Bagi anda yang sering
mengunjungi Mal-Mal besar di Jakarta. Sangat mudah menjumpai beragam
jenis manusia dari berbagai latar belakang ideologi dan pemikiran. Bahkan tak
perlu mewawancarai satu persatu untuk menanyakan prihal keyakinan mereka.
Pakaian yang mereka gunakan sedikit banyaknya menjelaskan seperti apa keyakinan
mereka. Dan akan nampak lebih mudah lagi jika pengunjung Mal tersebut sudah
menggunakan simbol-simbol tertentu yang menegaskan keyakinan mereka.
Mulai dari pakaian yang terbuka sampai pakaian tertutup
dan bercadar pun sangat mudah kita jumpai. Mereka para pengunjung memanfaatkan
fasilitas Mal sebaik mungkin sambil bercengkrama bersama keluarga dan sahabat.
Para pengunjung yang berbeda ideologi larut dalam irama suguhan-suguhan Mal.
Tak terlihat perbedaan mencolok sebagai pengunjung Mal. Perbedaan suku,
ideologi, dan pemikiran bukan menjadi penghalang sebagai pengunjung Mal.
Ornamen-ornamen Mal akan tampak berbeda di saat mendekati
hari-hari besar. Menjelang hari raya Idul Fitri akan dihiasi dengan ornamen
islami dan musiknya pun berubah. Demikian halnya sekarang ini, menjelang
perayaan natal, Mal-Mal akan dihiasi dengan asesoris natal. Meski demikian,
pengunjung Mal masih tetap sama dan tidak berubah. Masih dikunjungi dari
berbagai kalangan dan dengan latar pemikiran yang berbeda.
Ada pertanyaan terbesik di benak saya, bagaimana jika
fenomenanya terbalik? Kira-kira akan seperti apa jika lapak-lapak yang ada di
Mal tersebut menjual lapak-lapaknya dengan lebel ideologi tertentu. Misalnya
‘Mie Instan Islami’, ‘Mie Goreng Natal’, ‘Mie Siram Budhis’, dan demikian
halnya dengan lapak-lapak lainnya dari berbagai jenis merek. Apakah masih bisa
ditemukan pengunjung yang sama dan masih dikunjungi dari berbagai kalangan?
Memang tak mudah untuk memastikan jawabannya namun fakta menunjukkan hampir
tidak ada lapak di Mal yang mengawinkan antara dagangan dan ideologi. Sebab
jika relasi dagangan dan ideologi di Mal-Mal benar-benar memberikan keuntungan,
tentu akan menjadi incaran kaum kapitalis mengubah Mal-Mal yang ada menjadi Mal-Mal
ideologi.
Fenomenologi Mal ingin menegaskan –baik itu kita menerima
atau menolaknya- bahwa kita semua adalah manusia moderen. Baik itu modernitas
kita maknai sebagai sifat personal, sosial, atau pun budaya, pada akhirnya kita
semua adalah manusia moderen. Namun hal yang menarik karena satu sisi,
keberagamaan masih bisa hadir di tengah-tengah kemegahan Mal-Mal yang indah dan
mewah.
Berangkat dari pemaparan sebelumnya, kita akan menyelami
satu pertanyaan dan persoalan baru, apakah agama dan modernitas bisa menyatu?
Agama manakah yang mampu mempersatukan antara modernitas dan keberagamaan?
Tentu tak semua keyakinan mampu berjalan berbarengan dengan modernitas.
Keberagamaan yang bisa berjalan berbarengan dengan modernitas adalah yang
menempatkan esensi agama dalam aspek ruhaniah dan spiritual. Namun mereka yang
menempatkan esensi agama hanya pada aspek zahir dan lahiriyah semata tidak akan
mampu bersaing dengan ruang-ruang modernitas yang mengalami percepatan luar
biasa.
Fenomena lain yang sangat menarik untuk kita perhatikan
tentang kehadiran seorang pria muslim dengan pakaian khas muslim arab di
Aljazair yang akan menghancurkan patung karya seniman Perancis 1898. Ketika orang
muslim itu dengan kampak yang ada di tangan kanannya ingin menghancurkan patung
yang telah ada sejak lama, serentak orang-orang sekitarnya melempari orang itu
dengan batu agar orang itu menghentikan tindakannya merusak patung. Fenomena
yang lucu namun memberikan pesan yang luar biasa kepada kita semua.
Pria muslim itu mewakili budaya dan pemikiran tertentu
dan orang-orang yang melempari pria muslim tersebut yang juga notabene
orang-orang muslim Aljazair mewakili budaya dan pemikiran tertentu. Pria tersebut
meyakini patung di realitas eksternal mesti dihancurkan sedangkan muslim
lainnya meyakini bahwa yang mesti dihancurkan adalah patung yang ada di dalam
diri kita sendiri yaitu egoisme, takabbur, dan kejahilan. Pria muslim itu
mewakili islam literal dan puritan dan muslim lainnya mewakili islam transenden
dan sufistik.
Benar! Agama dan keberagamaan lebih kompleks dari
persoalan Mal. Mal tidak akan mungkin menggambarkan segala hal yang ada di
dalam agama. Namun setidaknya, kita bisa belajar dari fenomenologi Mal,
ternyata keberagamaan akan nampak indah jika masing-masing pemeluk agama dan
keyakinan menyadari batas-batas eksistensi mereka masing-masing.
Sebab agama dan keberagamaan tampak berbeda jika memasuki
ranah yang lebih kompleks dimana tingkat persaingannya lebih tinggi dan ketat,
seperti dalam ranah politik. Wajah agama dan keberagamaan ketika kawin dengan
agenda-agenda politik nampak lebih menegangkan dan tanpa kompromi.
Satu hal yang mesti kita sadari bahwa esensi agama adalah
pilihan dan kesadaran. Memaksakan jargon-jargon agama ke ranah politik, bukan
hanya akan membuat chaos dalam masyarakat, namun juga akan membuat agama
menjadi tak bermakna.