a. Beberapa
tindakan yang dilakukan manusia dialam ini, akan mengaktual (mewujud) di alam
akhirat. Tindakan yang dimaksud disini adalah tindakan yang telah menjadi
malakah (bagian dari dirinya). Sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits bahwa
dunia ini adalah ibarat ladang (tempat menanam) bagi manusia yang buahnya akan
dipetik kelak (pada hari akhir). Namun sebenarnya secara malakuti akibat
perbuatan tersebut telah terjadi saat ini, sebagaimana yang bisa disaksikan
oleh para sufi.
b. Ruh
tidak terpisah dari badan. Ruh dialam materi dengan badan materi dan di alam
barzakh dengan alam barzakh.
c. Setelah
ruh manusia melepaskan badan materinya di alam, akan segera menyatu dengan
badan barzakhinya (biasanya juga disebut dengan badan mitsali) yang disertai
dengan seluruh kesempurnaan dan keburukan
yang telah menjadi malakah bagi dirinya.
d. Ruh
adalah pemelihara dan pengatur badannya dan aktifitas badannya. Oleh karena
itu, badan materinya secara totalitas bergantung kepada ruh. Namun badan materi
ini pada hari kiamat nanti akan menjadi saksi terhadap segala tindakan yang
dilakukan oleh ruh.
e. Manusia
di alam barzakh kelak, juga memiliki persepsi, kondisi-kondisi, serta akan
bertemu dengan hal-hal yang baik atau pun yang buruk. Fenomena-fenomena tersebut
dipersepsi oleh ruh beserta badan barzakhinya. Contohnya sebagaimana yang
dijelaskan oleh hadits bahwa orang-orang mukmin ketika dikuburkan akan disambut
dengan tanah dengan bahagia, namun tanah akan menyempit ketika orang-orang
kafir akan dikuburkan. Kuburan yang dimaksud disini adalah kuburan barzakhi,
bukan kuburan materi sebagaimana yang terlihat di pekuburan. Oleh karena itu,
kubur memiliki tiga istilah; 1) kubur di alam materi sebagaimana yang kita
saksikan di pekuburan. 2) kubur di alam barzakh. 3) ruh yang telah mati maka
badannya akan menjadi kuburannya.
f. Hakekat
kematian adalah terpisahnya jiwa pada selain hakekat dirinya. Misalnya ketika
mayat sedang diantar ke kuburan, si mayat melihat dirinya pada dua bentuk,
bentuk pertama adalah ruh yang sedang berjumpa dengan malaikat, dan bentuk
kedua adalah badan yang sedang diantar oleh sanak keluarganya ke kuburan.
g. Tajassum
a’mal yaitu perbuatan-perbuatan manusia di alam materi akan berbentuk di alam
barzakh kelak. Bentuknya bukan bentuk badan materi akan tetapi berbentuk badan
barzakhi yang sesuai dengan malakah ruh manusia.
h. Sebagaimana
dipahami bahwa alam ini dibagi menjadi tiga tingkatan; tingkatan paling atas
adalah alam akal, kemudian alam mitsal (barzakh), dan selanjutnya alam materi.
Ciri pada alam materi yaitu pada alam materi terdapat dimensi (3 dimensi), ada
bentuk, dan juga terdapat beban (massa jenis). Pada alam mitsal tidak ada beban
namun memiliki dimensi dan bentuk, sebagaimana yang kita saksikan pada alam
mimpi. Sedangkan pada alam akal, tak ada bentuk, tak ada dimensi, dan tentunya
tak ada massa jenis. Hubungan antara alam akal dan alam-alam selanjutnya yang
ada di bawah alam akal, terhubungkan dengan relasi kausalitas. Dalam kata lain,
alam akal adalah sebab bagi alam mitsal, selanjutnya alam mitsal adalah sebab
bagi alam materi. Jika dipahami bahwa sebab lebih sempurna dari pada akibatnya,
maka alam akal lebih sempurna dari alam mitsal dan alam mitsal lebih sempurna
dari alam materi. Berdasarkan hal ini, keinginan di alam barzakh lebih sempurna
dari pada keinginan di alam materi. Pada alam barzakh keinginan bersifat ‘kun
fa yakun’ atau dalam kata lain, setiap manusia berkeinginan secara spontan
keinginan tersebut teraktual. Namun berbeda pada alam materi, keinginan kita
tidak bisa teraktual secara spontanitas karena keinginan kita di alam materi,
terpisah dari realitas diri kita.
