; 186
Jika
seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.
Surah
Al-Waqiah ; 85
Dan
kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.
Surah
Qaf ; 16
Dari
kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam
Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya.
Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak
berpisah.
Tasybih
dan Tanzih
Tuhan yang tak
terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam
segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada
wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih
(penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang,
tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada
makhluk dan Tuhan.
Pada saat yang sama,
ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat
makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang
terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu
batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam
segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa
dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada
Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi
Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh
karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga
meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada
tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah
dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau
penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun
yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak
ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi
Maha-Melihat.
Tujuan
para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya.
Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya
maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh
hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein
as.
Namun untuk mempersiapkan qalbu
berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah.
Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa
melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang.
Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat.
Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu
benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara
latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan
keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang
beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut
adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya
kemudahan karena suluk adalah non-materi.
Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan)
terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan
stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab
aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24
tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya
secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan,
ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq
(iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha,
taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).
Tuesday, March 12, 2013
Plato
Dalam filsafat Plato
ada tiga dasar pemikiran penting yang menjadi ciri khas pemikirannya. Ketiga
dasar pemikiran ini selanjutnya dikritik oleh muridnya Aristoteles. Ketiga
pemikiran tersebut sebagai berikut:
Teori Idea-Idea
Menurut Plato, segala
apa yang ada di alam indrawi ini, baik itu substansi maupun aksiden, hakekatnya
terdapat di alam lain. Manusia yang ada di alam ini ibaratnya seperti
bayangan-bayangan dari hakekat-hakekat yang ada di alam sana. Misalnya seluruh
manusia yang hidup di alam indrawi ini berasal dari satu hakekat dan berasal
dari asal yang sama yaitu berasal dari alam sana. Manusia hakiki dan hakekat
manusia adalah manusia di alam sana. Begitu juga dengan entitas-entitas
lainnya.
Plato menyebut
hakekat-hakekat di alam sana dengan idea. Sebagian filsuf muslim
menerjemahkan idea ini ke dalam filsafat Islam dengan mitsal. Keseluruhan
hakekat-hakekat tersebut di alam sana disebut dengan mutsul (jamak dari
kata mitsal) oleh filsuf muslim. Ibn Sina sebagai pengikut aliran
paripatetik menolak keras teori ini sedangkan Suhrawardi sebagai pengikut
aliran iluminasi sangat fanatik teori idea ini. Mirdamad dan Mulla Sadra adalah
dua filsuf yang sangat mendukung teori ini. Namun terminologi yang mereka
gunakan berbeda dengan Plato, bahkan Suhrawardi pun menggunakan terminologi
yang berbeda dengan Plato. Salah satu filsuf lainnya yang sangat mendukung
teori ini adalah Mir Fendereski yang merupakan salah satu filsuf pada priode
dinasti Safawiyah. Berkenaan dengan teori ini Mir Fendereski menulis syair :
Bentuk di alam
bawah ini jika dengan tangga makrifat
Naiklah ke atas,
hakekat dirinya satu saja
Perkataan ini
tak kan dipahami secara lahiriyah
Meskipun anda
al-Farabi atau Ibn Sina
Ruh Manusia
Plato meyakini bahwa
ruh manusia sebelum menyatu dengan badan telah diciptakan dan berada di alam
ide. Kemudian setelah badannya tercipta, ruhnya menyatu dengan badannya. Mulla Sadra
menerima gagasan Plato mengenai keberadaan segala sesuatu sebelum turun ke alam
realitas eksistensi. Namun pendekatan serta terminologi yang digunakan Sadra
berbeda dengan Plato. Karena ada parameter lain yang digunakan dalam hal ini
yaitu terminologi ruh, nafs, dan badan jismani.
Teori Pengingatan
Kembali
Teori ini bisa dianggap
sebagai konsekwensi atau turunan dari kedua teori Plato sebelumnya. Teori ini
oleh Plato disebut dengan ‘pengingatan kembali’. Maksudnya sebelum manusia menyatu
dengan badannya di dunia, ruhnya telah diciptakan dan telah ada di alam ide. Ketika
manusia berada di alam ide, manusia telah menyaksikan segala sesuatu yang ada
di alam sana. Karena di alam ide tak ada tabir antara satu entitas dengan
entitas lainnya. oleh karenanya apa yang diketahui di alam dunia ini adalah
pengingatan kembali atas apa yang diketahui sebelumnya di alam ide. Namun ketika
ruh menyatu dengan badan, badannya menjadi hijab atau tabir sehingga ruhnya tak
lagi terkoneksi dengan cahaya di alam ide. Akibatnya manusia lupa atas apa yang
diketahui sebelumnya. Saking lupanya, ketika manusia mendapatkan pengetahuan
seolah baru pertama kali ia mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk keluar dari
persoalan ini, manusia mesti berusaha menghilangkan tabir atau hijab tersebut
dengan dialektika pemikiran metode rasional atau dalam pandangan Suhrawardi
berusaha meraih cinta kepada kebaikan mutlak melalui tazkiyah dan penyucian
diri.