Tajalli Ontologi ini adalah salah satu karya Prof. DR. Syd Ahmad Fazeli. Alhamdulillah, kami telah diberikan kepercayaan menerjemahkan karya beliau ke dalam bhs Indonesia. Namun tulisan ini hanya salah satu bagian saja. beberapa bagian lain telah dimuat di Jurnal Mulla Sadra. selanjutnya akan diterbitkan secara utuh oleh penerbit Sadra Press. Judul aslinya tasybih dan tanzih dalam pandangan Ibn Arabi.
Sebelum melanjutkan pembahasan ini, kami ingin mengingatkan bahwa batasan pembahasan dalam pembahasan kali ini adalah tajalli eksistensial dan ontologis, bukan tajalli syuhudi sebagaimana yang dialami oleh para Arifin. Dalam sistem hirarki alam, proses realisasi takwiniyah alam penciptaan dibagi menjadi dua bagian : busar naik (qaus shu’ud) dan busar turun (qaus nuzul). Terpisah dari busar naik dan busar turun, setelah manusia turun dari watan hakekatnya dan keluar dari wilayah immanen dan kemudian selanjutnya secara gradual hadir dalam alam parsial, maka manusia tersebut dimungkinkan untuk mulai mengembangkan dirinya sejauh kemampuan wujud dirinya dari wujud mutlak dalam mengarungi keragaman ilmu yaqin, ‘ainul yaqin, dan hingga naik pada puncaknya yaitu haqqul yaqin.
Yang dimaksud dengan tajalli dalam pembahasan ini adalah tajalli eksistensial dalam pemaknaan ‘mutlak yang terlimitasi’, sedangkan tajalli syuhudi yang didapatkan oleh para Arif dalam sair suluknya tidak termasuk pembahasan kami. Walaupun koneksitas syuhud seorang salik dalam mengarungi kesempurnaan ( naik ke atas ) adalah tajalli itu sendiri dan pada puncaknya sampai pada tajalli zati, akan tetapi yang ditemukan seorang Arif memberikan justifikasi akan kemutlakan tajalli. Namun dalam proses takwini pluralitas, wujud pluralitas-pluralitas secara terperinci didahului akan ketiadaan realitas ( ‘adam tsubut ) diri mereka yang memberikan identitas akan tajalli ontologis.
Penciptaan dan Peniadaan dalam Sistem Tajalli
Setelah kami menjelaskan inti sistem manifestasi dalam menganalisa alam pluralitas, sekarang kita sampai pada pembahasan selanjutnya bahwa ketika sistem ini menjelaskan bahwa segala sesuatu merupakan penampakan dari Al-Haqq – dalam artian bahwa Al-Haqq itu sendiri yang hadir dalam inti tiap sesuatu dalam wadah limitasi dikarenakan prinsip kemutlakannya – lalu bagaimana menjelaskan penciptaan dan peniadaan sesuatu ?
Pembahasan sebelumnya dalam makalah ini menjelaskan bahwa berdasarkan pemikiran Urafa, tiap sesuatu memiliki dua tahapan ; immanen dan manifestasi.
Tahapan immanen menjelaskan bahwa seluruh hakekat-hakekat berada dalam zat secara peleburan ( melebur dalam zat ( indimaji ) ). Penakbiran ‘ wujud ‘ dalam zat juga semata-mata dikarenakan sempitnya bahasa. Pada hakekatnya apa yang ada dalam zat adalah aspek-aspek kumulatif yang didalamnya antara satu dengan lainnya adalah identik. Seperti antara ‘ ilmu ‘ dan ‘ kudrat ‘ satu sama lain adalah identik dan sama. Setelah hakekat-hakekat yang terlebur ini terperinci berkat persoalan tajalli, maka hakekat-hakekat tersebut keluar dari immanen dan kemudian nampak dan terperinci di alam syahadah. Proses seperti ini dalam Irfan Teoritis disebut dengan penciptaan (ijad).
