A. Maqam Ridha
Adapun maqam ridha yang terkait dengan pencapaian maqam bagi seorang pesuluk adalah manusia berusaha semaksimal mungkin agar sampai pada satu tahap, bukan hanya memahami bahwa Tuhan telah ridha kepada dirinya, bahkan, sang pesuluk pun telah ridha pada Qadha dan Qadar Ilahi. Oleh sebab itu Ridha terbagi menjadi dua bagian;
1. Manusia berusaha semaksimal mungkin agar Tuhan ridha kepada dirinya yakni manusia berusaha semaksimal mungkin untuk menjalakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya.
2. Manusia berusaha sedemikian rupa sehingga ridha terhadap Qadha dan Qadar Ilahi. Maksudnya, dia telah menerima apa pun yang Tuhan lakukan dan ridha atas perbuatan Tuhan.
Adapun pembagian pertama bisa dicapai dan diraih oleh setiap orang namun pada bagian kedua hanya bisa diraih oleh orang tertentu saja yang terus berusaha dalam perjalanan suluknya.
Kesadaran ini tercermin di dalam diri Rasulullah saw. Beliau tak pernah mengucapkan ‘jika seandainya’ terhadap apa yang telah terjadi. Oleh karena apa pun yang beliau lakukan sesuai dengan Qadha dan Qadar Ilahi.
Allah swt dalam surah al-Hadid : 23 menjelaskan hakikat Zuhud sebagai tangga agar manusia bisa sampai kepada maqam ridha, “tidak sedih atas apa yang hilang dari dirinya dan tidak bahagia atas apa yang datang pada dirinya”. Seseorang yang telah mencapai maqam ridha, urusan dunia tidak lagi mempengaruhi hatinya. Manusia telah ridha terhadap kedua kondisi tersebut yakni ridha terhadap perbuatan Tuhan. Keridhaan ini adalah hasil dari mahabbah dan mahabbah diperoleh dari makrifat.
Dalam surah al-Bayyinat:8 Allah swt berfirman, “. . . Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. Takut kepada Ilahi diperoleh dari makrifat sebagaimana dijelaskan dalam surah Fathir:28, “. . .Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama . . .”.
B. Maqam Taslim
Seorang pesuluk yang telah sampai kepada maqam ridha, masih menyisakan beberapa maqam selanjutnya. Dalam kata lain, maqam ridha adalah maqam yang masih berada di pertengahan jalan. Oleh karena pada maqam ridha masih terlihat ‘identitas’ seorang pesuluk. Sebab pada maqam ridha, pesuluk akan mengatakan, “saya menerima apa yang telah Tuhan tentukan”.
Apa yang telah dilakukan oleh Tuhan sesuai dengan keinginanku dan aku lakukan keinginanku sesuai dengan ketentuan Ilahi”.
Jika kita perhatikan dengan seksama, masih terlihat ‘keinginan’ dalam diri pesuluk dan hal ini tidak sesuai dalam mengarungi perjalanan selanjutnya yaitu perjalan meraih kesempurnaan. Sebab itu mesti berjalan ke tahapan berikutnya meraih maqam selanjutnya yang disebut dengan maqam taslim.
Dalam hal ini maqam taslim tentu berbeda dengan maqam tawakkal dan maqam ridha. Pada maqam tawakkal, pesuluk melihat dirinya memiliki satu persoalan, namun oleh karena dirinya tak mampu menyelesaikan persoalan itu dengan baik, maka dari itu, ia mencari seorang wakil dan mewakilkan kepadanya dalam persoalan tersebut. Dan oleh karena tak ada yang lebih baik dalam menyelesaikan suatu perbuatan kecuali Allah swt maka Allah swt adalah sebaik-baiknya wakil. Dan inilah alasannya mengapa kita mesti bertawakkal kepada Allah swt.
Adapun maqam ridha lebih tinggi dari maqam tawakkal sebab pada maqam tawakkal manusia menjadikan ‘keinginan dirinya’ sebagai hal yang esensi sehingga ia berharap kepada Tuhan agar Tuhan berbuat sesuai dengan keinginannya. Namun pada maqam ridha, ‘keinginan Tuhan’ adalah hal yang esensi sedangkan ‘keinginan hamba’ adalah cabang darinya.
Selanjutnya pada maqam taslim, seorang pesuluk tak lagi memiliki keinginan. Hati seorang pesuluk pada maqam ini telah ia serahkan sepenuhnya kepada Ilahi. Jika hati belum ia serahkan, tentu masih akan ada keinginan di dalam dirinya.
Akan tetapi hati yang telah diserahkan sepenuhnya kepada Ilahi, orang itu tak lagi memiliki kehendak atau ikhtiyar. Dalam surah annisa:65 Allah swt berfirman, “. . . dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Yakni semestinya manusia mengucapkan salam tidak hanya di mulut semata akan tetapi menjadi sebuah keyakinan bahwa manusia tak memiliki apa pun.
C. Maqam Tauhid
Meskipun maqam taslim lebih tinggi dari maqam tawakkal dan ridha akan tetapi bukan akhir dari perjalanan suluk. Karena seseorang yang masih menyerahkan dirinya kepada Ilahi berarti menunjukkan bahwa ia menganggap dirinya masih ada dan masih mengakui pemilik atas dirinya.
Sebab itu maqam yang lebih tinggi dari maqam taslim yaitu meyakini bahwa ia bukan pemilik atas dirinya sehingga tak ada sesuatu yang mesti dia serahkan kepada Ilahi. Pada saat itu pesuluk akan memahami dengan baik bahwa segala sesuatu bukan lagi milik dirinya. hidup dan mati serta keuntungan dan kerugian bahkan kebangkitan bukan lagi milliki dirinya.
Dalam surah Yunus:31 Allah swt berfirman, “. . . Siapakah pemilik pendengaran dan penglihatan? . . .”. Dalam ayat ini, pendengaran dan penglihatan diangkat sebagai salah satu contoh, sebab seluruh fakultas yang ada di dalam diri kita tentu milik Ilahi. Bahkan eksistensi atau keberadaan pun bukan milik kita.
Jika kesadaran manusia telah sampai pada derajat ini, selanjutnya ia harus berjalan dan beralih kepada maqam berikutnya.
Tak ada seorang pun yang mampu mengklaim bahwa tubuh dan anggota tubuhnya adalah milik dirinya. Sebab tak ada seorang pun yang mampu menjamin keberadaan dirinya, misalnya mungkin saja saat dia sedang mengambil keputusan, kekuatan yang ada pada dirinya sirna. Contoh yang lain, misalnya gelas yang ada ditangannya yang terisi air, mungkin saja sebelum diminum, nyawanya direnggut.
Maqam tauhid akan memberikan kesadaran kepada pesuluk bahwa segala sesuatu milik Ilahi dan eksistensi segala sesuatu milik Ilahi. Meskipun maqam taslim adalah maqam kesempurnaan akan tetapi bukan maqam puncak kesempurnaan.
Pada saat itu manusia mesti taubat dari maqam taslimnya untuk sampai kepada puncak kesempurnaan. Alquran dalam surah Muhammad:19 menjelaskan, “maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan”.