i. Pada
surah ali-imran;30 Allah swt berfirman, ‘Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebaikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang
telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara dirinya dengan hari itu ada
masa yang jauh’. Berkenaan dengan ayat ini, bahwa balasan di hari akhirat
kelak adalah perbuatan itu sendiri, maksudnya perbuatan itulah balasan manusia.
Dalam kata lain, perbuatan manusia pada alam barzakh memiliki bentuk tertentu
(bergantung pada jenis perbuatannya), bentuk itulah adalah balasan bagi
dirinya.
j. Berdasarkan
pada prinsip sebelumnya, jiwa tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ada badan,
oleh karena itu dimana ada jiwa pasti ada badan. sebagaimana pada alam materi
jiwa memiliki badan materi, maka pada alam ukhrawi kelak, jiwa memiliki badan
ukhrawi. Badan ukhrawi yang dimaksud adalah bentuk tertentu yang dihasilkan
dari perbuatan yang akan menjadi badan manusia di hari akhirat kelak.
k. Perbandingan
antara alam materi dengan alam ukhrawi bahwa pada alam ukhrawi merupakan alam
hakekat kebenaran. Maksud dari hakekat kebenaran bahwa pada alam ukhrawi
merupakan hakekat kehidupan sebenarnya. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah
al-ankabut;64 ‘Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan,
kalau mereka mengetahui’. Namun hal ini tidak berarti bahwa pada alam
materi juga tidak terdapat hakekat kehidupan, apalagi jika diyakini bahwa Allah
swt hadir dalam segala entitas. Oleh karena itu pada alam materi pun terdapat
hakekat kehidupan akan tetapi hakekat kehidupan pada alam materi hanya
disaksikan oleh para sufi karena hakekatnya berada pada batin alam materi.
l. Pada
alam materi kita memiliki 5 persepsi indrawi, begitupun pada alam barzakh,
manusia memiliki 5 persepsi indrawi. Biasanya disebut dengan persepsi indrawi
batin. Misalnya melihat, mendengar, dan persepsi indrawi lainnya pada alam materi,
persepsi tersebut juga terdapat pada alam barzakh.
Misalnya
Rasulullah saw menyaksikan bentuk malaikat Jibrail as dan mendengarkan suara
lonceng disaat menerima wahyu, penyaksian dan pendengaran tersebut terjadi di
alam barzakh melalui persepsi indrawi batin. Berkenaan dengan mimpi, manusia
menyaksikan bentuk-bentuk tertentu di alam mitsal. Namun mimpi pada hakekatnya
bukan bentuk itu, karena mimpi datang melalui alam ruh, kemudian dari alam ruh
turun ke qalbu, kemudian dari qalbu turun khayal (imajinasi) dari khayal
selanjutnya di transfer ke ‘hissi musytarak’, ketika sampai pada hissi
musytarak manusia bisa menyaksikan sesuatu. Oleh karena itu, kerja khayal
adalah menkonversi makna yang datang dari qalbu menjadi bentuk tertentu
sehingga makna tersebut bisa disaksikan. Misalnya ketika seseorang akan
mendapatkan harta atau ilmu, makna ilmu dan harta ini, ketika dikonversi ke
alam imajinasi akan berbentuk singa. Inilah yang dimaksud dengan penakwilan
mimpi, yaitu dari alam bentuk dikembalikan kepada makna asalnya.
m. Setiap manusia memiliki penyaksian sendiri-sendiri karena setiap
manusia memiliki karekteristik eksistensi dirinya masing-masing. Hal ini-lah
yang membuat
mengapa penyaksian dan mimpi setiap orang berbeda-beda.
n. Syafaat
tidak mungkin di dapatkan tanpa adanya ketaatan, karena syafaat merupakan hasil
dari ketaatan seseorang. Dalam kata lain, ketaatan adalah wadah dalam menerima
syafaat, sebab jika seseorang tidak memiliki wadah dalam menerima syafaat, maka
jika syafaat diberikan pun pada dirinya tidak akan bermanfaat karena wadahnya
yaitu ketaatan tidak ia miliki. Karena itu ada hadits yang berbunyi bahwa tak
ada syafaat bagi mereka yang meninggalkan sholat. Karena itu perlu dipahami
bahwa syafaat berfungsi menyempunakan ibadah dan amal perbuatan yang belum
sempurna. Misalnya sholat yang tidak memiliki batin tentu sholat yang tidak
sempurna, nah fungsi syafaat disini untuk menyempurnakan sholat tersebut.
o. Pada
prinsip sebelumnya dijelaskan bahwa penyaksian para sufi dalam menyaksikan
bentuk-bentuk dan kondisi-kondisi manusia yaitu berkenaan dengan sifat-sifat
malakah yang dimiliki seseorang. Jadi sifat-sifat yang telah menjadi malakah
yang menjadi ‘bahan dasar’ bentuk-bentuk barzakhi. Seorang sufi yang telah
terbuka mata batinnya dapat menyaksikan bentuk seseorang yang sesuai dengan
sifat malakah yang dimilikinya.
p. Kenikmatan dan penderitaan yang ada di alam materi
semuanya berasal dari pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Misalnya
saat kita makan dan minuman yang lezat, jiwa kita merasakan
kenikmatan. Namun pada akhirat kelak, kenikmatan dan penderitaan semuanya
berasal dari diri manusia itu sendiri, bukan sesuatu yang datang dari luar diri
manusia.
q. Dari beberapa prinsip sebelumnya dapat
dipahami makna ayat dalam surah nuh ; 13-14 ‘Mengapa kamu tidak percaya akan
kebesaran Allah’, ‘padahal Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa
tingkatan penciptaan’.
r. Dari
pembahasan sebelumnya dipahami bahwa yang dimaksud dengan (maut)
kematian yaitu keterpisahan jiwa dari sesuatu selain dirinya. Misalnya ketika
manusia meninggal maka jiwanya akan meninggalkan badan materinya karena
badannya tak lagi menjadi hakekat dirinya.
s. Kenon-materian
jiwa (nafsunnathiqah) dipahami dengan kenon-materian akal, khususnya
kenon-materian barzakh pada maqam imajinal jiwa dan mitsal muttashil. Bahkan
kenon-materian jiwa, bukan saja tidak terikat pada materi bahkan tidak terikat
dengan suatu esensi tertentu dimana hal ini tak memiliki batasan tertentu.
t. Berdasarkan
dengan prinsip-prinsip sebelumnya, kita dapat memahami makna ayat dalam surah
hud ; 46 ‘إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صالِحٍ (sesungguhnya
dia adalah amal/perbuatan yang tidak soleh). Ayat ini menunjukkan bahwa balasan
adalah amal itu sendiri dan amal tak lain adalah hakekat diri seseorang itu
sendiri. Karena itu dalam ayat ini tidak mengatakan ‘sesungguhnya dia
‘memiliki’ perbuatan yang tidak soleh’ tapi ayat ini mengatakan ‘sesungguhnya
dia adalah perbuatan yang tidak soleh’. Berdasarkan atas hal ini, setiap orang
membentuk hakekat dirinya melalui persepsi-persepsinya, pemikiran-pemikirannya,
perkataan-perkataannya, serta tindakan-tindakannya.
u. Salah
satu dari prinsip penting berkenaan dengan hadits mi’raj Rasulullah saw. Hadits
tersebut pada hakekatnya adalah rangkaian perjalanan spiritual Rasulullah saw.
Dalam mi’raj tersebut juga menjelaskan hakekat manusia yang berkenaan dengan
tindakannya, kondisinya, dan perubahan-perubahan yang terjadi padanya setelah
meninggalkan alam materi. Karena itu amat sangat bermanfaat jika seseorang
menelaah hadits mi’raj Rasulullah saw sehingga manusia memahami bahwa selama
manusia tidak memiliki perjalanan spiritual barzakhi dan juga dengan alam-alam
setelahnya maka tak kan tersingkap baginya realitas hakekat-hakekat. Pemahaman
dengan istilah-istilah tak kan memberikan keluasan eksistensi dan tak kan
mengaktualkan potensi dalam dirinya.
v. Prinsip
lainnya yang dapat diperoleh dari persoalan-persoalan sebelumnya yaitu
mengaktualkan fakultas khiyal (imajinasi) pada saat tawajjuh (mengerahkan
seluruh konsentrasinya) yang mana bentuk-bentuk imajinal menjadi aktual padanya
dan juga pada mitsal muttashil adalah merupakan pendahuluan agar terkoneksi dan
dapat memasuki realitas intinya yaitu pada alam mitsal munfashil atau khiyal munfashil
atau mitsal mutlak pada alam-alam arwah. Maksudnya seorang salik seharusnya
mengerahkan segala usahanya untuk sampai pada maqam diatas bentuk-bentuk
imajinal. Hal yang dianjurkan pada maqam ini agar menguatkan kehadiran dan
menjaga kehadiran secara sempurna hingga sampai pada syuhud tauhid hakiki.
w. Begitu
juga selanjutnya, dari alam mitsal mutlak, qalbu kembali tawajjuh pada alam
yang lebih diatas yaitu alam akal dimana alam-alam tersebut merupakan gradasi
dari tingkatan-tingkatan alam. Setiap tingkatan yang ada di bawah merupakan
mitsal dan pancaran hakekat yang ada diatas. Dan setiap yang diatas merupakan
makna dan hakekat yang ada di bawah. Karena itu jika realitas mitsal anda telah
teraktual maka anda menyaksikan dengan mitsal
dan jika realitas akal anda telah teraktual maka anda menyaksikan dengan akal.
Oleh karena itu, seorang arif dapat menyaksikan hakekat-hakekat bentuk dan atau
mendengarkan perkataan dan atau meraih sebuah makna dari makna-makna pada
qalbunya, kemudian berdasarkan perolehan itulah mereka membangun argumentasi
dalam menjelaskan perolehan tersebut. Persoalan ini sebagaimana diisyaratkan dalam
Qur’an dalam surah yusuf ; 105 ‘Dan alangkah banyak sekali tanda-tanda
(kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka
berpaling darinya’.
x. Dari
beberapa prinsip sebelumnya dapat disimpulkan bahwa manusia adalah hakekat
tunggal yang didalam ketunggalannya terbagi ke dalam 4 tingkatan yaitu ruh,
qalbu, khiyal (imajinasi), dan materi (badan). Pada tiap tingkatan tersebut
berlaku hukum tertentu yang berlaku pada tingkatan tersebut. Kemudian hukum
yang ada pada tingkatan diatas berlaku juga pada tingkatan dibawah. Karena itu,
‘pendengaran’ manusia adalah pendengaran yang intelek dan pendengaran yang
insani. Begitu juga dengan persepsi-persepsi lainnya dan fakultas-fakultas
lainnya. Apa yang ada pada tingkatan atas menunjukkan dirinya pada tingkatan
bawah dengan perbandingan bahwa tingkatan atas lebih sempurna dan lebih luas.
Jadi jiwa yang tunggal tersebut adalah akal dan juga qalbu dan juga imajinasi
dan juga badan dan juga seluruh anggota-anggota tubuhnya, sehingga badannya
(jasad) bisa disebut ruh yang ‘mutajassid’ atau ‘mutajassim’.