Proses peniadaan kebalikan dari yang dijelaskan diatas. Dalam artian bahwa dalam busar naik (qaus shu’ud) takwini yang terperinci secara detail terangkat dan seluruh limitasi-limitasi kembali ke prinsip kemutlakan dirinya. Limitasi-limitasi dari dasar penampakannya kembali ke dasar intinya yang tersembunyi dimana hal tersebut akan membentuk proses ‘ peniadaan ‘;
" ایجاده للاشیاء ، اختفا ؤه فیها مع اظهاره ایَاها ،واعدامه لها فی القیامة الکبری ظهوره بوحدته وقهره ایَاها بأزالة تعیَناتها وسماتها وجعلها متلاشیة کما قال : لمن الملک الیوم لله الواحد القهار ، و کل شیء هالک إلاَوجهه ، و فی الصغری [1]، تحولَه من عالم الشهادة الی عالم الغیب . [2]
Penciptaan dalam Dirinya
Penciptaan sesuatu-sesuatu tidak akan bertambah kepada kemutlakan tak terhingga dengan kemutlakan maqsami disebabkan karena – sebagaimana yang telah kami sebelumnya – penciptaan sesuatu bukanlah sesuatu yang lain terkecuali penampakan-penampakan secara rinci dan limitasi kesempurnaan-kesempurnaan mutlak. Oleh karena itu Mutlak bertajalli pada inti yang terdalam dalam jiwa limitasi, bukan Mutlak bertajalli pada sudut tertentu dan limitasi bertajalli pada sudut lain sehingga terjadi perbedaan diantara mereka.
Oleh karena itu dengan tajalli dan penciptaan, Mutlak akan menampakkan dirinya dalam bentuk limitasi, bukan sesuatu yang ditambahkan padanya.[3] Dalam kata lain penciptaan dan penampakan adalah sesuatu dalam Mutlak, bukan sesuatu yang berbeda dengannya dan atau diluar darinya :
یا خالق الاشیاء فی نفسه أنت لما تخلقه جامع
تخلق مالا ینتهی کونه ف یک ،فأنت الضیق الواسع[4]
Unitas, Pluralitas, Urafa
Sebelumnya dijelaskan bahwa alam adalah penampakan (mazhar) Tuhan. Oleh karena itu setiap sesuatu adalah Haqq yang terlimitasi dalam inti sesuatu tersebut.[5] Maksudnya bahwa dari sisi limitasi maka dirinya adalah makhluk, dan dari sisi Haqq maka penampakan dan jelmaan ini adalah Haqq. Sekarang, jika seseorang hanya melihat sisi identitas makhluknya semata maka dia belum melewati seluruh hakekat yang ada. Begitupun sebaliknya, jika yang dia saksikan hanya idenditas Haqq semata maka dia akan mengingkari pluralitas, dan olehnya pula maka dia belum memahami dua sisi dari alam pluralitas. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan pada posisinya masing-masing, baik identitas Haqqnya maupun identitas makhluk yang majemuk. Maksudnya mereka tidak pernah menganggap keabsurditasan (nothing) pluralitas alam, namun pada saat yang sama mereka juga meyakini bahwa pluralitas tersebut wujudnya tidak independen, akan tetapi mereka adalah Haqq yang terlimitasi.
Dalam kata lain, jika seseorang belum memulai menjalani perjalanan suluk Irfani, maka yang dia lihat hanya pluralitas semata dan tentunya limitasi-limitasi yang dia saksikan tidak bermuara pada unitas (wahdat) dan kembali kepada kemutlakan. Jika seseorang hanya bisa sampai pada safar (perjalanan) pertama dari keempat safar Irfani yang ada, maka yang dia saksikan hanya unitas semata dan akan mengingkari pluralitas. Kedua golongan diatas sama-sama tidak memiliki kesempurnaan dalam mengarungi Haqq, dan letak titik perbedaannya bahwa pada golongan pertama belum memulai suluk Irfani, sedangkan yang kedua baru sampai dipertengahan jalan. Urafa adalah mereka yang bisa menempatkan Haqq dan khalq (makhluk) pada tempatnya masing-masing. Dia menempatkan Zat Haqq bebas dari segala limitasi, termasuk limitasi kemutlakan, pada saat yang sama meyakini pluralitas sebagai tajalli dan kehadiran mutlak dalam inti limitasi-limitasi :
" انظرایّهاالسالک طریق الحق ماذاتری من الوحدة والکثرة جمعاً و فرادی ، فان کنت تری الوحدة فقط ، فانت مع الحق وحده لا رتفاع الاثنینیة ، وإن کنت تری الکثرة فقط ، فانت مع الخلق وحده ؛ و ان کنت تری الوحد ة فی الکثرة محتجبة و الکثرة فی الوحدة مستهلکةً ، فقد جمعت بین الکمالین وفزت بمقام الحسنین " [6]
" کان الاوّل حال اهل الکمال المحبوبین المعتنی بهم الذین لایحجبهم جلال الحق عن جماله، کالمحجوبین بالخلق عن الحق ؛ ولاجماله عن جلاله ، کالمحجوبین بالحق عن الخلق وهم المهیّمون الباقون فی الجمع المطلق ..."
