Friday, March 15, 2013

Tauhid Sufistik


Pendahuluan

Persoalan tauhid merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
            Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua tersebut akan kembali kepada yang pertama.
            Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan; yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan ilmu hudhuri.

Ketidakterbatasan Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel, karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
            Ketidakterbatasan ini berarti bahwa diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan pada alam konsep sekalipun.
            Pertanyaannya adalah jika yang ada hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
            Berikut ini adalah beberapa ayat dan riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah Al-Hadid ; 3 ;

Dia-lah yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya diri-Nya.

Surah Annisa ; 126
Apapun yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala sesuatu
Ayat diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada prinsip surah Al-Hadid;3.

Surah Al-Baqarah ; 115
Kemanapun engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.

Surah Al-Mujadilah ; 7
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada.
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73 Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.

Surah Al-Anfal ; 17
Bukan engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.

Surah Al-Baqarah ; 186
Jika seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.

Surah Al-Waqiah ; 85
Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.

Surah Qaf ; 16
Dari kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya. Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak berpisah.
    
Tasybih dan Tanzih
            Tuhan yang tak terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih (penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang, tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada makhluk dan Tuhan.
            Pada saat yang sama, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat.

Tujuan para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
            Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya. Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein as.
            Namun untuk mempersiapkan qalbu berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah. Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang. Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat. Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya kemudahan karena suluk adalah non-materi.
            Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan) terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24 tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan, ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq (iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha, taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).       
                           
                
Comments
0 Comments

0 comments: