Pendahuluan
Persoalan tauhid
merupakan persoalanan yang paling inti dan fundamental dalam Islam. Bahkan
Rasulullah saw pada saat berada di medan perang pernah memerintahkan untuk menghentikan
perang sejenak jika pada saat perang ada yang bertanya mengenai tauhid. Justru
karena persoalan tauhid, Allah swt mengirim para Rasulnya kepada ummatnya.
Tauhid adalah lawan dari syirik. Tauhid
adalah meng-esa-kan, sedangkan syirik adalah menyekutukan. Kata esa disini
bermakna satu, namun satu yang dimaksud adalah satu yang tak memiliki yang
kedua. Dalam kata lain, satu yang tak berbilang atau satu yang meniscayakan
penafian terhadap yang kedua. Jika diasumsikan ada yang kedua, maka yang kedua
tersebut akan kembali kepada yang pertama.
Ada dua jalan dalam mengenal Tuhan;
yaitu melalui perantara akal dan yang kedua melalui fitrah. Pengenalan Tuhan
melalui akal diwakili oleh kaum teolog dan filosof, sedangkan pengenalan Tuhan
melalui fitrah atau qalbu diwakili oleh kaum sufi dan arif. Para filosof
berangkat menuju Tuhan dengan akalnya sedangkan para sufi menuju Tuhan dengan
qalbunya. Oleh karena itu, para sufi tidak lagi menggunakan konsep-konsep dalam
mengenal Tuhan, akan tetapi melalui penyaksian atau yang biasa disebut dengan
ilmu hudhuri.
Ketidakterbatasan
Diri-Nya Meniscayakan Ketunggulan Diri-Nya
Dalam
menjelaskan tauhid atau ketunggulan Tuhan, jalan yang paling baik adalah dengan
menjelaskan ketidakterbatasan diri-Nya. Ketidakterbatasan adalah sebuah prinsip
yang dinisbahkan kepada wujud yang Maha-Sempurna. Maksudnya bahwa kesempurnaan-Nya
yang mutlak menunjukkan bahwa Dia tak memiliki rangkapan dan susunan. Wujud yang
memiliki rangkapan berarti terbatas. Misalnya materi tersusun dari partikel-partikel,
karena itu antara partikel yang satu membatasi partikel yang lain. Batasan
tersebut membuat materi tidak sempurna. contoh lain pada wujud malaikat, wujud
malaikat memiliki batasan tertentu karena itu malaikat tidak hadir pada alam
materi. keterbatasan ini membuat malaikat tidak sempurna secara mutlak. Oleh
karena itu, kesempurnaan diri-Nya meniscayakan diri-Nya tidak memiliki
rangkapan dan susunan dan karena tidak memiliki rangkapan dan susunan maka
meniscayakan diri-Nya tidak memiliki batasan atau tak ada sesuatu pun yang
membatasi diri-Nya. Maka diri-Nya tidak terbatas.
Ketidakterbatasan ini berarti bahwa
diri-Nya mengisi seluruh ruang. Tak ada ruang yang tak terisi oleh-Nya. Dia hadir
dalam seluruh inti realitas yang ada. Jika Tuhan tidak terbatas dan mengisi
seluruh ruang yang ada serta hadir didalam inti segala entitas yang ada, maka
tak mungkin ada sesuatu diluar diri-Nya atau sesuatu selain diri-Nya. Karena
itu maka Tuhan itu esa atau tunggal. Tak ada yang bisa menyekutukan-Nya, bahkan
pada alam konsep sekalipun.
Pertanyaannya adalah jika yang ada
hanya Tuhan, lalu bagaimana kita memaknai yang lainnya ? selain Tuhan disebut
sebagai tajalli atau manifestasi. Maksudnya bahwa karena yang ada hanya Tuhan
maka selain-Nya adalah bayangan diri-Nya semata.
Berikut ini adalah beberapa ayat dan
riwayat yang menjelaskan tentang ketidakterbatasan dan ketunggalan ;
Surah
Al-Hadid ; 3 ;
Dia-lah
yang Awal dan Akhir dan Zahir dan Bathin
Ayat
diatas menjelaskan bahwa awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Zahir adalah
batin dan batin adalah zahir. Awal yang tidak sesuai dengan akhir itu bukan
awal, akhir yang tidak sesuai dengan awal itu bukan akhir. Zahir yang tidak
sesuai dengan batin itu bukan zahir, batin yang tidak sesuai dengan zahir itu
bukan batin. Maksudnya bahwa pintu manapun kita masuk pasti ada Dia. Pada pintu
awal ada Dia, pada pintu akhir ada Dia, pada pintu zahir ada Dia, dan pada
pintu batin ada Dia. Jika demikian, maka Dia tak terbatas dan karena
ketidakterbatasan-Nya hadir dalam segala entitas. Maka tentunya yang ada hanya
diri-Nya.
Surah
Annisa ; 126
Apapun
yang di langit dan di bumi adalah dari diri-Nya dan Allah meliputi segala
sesuatu
Ayat
diatas menunjukkan bahwa pemilik hakiki adalah Allah swt karena Allah swt
meliputi segala sesuatu. Prinsip ‘meliputi segala sesuatu’ kembali kepada
prinsip surah Al-Hadid;3.
Surah
Al-Baqarah ; 115
Kemanapun
engkau hadapkan wajahmu maka disitu ada wajah Allah.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt hadir dalam segala realitas sehingga
kemanapun hadapkan wajah kita maka disitu ada wajah Allah swt. Ayat diatas
sesuai dengan perkataan Imam Ali as ; aku tidak melihat sesuatu terkecuali
sebelumnya,bersamanya, setelahnya aku melihat Allah swt.
Surah
Al-Mujadilah ; 7
Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia-lah yang keempatnya, dan
tiada lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan
antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama
mereka dimanapun mereka berada.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa Allah swt adalah keempat dari yang tiga dan keenam
dari yang kelima dan seterusnya. Dalam ayat lain pada surah Al-maidah ; 73
Allah swt berfirman ; sungguh kafir orang yang mengatakan bahwa Allah swt
adalah ketiga dari yang tiga. Oleh karena itu, jika kita mengatakan bahwa
Allah swt keempat dari yang tiga maka perkataan tersebut adalah perkataan
tauhid, namun jika mengatakan bahwa Allah swt ketiga dari yang tiga maka
perkataan ini adalah perkataan kufur. Maksudnya bahwa Allah swt adalah satu
akan tetapi satu yang tak berbilang yang menunjukkan ketidakterbatasan diri-Nya
dan kehadiran diri-Nya dalam segala realitas. Dalam surah Al-Hadid; 4 Allah swt
berfirman ; dan Dia bersama kalian dimanapun kalian berada.
Surah
Al-Anfal ; 17
Bukan
engkau yang melempar jika engkau melempar akan tetapi Allah lah yang melempar.
Surah
Al-Baqarah ; 186
Jika
seorang hamba bertanya kepada-Ku, ketahuilah bahwa Aku sangat dekat.
Surah
Al-Waqiah ; 85
Dan
kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu akan tetapi kalian tidak melihat.
Surah
Qaf ; 16
Dari
kami lebih dekat dari urat lehernya.
Imam
Ali as ; Dia tinggi dalam kerendahannya dan Dia rendah dalam ketinggiannya.
Dia didalam sesuatu tapi tidak bercampur dan Dia diluar dari sesuatu tapi tidak
berpisah.
Tasybih
dan Tanzih
Tuhan yang tak
terbatas meniscayakan diri-Nya hadir dalam segala ruang dan mengalir dalam
segala entitas yang ada. Kemanapun kita hadapkan wajah kita maka disitu ada
wajah Tuhan. Prinsip ketidakterbatasan ini meniscayakan adanya taysbih
(penyerupaan) Tuhan dengan makhluk seperti melihat, mendengar, berbicara, datang,
tangan, mata dan lainnya, sifat-sifat tersebut adalah sifat yang berlaku sama pada
makhluk dan Tuhan.
Pada saat yang sama,
ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tanzih (penyucian) dari sifat-sifat
makhluk yang terbatas. Tanzih adalah mensucikan Tuhan dari sifat-sifat yang
terbatas dan tak sempurna. Maksudnya bahwa Tuhan tidak bisa dibatasi oleh satu
batasan tertentu seperti para penyembah berhala. Meskipun Tuhan hadir dalam
segala sesuatu termasuk pada berhala tersebut, akan tetapi Tuhan tidak bisa
dibatasi hanya pada satu wadah tertentu sebagaimana pernyataan para maksumin; tiada
Dia kecuali Dia. Juga seperti perkataan Ibn Arabi; engkau bukan Dia tapi
Dia adalah engkau, namun Dia adalah Dia dan engkau adalah engkau. Oleh
karena itu, ketidakterbatasan Tuhan juga meniscayakan tasybih dan juga
meniscayakan tanzih. Bahkan setiap ada tasybih pasti ada tanzih dan setiap ada
tanzih pasti ada tasybih. Dalam Qur’an kedua hal tersebut tidak pernah terpisah
dan yang lebih menarik lagi karena makna dari Qur’an adalah penyatuan atau
penggabungan. Seperti pada surah syura ayat 11 mengatakan; tidak ada satupun
yang menyamai-Nya, dan Dialah yang Maha-Mendengar lagi Maha-Melihat. Tidak
ada satupun yang menyamai-Nya adalah tanzih dan Dia yang Maha-Mendengar lagi
Maha-Melihat.
Tujuan
para Sufi Menyaksikan bahwa Segalanya adalah Dia
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa para sufi berangkat menuju Tuhan dengan qalbunya.
Qalbu adalah inti atau hakekat manusia. Jika dirinya berangkat dengan qalbunya
maka seluruh hakekat dirinya berangkat menuju Tuhan. Jika demikian maka seluruh
hakekat dirinya menyaksikan Tuhan sebagaimana lantunan do’a arafah Imam Husein
as.
Namun untuk mempersiapkan qalbu
berangkat menuju Tuhan awalnya tentu sulit namun selanjutnya akan terasa mudah.
Kesulitan ini karena kita belum terbiasa melakukannya, namun jika terbiasa
melakukannya maka yang ada hanya kemudahan dan kesulitannya akan hilang.
Contohnya seperti olahragawan yang berlatih dengan mengangkat alat-alat berat.
Pada awal dia berlatih tentunya teramat sulit, namun setelah berselangnya waktu
benda yang 100 kilo tersebut dengan mudah diangkat. Namun ada perbedaan antara
latihan berolahraga dan latihan suluk. Setelah melewati kerumitan maka dengan
keterbiasaan maka akan mendapatkan kemudahan, akan tetapi pada alat berat yang
beratnya 100 kilo tetap saja ada, beratnya tetap tinggal karena alat tersebut
adalah materi. Namun pada suluk setelah melewati kerumitan maka yang ada hanya
kemudahan karena suluk adalah non-materi.
Dalam suluk (berjalan menuju Tuhan)
terdapat beberapa stasiun yang mesti dilewati. Para sufi menjelaskan tingkatan
stasiun tersebut berbeda-beda, sesuai dengan tingkatan maqam suluknya. Dalam kitab
aushaful ashraf karya Nashiruddin Thusi menjelaskan terdapat 24
tingkatan maqam stasiun; diawali dengan iman, kemudian istiqamah, selanjutnya
secara berurutan niat, benar (shidq), senantiasa menginginkan Tuhan,
ikhlas, khalwat, tafakkur, takut, berharap, sabar, bersyukur, iradah, syauq
(iradah yang sangat kuat), cinta, makrifat, yakin, diam, tawakkal, ridha,
taslim, tauhid, ittihad (penyatuan), dan wahdat (ketunggalan).