Kemudian, dalam melanjutkan pembahasan selanjutnya, mahjub disisi Haqq :
" شهود الحق فی عین الخلق والخلق فی عین الحق جمعاً ، من غیراحتجاب بأحدهما عن الآخر"[7]
Tajalli dan Nama ( ism )
Nama (ism) dalam bahasa Irfan adalah Zat yang disertai dengan sifat tertentu. Jelas bahwa setiap nama tertentu dibatasi dengan nama tertentu lainnya. Oleh karena itu ketika nama dalam konteks irfan dalam hal ini Mutlak yang terlimitasi, atau dalam kata lain ketika dari maqam Mutlak bertajalli dalam wadah limitasi-limitasi, maka tajalli adalah keluarnya zat dari kemutlakannya dan turun pada maqam llimitasi-limitasi, kemudian sebagai konsekwensinya penampakan (zuhur) Zat dalam inti nama tertentu. Dengan memperhatikan secara seksama pembahasan sebelumnya, kita dapat memahami keselarasan antara ‘ tajalli ‘ dan ‘ ism ‘ yang merupakan hakekat nama-nama tertentu, dimana dalam tahapan sebelumnya entitas tersebut melebur dalam zat dan kemudian muncul secara terperinci serta membentuk nama-nama secara terperinci.
Berdasarkan analisa yang diberikan dalam sistem tajalli akan nama, terlihat dengan jelas bahwa terincinya yang telah melebur sebelumnya serta terjadinya perincian nama-nama tertentu menjelaskan sebuah proses yang memiliki dua aspek, aspek pertama berkaitan dengan Zat dan aspek lainnya berkaitan dengan nama tertentu. Oleh karena itu disini terdapat sebuah hakekat relasi (idhafah) dan dalam konteks ini Mulla Sadra menyebutnya dengan relasi iluminatif (idhafah isyraqiyah), bukan relasi kategorik (idhafah maquli). Maksudnya bahwa sebelum relasi tersebut eksis maka namapun tidak ada dan bahkan dengan adanya relasi tersebut maka nama mendapatkan bentuknya.[8] Terjadinya kontra diantara relasi-relasi iluminatif tersebut mengakibatkan adanya bilangan dan pluralitas. Melalui analisa yang jeli akan melihat pluralitas tersebut sebagai relasi iluminasi Haqq, dia tidak akan melihat hakekat pluralitas tersebut berhadap-hadapan dengan Zat. Konsekwensi pandangan seperti ini membuahkan hasil yang banyak dalam dimensi akhlak. Mengoyak limitasi-limitasi partikular dan sampai kepada sumber yang agung dan hakekat mutlak sebagai poin penting yang jelas yang memancar dalam puncak pandangan seorang salik. Walaupun dia menyadari bahwa dirinya tidak akan mungkin sampai pada inti hakekat.[9] Dari hal ini kita bisa memaknai Tauhid Hakiki sebagai ‘ pengoyakan limitasi-limitasi ‘ :
‘ sebuah tanda bahwa dirimu berasal dari pondok tauhid (kharabat) ‘
‘ bahwa tauhid adalah pengoyakan limitasi-limitasi (asqath al-idhafah) ‘
Lahiji dalam mengomentari bait diatas, pertama-tama menafsirkan ‘ kharabat ‘ kepada maqam fana pluralitas. Lahiji mengatakan bahwa :
‘ Zat Haqq adalah segala sesuatu itu sendiri dari sisi tajalli dan penampakannya dalam aspek-aspek eksternal (mazahir) ... dan dari sisi bahwa Zat Haqq adalah tajalli dan penampakannya dalam bentuk diri-Nya, maka ada relasi wujud pada diri-Nya. Oleh karena itu kapan saja relasi-relasi tersebut dimusnahkan, atau meniadakan setiap gambaran sesuatu dalam cermin dalam batasan dirinya sehingga tidak ada yang dia saksikan terkecuali Haqq itu sendiri, maka dia telah menemukan makna hakekat tauhid yaitu pengoyakan limitasi-limitasi ;
‘cahaya-cahaya keindahan-Mu memancar pada setiap kesempurnaan’
‘pada kegelapan pun hingga alam menjadi subur’
‘ Engkau adalah segala sesuatu yang ada dibalik pakaian’
‘wujud itu terkadang jatuh disini dan disitu’[10]
Ism ( Name ) dan Musamma ( The Named ) ; keidentikan dan difrensiasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tajalli dan keluarnya Zat dari maqam kemutlakannya adalah justifikasi eksistensi yang terlimitasi, dimana limitasi adalah ism dan Zat adalah musamma. Dalam pembahasan yang berkaitan dengan nama ( ism ) yang telah dibahas sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan nama adalah hakekat eksternal dan realitas, dan kata (lafaz) merupakan ekspresi dari ismul-ism. Oleh karena itu musamma dalam bahasa irfan bukanlah musamma yang sebatas kata semata, bahkan Zat Mutlak Haqq itu sendiri yang bertajalli dengan menerima relasi iluminasi dalam bentuk nama (ism). Oleh karena itu selama Zat hadir dalam inti pluralitas dengan kehadiran eksistensi maka ism dan musamma identik satu sama lain dan dari sisi bahwa Zat tidak dibatasi pada manifestasi tertentu maka ism dan musamma satu sama lain berbeda :
" الاسم ، المسمّی من حیث الذات والاسم غیرالمسمّی من حیث مایختص به من المعنی الذی سیق له "[11]
Pembahasan ini juga biasanya dibahas dalam perspektif ‘ penyatuan antara eksoterik (zahir) dan manifestasi (mazhar) ‘, akan tetapi dikarenakan pembahasan tersebut diperlukan pendahuluan yang cukup panjang, maka kami tidak akan membahas perspektif tersebut lebih lanjut.[12]
Analogi-Analogi Tajalli
Untuk memahami tajalli dalam konteks ‘ ithlaq maqsami Zat ‘, dalam irfan nazari biasanya menggunakan beberapa analogi dimana masing-masing dari analogi tersebut memberikan kata kunci pada batasannya sendiri. Dalam kesempatan ini kami akan menjelaskan secara ringkas sebagian dari analogi tersebut ;
Cermin
Jika hakekat yang satu berada dihadapan beberapa cermin, hakekat yang satu tersebut memiliki bentuk yang berbeda-beda.[13] Identitas yang ada dalam cermin adalah identitas ‘ the others ‘ dan tidak independen. Namun setiap cermin dalam batasan wujudnya sendiri merupakan jelmaan dari hakekat yang satu tersebut.
" فعالم الطبیعة صورفی مرآة واحد ، لابل صورة واحدة فی مرایا متعددة "[14]
Analogi ini banyak kita temukan dalam buku-buku irfan[15]. Sebagian analogi ini dituangkan dalam bentuk syair :
‘ketika cinta menampakkan dirinya, terbakarlah alam’
‘cukuplah engkau adalah cermin-cermin dari sesuatu-sesuatu’
‘dari setiap cermin, engkau akan bertemu dengan diri-Nya’
‘kemana saja matamu memandang, engkau akan melihat-Nya’[16]
" ومالوجه الاّواحد غیرانّه اذاانت عددت المرایا تعدداً "[17]
Jiwa
Analogi lainnya dalam memudahkan kita memahami ‘ tajalli dalam konteks ithlaq maqsami ‘ adalah analogi jiwa. Analogi ini telah kami isyaratkan sebelumnya, namun dalam kesempatan kali ini pembahasannya lebih pada aspek tajalli jiwa pada berbagai fakultas jiwa.
Jiwa manusia adalah suatu zat yang memiliki potensi mendengar, melihat, dst, dan tentunya jiwa itu sendiri yang hadir dalam inti pendengaran, penglihatan, dst. Ketika jiwa secara terperinci belum turun pada inti potensi tersebut, jiwa tentunya memiliki seluruh potensi tersebut tapi belum secara terperinci ( tafshil ), dan ketika muncul secara terperinci maka potensi tersebut satu sama lain saling terpisah. Pendengaran, penglihatan, dst, bukan sesuatu yang terpisah dari jiwa. Akan tetapi jiwa itu sendiri yang menampakkan dirinya dalam bentuk pendengaran, penglihatan :
" فذکرانّ هویّته هی عین الجوارح التی هی عین العبد . فالهویّة واحدة والجوارح المختلفة "[18]
Bayangan[19]
Bayangan adalah sebuah hakekat yang tidak terpisah dari sang pemilik bayangan. Bahkan dalam zat bayangan tersirat makna ‘ saya adalah bayangan dari seseorang ‘. Adanya perbedaan cahaya yang memancar pada sang pemilik bayangan mengakibatkan munculnya bayangan yang beragam :
" فمااوجد الحق ، الظّلال ... الاّدلائل لک علیک و علیه لتعرف من أنت ومانسبتک الیه ومانسبته الیک "[20]
Bayangan, bagi dirinya sama sekali tidak memiliki hukum, akan tetapi hukum-hukum sang pemilik bayangan menjelma dalam inti bayangan. Mulla Ali Nuri menukil analogi tersebut dari Imam Baqir as :
" الم ترالی ظلّک ، شیئ ولیس بشیئ "[21]
Ruh dan Jasad
Berdasarkan penjelasan Mulla Shadra tentang jiwa, tubuh manusia merupakan jelmaan dari ruhnya. Gagasan tersebut digunakan dalam irfan sebagai analogi dalam menjelaskan pembahasan tajalli :
" فأنت له (حق) کالصورة الجسمیة لک ، وهولک کالروح المدبّرلصورة جسدک "[22]
Shurah (bentuk) bermakna mazhar (manifestasi). Qaishari menegaskan bahwa sebagaimana tubuh anda merupakan manifestasi anda (jelmaan dari ruh anda), maka anda pun merupakan manifestasi dari eksistensi Haqq.[23] Berdasarkan penafsiran ini, hubungan antara ruh dan tubuh adalah bahwa tubuh adalah ruh itu sendiri yang ada dalam inti tubuh dan tentunya hal ini mengingkari keindependenan tubuh.
Analogi diatas dijelaskan dalam syarah Golsyaniroz dalam bait berikut ini :
‘Arif adalah mereka yang berasal dari inti segala entitas’
‘yang dia saksikan hanya Haqq, ketika dia melihat entitas’
‘Haqq seperti jiwa, sedangkan alam seperti tubuhmu’
‘semuanya jelas seperti teluk di alam ini’[24]
Ombak dan Lautan
Ombak adalah lautan itu sendiri yang muncul dalam bentuknya yang lain :
“ pluralitas dan perbedaan bentuk ombak-ombak dan gelembung-gelembung tidak menjadikan lautan mejadi plural ...
" فالبحربحرعلی ماکان فی قدم انّ الحوادث امواج وأنهار
لایحجبنک اشکال یشاکلها عمن تشکل فیها فهی أستار”[25]
Cahaya dan Kaca-Kaca Berwarna
‘ aku dan engkau, secara eksistensi adalah aksiden zati ‘
‘ kita semua adalah pancaran rincian-rincian eksistensi ‘
Cahaya yang memancar pada kaca-kaca yang berwarna tentunya akan terpecah-pecah dan beraneka ragam , akan tetapi cahaya kuning adalah cahaya itu sendiri yang berwarna kuning yang tercerai dari warna biru. Cahaya murni memiliki seluruh warna tersebut dalam dirinya secara ‘ indimaji ‘ (melebur) dan hakekat warna-warna yang beragam adalah cahaya murni itu sendiri yang muncul dalam warna tertentu :
‘ entitas-entitas adalah kaca-kaca yang beragam ‘ ‘yang memancar padanya wujud matahari ‘
‘ setiap kaca yang merah, kuning, dan abu-abu ‘ ‘dalam matahari pun, semua warna itu ada‘[26]
Universal dan Partikular
Tabiat (nature) dengan makna sebuah hakekat yang meliputi dingin, panas, lembab, kering adalah bukan hanya sekedar sebuah hakekat semata yang meliputi keempat hal tersebut. Panas adalah tabiat itu sendiri yang memancar dalam wadah tertentu, begitu pula dengan tabiat-tabiat lainnya :
" وماالّذی ظهر غیرها (طبیعت) ؟ وماهی عین ماظهرلاختلاف الصورباالحکم علیها ، فهذاباردیابس وهذاحاریابس فجمع بالیبس ، وأبان بغیرذلک "[27]
Analogi-analogi lain dalam menjelaskan tajalli dibawah naungan pembahasan ithlaq maqsami seperti ‘api dan korek api’,[28] pancaran akal,[29] angka,[30] suara dan pemilik suara,[31] wol dan air,[32] namun demi memperhatikan keluasan pembahasan maka kami tidak akan membahas lebih jauh analogi-analogi tersebut.